HARTA & PENGELOLAANNYA DALAM ISLAM


Irham Fachreza Anas
Central Studies of Islamic Economics (CESIE) 

A.     KONSEP HARTA DALAM ISLAM

      Dalam bahasa Arab (Islam) harta disebut sebagai Maal. Maal berarti “Segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan, rumah, uang, hewan dan lain sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh manusia. Allah SWT berfirman :
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”  { QS. Ali Imran : 14 }

      Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia sumber daya (harta) yang melimpah dari seluruh penjuru bumi dan langit. Manusia diberi tugas untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraannya di muka bumi dengan memanfaatkan sumber daya yang telah diberikan sesuai dengan tuntunan-Nya.

‘Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.’    {QS. al-A’raf : 32}


      Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Allah SWT. Sedangkan, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.

“…dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu…” { QS. An-Nuur : 33 }

B.    KONSEP ISLAM TENTANG BARANG (KONSUMSI)

     Dalam Islam, barang-barang adalah anugrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Penelaahan terhadap Qur’an memberikan kita kepada suatu konsep unik tentang berbagai produk dan komoditas. Qur’an senantiasa menyebut barang-barang yang dapat dikonsumsi dengan menggunakan istilah-istilah yang mengaitkan nilai-nilai moral dan ideologik terhadap keduanya. Dalam hal ini ada dua macam istilah yang digunakan dalam Qur’an, yaitu al-Thayyibat  dan al-Rizq.[1]
      Istilah al-Thayyibat diulang 18 kali dalam Qur’an, menurut Yusuf Ali, istilah  al-Thayyibat berarti  ’barang-barang yang baik’, ’barang-barang yang baik dan suci’, ’barang-barang yang bersih dann suci’, ’hal-hal yang baik dan indah’ dan ’makanan di antara yang baik.’ Dengan demikian barang-barang konsumsi terkait erat dengan nilai-nilai dalam Islam, yaitu nilai keindahan, kesucian dan kebaikan. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis) dan tidak bernilai tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi.
      Istilah al-rizq  diulang 120 kali dalam Qur’an, menurut Yusuf Ali, istilah  al-rizq  berarti  ’makanan dari tuhan’, ’pemberian tuhan’, ’bekal-bekal dari tuhan’, dan ’anugerah-anugerah dari langit’. Semua makna tersebut menunjukkan konotasi bahwa Allah adalah pemberi Rahmat yang sebenarnya dan pemasok semua kebutuhan manusia.
      Sebagai konsekuensinya dalam konsep Islam barang-barang konsumen adalah bahan-bahan konsumsi yang berguna dan baik yang manfaatnya menimbulkan menimbulkan perbaikan secara material, moral maupun spritual pada konsumennya. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab itu, barang-barang yang dilarang (untuk dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam Islam.

C.    PANDUAN ISLAM DALAM MENCARI HARTA

      Pada dasarnya Islam memberi kebebasan bagi manusia untuk mencari dan mengusahakan hartanya dalam rangka menjaga kelangsungan hidup di dunia. Kebebasan yang diberikan Islam tentu saja tidak bebas nilai. Seorang muslim dituntut harus mampu membingkai kebebasan yang ia miliki dalam pencarian harta dengan aturan Syariah. Misalnya, larangan mendapatkan harta dengan mencuri, menipu, menjual barang haram, memakan hasil riba dan lain sebagainya.
1.      Mencari Harta Dengan Usaha Yang Halal
      Allah SWT berfirman :
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”   { QS. Al-Baqarah : 168 }

      Muhammad Abdul Mannan menyatakan bahwa ayat di atas memiliki makna ganda.[2] Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 168 ini tidak hanya berbicara mengenai pedoman pembelanjaan harta melainkan juga mengenai mencari rezeki halal dan tidak melanggar hukum.
Mannan Said : this condition carries the double significance of earning lawfully and not having been prohibited by law

      Dalam Islam seluruh tindakan manusia merupakan sebuah satu kesatuan. Sebagai contoh, Ibadah sholat yang dilaksanakan oleh umat muslim harus didahului oleh syariat berwudlu. Wudhu merupakan media pembersih bagi muslim yang akan melaksanakan shalat. Kesempurnaan wudlu akan berimplikasi pada kesempurnaan shalat. Bilamana seorang muslim tidak bersih (tidak wudhu) pada pelaksanaan sholat maka shalatnya dapat dikatakan tidak sah.
      Demikian pula halnya dengan pemanfatan harta, bilamana seseorang melakukan konsumsi dengan menggunakan pendapatan haram, maka kegiatan konsumsinya pun juga ikut menjadi haram dan tidak berkah, walaupun ia mengkonsumsi kebutuhan yang halal dan thayyib. Begitu pula bila seseorang memiliki pendapatan yang halal, bilamana ia mengkonsumsi kebutuhan yang haram dan tidak thayyib maka tetap saja kegiatan konsumsinya menjadi haram dan tidak berkah.
      Islam mengajarkan agar manusia mencari rezeki/harta melalui suatu jalan yang halal, yaitu jalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukum.                        Misalnya, bekerja sebagai pengusaha, dokter, perawat, pedagang, petani, buruh, karyawan, kosultan, pengacara dan profesi halal lainnya. Sebaliknya, Islam sangat melarang manusia untuk mencari harta melalui jalan yang bathil/haram, seperti mencuri, merampok, melakukan penipuan dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”   { QS. Al-Baqarah : 188 }.

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” { QS. An-Nisa : 29 }

2.      Mencari Harta Dengan Usaha Sendiri (Tidak Berpangku Tangan)
      Selain prinsip halal dan haram, pencarian harta juga tidak boleh ditempuh melalui jalan meminta-minta dan atau berpangku tangan (menjadi pengemis). Mengemis dan berpangku tangan dalam pencarian harta merupakan usaha yang tidak baik (tidak thayyib).
” Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a ( berkata ) : Sesungguhnya nabi Muhammad SAW, pernah ditanyai, manakah usaha yang paling baik? Beliau menjawab: ialah amal usaha dari seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang diberkati ( bersih ). ”{ HR Bazzar, dan dinilai shahih oleh Hakim }

Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil usahanya sendiri.” { H.R. Bukhari}

Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” { HR. Bukhari}

      Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja dengan tangan sendiri merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri, sebab hal tersebut bertujuan untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.

3.      Larangan Mencari Harta Dengan Jalan Riba
     Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan oleh syariat (Imam Sarakhsi dalam kitab al-Mabsut). Riba bersifat individualistik, hanya berfikir untuk kepentingan pribadi pemilik modal tanpa memperdulikan orang lain dan lingkungan sekitar. Melalui riba, seorang pemilik modal dapat memperoleh keuntungan tanpa risiko kehilangan modal sedikit pun. Tidak peduli si peminjam/pengelola modal rugi maupun untung dalam usaha yang sedang dijalankannya, si pemilik modal sudah dapat memastikan jumlah pendapatan yang akan diterimanya dari modalnya tersebut. Sungguh suatu perbuatan yang tidak berkeadilan.
      Islam sangat melarang sesorang yang ingin mencari harta melalui pengambilan riba (memperoleh hasil tanpa harus bekerja) Allah SWT berfirman :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. { QS. Al-Baqarah : 275 }.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”  { QS. Al-Baqarah : 278 }.

  Dalam rangka memperoleh harta dengan tidak melalui jalan riba,maka Islam memberikan solusi agar manusia melakukan investasi ke arah usaha nyata yang produktif. Misalnya, melalui kerjasama mudharabah, musyarakah dan bentuk-bentuk kerjasama lain.

D.    PANDUAN ISLAM DALAM MEMPEROLEH KEUNTUNGAN (USAHA)

      Islam tidak melarang seorang muslim untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari aktivitas bisnis. Karena memang pada dasarnya semua aktivitas bisnis adalah termasuk dalam aspek muamalah yang memiliki dasar kaidah memperbolehkan segala sesuatu sepanjang diperoleh dan digunakan dengan cara-cara yang dibenarkan syariah.
      Point penting yang harus diingat, bahwa laba (keuntungan) dalam bisnis syariah tidak selalu identik dengan materil, pertumbuhan aset atau harta. Laba dalam Islam memiliki dua orientasi yaitu Materil dan Non-materil. Aspek Materil dari laba dimaknai dengan penambahan harta yang halal dan bersih dari seorang pebisnis muslim. Sedang aspek Non-Materil, laba sangat erat kaitannya dengan : ketakwaan, kesabaran, bersyukur, mengikuti perintah Rasullullah SAW serta dipelihara dari kekikiran. 
      Dampak dari implementasi konsep laba dalam Islam adalah semua pebisnis dalam menjalankan usaha akan selalu menjaga diri dari perbuatan tercela, tidak amanah, penipuan, peng-rusakan lingkungan, dan perbuatan tercela lainnya yang dilarang syariah. Keuntungan yang di dapat pun tidak akan  ter-akumulasi pada diri mereka sendiri melainkan terdistribusi secara proporsional juga kepada masyarakat kurang mampu. Dalam jangka panjang, penerapan konsep laba ini akan mengarah pada terciptanya suatu tatanan kehidupan ekonomi yang sejahtera dan berkeadilan, tatanan kehidupan sosial yang saling menghargai, menghormati dan tolong menolong di antara seluruh masyarakat.
      Berikut terdapat kalimat yang banyak mengandung hikmah terkait dengan konsep laba dalam bisnis syariah :
“Waspadalah terhadap bisnis yang tidak menjadi amal, yang tidak menjadi nama baik, yang tidak menjadi ilmu, yang memutuskan silaturami dan yang mengecewakan orang lain. Karena semua itu bukan keuntungan, tetapi bencana”


E.     PANDUAN ISLAM DALAM PEMANFAATAN HARTA    

      Pemanfaatan harta dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat atau yang biasa disebut dengan Falâh. Kebahagiaan di Dunia berarti terpenuhinya segala kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk ekonomi. Sedang kebahagiaan di akhirat kelak berarti keberhasilan manusia dalam memaksimalkan fungsi kemanusiaannya (ibadah) sebagai hamba Allah sehingga mendapatkan ganjaran dari Allah SWT yaitu kenikmatan ukhrawi (surga). Seseorang yang ingin mendapatkan kebahagian dunia akhirat dituntut harus mampu berjalan pada ‘jalan Ilahi’. Artinya, tunduk dan patuh pada peraturan dan ketentuan yang telah Allah SWT ciptakan bersamaan dengan pelaksanaan segala aktifitas ekonomi manusia, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemanfaatan harta yang dilakukan oleh umat muslim. Allah SWT berfirman :

”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”                           { QS. Al-Baqarah : 168 }

     Berikut dijelaskan beberapa padangan Islam tentang cara memanfaatkan harta :

1.      Menentukan Prioritas Pemanfaatan Harta
    Islam mengajarkan seorang muslim mengenai mekanisme menentukan pemanfaatan harta untuk mencapai tujuan falah tersebut. Falah akan tercapai dengan dengan terpeliharanya enam kemashlahatan meliputi (a) agama dien, (b) jiwa/hidup nafs, (c) keluarga/keturunan nasl, (d) harta/kekayaanmaal dan (e) intelektual/akal aql { termasuk (f) lingkungan / bii’ah }. Untuk memelihara ke-5 perkara ini, Al-Ghazali, Abu Ishaq Asy-Syatibi dan Mustafa Anas Zarqa memberikan 3 hierarki utilitas individu; yaitu (1) kebutuhan dharuriyyat, (2) kesenangan dan kenyamann hajiat, dan (3) kemewahan tahsiniyat.
      Kunci dari pemeliharaan lima perkara falah terletak pada utilitas pertama, yaitu dharuriyyat. Seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain. Menurut mereka, kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama bersifat dasar (basic needs) dan cenderung bersifat fleksibel mengikuti tempat, waktu dan dapat menyangkut kebutuhan sosiopsikologis (hiburan, ketenangan hati).
      Utilitas kedua hajiat, merupakan hal-hal yang tidak vital bagi kebutuhan bagi lima perkara falah, akan tetapi utilitas ini penting untuk menghilangkan kesukaran dan rintangan dalam hidup. Misalnya, piring untuk makan, gelas untuk minum, pulpen dan untuk belajar dan lain sebagainya.
      Sedangkan pada utilitas ketiga tahsiniat, merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kenyamanan saja. Meliputi hal-hal yang melengkapi dan menghiasi hidup. Misalnya, gelas kristal untuk minum dan Pulpen emas untuk belajar.
     Ketika seorang muslim hendak memanfaatkan hartanya, maka ia harus tindakan tersebut benar-benar kebutuhan dharuriyyat dan hajiat bagi dirinya atau hanya sebatas ‘pemanis’ saja tahsiniat. Seorang muslim yang bijak akan mendahulukan kebutuhan dharuriiyat-nya dibandingkan tahsiniyat-nya.   
      Sebagai contoh, Ipul memiliki uang sebesar Rp 3.500.000. Ia dihadapkan pada dua pilihan, pertama, ia harus membayar deadline kursus bahasa Inggris-nya sebesar Rp 3.500.000 Kedua, membeli satu lagi Blackberry seharga Rp 3.500.000. Sebagai seorang muslim Ipul sudah seharusnya lebih mendahulukan kebutuhan pertama dibandingkan kedua. Sebab kebutuhan pertama masuk pada kategori utilitas dharuriyyat, yaitu kebutuhan pendidikan dan utilitas hajiat, yaitu kursus bahasa Inggris. Bilamana kebutuhan pendidikan tidak terpenuhi, maka salah satu dari lima perkara falah tidak dapat terpelihara, yaitu intelektual/akal aql. Sedangkan, kebutuhan Ipul untuk membeli Blackberry termasuk utilitas tahsiniat yang hanya dipenuhi semata-mata untuk kepuasan.

2.      Prinsip Halal & Thayyib Dalam Konsumsi
      M.A Mannan seorang pemikir Ekonomi Islam mencoba mendefenisiskan ‘konsumsi’ sebagai “permintaan, yaitu permintaan akan hasil produksi.” Artinya, konsumsi tidak hanya sebatas memanfaatkan barang secara fisik ( Tangible Goods ) melainkan juga berlaku pada barang yang tidak berwujud ( Intangible Goods ).
      Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang Halal dan Thayyib. Dalam Qur’an kata halal dan thayyib selalu disandingkan pada setiap penyebutan ayat, misalnya firman Allah SWT ;
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” {QS.  Al-Maidah : 88 }

      Islam mendorong penggunaan barang & jasa yang halal, baik dan bermanfaat kepada setiap muslim. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab itu, barang-barang yang dilarang (untuk dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam Islam.
Penggunaan prinsip halal & thayyib dimaksudkan untuk memberikan kebebasan bagi setiap muslim untuk menggunakan segala barang yang baik, bermanfaat bagi dirinya, menyenangkan, lezat dan lain sebagainya, selama dalam kerangka halal dan thayyib. Kebebasan yang diberikan Islam kepada setiap muslim dalam berkonsumsi tak terlepas dari pandangan Islam itu sendiri bahwa perbuatan memanfaatkan atau meng-konsumsi barang & jasa merupakan suatu kebaikan. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak.
      Dalam literatur lain, DR. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa seorang muslim harus senantiasa mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib (bermanfaat) baginya seperti ikan, daging, dan lain sebagainya. Seorang muslim yang baik tidak akan pernah mengkonsumsi khamar, daging babi serta akan senantiasa menjauhi perjudian dan spekulasi (Intangible goods) dalam penggunaan hartanya. 
      Allah SWT berfirman :

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”   { QS. Al-Baqarah : 168 }


“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan…”  {QS. Al-Maidah : 3}
 

    
  Pada dasarnya kewajiban mengkonsumsi barang & jasa yang halal dan thayyib muncul untuk menyelamatkan seorang muslim dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang ditimbulkan barang haram. Misalnya, pada daging babi yang dikabarkan mengandung cacing pita ( Tainia ) jenis Solium bertaring yang dapat merusak dinding usus pada manusia dan juga bakteri yang tidak akan mati walaupun telah dipanaskan 100 0C.
      Dalam analisis berbeda, Sayyid Sabiq, dalam Fiqh Sunnah, menyatakan bahwa keharaman sebuah benda tidak akan dapat dihilangkan walaupun sifat-sifat negatif dari benda tersebut telah dihilangkan. Misalnya, binatang Babi, ia merupakan binatang yang telah diharamkan dagingnya oleh Alllah SWT untuk dikonsumsi. Walaupun cacing pita dan bakteri pada daging babi telah dihilangkan, tetap saja daging babi tersebut haram dagingnya untuk dikonsumsi. Menurutnya, terdapat sebuah sebab pengharaman yang tidak dapat diketahui oleh manusia, hal itu hanya dapat diketahui oleh Allah SWT.
      Menurut Penulis, keberadaan beberapa larangan konsumsi barang & jasa dalam Islam tidak dapat diartikan bahwa islam adalah agama yang banyak larangan. Bukti kasih sayang Allah pada umat muslim adalah adanya rukhshah (dispensasi/kebolehan) mengkonsumsi barang haram dalam keadaan mendesak. Allah SWT berfirman : 
 “ Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  { QS. Al-Baqarah : 173 }

Muhammad Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Vol 1) menyatakan bahwa makna terpaksa  dalam ayat 173 surat al-Baqarah ini berarti keadaan yang diduga dapat mengakibatkan kematian; sedang frase tidak menginginkan adalah tidak memakannya (makanan haram) padahal ada makanan halal yang dapat dimakan, tidak pula memakannya memenuhi keinginan seleranya. Sedangkan frase tidak melampaui batas adalah tidak memakannya (makanan haram) dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutupi rasa lapar dan memelihara jiwa manusia tersebut.[3]

3.      Menghindari Tabdzir dan Israf
      Ajaran Islam membolehkan umatnya menikmati kebaikan duniawi selama tidak melewati batas-batas kewajaran. Seperti tidak melakukan perbuatan Tabzir dan Israf.     
      Tabzir bermakna menghambur-hamburkan harta tanpa ada kemaslahatan atas tindakan tersebut. Ketika seseorang membeli sesuatu melebihi dari kebutuhan-nya maka pada saat itu ia dapat dikategorikan sedang melakukan tabdzir.
      Islam melarang seorang muslim membelanjakan hartanya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara boros. Larangan ini cukup beralasan. Tabdzir dapat menyebabkan cash menyusut secara cepat. Ketiadaan cash akan berdampak pada rendahnya daya beli low purchasing power seseorang terhadap barang dan jasa. Hasilnya, berbagai macam kebutuhan manusia tidak akan terpenuhi secara maksimal dengan ketiadaan cash. Selain itu, prilaku tabdzir juga akan menghalangi seorang muslim untuk dapat berinfaq (harta), sehingga tabdzir bisa menjadi penyebab seorang muslim mendapat predikat kikir dan pelit.
     Allah SWT meng-ibaratkan orang-orang yang melakukan tabdzir dengan saudara setan, sebagaimana terdapat pada ayat Qur’an mengenai larangan untuk bersikap boros :
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan  dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya.”   { QS. Al-Israa’ : 26-27}

Pada hakikatnya konsumsi dalam Islam adalah suatu pengertian yang positif. Dengan mengurangi pemborosan yang tidak perlu, Islam menekankan perilaku mengutamakan kepentingan orang lain.
      Israf bermakna melakukan konsumsi terhadap sesuatu secara berlebihan. Misalnya, dalam hal makan, pada saat berbuka puasa Ipul memakan seluruh hidangan berbuka sehingga perutnya sakit karena terlalu banyak makanan yang masuk dalam perutnya. Prilaku Ipul ini dapat dikategorikan sebagai Israf.
      Islam melarang seorang muslim mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan sehingga menimbulkan mafsadat/mudarat. Larangan ini cukup beralasan. Israf dapat mempengaruhi kesehatan dan mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan. Sebagai contoh, pada saat Ipul berbuka ia terlalu banyak makan sehingga ia sakit perut. Sakit yang diderita Ipul ini menyebabkan ia tidak bisa menjalankan ibadah tarawih. Dari contoh ini dapat diambil kesimpulan bahwa israf dapat menyebabkan kemampuan seseorang untuk dapat beribadah kepada Allah menjadi berkurang/lemah. Allah SWT melarang seorang muslim berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan jasa, sebagaimana terdapat pada Qur’an ;

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid Makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” { QS. Al-A’raf : 31}


Dalam hal etika makan, Nabi SAW pernah memberikan tips kepada para sahabat agar dapat menjaga kesehatan dengan cara makan ketika mengalami ‘lapar’ dan berhenti makan sebelum ‘kenyang/kekenyangan’. Artinya, untuk menjaga kesehatan kita dianjurkan makan secukupnya.

4.      Kesederhaan (Moderat)
      Kesederhanaan bukan berarti menggambarkan kehidupan dalam level terendah. Dalam sub-bahasan ini, kesederhanaan diartikan konsumsi moderat yaitu dengan menjauhi pola konsumsi berlebihan conspicuous consumption atau menjauhi prilaku bermewah-mewahan.[4] Kesederhanaan adalah jalan tengah dari dua cara konsumsi yang ekstrim yaitu boros (tabzîr) dan kikir (bakhil).
”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” { QS. al-Furqân/ 25 : 67 }

      Islam melarang setiap pemeluknya bermegah-megahan. Kemegahan dalam Islam adalah faktor utama kerusakan dan kehancuran individu dan masyarakat. Kemegahan dapat saja menjadikan ‘gapt’ antara miskin dan kaya semakin lebar. Bagi kaum minoritas (harta) kemegahan yang dipertunjukkan kepada mereka menumbuhkan kecemburuan/iri pada kaum mayoritas yang akan berpeluang kepada konflik. Imam Ar-Razi ( DR. Yusuf Qardhawi; Norma dan Etika…) mendefenisikan kemegahan/kemewahan sebagai kesombongan terhadap kenikmatan dan kemudahan hidup. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa orang yang bermegahan dalam perutnya terkocok dengan api neraka;
“Yang memakan dan minum dengan cawan emas dan perak sesungguhnya perutnya terkocok dengan api neraka” { HR. Muttafaqun ‘alahi }

Dalam analisis berbeda, Muhammad Abdul Mannan menyatakan Mannan berpendapat “sikap tidak berlebihan” (kesederhanaan/ moderation) dalam konsumsi dituntun oleh perilaku para konsumen muslim yang mengutamakan kepentingan orang lain.[5] 
      Standar kemewahan setiap orang berbeda sesuai dengan pendapatan mereka. Dengan adanya pelarangan terhadap kemewahan dalam Islam, bukan berarti orang mampu yang membeli Loptop seharga Rp 100 juta karena kebutuhan dilarang dalam Islam. Bukan berarti orang yang mampu membeli helikopter untuk keperluan usaha dilarang juga dalam Islam. Sekali lagi ditegaskan, bahwa selama kemegahan/kemewahan seseorang berada dalam batasan wajar dan tidak berlebihan maka hal tersebut tidak dilarang dalam Islam

5.      Kosumsi Sosial
      Dalam Islam, harta merupakan milik dan anugrah Allah  SWT yang diberikan kepada manusia. Allah memberikan manusia amanat untuk mengelola harta. Manusia berfungsi sebagai khalifah atas harta milik Allah SWT. Atas dasar ini, pada hakikatnya terdapat hak orang lain pada harta sehingga manusia yang telah diberi amanat ‘harta’ tidak boleh menggunakan harta semau mereka. Islam melarang seorang muslim untuk berprilaku kikir dalam mempergunakan harta (konsumsi).  Kikir berarti tidak mau memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain. Allah SWT melaknat orang-orang kaya yang berbuat kikir.
“Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.”  {QS. Yasiin: 47 }
     
      Berangkat dari hal tersebut di atas, selain alokasi untuk konsumsi pribadi, seorang muslim harus pula mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi sosial.
      Konsumsi sosial merupakan alokasi pendapatan yang bertujuan untuk kegiatan membantu kehidupan orang lain yang diimplementasikan dalam bentuk Zakat dan Sadaqah. Dalam Ilmu Ekonomi Islam, fungsi pendapatan  ( P ) dalam ekonomi Islam diperluas spektrumnya dari { P =  C } menjadi { P = C + ZIS + Saving}. Artinya, pendapatan terkait dengan konsumsi, ZIS dan Saving. Inilah keunggulan dalam etika pemanfaatan harta Islami, dimana variabel sodaqoh masuk dalam kategori konsumsi. Dengan kalimat lain, bahwa sodaqoh dalam Islam bukan semata-mata dikeluarkan dari harta lebih melainkan juga turut menjadi salah satu prioritas alokasi konsumsi.
      Monzer kahf menyatakan, dalam hal pembelanjaan sedekah, untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, konsep berlebih lebihan tersebut tidak berlaku. Tidak ada pembatasan jumlah dalam belanja jenis ini (sedekah) dan setiap pembelanjaan untuk keperluan tersebut akan mendapatkan imbalan (pahala/kebaikan) dari Allah.[6]
     
6.      Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan
      Dalam Islam terdapat anjuran untuk memperhatikan kepentingan hari esok atau masa datang, Allah SWT berfirman :
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”   { QS. al-Hasyr : 18 }

Ayat tersebut merupakan landasan dari pemanfaatn harta untuk tujuan masa datang. Bertolak dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam terdapat tiga pilihan dari aktifitas pemanfaatan harta.
Pilihan pertama adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta untuk kepentingan duniawi dan ukhrawi. Keberadaan pilihan pertama merupakan esensi dari kepercayaan kepada Allah SWT yang ter-implementasi dalam setiap aktifitas pemanfaatan harta (konsumsi) yang dilakukan seorang Muslim. Artinya, dalam setiap aktifitas pemanfaatn harta yang dilakukan oleh manusia akan menimbulkan dua efek terhadap kehidupannya. Efek pertama adalah duniawi yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup mereka yang ter-implementasi melalui pemenuhan enam kebutuhan dasar manusia; keimanan (dîn), kehidupan (nafs), keluarga/keturunan (nasl), pendidikan (aql) ,kekayaan (mâl) dan lingkungan (bii’ah). Sedang efek kedua adalah ukhrawi yaitu beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam hal konteks ini, pilihan terhadap zakat, sedekah, wakaf termasuk ke dalam bagian pemanfaatan harta untuk kepentingan ukhrowi ukhrawi.
Pilihan kedua adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta saat ini dan masa datang. Saat ini berarti segala pilihan pemanfaatan harta ditujukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini (sekarang). Sedangkan, masa datang berarti ditujukan untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang yang telah diprediksi pada saat pemenuhan kebutuhan saat ini. Pilihan masa datang, dapat direalisasikan dalam berbagai cara, misalnya :
o  Pertama, melalui tabungan sebagai langkah penghematan dari kegiatan pemanfaatan harta saat ini yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain di masa datang.
o    Kedua, melalui investasi. Investasi  merupakan sarana untuk memproduktifkan kekayaan seseorang. Dengan investasi, seseorang dimungkinkan untuk memiliki pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat ini atau mendatang.

Sedangkan, pilihan ketiga adalah pilihan terhadap tingkat kebutuhan hidup manusia yang meliputi Darûriyyât, Hajjiât dan Tahsiniyât. Pilihan ketiga didasari dari penetuan terhadap urutan prioritas yang harus dipenuhi oleh setiap manusia sebagai konsumen.

F.     IKHTISAR

      Harta didefenisikan sebagai Segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan, rumah, uang, hewan dan lain sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh manusia. Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Allah SWT. Sedangkan, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya
      Pada dasarnya Islam memberi kebebasan bagi manusia untuk mencari dan mengusahakan hartanya dalam rangka menjaga kelangsungan hidup di dunia. Kebebasan yang diberikan Islam tentu saja tidak bebas nilai. Seorang muslim dituntut harus mampu membingkai kebebasan yang ia miliki dalam pencarian harta dengan aturan Syariah. Islam mengajarkan agar manusia mencari rezeki/harta melalui suatu jalan yang halal, yaitu jalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukum.
      Dalam konteks pembelanjaan harta, Islam mendorong penggunaan barang & jasa yang halal, baik dan bermanfaat kepada setiap muslim. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab itu, barang-barang yang dilarang (untuk dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam Islam.
      Islam juga melarang seorang muslim membelanjakan hartanya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara boros dan berlebih-lebihan, namun dalam hal (pembelanjaan) sedekah untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, konsep berlebih lebihan tersebut tidak berlaku. Tidak ada pembatasan jumlah dalam belanja jenis ini (sedekah) dan setiap pembelanjaan untuk keperluan tersebut akan mendapatkan imbalan (pahala/kebaikan) dari Allah.

F.  DAFTAR PUSTAKA
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/pandangan-islam-terhadap-harta-dan-ekonomi
http://aoshywii.blogspot.com/2008/11/konsep-harta-al-mal-dalam-perspektif.html
http://akhirulsholeh.wordpress.com/2008/06/19/konsep-harta-aspek-islam/
http://opzaney.wordpress.com/2007/06/26/pengurusan-harta-dalam-islam/
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi dan Sistem Ekonomi Islam. Terj. Machnul Husein (Yogyakarta : Pustaka Pelajar). 1995.
Khan, Muhammad Akram. An Introduction to Islamic Economics (Pakistan : International Institute of Islamic Thought). 1994
Mannan, Muhammad Abdul. Islamic Economics; Theory and Practice  (Foundation of Islamic Economics). (England: Holder and Stoughton Ltd.) 1986.
_______________________. The Making of Islamic Economic Society; Islamic Dimensions in Economic Analysis. Kairo : International Association of Islamic Banks. 1984.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Terj. Zainul Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta : Gema Insani Press. 1997.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Vol. 1 ( Jakarta : Lentera Hati). 2002



[1] Monzer Kahf. Ekonomi Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi dan Sistem Ekonomi Islam.                   Terj. Machnul Husein. 1995. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. h. 25
[2] Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice  (Foundation of Islamic Economics). 1986. England: Holder and Stoughton Ltd h. 45
[3] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.  Vol. 1 ( Jakarta : Lentera Hati). 2002. h. 384-386

[4]  Muhammad Akram Khan, An Introduction to Islamic Economics ( Pakistan : International Institute of Islamic Thought). 1994, h. 15. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ‘mewah’ berarti hidup dengan makanan pakaian dan barang serba banyak, mahal dan indah.

[5] Muhammad Abdul Mannan. The Making of Islamic Economic Society; Islamic Dimensions in Economic Analysis. (Kairo : International Association of Islamic Banks). 1984. h. 300-301

[6] Kahf, Ekonomi Islam…, h. 24

Wallahu a'lam

Comments

  1. salam,,izin share dan copas ya pak,, untuk kepentingan dakwah di akar rumput..makasi pak...

    ReplyDelete
  2. ”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” { QS. Al-Baqarah : 168 }

    sepertinya ayatnya adalah 195 bukan 168

    ReplyDelete
  3. Ayat Qur'an nya memang nomor 168 dalam Surat Al-Baqarah. MA Mannan menggali makna ayat tersebut tidak hanya berhubungan dengan pengeluaran harta (konsumsi) namun juga penghimpunan harta.

    ReplyDelete

Post a Comment