TUKAR TAMBAH PERHIASAN EMAS, RIBA FADHL?

Menjawab ilustrasi praktik "Tukar Tambah Emas" yang dipersoalkan oleh sebagian Masyarakat. 

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

JAWABAN PERTAMA : Jika Emas Tetap dinyatakan sebagai Tsaman (uang) sekali pun dalam bentuk Perhiasan

Tukar tambah emas secara teknisnya PASTI akan ditentukan dulu harga emas lama. Emas lama yang telah diuji keasliannya di atas etalase di hadapan Pelanggan, langsung diterima oleh Toko Emas yang kemudian menyebutkan harga penawaran. Jika harga disetujui maka sudah terjadi jual beli (Transaksi Ke-1).  

Sekarang bagaimana dengan uang pembayaran dari Toko Emas ? 

Salah satu Kelompok yang juga masuk dalam ekosistem Mantan Bankir, menafsirkan frasa “Yadan bin Yadin” hadits dari ‘Ubaidah bin Shamit dengan rumusan menyerahkan objek secepat mungkin “tdk boleh tertunda sama sekali bahkan sekedar tertunda masuk rumah lalu keluar lagi”. Penafsiran ini lemah sebab kecenderung tekstualnya mengabaikan fakta bahwa transaksi tukar menukar emas/uang tidaklah dilakukan secepat keluar masuk pintu rumah. Silahkan hitung sendiri berapa lama waktu transaksi tukar menukar emas atau uang di Money Changer. 

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ
هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587)

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587


Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/364-riba-dalam-emas-dll-riba-fadhl.html
Transaksi Ke-1 masih masuk kategori "Yadan bin Yadin" sebagaimana hadits ‘Ubaidah bin Shamit, sebab jual beli Transaksi Ke-1 telah disepakati kedua belah pihak sehingga tidak bisa berubah (tsaman maupun mutsman) serta Toko Mas dan Pelanggan   sama-sama belum meninggalkan majelis akad (tempat transaksi) untuk keperluan Transaksi Kedua.

Oleh sebab itu, tidak mengapa jika tidak mengeluarkan uang tunai sebagai bukti sah jual beli. Ini urusan teknis lebih agar memudahkan Toko Emas. Apalagi Toko Emas lagi ramai, ribet sekali jika harus bolak balik ke kasir minta uang tunai. Toko Emas tahu pelanggan juga akan langsung bertransaksi emas yang baru. Selanjutnya, Pelanggan tinggal memilih emas lain untuk disepakati kembali harganya. Jika harga jual emas baru ini disepakati maka sah jual belinya. (Transaksi Ke-2). 

Sekarang bagaimana dengan penyelesaian uang pembayaran dari Transaksi Ke-1 dan Transaksi Ke-2 ? 

Jika harga jual beli emas baru (transaksi ke-2) lebih besar dari harga emas lama (transaksi ke-1) maka Pelanggan memberikan uang tunai kepada Toko Emas sebesar selisih kurangnya. Jika harga jual beli emas baru (transaksi ke-2) lebih kecil dari harga emas lama (transaksi ke-1), maka Pelanggan menerima uang tunai dari Toko Emas sebesar selisih lebihnya.

Bagaimana jika transaksi ke-2 tidak/batal terjadi?

Toko Emas menyerahkan fisik uang/transfer kepada Pelanggan sebesar harga yang telah disepakati sebelumnya. Kemudian mereka berpisah. Simpelkan.

Dalil Pertama :
“Dikisahkan, beliau (Abdullah Bin Umar) bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku biasa berdagang onta di daerah baqi’. Aku menjual dengan harga dinar, akan tetapi ketika pembayaran aku menerima pembayaran dengan uang dirham. Dan kadang kala sebaliknya, aku menjual dengan harga dirham, akan tetapi aku menerima pembayaran dengan uang dinar. *Demikianlah, aku menjual dengan mata uang ini, akan tetapi ketika pembayaran aku menerimanya atau membayarnya dalam bentuk mata uang lainnya.” Menanggapi pertanyaan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak mengapa engkau melakukan hal itu dengan harga yang berlaku pada hari itu juga, asalkan ketika engkau berpisah (dari lawan transaksi) tidak tersisa sedikitpun pembayaran yang harus dibayarkan.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Menurut banyak ulama’ jalur sanad hadits ini sejatinya hanya berhenti pada sahabat Ibnu Umar)”

[Dikutip dari essai “Uang Kertas = Riba, Dinar dan Dirham = Bebas Riba?” Karya Dr. Muhammad Arifin Badri].

Komentar Penulis ; beliau termasuk yang tidak setuju jika mekanisme Tuker Tambah Emas dilakukan dengan tidak menyerahkan uang tunai terlebih dahulu kepada Konsumen pada Transaksi Ke-1. Kutipan hadits di atas menjelaskan kebijaksanaan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam di saat terjadi perbedaan cara pembayaran dari transaksi jual beli. Kemudian Rasul memberikan arahan “harus harga saat itu” dan “ketika berakhir/berpisah majelis tidak boleh ada sisa tagihan”.  

Dalil Kedua :
“Suatu kesulitan (dapat) mendatangkan kemudahan”

“Memperingan, mempermudah Bukan memperberat dan mempersulit” 

Dimana, 2 (kaidah) itu memiliki turunan meliputi, yaitu :
“Apabila sempit suatu urusan, maka (urusan itu) menjadi luas. Dan Apabila (sudah) luas (urusan itu), maka (urusan itu harus kembali) menjadi sempit

[Silahkan merujuk ; Kaidah Fiqh Ekonomi Islam Tentang Dharurat dalam Industri Finansial - Inti Sari dari Majallah al-Ahkâm al-‘Adliyyah Buku 1 karya Agustianto Mingka, MA hafizhahullâh ; Qawa’id Fiqhiyyah karya Dr. Ahmad Sudirman Abbas hafizhahullâh hal 104 -124 ; 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat – al-Qawâid al-Hâkimat li Fiqh al-Muâmalât karya Dr. Yusuf Qardhawi hafizhahullâh, hal 187 -189 & Fatwa DSN-MUI No. 108]

Dalil Ketiga :
“Taqabbud dalam akad sharf (jual beli mata uang), yaitu dengan serah terima secara tunai di tempat.”

[Dikutip dari Buku Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam Sintesis Fiqh dan Ekonomi karya Dr Oni Sahroni, MA dan Ir Adwarman A. Karim, SE, MBA, MAEP hal 173]

JAWABAN KEDUA : Jika Perhiasan Emas ditetapkan sebagai Sil’ah (barang) bukan Tsaman (uang)
Perhiasan emas adalah barang sebagaimana lazimnya benda yang diperjual belikan. Oleh sebab itu, penundaan penyerahan uang dari Toko Emas kepada Pelanggan pada Transaksi Ke-1 dibolehkan. Hal ini merujuk pada keumuman ayat jual beli (QS. Al-Baqarah 2 : 275). Baik secara tunai, cicil maupun tangguh.

Dalil Pertama :
Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah, ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).

[Silahkan analisis Pro Kontra Pendapat Ulama tentang jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 77 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai]

Dalil Kedua :
“Pemikiran Dzahiriyah bisa dikenali dari karakteristik dan sifat ijtihad dan produk ijtihadnya, yaitu sebagai berikut : 1) Memahami Nash secara tekstual (harfiyah), 2) Cenderung memilih pendapat yang berat dan 3) Mengabaikan etika berpendapat. “…Cara pandang memilih pendapat yang berat tidak sesuai dengan arahan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ; “Jika ada dua pilihan hukum, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memilih hukum yang memudahkan, selama pilihan tersebut bukan dosa” Hadits riwayat Imam Bukhari dan Aisyah radhiallâhu ‘anha bab Hudud No. 6786.”

[Dikutip dari Buku Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam Sintesis Fiqh dan Ekonomi karya Dr Oni Sahroni, MA dan Ir Adwarman A. Karim, SE, MBA, MAEP hal 26-30]


Comments

  1. Dalam agama perhiasann memang diatur. Yaitu jangan menggunakan perhiasan berlebihan dan menganggap perhiasan itu sebagai ajang pamer. Perhiasan Emas perlu dijaga dan digunakan sebagaimana mestinya.

    ReplyDelete
  2. wah sampai mengenai perhiasan aja hukumnya jelas ya.

    ReplyDelete

Post a Comment