Bagaimana Menyikapi “The Misunderstood Concept” (New Chapter)

Ya Allah curahkanlah sholawat kepada junjungan Kami Nabi Muhammad. Sebagai obat hati dan penyembuhnya. Sebagai penyehat badan dan kesembuhannya. Dan sebagai penyinar penglihatan mata beserta cahayanya. Dan semoga sholawat dan salam tercurah pula kepada keluarga serta sahabat-sahabatnya.

Chapter 03

Penulis beberapa kali menerima potongan video yang sama, ada influencer di suatu acara podcast berpendapat Bank Syariah lebih haram dari Bank Konvensional. Sebetulnya, di awal tahun 2023 Penulis telah menyaksikan acara podcast itu secara utuh. Tiada kata yang dapat diucapkan selain ber-istighfar sembari menggelengkan kepala. Tiada respon yang dapat dilakukan selain mencoba ber-husnudzan jika influencer ini sedang “slip of the tongue”. Setelah mencermati beberapa video lain dalam topik yang hampir sama milik influencer satu ini, upaya untuk ber-husnudzan tadi mesti diakhiri. Pernyataan ini menambah daftar “The Misunderstood Concept” yang mengiringi perjalanan panjang Bank Syariah di Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada November 1991.

Aplikasi seperti Twitter, Whats App, Telegram, Facebook, Path, Instagram sampai dengan Youtube telah menjadi media ruang publik. Sebagaimana pendapat Poespowardojo, dalam Salman, 2017, bahwa "Pemahaman spontan mengenai ruang publik sebagai ranah yang terbuka bagi setiap orang untuk terlibat di dalamnya secara bebas terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik. Konsep ruang publik yang demikian hanya mungkin tercipta melalui proses komunikasi". Keberadaan aplikasi-aplikasi dimaksud memberikan kesempatan kepada publik untuk menyalurkan ekspresinya, termasuk memberikan kesempatan publik untuk mendapatkan informasi dan cara pandang dari konten-konten yang tersedia di aplikasi.

Disadari atau tidak, media ruang publik telah menjadikan batasan wilayah pribadi dengan wilayah publik menjadi tersamarkan. Tidak sedikit masyarakat yang tidak mampu mem-filter dalam kondisi apa informasi yang dimilikinya patut dibagi kepada publik. Apakah informasi yang dimilikinya sudah layak disampaikan atau perlu masih perlu pendalaman atau bahkan tidak perlu disampaikan menimbang dampaknya. Tersamarnya batas wilayah pribadi dan wilayah publik, mengakibatkan segala informasi yang dimaksudkan dalam wilayah pribadi pasti berubah menjadi wilayah publik jika sudah disampaikan melalui media ruang publik. Informasi wilayah pribadi yang terlanjur tersebar di media ruang publik dapat memengaruhi publik. Jika informasi ini disampaikan oleh seseorang yang memiliki pengikut banyak seperti seorang influencer, tak jarang akan membentuk opini publik.

Pernyataan Bank Syariah lebih haram dari Bank Konvensional adalah the misunderstood concept yang menyesatkan. Dikatakan menyesatkan, sebab pernyataan ini berdasarkan asumsi premature, ahistoris dan celakanya penuh dugaan buruk (su’udzan). Influencer ini secara sadar melabeli Bank Syariah sebagai pihak yang melakukan dosa bunga/riba, menghalalkan yang haram (bunga/riba) dan memperjualbelikan agama. Sementara, pihak yang mengharamkan eksistensi bunga Bank dilabeli sebagai pihak yang memiliki ideologi tertentu dengan motif bisnis.

The misunderstood concept ini membuat masyarakat bingung tak tentu arah terhadap eksistensi ekonomi Syariah di tanah air. The misunderstood concept pasti akan digunakan oknum tidak bertanggung jawab untuk membuat kegaduhan di tengah masyarakat guna membentuk opini negatif terhadap Bank Syariah. Hal ini akan kontraproduktif dengan visi menjadikan Indonesia sebagai Pusat Ekonomi Syariah Dunia dengan perbankan syariah sebagai salah satu program utama sesuai masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 yang disusun Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Syaikh Muhammad ‘Utsman Syibair dalam kitabnya al-Madkhal ila Fiqhi al-Mu’amalah al-Maliyyah menulis bahwa Islam tidak menumbuh kembangkan suatu muamalah baru dalam masyarakat Arab saat Islam datang. Masyarakat Arab saat itu telah mengenal akad musyarakah, Ijarah, mudharabah dan (bai) salam. Akad-akad ini kemudian ditetapkan (disahkan) oleh Islam, mengingat aktivitas ekonomi masyarakat Arab saat itu bergantung pada akad tersebut. Cara pandang Islam dalam bidang muamalah (ekonomi) adalah mengedepankan kemaslahatan bagi para pihak. Kemaslahatan itu sendiri dapat diartikan sebagai pemenuhan hajat kebutuhan manusia yang akan mendatangkan keselamatan. Sebaliknya, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka yang terjadi adalah kemudharatan/mafsadah, yaitu kesukaran atau kesusahan atau kesulitan yang mendatangkan bahaya (kerusakan/ketidakselamatan).

Jika ada transaksi yang mendatangkan kemaslahatan, maka Islam akan menyetujuinya. Kaidah ini mengkonfirmasi keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagaimana Chapter 01), tatkala menyetujui pemakaian dinar dan dirham yang notabene bukan dari Islam sebagai alat pembayaran yang sah (uang) pada masanya. Terlepas dari hegemoni dua kekuasaan besar dunia pada masa dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kerajaan Romawi dan Persia, koin dinar dari Romawi dan koin dirham dari Persia itu telah menjadi kebutuhan masyarakat sebagai alat transaksi atau pembayaran. 

Dalam analisis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari kesulitan dan kelemahan sistim pertukaran (barter) barang dengan barang. Beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang (dinar/dirham) dalam transaksi mereka (Agustianto, 2015). Terlebih sistem barter ini bisa menjerumuskan masyarakat dalam riba, jika barang yang di-barter adalah sama-sama barang ribawi. Sebagaimana hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.

Dari Abu Said radhiallahu 'anhu katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka bersabda Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.” (H.R Bukhari Muslim).

Menurut, Agustianto, 2015, hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar menjual kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menukar secara langsung  2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma yang berkualitas bagus. Perlu diketahui bahwa kurma termasuk barang ribawi dari rumpun makanan pokok sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat Ubadah bin Shamit. 

Syaikh Muhammad ‘Utsman Syibair, melanjutkan jika ada transaksi yang mendatangkan kemudharatan, maka Islam dengan tegas mengharamkannya. Misalnya, jual beli yang mengandung ketidakjelasan (gharar). Terakhir, jika kemudian ada transaksi yang diidentifikasi memunculkan 2 (dua) sisi antara kemaslahatan dan kemudharatan, sementara transaksi ini sangat dibutuhkan (maslahat) oleh masyarakat, maka Islam akan memberikan keringanan (kebolehan) dengan menetapkan ketentuan, kaidah dan batasan/syarat.

Dalam kitab al-Madkhal ila Fiqhi al-Mu’amalah al-Maliyyah dikisahkan tentang sistem jual beli Salam yang sudah ada dan dipraktikkan masyarakat Madinah sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sistem jual beli Salam adalah jual beli pesanan dengan penyerahan barang di kemudian hari sedangkan pelunasan harga secara tunai saat transaksi. Singkatnya, uang tunai di depan dan barang diserahkan beberapa waktu kemudian. Sistem Salam jelas mengandung kemudharatan bagi Pembeli. Mungkin saja barang tidak bisa diserahkan oleh Penjual yang berujung pada perselisihan dan konflik. Sisi lain, sistem jual beli Salam sudah menjadi suatu transaksi yang dibutuhkan serta lazim dilakukan masyarakat Madinah saat itu.

Lantas apa yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? apakah Beliau kemudian meminta masyarakat memikirkan sistem baru lain yang berbeda, sebab sistem jual beli Salam ini buatan oknum pada masa jahiliyyah ?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan sistem jual beli Salam dengan menetapkan ketentuan, kaidah dan batasan/syarat. Sistem jual beli Salam hanya bisa dilakukan dengan ketentuan bahwa sifat dari takaran, sifat dari timbangan/spesifikasi dan waktu dari penyerahan barang sudah dijelaskan, diketahui dan disepakati para pihak di awal akad. Terdapat bahasan dalam fiqh jual beli, dimana sistem jual beli Salam dikelompokkan menjadi jual beli terhadap sifat barang dalam tanggungan atau ba’i al-maushufah fi al-dzimmah (Tim Laskar Pelangi PP Lirboyo, 2013).

Perbankan bukan lahir dari tradisi Islam, istilah Bank tidak ada dalam Qur’an dan Sunnah, Bank ijtihad orang Yahudi, Bank itu (tetap sistem) Riba(wi) walaupun dirubah istilahnya dengan menambahkan kata Syariah. Begitu kiranya asumsi-asumsi premature Influencer ini dalam beberapa video. Bagaimana jika kerangka berfikir Syaikh Muhammad ‘Utsman Syibair digunakan dalam menghukumi sistem transaksi Perbankan (Syariah) saat ini ?

Tidak bisa dipungkiri sistem transaksi Perbankan (konvensional) sudah mapan, mengakar dan menjadi kebutuhan masyarakat. Sistem perbankan adalah backbone lalu lintas keuangan dalam perekonomian modern. Sayangnya, sistem yang mapan ini adalah sistem berbasis bunga/ribawi. Sulit untuk sekaligus keluar dari atmosfir ribawi serta terbebas sama sekali dari debu-debu sistem bunga. Sementara ahli fiqh menyebut kondisi ini sebagai Úmumul Balwa/bencana merata (Utomo, 2003).

Sejarah para Ulama pada masa Orde Baru dalam memperjuangkan berdirinya Bank Syariah layak direnungkan oleh kita semua yang berkepentingan ekonomi Syariah tumbuh subur di negeri ini. 

Pada tahun 1990, berangkat dari keinginan masyarakat Islam untuk bertransaksi ekonomi (Bank) yang sesuai dengan syariat Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Selain mengundang para Ulama, acara lokakarya MUI yang saat itu dipimpin oleh KH Hasan Basri turut mengundang pejabat Bank Indonesia, para Menteri terkait dan Ekonom era 1990-an. Hasil lokakarya ini menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait untuk mendirikan Bank Islam atau Bank tanpa Bunga.

Dalam tulisan bertajuk "Sejarah Bank Muamalat Indonesia ; Antara MUI, ICMI dan Soeharto (tirto.id) diceritakan bahwa melalui KH Hasan Basri dan KH Amin Azis ide pendirian Bank tanpa Bunga (Bank Islam) disampaikan kepada Baharudin Jusuf Habibie (Pak Habibie) yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Pada saat pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dimana Pak Habibie ditunjuk sebagai Ketua Umum, Pak Habibie mendukung pendirian bank tanpa bunga yang menurutnya sejalan dengan visi dan misi ICMI. Sementara sebagai menteri, ia merasa bahwa ide tersebut sesuai dengan rencana kerja pemerintah. Ia pun kemudian menghadap Soeharto. 

Alhasil, Pemerintah, Dewan Ulama dan ICMI sepakat mendirikan Bank Muamalat Indonesia, meskipun diksi ‘Islam’ dihapus dari yang seharusnya adalah Bank Muamalat Islam Indonesia. Presiden Soeharto beranggapan karena kata 'Muamalat' sudah memberitahu orang bahwa bank itu berlandaskan syariat Islam. (https://www.cnbcindonesia.com).

Dari para Ulama kita belajar usaha menegakkan kaidah Syariah dalam ekonomi perlu dilakukan tahap demi tahap dengan perencanaan yang matang. Menegakkan kaidah Syariah dalam ekonomi membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk menyamakan persepsi, merumuskan cita-cita bersama mewujudkan transaksi ekonomi (Bank) yang sesuai dengan Syariah. Tentu usaha ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, sangat menguras energi dan sumber daya. 

Kita juga belajar, para Ulama saat itu tetap mengadopsi sistem perbankan dengan menetapkan ketentuan, kaidah dan batasan/syarat bukan menolak mutlak sistem perbankan yang sudah mapan, mengakar dan menjadi kebutuhan masyarakat. Para Ulama tidak berijtihad untuk menghalalkan sistem pembungaan dari transaksi pinjaman Bank atas dasar argumentasi fiqh kontemporer atau rukhshah dari kondisi 'Umumul BalwaSistem bisnis perbankan berdasarkan pembungaan pada transaksi pinjaman uang (riba nasi'ah) dirubah dan dibatasi. Dewan Ulama membuat ketentuan pengambilan keuntungan harus melalui transaksi jual beli, sewa/jasa atau kerjasama yang notabene merupakan transaksi bisnis. Sementara untuk transaksi pinjaman yang notabene masuk klasifikasi transaksi sosial dibatasi harus dilakukan tanpa bunga. 

Dalam tingkat yang lebih lanjut, Dewan Ulama membuat ketentuan Bank Syariah tidak boleh melakukan transaksi pertukaran piutang dengan uang sebagai alat pembayaran. Pertukaran dimaksud hanya bisa dilakukan jika alat pembayaran melibatkan barang (riil sektor). Uang yang akan digunakan sebagai alat pembayaran atas transaksi pertukaran piutang harus dikonversi terlebih dahulu menjadi barang melalui aktivitas jual beli di pasar barang/komoditas. Ragam ketentuan, kaidah dan batasan/syarat inilah yang kemudian secara bertahap dibiasakan kepada Bank Syariah dan dijelaskan kepada masyarakat.

Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah berkata ”…Wahai anakku, jangan tergesa-gesa. Sesungguhnya Allah menghapus (mengharamkan) khamr dalam al-Qur’an dua kali sampai diharamkannya oleh-Nya pada kali ketiga. Aku takut jika aku mengajak manusia dalam kebenaran sekaligus, mereka akan meninggalkannya sekaligus dan menjadi fitnah…”. Jika kita melihat kondisi masyarakat yang belum siap menerima, melaksanakan dan menunaikan ajaran Islam secara kaffah, bahkan jika diterapkan akan memberikan masalah (mudharat) yang lebih besar, maka boleh memprioritaskan penahapan dengan perencanaan hingga bisa menerapkan nilai ekonomi Syariah secara sempurna (Sahroni, 2022).

Wallahu a’lam

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

Selamat Memperingati Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam...


Bersambung pada Final Chapter, in syaa allah.


Chapter 01 dan Chapter 02 ; https://irham-anas.blogspot.com/2023/09/bagaimana-menyikapi-misunderstood.html


Sumber gambar ; pexels.com


baca juga :


Bank Syariah Dihujat
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/bank-syariah-dihujat.html

Sohib dan Solmed Punya Cerita
https://irham-anas.blogspot.com/2018/11/sohid-dan-solmed-punya-cerita.html

Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/cahaya.html

 

Comments