Hijrah Itu Koma Bukan Titik

 

Hijrah Itu Koma Bukan Titik. Jangan Mengubah Berkah Menjadi Musibah

Hijrah menjadi fenomena keagamaan di Indonesia yang populer setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Tren ber-Hijrah yang populer di kalangan kelas menengah perkotaan ditandai dengan bermunculannya figur-figur publik yang berhijrah, termasuk penyelenggaraan acara-acara berbasis komunitas yang bertajuk Hijrah, sebut saja misalnya HijrahFest.

Dalam riset tentang Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syahid Jakarta (PPIM UIN) di tahun 2021 menemukan fakta empiris bahwa perkembangan hijrah kontemporer beriringan dengan peningkatan konservatisme Islam di Indonesia. Konservatisme Islam dalam riset dimaksud mengarah kepada Salafi dan non-Salafi. Salafi atau salafisme itu sendiri adalah paham keagamaan yang menekankan pada penggunaan al-Qur’an dan Hadits secara tekstualis, ingin berkehidupan seperti di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendasarkan pemahaman keagamaan seperti di masa Salafusshalih yaitu tiga generasi awal Islam atau kurun zaman kerasulan Nabi hingga tahun 300 Hijrah. Tidak sedikit yang menyatakan bahwa Salafi ini merupakan pemahaman keagamaan yang identik dengan paham Wahabi. Namun, sebagian lain yang menyatakan bahwa salafi lebih kepada upaya pemurnian Islam.

Diskursus tentang Salafi dan non-Salafi masih terus terjadi di Indonesia. Sampai ada kelompok Masyarakat yang membuat istilah seperti Ustadz Salaf, Kajian Salaf, Masjid Salaf dan hal lain yang disematkan kata Salaf setelahnya. Sebagai bagian dari Umat Islam di Indonesia yang mengaku sebagai kelompok Ahlussunnah wal Jamaah, tentu harus “pandai-pandai” dalam menyikapi dinamika Salafi dan Non-Salafi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Objek perenungan pada tulisan ini bukan pada persoalan Hijrah yang mengarah pada Salafi dan Non-Salafi, melainkan persoalan Hijrah dengan 3 pertanyaan : i) Apa itu Hijrah ?, ii) Bagaimana kualitas Hijrah ? dan iii) Apa yang harus dilakukan, agar tidak lalai atau bahkan tertipu dengan Hijrah kita ?

Apa itu Hijrah ?

Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Fayumi dalam al-Mishbah al-Munir fi Ghorib asy-Syarh al-Kabir menulis bahwa hijrah adalah meninggalkan suatu negri menuju negri yang lain. Di mana jika hal itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka hijrah ini disebut dengan hijrah syar’iyyah. Para ulama selanjutnya mengklasifikasikan hijrah secara syar’I (hijrah syar’iyyah) menjadi dua jenis. Yaitu, hijrah secara fisik dan hijrah secara non fisik. Ulama kemudian mengklasifikasikan kembali bahwa Hijrah Syar’iyyah yang bersifat fisik meliputi Hijrah Islam, Hijrah dari Wilayah Kafir dan Hijrah dari Wilayah Maksiat.

Maksud Hijrah Islam (Hijrah Fisik Jenis ke-1) adalah perintah untuk berpindah meninggalkan kota Mekkah menuju wilayah yang ditunjuk oleh Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - untuk dijadikan sebagai tempat berhijrah. Hijrah jenis ini, tidak lagi berlaku setelah dibebaskannya kota Mekkah (Fathu Makkah).

Maksud Hijrah dari Wilayah Kafir (Hijrah Fisik Jenis ke-2) adalah berpindah dari negeri-negeri yang tidak bisa dijalankan ajaran Islam secara bebas merdeka atau berpindah dari negeri yang menampakkan permusuhannya (dar al-harb) terhadap umat Islam hingga berpotensi untuk terjadinya pertikaian atau bahkan peperangan dengan umat Islam menuju negeri Islam. Perlu hati-hati dalam menyikapi makna hijrah fisik jenis ke-2 ini. Sebab, Kelompok Islam garis keras seperti ISIS (Islamic State of Iraq & Syria), menggunakan istilah hijrah dalam propaganda untuk menarik minat pengikut dari berbagai negara dan menjadikan mereka sebagai pasukan perang di wilayah kekuasaan ISIS.

Maksud Hijrah dari wilayah Maksiat (Hijrah Fisik Jenis ke-3) adalah berpindahnya seorang muslim yang bertaubat dari dosa-dosanya dari wilayah yang berpotensi akan mengganggu perjalanan taubatnya menuju wilayah yang mendukung upaya taubatnya. Hijrah fisik jenis ini dan jenis ke-2, tetap berlaku hingga tertutupnya pintu taubat saat matahari terbit dari arah barat sebagai salah satu tanda di antara tanda-tanda hari kiamat.

Yang Terakhir adalah Hijrah Non Fisik yaitu hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS Annisa ayat 100, “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Fenomena Hijrah yang terjadi di Indonesia dan mengarah kepada Konservatisme Islam (Salafi dan Non Salafi) sebagaimana paragraf awal tulisan ini adalah Hijrah kategori Non Fisik.

4 Elemen Hijrah

Dalam khazanah Islam, hijrah merupakan doktrin yang sangat penting dengan makna yang luas serta lagi mendalam yang mencakup seluruh aspek kehidupan seorang muslim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS. Ath-Thalaq ayat 11, “(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya…”

Poin penting dari peristiwa hijrah non fisik adalah "bergerak/berpindah" dari kegelapan menuju cahaya terang. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa umat manusia dari zhulumat (kegelapan, kemerosotan akhlaq) menuju nur (Cahaya, keber-akhlaqan) dalam segala aspek kehidupan manusia. Hijrah sejatinya tidak hanya meliputi aspek fiqih (hukum) saja, tapi berbagai aspek ke-Islaman lainnya, seperti sosial kemasyarakatan, budaya, seni, politik, sains, teknologi dan aspek kehidupan manusia lainnya.

Terdapat 4 elemen yang perlu menjadi perenungan agar upaya ber-hijrah tidak terjebak dalam perdebatan Salafi dan Non Salafi, yaitu Spiritual, Kultural, Filosofis dan Sosial.

Poin hijrah pada elemen Spiritual adalah pergerakan sebagai hamba menuju Allah subhanahu wa ta’ala dengan caranya dengan membersihkan hati dari sifat - sifat tercela dan menghiasi hati dengan sifat-sifat terpuji. Idealnya hijrah dimulai dari spiritualitas yang bertumpu pada keberadaan hati (Kalbu) bukan semata-mata keberadaan fisik (tubuh). Tubuh harus mengikuti hati, bukan sebaliknya. Jangan sampai seorang yang sudah berhijrah yang secara amaliyah sesuai tuntunan Islam, namun di sisi lain tidak mampu menahan lisan-nya karena hati yang tidak bersih sehingga mudah menyalahkan atau mencaci amaliyah kelompok lain yang tidak sepemahaman dengannya. Ia tidak mampu menahan jari jemarinya tatkala berinteraksi di media sosial. Sekali pencet di layar smartphone, sejumlah ajaran akhlak yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilanggar seketika : harus tabayyun, jangan ghibah, jangan mencari-cari kesalahan saudaramu, jangan memberi label atau panggilan yang buruk, jangan mudah mengkafirkan orang lain, jangan menuduh saudaramu, jangan merusak kehormatannya dengan mempermalukannya di depan umum, jangan debat kusir, jangan bersikap kasar, jangan bersikap sombong, jangan menganggap dirimu suci, dan seterusnya.

Poin hijrah pada elemen Kultural berarti mampu mengakulturasi Islam yang datang dari negeri Arab dengan budaya setempat, selama budaya dimaksud tak bertentangan dengan aspek substansi (qathi) ajaran Islam. Akulturasi Islam dengan budaya setempat, sebetulnya sudah dicontohkan oleh para Wali Allah ketika mendakwahkan Islam ke Nusantara. Para Wali Allah mampu mengakulturasi nilai – nilai inti ajaran Islam dengan budaya yang ada di bumi Nusantara dalam mendakwahkan Islam hingga masyarakat bisa lebih mudah dengan hati dan tangan terbuka untuk masuk Islam.

Akulturasi Islam dengan budaya setempat menjadi topik yang cukup sensitif bagi sebagian umat Islam di Indonesia. Topik Akulturasi Islam dengan budaya setempat, seakan-akan diterjemahkan dengan keharusan mengganti kalimat “Assalaamu’alaikum” dengan "Selamat Pagi atau Selamat Siang". Padahal tidak demikian. Sebagai contoh, budaya Halal Bi Halal khas Umat Islam di Indonesia yang dilakukan pada bulan Syawal. Budaya Halal bi Halal adalah acara acara saling bermaaf-maafan yang sebelumnya bisa dimulai dengan tausiyah agama atau tanpa tausiyah agama.

Masih saja ada kelompok umat Islam di Indonesia yang mengganggap budaya ini sebagai Bid’ah (dalam makna celaan) karena dinilai menambah syariat baru dalam Islam. Sebab, mengkhususkan bermaaf-maafan pada Idul Fitri atau syawal yang tidak ada dalil landasannya dalam Qur’an dan Hadits. Mereka yang membid’ahkan ber-argumen “bukankah bermaaf-maafan itu bisa dilakukan kapan saja? Tidak mesti khusus di Idul Fitri (syawal) atau tidak mesti diakhirkan pada momen Idul Fitri (syawal) ? dan argumentasi lainnya yang dipilih untuk menjustifikasi kebid’ahan budaya halal bi halal menurut perspektif dan pemahaman tekstualis mereka terhadap Nash.

Bermaaf-maafan bisa dilakukan kapan saja, termasuk saat Idul Fitri atau syawal. Hari Idul fitri atau syawal mampu mengkondisikan umat Islam pada momen kebahagiaan dan kebersamaan. Bagi mereka yang pernah berselisih dan masih belum bisa memaafkan satu dengan yang lain, akan terkondisikan pada momen itu sedemikian rupa sehingga bisa lapang dada dengan tangan terbuka mampu saling bermaaf-maafan pada acara halal bi halal.

Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir r.a., ia berkata, "Saya berjumpa Rasulullah saw., saya bergegas mendekatinya, lalu saya genggam tangannya, beliau pun bergegas mendekati saya dan beliau mengambil tangan saya." Kemudian beliau bersabda, "Wahai 'Uqbah! Tidakkah engkau ingin aku beritahukan tentang seutama-utama akhlak penduduk dunia dan akhirat ? sambunglah tali persaudaraan dengan orang yang telah memutuskannya darimu, berikan sesuatu kepada orang yang tidak memberikan apa-apa kepadamu, maafkan orang yang telah berbuat zalim kepadamu. Ingatlah! Siapa saja yang ingin dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rizkinya, hendaklah ia menyambungkan tali kasih sayangnya itu!"

Poin hijrah pada elemen Filosofis dimaknai dengan perubahan Umat dari keterbelakangan menuju kemajuan, khususnya pada bidang Sains dan Teknologi. Pada abad ke-8 hingga abad 12 masehi, Sains dan peradaban Islam berkembang pesat mencapai puncaknya. Umat Islam menjadi pemimpin dunia karena perhatiannya yang sangat besar tidak hanya dari sisi ilmu agama, tetapi juga ilmu umum, dan ilmu murni (natural sciences). Pada masa itu bermunculan tokoh-tokoh dan ilmuwan yang sangat cerdas, aktif dan handal, seperti : Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Biruni dan masih banyak sederetan ilmuwan yang ide pikirannya mewarnai peradaban dunia. Mereka adalah figur-figur universal ilmu pengetahuan Islam.

Entah apa yang salah dengan Umat Islam saat ini. Orang barat sudah mengkaji kemungkinan untuk pindah ke planet Mars, sementara orang Islam masih berkutat pindah dari tak berjenggot ke berjenggot, pindah dari bermusik ke tak bermusik.

Poin hijrah pada elemen Sosial berarti seorang yang ber-hijrah harus mampu menjadi pribadi yang sholeh secara sosial tidak hanya sholeh secara individual. Jangan sampai seorang yang ber-hijrah, ibadah-nya dapat lebih semangat, namun di sisi lain tidak mampu murah senyum kepada orang lain. Padahal senyum itu jadi ibadah dalam Islam. Jangan sampai semakin baik ibadah-nya, tapi semakin tak mampu bersosialisasi. Apalagi hanya karena teman-nya punya pilihan berbeda, pemahaman agama yang berbeda atau bahkan belum berhijrah.

Beberapa Ulama Kontemporer menyebut bahwa amalan yang paling utama adalah amalan yang mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala  dalam setiap aktivitas dengan mempertimbangkan kebermanfaatannya. Jadi standar amalan yang utama bukan pada amalan yang paling melelahkan, bukan pula pada amalan yang paling zuhud, melainkan standarnya adalah ibadah yang paling diridhai dan yang mengandung kebermanfaatan. Adapun pilihan aktivitas ini di antaranya memberikan manfaat untuk makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Semua makhluk Allah adalah keluarga Allah. Orang yang paling dicintai-Nya adalah orang yang paling bermanfaat bagi keluarganya ” (HR. Abu Ya’la dan ath-Thabrani).

Pada Nabi diutus untuk berbuat baik kepada umat. Mereka tidak diutus untuk hidup menyendiri atau terpisah dari komunitas mereka. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengingkari orang-orang yang hanya fokus beribadah tanpa mempunyai simpati (kepedulian) terhadap sesama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penduduk langit, penduduk bumi, semut di lubang-lubangnya dan ikan-ikan bersholawat (mendoakan) orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. at-Tirmidzi). Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya seorang ‘alim akan dimintai ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ular yang ada di lautan serta semut yang ada di lubang-lubang.” (HR. Abu ad-Darda).

Hijrah Bekualitas Menjadi Berkah Bukan Musibah

Hijrah merupakan proses yang menjadikan seorang muslim lebih baik dalam hal keberagamaannya. Hijrah harus dimaknai sebagai proses berkelanjutan untuk meningkatkan tidak hanya kuantitas dan kualitas hubungan vertical kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tapi juga meningkatkan kuantitas dan kualitas hubungan horizontal terhadap sesama manusia, baik terhadap yang sepemahaman, terhadap yang berbeda pemahaman, terhadap berbeda keyakinan agama atau terhadap makhluk hidup lainnya.

Hijrah itu sejatinya menjadi pintu pembuka menuju perjalanan ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hijrah itu Koma bukan Titik. Hijrah itu masih Koma untuk terus berlanjut. Hijrah itu bukan Titik untuk berhenti dan merasa cukup.

Bagi yang sudah berhijrah, kerendahan hati harus tetap terpelihara. Jangan pernah merasa paling suci, karena begitu seorang merasa paling suci, pada saat itulah Ia sejatinya sedang bernoda (dosa). Jangan juga pernah merasa lebih baik, karena begitu seorang merasa lebih baik, pada saat itulah Ia sejatinya sedang berpindah menjauh dari Allah subhanahu wa ta'ala dan mendekat kepada Iblis laknatullah yang tidak mau mengikuti perintah untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam dengan berkata “Ana Khairun Minhu/Aku Lebih Baik Darinya”. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui terhadap segala amal perbuatan, baik yang terlihat maupun tak terlihat, termasuk kadar dari segala amal apakah baik atau buruk, apakah berkualitas atau pun tidak, apakah diterima atau pun tidak.

Bagi yang sudah berhijrah, Jangan pernah merasa pintar, hingga menutup diri untuk terus belajar. Cari dan gali terus ilmu Keislaman dari berbagai guru yang kredible. Baik guru kredible yang sekelompok atau pun guru kredible di luar kelompok yang sedang diikuti. Jika seorang sudah merasa pintar, maka Ia akan berhenti belajar dan pada saat itulah Ia sejatinya sedang memulai proses pembodohan diri-nya.

Semoga kita diberikan pertolongan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mampu melakukan hijrah karena Allah ta’ala serta dapat istiqamah memperbaiki diri dan memberikan manfaat untuk orang banyak dan lingkungan sekitra. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga kita agar tidak lalai atau bahkan tertipu dengan hijrah kita, yaitu hijrah yang hanya berpindah dari 1 titik ekstreem ke 1 titik ekstreem lainnya. Sebelum ber-Hijrah secara ekstreem kita mengaku sebagai orang yang penuh dosa. Celakanya setelah berhijrah kita justru secara ekstreem mudah menilai orang lain yang penuh dosa. Na’udzbillah tsumma Na’udzbillah.

Wallahu a’lam


Referensi :

  • Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer, PPIM UIN Syahid Jakarta
  • Hijrah Dalam Perspektif Fiqh Islam karya Isnan Ansory, Lc, M.Ag
  • Tak Di Ka’bah, Di Vatikan, atau Ditembok Ratapan, Tuhan Ada Di Hatimu karya Husein Ja’far Al-Hadar
  • Saring Sebelum Sharing karya Prof. Nadirsyah Hosen, Ph.D
  • Ini Dulu Baru Itu karya Dr. Oni Sahroni, M.A
  • Sains Dalam Sejarah Peradaban Islam karya Abdul Wahab Rosyidi


Comments