Irham Fachreza Anas
Central Studies of Islamic Economics (CESIE)
A. KONSEP HARTA DALAM ISLAM
Dalam bahasa Arab (Islam) harta disebut sebagai Maal.
Maal berarti “Segala
sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berupa
kekayaan, atau barang perdagangan, rumah, uang, hewan dan lain sebagainya yang
cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah SWT berfirman :
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu :
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” { QS. Ali Imran : 14 }
Allah SWT telah menganugerahkan kepada
manusia sumber daya (harta) yang melimpah dari seluruh penjuru bumi dan langit.
Manusia diberi tugas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraannya di muka
bumi dengan memanfaatkan sumber daya yang telah diberikan sesuai dengan
tuntunan-Nya.
‘Katakanlah: "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.’ {QS. al-A’raf : 32}
Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah
(titipan) dari Allah SWT. Sedangkan, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu
yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan
oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah
mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
“…dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah
yang dikaruniakan-Nya kepadamu…” { QS.
An-Nuur : 33 }
B. KONSEP ISLAM TENTANG BARANG (KONSUMSI)
Dalam Islam, barang-barang adalah anugrah
yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Penelaahan terhadap Qur’an
memberikan kita kepada suatu konsep unik tentang berbagai produk dan komoditas.
Qur’an senantiasa menyebut barang-barang yang dapat dikonsumsi dengan
menggunakan istilah-istilah yang mengaitkan nilai-nilai moral dan ideologik terhadap
keduanya. Dalam hal ini ada dua macam istilah yang digunakan dalam Qur’an, yaitu al-Thayyibat dan al-Rizq.[1]
Istilah al-Thayyibat diulang 18
kali dalam Qur’an, menurut Yusuf Ali, istilah
al-Thayyibat berarti
’barang-barang yang baik’, ’barang-barang yang baik dan suci’,
’barang-barang yang bersih dann suci’, ’hal-hal yang baik dan indah’ dan
’makanan di antara yang baik.’ Dengan demikian barang-barang konsumsi terkait
erat dengan nilai-nilai dalam Islam, yaitu nilai keindahan, kesucian dan
kebaikan. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis) dan tidak
bernilai tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai
barang-barang konsumsi.
Istilah al-rizq diulang 120 kali dalam Qur’an, menurut Yusuf
Ali, istilah al-rizq berarti
’makanan dari tuhan’, ’pemberian tuhan’, ’bekal-bekal dari tuhan’, dan
’anugerah-anugerah dari langit’. Semua makna tersebut menunjukkan konotasi
bahwa Allah adalah pemberi Rahmat yang sebenarnya dan pemasok semua kebutuhan
manusia.
Sebagai konsekuensinya dalam konsep Islam
barang-barang konsumen adalah bahan-bahan konsumsi yang berguna dan baik yang
manfaatnya menimbulkan menimbulkan perbaikan secara material, moral maupun
spritual pada konsumennya. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak
membantu meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan tidak
dapat dianggap sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab itu,
barang-barang yang dilarang (untuk dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam
Islam.
C.
PANDUAN ISLAM DALAM MENCARI HARTA
Pada dasarnya Islam memberi kebebasan
bagi manusia untuk mencari dan mengusahakan hartanya dalam rangka menjaga
kelangsungan hidup di dunia. Kebebasan yang diberikan Islam tentu saja tidak
bebas nilai. Seorang muslim dituntut harus mampu membingkai kebebasan yang ia
miliki dalam pencarian harta dengan aturan Syariah. Misalnya, larangan mendapatkan
harta dengan mencuri, menipu, menjual barang haram, memakan hasil riba dan lain
sebagainya.
1.
Mencari Harta Dengan Usaha Yang Halal
Allah SWT berfirman :
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu” { QS. Al-Baqarah : 168 }
Muhammad Abdul Mannan menyatakan bahwa
ayat di atas memiliki makna ganda.[2] Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 168 ini tidak hanya berbicara mengenai pedoman pembelanjaan
harta melainkan juga mengenai mencari rezeki halal dan tidak melanggar hukum.
“Mannan Said : this
condition carries the double significance of earning lawfully and not having
been prohibited by law”
Dalam Islam seluruh tindakan manusia
merupakan sebuah satu kesatuan.
Sebagai contoh, Ibadah sholat yang dilaksanakan oleh umat
muslim harus didahului oleh syariat berwudlu. Wudhu merupakan media pembersih
bagi muslim yang akan melaksanakan shalat. Kesempurnaan wudlu akan berimplikasi
pada kesempurnaan shalat. Bilamana seorang muslim tidak bersih (tidak wudhu)
pada pelaksanaan sholat maka shalatnya dapat dikatakan tidak sah.
Demikian pula halnya dengan pemanfatan
harta, bilamana seseorang melakukan konsumsi dengan menggunakan pendapatan
haram, maka
kegiatan konsumsinya pun juga ikut menjadi haram dan tidak berkah, walaupun ia
mengkonsumsi kebutuhan yang halal dan thayyib. Begitu pula bila seseorang
memiliki pendapatan yang halal, bilamana ia mengkonsumsi kebutuhan yang haram
dan tidak thayyib maka tetap saja kegiatan konsumsinya menjadi haram dan tidak
berkah.
Islam mengajarkan agar manusia mencari rezeki/harta melalui suatu jalan
yang halal, yaitu jalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukum. Misalnya,
bekerja sebagai pengusaha, dokter, perawat, pedagang, petani, buruh, karyawan,
kosultan, pengacara dan profesi halal lainnya. Sebaliknya, Islam sangat
melarang manusia untuk mencari harta melalui jalan yang bathil/haram, seperti
mencuri, merampok, melakukan penipuan dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman
:
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” {
QS. Al-Baqarah : 188 }.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” { QS. An-Nisa : 29 }
2.
Mencari Harta Dengan Usaha Sendiri (Tidak Berpangku
Tangan)
Selain prinsip halal dan haram, pencarian
harta juga tidak boleh ditempuh melalui jalan meminta-minta dan atau berpangku
tangan (menjadi pengemis). Mengemis dan berpangku tangan dalam pencarian harta
merupakan usaha yang tidak baik (tidak thayyib).
” Dari Rifa’ah bin Rafi’
r.a ( berkata ) : Sesungguhnya nabi Muhammad SAW, pernah ditanyai, manakah usaha yang
paling baik? Beliau menjawab: ialah amal usaha dari seseorang dengan tangannya
sendiri dan semua jual beli yang diberkati ( bersih ). ”{ HR Bazzar, dan
dinilai shahih oleh Hakim }
“Dari
Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih
baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil
usahanya sendiri.” { H.R. Bukhari}
“Dari
Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali,
kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya,
kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik
daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun
tidak.” { HR. Bukhari}
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja
dengan tangan sendiri merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam.
Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri, sebab hal
tersebut bertujuan untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang
seharusnya dijunjung tinggi.
3.
Larangan Mencari Harta Dengan Jalan Riba
Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam
transaksi bisnis tanpa
adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan oleh syariat (Imam Sarakhsi
dalam kitab al-Mabsut). Riba bersifat individualistik, hanya
berfikir untuk kepentingan pribadi pemilik modal tanpa memperdulikan orang lain
dan lingkungan sekitar. Melalui riba, seorang pemilik modal dapat memperoleh
keuntungan tanpa risiko kehilangan modal sedikit pun. Tidak peduli si
peminjam/pengelola modal rugi maupun untung dalam usaha yang sedang
dijalankannya, si pemilik modal sudah dapat memastikan jumlah pendapatan yang akan
diterimanya dari modalnya tersebut. Sungguh suatu perbuatan yang tidak berkeadilan.
Islam sangat melarang sesorang yang ingin
mencari harta melalui pengambilan riba (memperoleh hasil tanpa harus bekerja) Allah
SWT berfirman :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” { QS.
Al-Baqarah : 275 }.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
{ QS. Al-Baqarah : 278 }.
Dalam rangka memperoleh harta dengan tidak
melalui jalan riba,maka
Islam memberikan solusi agar manusia melakukan investasi ke arah usaha nyata
yang produktif. Misalnya, melalui kerjasama mudharabah, musyarakah dan bentuk-bentuk
kerjasama lain.
D.
PANDUAN ISLAM DALAM MEMPEROLEH KEUNTUNGAN (USAHA)
Islam tidak melarang seorang muslim untuk
mendapatkan keuntungan yang besar dari aktivitas bisnis. Karena memang pada dasarnya semua
aktivitas bisnis adalah termasuk dalam aspek muamalah yang memiliki dasar
kaidah memperbolehkan segala sesuatu sepanjang diperoleh dan digunakan dengan
cara-cara yang dibenarkan syariah.
Point penting yang harus diingat, bahwa laba (keuntungan)
dalam bisnis syariah tidak selalu identik dengan materil, pertumbuhan aset atau
harta. Laba dalam Islam memiliki dua orientasi yaitu Materil dan
Non-materil. Aspek Materil dari laba dimaknai dengan penambahan harta yang
halal dan bersih dari seorang pebisnis muslim. Sedang aspek Non-Materil, laba
sangat erat kaitannya dengan : ketakwaan, kesabaran, bersyukur, mengikuti
perintah Rasullullah SAW serta dipelihara dari kekikiran.
Dampak dari implementasi konsep laba
dalam Islam adalah semua pebisnis dalam menjalankan usaha akan selalu menjaga
diri dari perbuatan tercela, tidak amanah, penipuan, peng-rusakan lingkungan,
dan perbuatan tercela lainnya yang dilarang syariah. Keuntungan yang di dapat
pun tidak akan ter-akumulasi pada diri mereka sendiri melainkan
terdistribusi secara proporsional juga kepada masyarakat kurang mampu. Dalam
jangka panjang, penerapan konsep laba ini akan mengarah pada terciptanya suatu
tatanan kehidupan ekonomi yang sejahtera dan berkeadilan, tatanan kehidupan
sosial yang saling menghargai, menghormati dan tolong menolong di antara
seluruh masyarakat.
Berikut terdapat kalimat yang banyak mengandung hikmah terkait dengan konsep
laba dalam bisnis syariah :
“Waspadalah
terhadap bisnis yang tidak menjadi amal, yang tidak menjadi nama baik, yang
tidak menjadi ilmu, yang memutuskan silaturami dan yang mengecewakan orang
lain. Karena semua itu bukan keuntungan, tetapi bencana”
E. PANDUAN ISLAM DALAM PEMANFAATAN HARTA
P emanfaatan harta
dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat atau yang biasa disebut dengan Falâh. Kebahagiaan di Dunia berarti
terpenuhinya segala kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk ekonomi. Sedang
kebahagiaan di akhirat kelak berarti keberhasilan manusia dalam memaksimalkan
fungsi kemanusiaannya (ibadah) sebagai hamba Allah sehingga mendapatkan
ganjaran dari Allah SWT yaitu kenikmatan ukhrawi (surga). Seseorang yang ingin
mendapatkan kebahagian dunia akhirat dituntut harus mampu berjalan pada ‘jalan
Ilahi’. Artinya, tunduk dan patuh pada peraturan dan ketentuan yang telah Allah
SWT ciptakan bersamaan dengan pelaksanaan segala aktifitas ekonomi manusia,
termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemanfaatan harta yang dilakukan oleh
umat muslim. Allah SWT berfirman :
”Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.” { QS.
Al-Baqarah : 168 }
Berikut dijelaskan beberapa padangan
Islam tentang cara memanfaatkan harta :
1.
Menentukan Prioritas Pemanfaatan Harta
Islam mengajarkan seorang muslim mengenai mekanisme
menentukan pemanfaatan harta untuk mencapai tujuan falah tersebut. Falah
akan tercapai dengan dengan terpeliharanya enam kemashlahatan meliputi (a)
agama dien, (b) jiwa/hidup nafs, (c) keluarga/keturunan nasl,
(d) harta/kekayaanmaal dan (e) intelektual/akal aql { termasuk
(f) lingkungan / bii’ah }. Untuk memelihara ke-5 perkara ini,
Al-Ghazali, Abu Ishaq Asy-Syatibi dan Mustafa Anas Zarqa memberikan 3 hierarki
utilitas individu; yaitu (1) kebutuhan dharuriyyat, (2) kesenangan dan
kenyamann hajiat, dan (3) kemewahan tahsiniyat.
Kunci dari pemeliharaan lima perkara falah
terletak pada utilitas pertama, yaitu dharuriyyat. Seperti makanan,
pakaian, perumahan dan lain-lain. Menurut mereka,
kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama bersifat dasar (basic needs) dan
cenderung bersifat fleksibel mengikuti tempat, waktu dan dapat menyangkut
kebutuhan sosiopsikologis (hiburan, ketenangan hati).
Utilitas kedua hajiat, merupakan
hal-hal yang tidak vital bagi kebutuhan bagi lima perkara falah, akan
tetapi utilitas ini penting untuk menghilangkan kesukaran dan rintangan dalam
hidup. Misalnya, piring untuk makan, gelas untuk minum, pulpen dan untuk
belajar dan lain sebagainya.
Sedangkan pada utilitas ketiga tahsiniat,
merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kenyamanan saja. Meliputi hal-hal
yang melengkapi dan menghiasi hidup. Misalnya, gelas kristal untuk minum dan
Pulpen emas untuk belajar.
Ketika seorang muslim hendak memanfaatkan
hartanya, maka ia harus tindakan tersebut benar-benar kebutuhan dharuriyyat
dan hajiat bagi dirinya atau hanya sebatas ‘pemanis’ saja tahsiniat. Seorang
muslim yang bijak akan mendahulukan kebutuhan dharuriiyat-nya
dibandingkan tahsiniyat-nya.
Sebagai contoh, Ipul memiliki uang
sebesar Rp 3.500.000. Ia dihadapkan pada dua pilihan, pertama, ia harus
membayar deadline kursus bahasa Inggris-nya sebesar Rp 3.500.000 Kedua,
membeli satu lagi Blackberry seharga Rp 3.500.000. Sebagai seorang
muslim Ipul sudah seharusnya lebih mendahulukan kebutuhan pertama dibandingkan
kedua. Sebab kebutuhan pertama masuk pada kategori utilitas dharuriyyat,
yaitu kebutuhan pendidikan dan utilitas hajiat, yaitu kursus bahasa
Inggris. Bilamana kebutuhan pendidikan tidak terpenuhi, maka salah satu dari
lima perkara falah tidak dapat terpelihara, yaitu intelektual/akal
aql. Sedangkan, kebutuhan Ipul untuk membeli Blackberry termasuk
utilitas tahsiniat yang hanya dipenuhi semata-mata untuk kepuasan.
2.
Prinsip Halal & Thayyib Dalam Konsumsi
M.A Mannan
seorang pemikir Ekonomi Islam mencoba mendefenisiskan ‘konsumsi’ sebagai “permintaan,
yaitu permintaan akan hasil produksi.” Artinya, konsumsi tidak hanya
sebatas memanfaatkan barang secara fisik ( Tangible Goods )
melainkan juga berlaku pada barang yang tidak berwujud ( Intangible Goods ).
Allah SWT memerintahkan umat manusia
untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang Halal dan Thayyib. Dalam Qur’an kata
halal dan thayyib selalu disandingkan pada setiap penyebutan ayat,
misalnya firman Allah SWT ;
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.” {QS.
Al-Maidah : 88 }
Islam mendorong penggunaan barang &
jasa yang halal, baik dan bermanfaat kepada setiap muslim. Barang-barang yang
tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menurut konsep
Islam, bukan barang dan tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat
muslim. Oleh sebab itu, barang-barang yang dilarang (untuk dikonsumsi) tidak
dianggap barang dalam Islam.
Penggunaan prinsip halal &
thayyib dimaksudkan untuk memberikan kebebasan bagi setiap muslim untuk
menggunakan segala barang yang baik, bermanfaat bagi dirinya, menyenangkan,
lezat dan lain sebagainya, selama dalam kerangka halal dan thayyib. Kebebasan
yang diberikan Islam kepada setiap muslim dalam berkonsumsi tak terlepas dari
pandangan Islam itu sendiri bahwa perbuatan memanfaatkan atau meng-konsumsi
barang & jasa merupakan suatu kebaikan. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan)
tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak
baik atau merusak.
Dalam literatur lain, DR. Yusuf
Qardhawi menyatakan bahwa seorang muslim harus senantiasa mengkonsumsi barang
yang halal dan thayyib (bermanfaat) baginya seperti ikan, daging, dan lain
sebagainya. Seorang
muslim yang baik tidak akan pernah mengkonsumsi khamar, daging babi serta akan
senantiasa menjauhi perjudian dan spekulasi (Intangible goods) dalam
penggunaan hartanya.
Allah SWT berfirman :
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu” { QS. Al-Baqarah : 168 }
|
Pada dasarnya kewajiban mengkonsumsi
barang & jasa yang halal dan thayyib muncul untuk menyelamatkan seorang
muslim dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang ditimbulkan barang haram.
Misalnya, pada daging babi yang dikabarkan mengandung cacing pita ( Tainia
) jenis Solium bertaring yang dapat merusak dinding usus pada
manusia dan juga bakteri yang tidak akan mati walaupun telah dipanaskan 100 0C.
Dalam analisis berbeda, Sayyid Sabiq,
dalam Fiqh Sunnah, menyatakan bahwa keharaman sebuah benda tidak akan dapat
dihilangkan walaupun sifat-sifat negatif dari benda tersebut telah dihilangkan.
Misalnya, binatang Babi, ia merupakan binatang yang telah diharamkan dagingnya
oleh Alllah SWT untuk dikonsumsi. Walaupun cacing pita dan bakteri pada daging
babi telah dihilangkan, tetap saja daging babi tersebut haram dagingnya untuk
dikonsumsi. Menurutnya, terdapat sebuah sebab pengharaman yang tidak dapat
diketahui oleh manusia, hal itu hanya dapat diketahui oleh Allah SWT.
Menurut Penulis, keberadaan beberapa
larangan konsumsi barang & jasa dalam Islam tidak dapat diartikan bahwa
islam adalah agama yang banyak larangan. Bukti kasih sayang Allah pada umat
muslim adalah adanya rukhshah (dispensasi/kebolehan) mengkonsumsi barang
haram dalam keadaan mendesak. Allah SWT berfirman :
“ Sesungguhnya Dia hanya
mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan (daging) hewan yang
disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa
(memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” { QS. Al-Baqarah : 173 }
Muhammad Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Vol 1) menyatakan bahwa makna terpaksa dalam ayat 173 surat al-Baqarah ini berarti
keadaan yang diduga dapat mengakibatkan kematian; sedang frase tidak
menginginkan adalah tidak memakannya (makanan haram) padahal ada makanan
halal yang dapat dimakan, tidak pula memakannya memenuhi keinginan seleranya.
Sedangkan frase tidak melampaui batas adalah tidak memakannya (makanan
haram) dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutupi rasa lapar dan memelihara
jiwa manusia tersebut.[3]
3.
Menghindari Tabdzir dan Israf
Ajaran Islam membolehkan umatnya menikmati kebaikan
duniawi selama tidak melewati batas-batas kewajaran. Seperti tidak melakukan
perbuatan Tabzir dan Israf.
Tabzir bermakna
menghambur-hamburkan harta tanpa ada kemaslahatan atas tindakan tersebut.
Ketika seseorang membeli sesuatu melebihi dari kebutuhan-nya maka pada saat itu
ia dapat dikategorikan sedang melakukan tabdzir.
Islam melarang seorang muslim
membelanjakan hartanya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara boros.
Larangan ini cukup beralasan. Tabdzir dapat
menyebabkan cash menyusut secara cepat. Ketiadaan cash akan
berdampak pada rendahnya daya beli low purchasing power seseorang terhadap
barang dan jasa. Hasilnya, berbagai macam kebutuhan manusia tidak akan
terpenuhi secara maksimal dengan ketiadaan cash. Selain itu,
prilaku tabdzir juga akan menghalangi seorang muslim untuk dapat
berinfaq (harta), sehingga tabdzir bisa menjadi penyebab seorang muslim
mendapat predikat kikir dan pelit.
Allah SWT meng-ibaratkan orang-orang yang melakukan
tabdzir dengan saudara setan, sebagaimana terdapat pada ayat Qur’an
mengenai larangan untuk bersikap boros :
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat
ingkar kepada tuhannya.” { QS. Al-Israa’ : 26-27}
Pada hakikatnya konsumsi dalam
Islam adalah suatu pengertian yang positif. Dengan mengurangi pemborosan yang
tidak perlu, Islam menekankan perilaku mengutamakan kepentingan orang lain.
Israf bermakna melakukan konsumsi
terhadap sesuatu secara berlebihan. Misalnya, dalam hal makan, pada saat
berbuka puasa Ipul memakan seluruh hidangan berbuka sehingga perutnya sakit
karena terlalu banyak makanan yang masuk dalam perutnya. Prilaku Ipul ini dapat
dikategorikan sebagai Israf.
Islam melarang seorang muslim
mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan sehingga menimbulkan mafsadat/mudarat.
Larangan ini cukup beralasan. Israf dapat mempengaruhi kesehatan dan
mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan. Sebagai contoh, pada saat
Ipul berbuka ia terlalu banyak makan sehingga ia sakit perut. Sakit yang
diderita Ipul ini menyebabkan ia tidak bisa menjalankan ibadah tarawih. Dari contoh ini dapat diambil
kesimpulan bahwa israf dapat menyebabkan kemampuan seseorang untuk dapat
beribadah kepada Allah menjadi berkurang/lemah. Allah SWT melarang seorang
muslim berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, sebagaimana
terdapat pada Qur’an ;
“Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid Makan
dan minumlah tetapi jangan berlebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang berlebih-lebihan” { QS. Al-A’raf : 31}
Dalam hal etika makan, Nabi SAW pernah memberikan tips kepada para sahabat
agar dapat menjaga kesehatan dengan cara makan ketika mengalami ‘lapar’ dan
berhenti makan sebelum ‘kenyang/kekenyangan’. Artinya, untuk menjaga kesehatan
kita dianjurkan makan secukupnya.
4.
Kesederhaan (Moderat)
Kesederhanaan bukan berarti menggambarkan
kehidupan dalam level terendah. Dalam sub-bahasan ini, kesederhanaan diartikan konsumsi
moderat yaitu dengan menjauhi pola konsumsi berlebihan conspicuous
consumption atau menjauhi prilaku bermewah-mewahan.[4] Kesederhanaan adalah jalan
tengah dari dua cara konsumsi yang ekstrim yaitu boros (tabzîr) dan kikir
(bakhil).
”Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” { QS. al-Furqân/ 25 : 67
}
Islam melarang setiap pemeluknya
bermegah-megahan. Kemegahan dalam Islam adalah faktor utama kerusakan dan
kehancuran individu dan masyarakat. Kemegahan dapat saja menjadikan ‘gapt’
antara miskin dan kaya semakin lebar. Bagi kaum minoritas (harta) kemegahan
yang dipertunjukkan kepada mereka menumbuhkan kecemburuan/iri pada kaum
mayoritas yang akan berpeluang kepada konflik. Imam Ar-Razi ( DR. Yusuf
Qardhawi; Norma dan Etika…) mendefenisikan kemegahan/kemewahan sebagai
kesombongan terhadap kenikmatan dan kemudahan hidup. Dalam sebuah hadits
dinyatakan bahwa orang yang bermegahan dalam perutnya terkocok dengan api
neraka;
“Yang memakan dan minum dengan cawan emas dan perak sesungguhnya perutnya
terkocok dengan api neraka” { HR. Muttafaqun ‘alahi }
Dalam analisis berbeda, Muhammad
Abdul Mannan menyatakan Mannan berpendapat “sikap tidak berlebihan”
(kesederhanaan/ moderation) dalam konsumsi dituntun oleh perilaku para
konsumen muslim yang mengutamakan kepentingan orang lain.[5]
Standar kemewahan setiap orang berbeda
sesuai dengan pendapatan mereka. Dengan adanya pelarangan terhadap kemewahan
dalam Islam, bukan berarti orang mampu yang membeli Loptop seharga Rp 100 juta karena
kebutuhan dilarang dalam Islam. Bukan berarti orang yang mampu membeli
helikopter untuk keperluan usaha dilarang juga dalam Islam. Sekali lagi ditegaskan,
bahwa selama kemegahan/kemewahan seseorang berada dalam batasan wajar dan tidak
berlebihan maka hal tersebut tidak dilarang dalam Islam
5.
Kosumsi Sosial
Dalam Islam, harta merupakan milik dan
anugrah Allah SWT yang diberikan kepada
manusia. Allah memberikan manusia amanat untuk mengelola harta. Manusia
berfungsi sebagai khalifah atas harta milik Allah SWT. Atas dasar ini, pada hakikatnya
terdapat hak orang lain pada harta sehingga manusia yang telah diberi amanat
‘harta’ tidak boleh menggunakan harta semau mereka. Islam melarang seorang
muslim untuk berprilaku kikir dalam mempergunakan harta (konsumsi). Kikir berarti tidak mau memberikan sesuatu
yang dimiliki kepada orang lain. Allah
SWT melaknat orang-orang kaya yang berbuat kikir.
“Dan apabila
dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang
diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada
orang-orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada
orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan,
tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.” {QS. Yasiin: 47 }
Berangkat dari hal tersebut
di atas, selain alokasi untuk konsumsi pribadi, seorang muslim harus pula
mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi sosial.
Konsumsi sosial merupakan alokasi
pendapatan yang bertujuan untuk kegiatan membantu kehidupan orang lain yang
diimplementasikan dalam bentuk Zakat dan Sadaqah. Dalam Ilmu Ekonomi Islam, fungsi
pendapatan ( P ) dalam
ekonomi Islam diperluas spektrumnya dari { P =
C } menjadi {
P = C + ZIS + Saving}. Artinya, pendapatan terkait dengan konsumsi, ZIS dan Saving. Inilah keunggulan dalam
etika pemanfaatan harta Islami, dimana variabel sodaqoh masuk dalam kategori
konsumsi. Dengan kalimat lain, bahwa sodaqoh dalam Islam bukan semata-mata
dikeluarkan dari harta lebih melainkan juga turut menjadi salah satu prioritas
alokasi konsumsi.
Monzer kahf menyatakan, dalam hal
pembelanjaan sedekah, untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dan menyebarluaskan
ajaran-ajaran Islam, konsep berlebih lebihan tersebut tidak berlaku. Tidak ada
pembatasan jumlah dalam belanja jenis ini (sedekah) dan setiap pembelanjaan
untuk keperluan tersebut akan mendapatkan imbalan (pahala/kebaikan) dari Allah.[6]
6.
Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan
Dalam Islam terdapat anjuran untuk
memperhatikan kepentingan hari esok atau masa datang, Allah SWT berfirman :
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” { QS. al-Hasyr : 18 }
Ayat tersebut merupakan landasan dari pemanfaatn harta untuk tujuan masa
datang. Bertolak dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam
terdapat tiga pilihan dari aktifitas pemanfaatan harta.
Pilihan pertama adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta untuk kepentingan
duniawi dan ukhrawi. Keberadaan pilihan pertama merupakan esensi dari
kepercayaan kepada Allah SWT yang ter-implementasi dalam setiap aktifitas pemanfaatan
harta (konsumsi) yang dilakukan seorang Muslim. Artinya, dalam setiap aktifitas
pemanfaatn harta yang dilakukan oleh manusia akan menimbulkan dua efek terhadap
kehidupannya. Efek pertama adalah duniawi yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup
mereka yang ter-implementasi
melalui pemenuhan enam kebutuhan dasar manusia; keimanan (dîn),
kehidupan (nafs), keluarga/keturunan (nasl), pendidikan (aql)
,kekayaan (mâl) dan lingkungan (bii’ah). Sedang efek kedua adalah
ukhrawi yaitu beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam hal konteks
ini, pilihan terhadap zakat, sedekah, wakaf termasuk ke dalam bagian pemanfaatan
harta untuk kepentingan ukhrowi ukhrawi.
Pilihan kedua adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta saat ini dan masa
datang. Saat
ini berarti segala pilihan pemanfaatan harta ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
saat ini (sekarang). Sedangkan, masa datang berarti ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan di masa mendatang yang telah diprediksi pada saat pemenuhan kebutuhan
saat ini. Pilihan masa datang, dapat direalisasikan dalam berbagai cara,
misalnya :
o Pertama, melalui tabungan sebagai langkah penghematan
dari kegiatan pemanfaatan harta saat ini yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan lain di masa datang.
o Kedua, melalui investasi. Investasi merupakan sarana untuk memproduktifkan
kekayaan seseorang. Dengan investasi, seseorang dimungkinkan untuk memiliki
pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat ini atau
mendatang.
Sedangkan, pilihan ketiga adalah pilihan terhadap tingkat kebutuhan hidup
manusia yang meliputi Darûriyyât, Hajjiât dan Tahsiniyât.
Pilihan ketiga didasari dari penetuan terhadap urutan prioritas yang harus
dipenuhi oleh setiap manusia sebagai konsumen.
F.
IKHTISAR
Harta
didefenisikan sebagai Segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau
kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan, rumah, uang, hewan dan lain
sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh
manusia. Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Allah SWT.
Sedangkan, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini,
termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat
relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai
dengan ketentuan-Nya
Pada dasarnya Islam memberi kebebasan
bagi manusia untuk mencari dan mengusahakan hartanya dalam rangka menjaga
kelangsungan hidup di dunia. Kebebasan yang diberikan Islam tentu saja tidak
bebas nilai. Seorang muslim dituntut harus mampu membingkai kebebasan yang ia
miliki dalam pencarian harta dengan aturan Syariah. Islam
mengajarkan agar manusia mencari rezeki/harta melalui suatu jalan yang halal,
yaitu jalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukum.
Dalam konteks pembelanjaan harta, Islam
mendorong penggunaan barang & jasa yang halal, baik dan bermanfaat kepada
setiap muslim. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu
meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan tidak dapat
dianggap sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab itu, barang-barang
yang dilarang (untuk dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam Islam.
Islam juga melarang seorang muslim
membelanjakan hartanya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara boros dan
berlebih-lebihan, namun dalam hal (pembelanjaan) sedekah untuk meningkatkan
kondisi kehidupan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, konsep
berlebih lebihan tersebut tidak berlaku. Tidak ada pembatasan jumlah dalam
belanja jenis ini (sedekah) dan setiap pembelanjaan untuk keperluan tersebut
akan mendapatkan imbalan (pahala/kebaikan) dari Allah.
F. DAFTAR PUSTAKA
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/pandangan-islam-terhadap-harta-dan-ekonomi
http://aoshywii.blogspot.com/2008/11/konsep-harta-al-mal-dalam-perspektif.html
http://akhirulsholeh.wordpress.com/2008/06/19/konsep-harta-aspek-islam/
http://opzaney.wordpress.com/2007/06/26/pengurusan-harta-dalam-islam/
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi dan Sistem
Ekonomi Islam. Terj. Machnul Husein (Yogyakarta : Pustaka Pelajar). 1995.
Khan, Muhammad Akram. An Introduction to Islamic
Economics (Pakistan : International Institute of Islamic Thought). 1994
Mannan, Muhammad Abdul. Islamic Economics; Theory and
Practice (Foundation of Islamic
Economics). (England:
Holder and Stoughton Ltd.) 1986.
_______________________.
The Making of Islamic Economic Society; Islamic Dimensions in Economic
Analysis. Kairo : International Association of Islamic Banks. 1984.
Qardhawi, Yusuf. Norma
dan Etika Ekonomi Islam. Terj. Zainul Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta :
Gema Insani Press. 1997.
Shihab, Muhammad
Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Vol. 1 (
Jakarta : Lentera Hati). 2002
[1] Monzer Kahf. Ekonomi Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi dan
Sistem Ekonomi Islam. Terj. Machnul Husein. 1995.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. h. 25
[2] Muhammad Abdul Mannan, Islamic
Economics; Theory and Practice
(Foundation of Islamic Economics). 1986. England: Holder and Stoughton
Ltd h. 45
[3] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an. Vol. 1 (
Jakarta : Lentera Hati). 2002. h. 384-386
[4] Muhammad Akram
Khan, An Introduction to Islamic Economics ( Pakistan : International Institute
of Islamic Thought). 1994, h. 15. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ‘mewah’
berarti hidup dengan makanan pakaian dan barang serba banyak, mahal dan indah.
[5] Muhammad Abdul Mannan. The Making of Islamic Economic Society; Islamic Dimensions in Economic Analysis. (Kairo : International Association of Islamic Banks). 1984. h. 300-301
[5] Muhammad Abdul Mannan. The Making of Islamic Economic Society; Islamic Dimensions in Economic Analysis. (Kairo : International Association of Islamic Banks). 1984. h. 300-301
[6] Kahf, Ekonomi Islam…, h. 24
Wallahu a'lam
salam,,izin share dan copas ya pak,, untuk kepentingan dakwah di akar rumput..makasi pak...
ReplyDelete”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” { QS. Al-Baqarah : 168 }
ReplyDeletesepertinya ayatnya adalah 195 bukan 168
Ayat Qur'an nya memang nomor 168 dalam Surat Al-Baqarah. MA Mannan menggali makna ayat tersebut tidak hanya berhubungan dengan pengeluaran harta (konsumsi) namun juga penghimpunan harta.
ReplyDelete