Bagaimana Menyikapi “The Misunderstood Concept”

Chapter 01

Pegiat Ekonomi Syariah era 2000-an mesti tidak asing dengan kritik tidak syariah-nya Bank Syariah yang pernah disampaikan oleh cendikiawan seperti Abdullah Saeed, Umar Ibrahim Vadillo, Imran N Hosein, Zaim Saidi dan lainnya. Sebut saja Zaim Saidi. Bagi Zaim Saidi sistem Bank Syariah bukanlah sistem yang bebas dari Riba. Sebab, riba bukan hanya sekedar bunga bank, tetapi sistem perbankan itu sendiri. Ia juga pernah mengungkapkan bahwa antara Bank Konvensional dan Bank Syariah memang tidak 100% sama tetapi 99,9% sama saja. Perbankan Syariah mungkin bebas dari sistem bunga, tapi hampir mustahil terbebas dari sistem ribawi (Risna, 2021).

Sistem ribawi yang dimaksud Zaim Saidi adalah penggunaan uang kertas/fiat money sebagai alat tukar atau alat pembayaran. Zaim Saidi kemudian mendirikan Wakala Induk Nusantara untuk mengkampanyekan penggunaan Dinar dan Dirham. Langkah Zaim terinspirasi dari gurunya Umar Ibrahim Vadillo yang lebih dahulu mencetak koin dinar dan dirham di Spanyol pada 1992, setelah ia (Umar Vadillo) mengeluarkan fatwa uang kertas haram sebagai alat tukar/pembayaran. Zaim Saidi sempat tersandung kasus Pasar Muamalah dimana koin dinar-dirham dijadikan sebagai alat pembayaran. Pada Oktober 2021, Zaim mendapatkan vonis bebas dari Pengadilan Negeri Depok.

Kritik ketidaksyariah-an Bank Syariah didasarkan penolakan strategi “Syariatisasi” bisnis perbankan yang notabene bukan berasal dari Islam dan penggunaan uang kertas oleh Bank Syariah yang seharusnya diganti dengan mata uang Islam yaitu dinar dan dirham. Pertanyaannya adalah apakah sesuatu yang bukan berasal dari Islam mutlak harus ditolak ? dan Apakah bertransaksi dengan alat pembayaran (baca : uang) selain dinar dan dirham harus dihukumi haram ?

Dinar dan dirham bukan berasal dari Islam. Dinar yang merupakan koin emas berasal dari Kerajaan Romawi Timur. Sementara, dirham yang merupakan koin perak berasal dari Persia (sebelum Islam datang). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Mekkah, Beliau menyetujui pemakaian dinar dan dirham sebagai alat pembayaran yang sah (baca ; uang) pada masanya. Secara resmi di dalam sejarah Islam, dinar pertama kali diresmikan sebagai koin Islami pada abad 7 Masehi di masa Khalifah Abdul Malik, khalifah kelima dari lingkungan Dinasti Umayyah. Abdul Malik inilah yang memperkenalkan koin yang didasarkan pada model koin Yunani dan Romawi ini (Syafiq Hasyim, 2021).

Sejarah pernah mencatat keinginan Amiirul Mukminiin Umar bin Khattab radhiallahu ánhu mencetak uang dari kulit onta. Niat tersebut kemudian batal dikarenakan besarnya potensi kerugian jika niat ini dilaksanakan, yaitu akan terjadi kelangkaan terhadap hewan onta. Suatu benda baru bisa disebut uang dengan memenuhi minimal dua syarat ; i) substansi benda tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat  dan ii) dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang seperti bank sentral (Abdillah, 2022).

Banyak diskursus terjadi dalam kurun waktu tahun 2000-an. Kubu pro dan kontra Bank Syariah saling menyampaikan argumentasi di berbagai mimbar akademis pada polemik “seksi” ini. Masyarakat cenderung mudah menerima bahwa kehadiran Bank Syariah menjadi warna baru dalam industri perbankan nasional. Sepanjang Bank Syariah telah mengklaim produknya sudah sesuai syariah yang didukung dengan perubahan legalitas, prosedur dan perubahan kontrak bisnis, maka hal ini cukup menjadi bukti bahwa Bank Syariah benar berbeda dari Bank Konvensional.

Chapter 02

Selang ratusan purnama kemudian (baca ; 2010-an), diskursus tentang Bank Syariah masuk ke level berikutnya. Sebelumnya masyarakat cukup diyakinkan bahwa kontrak bisnis produk Bank Syariah sudah sesuai Syariah dengan merubah istilah dan prosedur. Namun demikian, penjelasan perubahan kontrak bisnis tidak cukup menyakinkan masyarakat bahwa produk tersebut sudah sesuai prinsip Syariah. Jika calon nasabah ditawarkan produk tabungan dengan akad wadiah, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana akad wadiah itu diterapkan, bagaimana pemenuhan rukun dan syaratnya, siapa bertindak apa dan pertanyaan teknis lainnya. Tenaga pemasar mulai dituntut harus mampu menjelaskan dengan narasi yang tepat bagaimana mekanisme dari perubahan istilah dan prosedur tadi dipraktikkan oleh Bank Syariah.

Pada periode ini kritik dari cendikiawan seperti Muhammad Arifin Badri, Hafidz Abdurrahman, Erwandi Tarmidzi, Ammi Nur Baits dan lainnya menyoal sisi teknis transaksi dengan pendekatan pendapat fiqh klasik. Kritik-kritik ini kemudian bersimpul membentuk opini Bank Syariah belum 100% murni Syariah. Tidak sedikit ada oknum “Mendadak Mufti” menebar kegaduhan di dunia maya berfatwa membolehkan menyimpan uang di Bank Konvensional tanpa udzur. Syaratnya cukup dengan menghilangkan bunga di tabungan mereka. Bunga itu sendiri telah ditetapkan sebagai bentuk praktik riba yang diharamkan berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa’idah). Oknum “Mendadak Mufti” ini tidak segan mengajak masyarakat untuk mulai meminta penghapusan bunga pada simpanan mereka di Bank Konvensional.

Kritik ketidakmurnian Bank Syariah didasarkan pada dugaan terjadinya diskrepansi antara praktik bisnis dengan pendapat fiqh yang diklaim paling shahih (valid) dan rajih (kuat). Celakanya, sekelompok masyarakat juga menggunakan klaim tersebut untuk menegasikan pendapat fiqh yang telah disepakati dalam ijtihad kolektif dewan ulama yaitu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia/DSN MUI. Tak jarang dewan ulama juga menjadi sasaran “tahdzir” mereka. Produk pendapat fiqh hasil ijtihad kolektif ulama DSN MUI adalah Fatwa DSN MUI. Fatwa inilah yang menjadi rujukan praktik bisnis perbankan Syariah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dikutip dari tulisan bertajuk "Understanding The Misunderstood Concept" pada situs www.mui.or.id ; “Pengkritik ini biasanya baru masuk ke dalam industri keuangan dengan idealisme tertentu dalam pikirannya. Ketika mereka merasakan ada diskrepansi antara idealisme dengan apa yang mereka rasakan dalam industri, mereka mengkritiknya secara frontal.Dengan terburu-buru mereka menyimpulkan bahwa praktik keuangan syariah saat ini tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Kesimpulan seperti ini jelas berbahaya bagi dirinya dan lembaga keuangan syariah karena didasarkan pada kebodohannya sendiri. Berbahaya bagi dirinya karena kebodohan tidak akan mengantarkan kepada kebenaran. Berbahaya bagi pihak lain karena kebedohannya itu akan ditularkan kepada masyarakat sehingga mereka menjadi bingung dan tidak menentu.”

Pertanyaannya adalah apa kriteria dari 100% murni Syariah ? dan Pendapat fiqh mana yang otoritatif dijadikan rujukan praktik bisnis perbankan Syariah ?

Seluruh prosedur bisnis Bank Syariah pasti patuh terhadap prinsip Syariah (Sholihin, 2019). Prosedur bisnis disusun dengan memperhatikan ketentuan Fatwa DSN MUI dan pendapat dari Dewan Pengawas Syariah (DPS). Mereka yang terlanjur latah dengan ungkapan belum 100% murni Syariah, tidak akan mampu menjelaskan kriteria 100% murni Syariah. Ketidakmampuan tersebut bukan berasal dari kebodohan mereka, melainkan istilah 100% murni Syariah itu sendiri sudah bermasalah sejak awal. Kalau pun mereka didesak untuk menjelaskan, jawaban paling umum adalah tidak boleh ada denda keterlambatan, tidak boleh ada sita jaminan, tidak boleh ada asuransi dan larangan lainnya. Jawaban seperti ini menjadi musik lawas dari kaset usang yang terus diputar berulang-ulang.

Kita sepakat tidak boleh menutup mata dari dari kondisi praktik di lapangan yang mengakibatkan proses bisnis Bank Syariah berpotensi melanggar Syariah. Kondisi pelanggaran ini dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terpenuhi atau tidaknya kriteria rukun dan syarat akad yang telah disepakati berdasarkan “frame” Fatwa DSN MUI. Sebagai contoh, salah satu rukun yang harus dipenuhi dari akad murabahah adalah barang yang diperjualbelikan. Jika rukun lain akad ini terpenuhi, sementara rukun adanya barang tidak mampu dipenuhi, maka akad murabahah ditetapkan melanggar Syariah. Tidak bisa kemudian dinyatakan akad murabahah ini dinyatakan baru 75% murni Syariah belum 100%. Prinsip Syariah bukan zat cair yang bisa dihitung kadarnya menggunakan angka persentase.

DSN MUI merupakan lembaga yang melaksanakan tugas MUI dalam menetapkan fatwa dan mengawasi penerapannya melalui organ-nya yaitu DPS. DSN MUI berperan aktif mengembangkan usaha bidang di bidang ekonomi, bisnis dan keuangan Syariah. Sesuai jargon yang akrab didengar “Memasyarakatkan Ekonomi Syariah dan Mensyariahkan Ekonomi Masyarakat”. Kewenangan penetapan fatwa oleh DSN-MUI pada awalnya didasarkan karena faktor historis dan sosiologis, kemudian menyusul dari aspek yuridis dalam berbagai peraturan perundang-undangan (Tambunan, 2023).

Secara yuridis, sejak tahun 2008, DSN MUI (baca : MUI) menjadi satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh Negara untuk menetapkan fatwa di bidang ekonomi Syariah. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti ; UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Bank Indonesia dan UU lainnya. Lebih dari itu, UU No.4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang merupakan Omnibus Law bidang keuangan,  kewenangan DSN MUI dikuatkan kembali secara yuridis formal sebagaimana penjelasan Pasal 337 huruf h semua istilah "Majelis Ulama Indonesia" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dalam perundangundangan di sektor keuangan dibaca sebagai "lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah".

Fakta lain, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya pada Putusan Perkara Nomor 65/PUU-XIX/2021 dan Putusan Perkara Nomor 100/PUU-XX/2022  mengemukakan bahwa kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah diserahkan kepada MUI karena memiliki landasan historis, sosiologis dan yuridis. Di samping terdapat kesepakatan bersama antara pembuat undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR dalam rangka terjadinya ketertiban dan kepastian hukum.  MUI merupakan rumah besar umat Islam di Indonesia dan merupakan representasi dari ormas-ormas Islam di Indonesia. Selama ini fatwa-fatwa yang diterbitkan MUI diterima dengan sangat baik oleh Masyarakat muslim Indonesia. (Tambunan, 2023). Fatwa DSN MUI terkait ekonomi Syariah adalah pendapat fiqh yang otoritatif dijadikan rujukan Bank Syariah.

Wallahu a’lam

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

Bersambung pada Chapter 03, in syaa Allah.

Sumber gambar ; Republika Online Mobile


baca juga :


Bank Syariah Dihujat
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/bank-syariah-dihujat.html

Sohib dan Solmed Punya Cerita
https://irham-anas.blogspot.com/2018/11/sohid-dan-solmed-punya-cerita.html

Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/cahaya.html

Comments