Sehari Bersama DR. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh

Bag.1 : Membantah Argumentasi “DENDA Itu RIBA yang Membatalkan Akad”


by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Sahabatku seorang Bankir Syariah bercerita, perusahaannya didatangi oleh Nasabah Pembiayaan Properti (KPR iB) Murabahah. Ia meminta Bank menerima keputusannya melakukan pembayaran Pokok Pembiayaan saja. Lebih dari itu, ia juga meminta Bank untuk menghitung kembali jumlah margin pembiayaan yang sudah dibayar untuk dijadikan pengurang pokok pembiayaan. Salah satu argumentasinya adalah “Denda itu Riba, perjanjian ini tidak sah karena ada klausul Riba.”

Dalam teori kontrak Islam, dikenal istilah Tahawwul ‘Aqd atau Konversi Akad. Akad lama (awal) batal seluruhnya secara hukum. Kemudian berubah menjadi akad lain yang sah dan menimbulkan akibat hukum baru yang sah.

Merujuk cerita di atas, Akad Murabahah (Jual-Beli) diminta untuk dibatalkan seluruhnya sehingga kemudian berubah menjadi Akad lain yang sah yaitu Akad Qard (Pinjaman/Hutang). Berlakulah seluruh akibat hukum Qardh, dimana tidak boleh ada kelebihan uang yang dibayarkan Nasabah kepada Bank Syariah.

Jauh sebelumnya, Saya telah menulis dalam Blog pribadi tentang persoalan Denda.  Denda bukan Riba. Pencantuman Klausul Denda tidak membatalkan Akad. Kesimpulan ini diperoleh dengan menganalisa Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Buku Pedoman Standar Syariah yang diterbitkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI).

Di antara pakar yang menjadi rujukan tentang keharaman Denda pada transaksi keuangan adalah DR. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh. Alhamdulillâh, Allah subhânahu wa ta’âla mempertemukan Saya dengan Beliau dalam sesi kelas khusus pencatat Akad Syariah.

Saya mengajukan pertanyaan sebagai berikut :

Ustadz, Bagi Antum Denda adalah Riba. Kenapa dalam Buku AAOIFI, dibolehkan mencantumkan klausul Denda pada kontrak Murabahah. Saya menganggap dalam hal ini Ustadz menyelisihi AAOIFI. Apakah mencantumkan Klausul denda itu membatalkan Akad ? 

Jawaban beliau lebih kurang sebagai berikut :

Saya tidak menyelisihi, Saya tidak ikut mazhab AAOIFI (khusus soal pencantuman klausul denda). Kamu harus ingat bagi AAOIFI denda itu Riba. Pendapat saya sama dengan AAOIFI tentang ini (denda itu Riba). Akad yang tercantum klausul Denda tidak batal. Namun, akad itu mengandung unsur Riba. Kita harus berupaya menghilangkan klausul tersebut dalam akad. (agar terhindar dari Riba).

Sekilas, jawaban tersebut terkesan ambigu. Namun, bagi saya jawaban itu adalah pendapat Fikih “kelas langit” dari sosok DR. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh. Pakar yang dikenal tegas “tanpa ba bi bu” dalam setiap analisisnya.

Setidaknya kita bisa belajar 3 (tiga) hal dari jawaban Beliau ;
1. Adab dalam Perbedaan Pendapat

Beliau menunjukkan adabnya ketika menyatakan ; “Saya tidak ikut mazhab AAOIFI (khusus soal pencantuman klausul denda”. Beliau tidak mencela keputusan Kumpulan Ulama itu.

Seharusnya adab ini diikuti oleh setiap Muslim yang mengaku mengikuti jejak salaf dan belajar kepada DR. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh. Namun demikian sebagian mereka malah mencela lembaga fatwa yang ada di Indonesia yang menyelisihi pendapat Beliau.

Jika seseorang memutlaqkan pendapat DR. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh secara umum atau khususnya terkait Denda, maka itu bukanlah adab salaf. Terlebih lagi pendapat itu, ia gunakan untuk menyudutkan Bank Syariah (Lembaga Keuangan Syariah). 

Antum mau ngajak ngaji kan ? kenapa jadi ngajak “berkelahi”.

Berbeda pendapat dalam fiqh suatu hal yang wajar. Mengumpulkan umat dalam satu fiqh merupakan suatu hal yang mustahil. Solusi dari semua ini adalah saling menghormati dalam perbedaan pendapat dalam fiqh selama ada dalil yang dipegang. Imam Malik (rahimahullâh) beberapa abad yang lalu sudah memahami hal ini. Beliau pernah menolak keinginan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk memaksa umat untuk berpegang pada satu mazhab, menghapus mazhab fiqh yang lain dan menjadikan mazhab Maliki dan Kitab Al-Muwaththa’ sebagai satu-satunya mazhab dan satu-satunya ]kitab fiqh. [DR. Mohamad Taufik Hulaimi hafizhahullâh]

2. Wahai Nasabah Yang Ingin Hijrah “Denda Itu Tidak Membatalkan Akad"

Katakanlah benar bahwa Denda itu Riba. Riba diharamkan berdasarkan Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 275 “…dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba…”.

Mengapa kumpulan Ulama Faqih majelis AAOIFI mengizinkan klausul denda dicantumkan dalam akad ? Semestinya sejak awal AAOIFI harus melarang perbuatan Haram itu. Akad yang mengandung keharaman wajib batal untuk menghormati ajaran Islam tentang menjauhi perbuatan/unsur haram (fasakh wajib). Faktanya, AAOIFI mengizinkan memasukkan klausul denda pada Akad Murabahah. Berikut kutipannya ;

It is permissible that the contract of Murabahah consists of an undertaking from the customer to pay an amount of money or a percentage of the debt, on the basis of undertaking to donate it in the event of a delay on his part in paying instalments on their due date. The Shari’ah Supervisory Board of the Institution must have full knowledge that any such amount is indeed spent on charitable causes, and not for the benefit of the Institution itself.  [Shari’ah Standards-November 2017 hal 214].

Sejalan dengan AAOIFI, DSN-MUI sebagai majelis/lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah, khususnya Perbankan Syariah (UU 21/2008, ps 1 ayat 2 dan ps 26 ayat 2) menyatakan sebagai berikut : “6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial” (Fatwa No. 17)

Tidak serta-merta Akad Pembiayaan Murabahah yang mencantumkan klausul denda itu dapat dibatalkan. Sepanjang Bank Syariah menjalankan ketentuan DSN-MUI yang dikuatkan dengan ketentuan AAOIFI, maka Akad Pembiayaan tidak dapat dibatalkan. Jika ditemukan fakta Bank Syariah mencatat dana denda sebagai pendapatan, maka hanya pasal/klausul denda yang dibatalkan bukan seluruh akad. Sebab, Denda bukanlah inti Akad Pembiayaan Murabahah. 

3. Memahami Kalimat “Akad yang tercantum klausul Denda tidak batal. Namun, akad itu mengandung unsur Riba"

Sepanjang unsur Riba tidak tepenuhi sempurna, maka klausul Denda yang tercantum dalam akad tidak dapat dibatalkan. Unsur Riba dianggap terpenuhi secara sempurna, bilamana Bank Syariah membuku dana denda bukan untuk keperluan sosial melainkan sebagai pendapatan perusahaan.

Di saat itu terjadi, maka klausul denda wajib dibatalkan. Kemudian Bank Syariah Wajib mengembalikan dana itu kepada Nasabah. Nasabah berhak untuk tidak membayar denda keterlambatan karena klausul Denda sudah tidak lagi mengikat.

Akhir Kisah Kubu Pro Kontra Tentang Denda

Seharusnya kubu pro dan kontra mulai menghentikan perdebatan Denda yang tak berujung ini. Masih banyak permasalah strategis yang butuh perhatian bersama, misalnya implementasi akad syariah di industri fintech, pengembangan wisata halal, pengembangan rumah sakit Syariah dan isu strategis lainnya. Bicara soal Denda, masing-masing kubu sudah memiliki dalil yang kuat. Itulah cara dewasa dalam beragama.

Saya berkesimpulan bahwa dalil kedua kubu sudah bertemu pada satu titik dalil yang sama, yaitu bagaimana mengawasi peruntukan dana denda kepada kegiatan sosial.

Bagi kelompok yang meyakini “Denda itu Bukan Riba”. Jika menemukan Bank Syariah membuku denda sebagai pendapatan bukan sebagai dana sosial, maka itulah praktik Riba. Klausul Denda Akad Pembiayaan Anda dapat dibatalkan. Sebab, dilarang memasukkan sesuatu yang "Haram" ke dalam Akad yang Halal.

Sedangkan, bagi kelompok yang meyakini “Denda itu Riba”. DSN-MUI dan AAOIFI membolehkan secara Bersyarat Bank Syariah untuk menarik Denda keterlambatan yang Diharamkan. Syarat kebolehannya adalah jika dana denda tadi diperuntukkan bagi kegiatan sosial.


Comments