Kholilurrohman Abu Fateh


1. https://www.youtube.com/watch?v=4xf-u9l6GMQ
2. https://www.youtube.com/watch?v=f89fAmjSiJw
3. https://www.youtube.com/watch?v=8W-NQSrVHIs
4. https://www.youtube.com/watch?v=Mmuo1jk7w04

5. Segera download buku *Memahami Bid'ah Secara komprehensif*, oleh Al Ustadz Dr. H. Kholilurrohman, MA, di link berikut https://play.google.com/store/books/details?id=JbRUDwAAQBAJ
*********************************

*Beberapa Masalah Terkait Kaedah Dalam _Istinbath_ Dan _Istidlal_ | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*

*Masalah Pertama:*
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, mereka tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

*Jawab:* Ketika Nabi tidak melakukan suatu perkara -dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-Tark- mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu perkara hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal…dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-Tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:

مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ

Maknanya: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:

كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ

Maknanya: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf".

Jadi perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah ushul fiqh:

تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ

Maknanya: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". 

At-Tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang  melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-Tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-Tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-Tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-Tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim atau dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-Tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:

وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا )سورة الحشر(

Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…"  (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ

Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah".

Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:

فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ

Maknanya: "Jadi at-Tark tidak memiliki

akibat hukum apapun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ". (فتح الباري 9/ 14)

Maknanya: “Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya - tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar  " وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-Tark saja (Mujarrad at-Tark) tidak menunjukkan pengharaman.

*Masalah Kedua:* “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: Ini tidak ada dalilnya! dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”.

*Jawab:*
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut  masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ   [سورة الحـجّ

Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:

        " العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ ".

"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)".
   Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum  dan itu artinya bahwa syari'at  ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada  penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at  merupakan kekufuran yang sangat nyata.

*Kaedah Ke tiga:*
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.

*Kaedah Ke empat:*
Dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi .
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.

*Kaedah Ke lima:*
Kaedah: ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam beristidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al Faqih Wal Mutafaqqih (h. 132):

"وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ" ا.هـ.

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya bisa tertolak karena beberapa hal", kemudian beliau mengatakan: "Kedua: hadits tersebut menyalahi nash al Qur'an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya".
Orang yang tidak mengetahui kaedah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash al Qur'an seperti firman Allah:

أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ  [سورة الزخرف

Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran".  (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:

"فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً"ا.هـ.

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" .

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi ?!!.

*Kedah Ke enam:*
Kaedah: Para ulama mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua ummat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaedah yang disepakati :

        "لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ".

“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.

Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.

 
=== Referensi====

[1]Lihat as-Suyuthi, al Hawi li al Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul.  
[2] Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22
[3] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al Fawa-id al Janiyyah, h. 579-584.https://play.google.com/store/books/details?id=JbRUDwAAQBAJ
*********************************

*Beberapa Masalah Terkait Kaedah Dalam _Istinbath_ Dan _Istidlal_ | Oleh Dr. H. Kholilurrohman, MA*

*Masalah Pertama:*
Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan: “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, mereka tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

*Jawab:* Ketika Nabi tidak melakukan suatu perkara -dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut at-Tark- mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu perkara hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau, atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.
Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal…dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-Tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaedah mengatakan:

مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ

Maknanya: "Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:

كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ

Maknanya: "Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf".

Jadi perlu diketahui bahwa ada sebuah kaedah ushul fiqh:

تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ

Maknanya: "Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". 

At-Tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang  melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-Tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-Tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-Tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-Tark saja.
Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada Nahy (larangan), atau lafazh tahrim atau dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-Tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:

وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا )سورة الحشر(

Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…"  (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ

Maknanya: "Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah".

Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:

فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ

Maknanya: "Jadi at-Tark tidak memiliki

akibat hukum apapun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ". (فتح الباري 9/ 14)

Maknanya: “Ibnu Baththal mengatakan: Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah lain –demikian pula tark-nya - tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman”.

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar  " وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-Tark saja (Mujarrad at-Tark) tidak menunjukkan pengharaman.

*Masalah Kedua:* “Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan: Ini tidak ada dalilnya! dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut”.

*Jawab:*
Dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut  masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ   [سورة الحـجّ

Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)
Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaedah mengatakan:

        " العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ ".

"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)".
   Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil, mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut. Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman al Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut. Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum  dan itu artinya bahwa syari'at  ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada  penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at  merupakan kekufuran yang sangat nyata.

*Kaedah Ke tiga:*
Dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja misalnya dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.

*Kaedah Ke empat:*
Dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah. Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, Hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi Shihhatihi .
Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.

*Kaedah Ke lima:*
Kaedah: ada sebuah kaedah yang sangat penting dalam beristidlal, orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaedah tersebut dalam kitab al Faqih Wal Mutafaqqih (h. 132):

"وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ" ا.هـ.

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya bisa tertolak karena beberapa hal", kemudian beliau mengatakan: "Kedua: hadits tersebut menyalahi nash al Qur'an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu ummat sepakat untuk menyalahinya".
Orang yang tidak mengetahui kaedah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash al Qur'an seperti firman Allah:

أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ  [سورة الزخرف

Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran".  (Q.S. az-Zukhruf: 18)
Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:

"فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً"ا.هـ.

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" .

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi ?!!.

*Kedah Ke enam:*
Kaedah: Para ulama mujtahid dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari mereka mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda. Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya. Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua ummat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaedah yang disepakati :

        "لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ".

“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi)”.

Maksud dari kaedah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda.

 
=== Referensi====

[1]Lihat as-Suyuthi, al Hawi li al Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul.  
[2] Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22
[3] Lihat as-Suyuthi, al Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al Fawa-id al Janiyyah, h. 579-584.

================

*Kisah Nyata Cerita Penting [Ahli Ma’rifat Adalah Ahli Tauhid] | Oleh : Dr. H. Kholilurrohman, MA* .
Cerita ini dikutip oleh para ulama kita, di antaranya oleh Syaikh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dalam ath-Thabaqat al-Kubra, Syaikh Yusuf Isma’il an-Nabhani dalam Jami’ Karamat al-Awliya’, Ibn al-Imad al-Hanbali dalam Syadzrat adz-Dzahab Fi Akhbari Man Dzahab, dan lainnya. Bahwa suatu ketika Wali Allah yang sangat saleh; Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani dalam khalwat-nya didatangi Iblis yang menyerupai sinar sangat indah, Iblis berkata:
.
_“Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Allah, seluruh kewajiban telah aku gugurkan darimu, dan segala yang haram telah aku halalkan bagimu. Maka berbuatlah sesukamu, karena seluruh dosa-dosamu telah aku ampuni….”._ .
Saat itu pula Syaikh Abd al-Qadir manjawab:
.
_“Khasi’ta ya Iblis… Khasi’ta ya la’in… (Kurang ajar engkau wajai Iblis.. Kurang ajar engkau wahai makhluk terkutuk..)”._
.
Iblis kemudian mengaku bahwa dirinya adalah Iblis, ia berkata:
.
_“Wahai Abd al-Qadir, engkau telah mengalahkanku dengan ilmumu, padahal dengan cara ini aku telah menyesatkan 70 orang lebih ahli ibadah (yang tidak berilmu)…”._ .
.
"Dari kisah nyata ini Para Ulama kita...."
https://www.instagram.com/p/BsHzm-oAI0h/?utm_source=ig_share_sheet&igshid=f3tv2d9bhpjn

Comments