BID’AH, SERUAN JAMAN OLD & MUFTI FACEBOOK

by
Irham Fachreza Anas

Peringatan Maulid Nabi Bid’ah. Peringatan Isra’ Mi’raj Bid’ah. Tahlilan Bid’ah. Sholawat Nariyah Bid’ah. Tawassul Bid’ah. Zikir Jama’ah Bid’ah. Zikir dengan tasbih Bid’ah. Serta amalan lainnya yang tidak dicontohkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah Bid’ah. 

Penyataan di atas sangat akrab di telinga Umat Muslim Nusantara Jaman Now. Mereka yang menganggap dirinya sebagai Salafi / Pengikut Salaf adalah  kelompok dibalik masifnya seruan Bid’ah di berbagai media komunikasi publik. Dahi pun berkerut, meminjam kalimat Ustadz Salim A. Fillah, tatkala mereka membuat polarisasi dengan bid’ah lain yaitu memunculkan istilah ‘Ustadz Sunnah’.

Usaha mereka untuk memengaruhi opini umat Muslim mendapatkan respon dari Para Ulama Jaman Now, seperti ; Buya Yahya, Kyai Muhammad Idrus Ramli, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Abdul Somad, Kyai Ahmad Kholili Hasib dan Ulama Nusantara lainnya. 

Sebagai contoh, dalam buku 37 Masalah Populer, Ustadz Abdul Somad menulis secara lengkap tentang Bid’ah. Ulama yang mendapat julukan dari youtubers sebagai ‘Da’i Sejuta Viewers,menulis ;

“Seperti yang disebutkan para ulama di atas*, semua sepakat bahwa Bid’ah adalah apa saja yang tidak ada pada zaman Rasulullah Saw. Jika demikian maka mobil adalah Bid’ah, maka kita mesti naik onta. Tentu orang yang tidak setuju akan mengatakan, “Mobil itu bukan ibadah, yang dimaksud Bid’ah adalah masalah ibadah”. Dengan memberikan jawaban itu, sebenarnya ia sedang membagi bid’ah kepada dua : bid’ah urusan dunia dan bid’ah urusan ibadah. Bid’ah urusan dunia, boleh. Bid’ah dalam ibadah, tidak boleh........................ Kalau Bid’ah bisa dibagi menjadi ; bid’ah urusan dunia dan bid’ah urusan ibadah, mengapa bid’ah tidak bisa dibagi kepada bid’ah terpuji dan bid’ah tercela?!” (hal 53)
*(Imam asy-Syathitbi, Imam al-Izz bin Abdissalam, Imam Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani)

Diskursus seputar ada tidaknya pembagian Bid’ah (hasanah dan dhalâlah) muncul dari ikhtilaf dalam memahami hadits sebagai berikut :
Hadits Pertama
Hadits Kedua

Hipotesis yang tidak setuju adanya pembagian Bid’ah, bahwa kalimat ‘kullu bid’atin dhalâlah’/‘semua bid’ah adalah sesat’ bermakna umum. Bid’ah dalam hadits tersebut adalah urusan ritual ibadah bukan yang lain. Adapun perkataan Khalifah Umar radhiallâhu ‘anhu ;“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, tidak bisa dijadikan dalil adanya pembagian Bid’ah. Diceritakan bahwa perkataan itu diucapkan tatkala orang banyak berkumpul melaksanakan Qiyam Ramadhan dengan satu Imam di Masjid. Bagi mereka, perkataan Khalifah Umar radhiallâhu ‘anhu bukanlah Bid’ah melainkan Sunnah Khulafâ’ al-Râsyidîn yang juga harus diikuti sebagaimana hadits riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah “Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafâ’al-Râsyidîn”.

Saat berdiskusi dengan kelompok yang berbeda pandangan, mudah sekali mereka memberikan ‘stampel’ lawan bicaranya sebagai ‘pembantah firman Tuhan dan sabda Nabi’ atau bahkan ‘penyebar syubhat’. Menggunakan pendapat Ulama dan penalaran (logika / akal) yang kesimpulannya berbeda dengan mereka adalah sesat. Seruan mereka adalah ‘Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah’. Hal ini dikarenakan mereka menganggap Ulama adalah manusia biasa yang bisa keliru. Begitu pula dengan penalaran yang mungkin keliru. Apa yang mereka serukan adalah benar namun ‘janggal’ dalam tataran implementasi. Mereka sejatinya adalah kelompok yang menolak ‘otoritas’ Ulama dan juga anti penalaran, wa bil khusus Ulama dan/atau penalaran yang tidak sesuai dengan kriteria mereka. 
                   
“Sebuah pembandingan yang “ganjil”. Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak pas dibandingkan dengan Ulama. Umat Islam sudah pasti mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah lebih tinggi dari manusia. Al-Qur’an dan As-Sunnah itu sumber hukum. Sedangkan ulama itu orang yang ahli menggali hukum dari sumber-sumbernya. Ketika membicarakan otoritas Ulama, maka sesungguhnya otoritas ulama itu diakui oleh Al-Qur’an. Allah Swt berfirman : “Jika kamu tidak mengetahui, maka bertanyalah kepada orang berilmu (ahl dzikri).” (Kyai Ahmad Kholili Hasib dalam artikel Bila Otoritas Ulama’ Ditolak - inpasonline).

“Logika sebagai satu undang-undang berfikir yang ampuh untuk memelihara manusia dari kesalahan berfikir, selalu diletakkan sebagai satu ilmu yang umum. Ketika Imam al-Ghazali menyanggah 20 masalah falsafah Yunani beliau mengecualikan ilmu Logika dari serangannya. Logika menurut imam al-Ghazali bertujuan untuk memperhaluskan hujjah dan dalil, sebagian besarnya sesuai dan tidak bertentangan dengan Agama.” (Kyai Ahmad Kholili Hasib dalam artikel Ilmu Mantiq dan Tradisi Berpikir Ilmiah Islam - inpasonline).

Sungguh ironi ada sekelompok muslim yang mengira bahwa hanya merekalah yang mendapat hidayah, sementara kelompok lain dianggap terjebak dalam kesesatan. Ini mirip dengan kesombongan Iblis kepada Adam ‘alaihissalâm dengan seruan Jaman Old yang terkenal yaitu ; “Ana Khairun Minhu” yang bisa berarti “Saya lebih shahih darinya”. {QS. Shad (38) ayat 76}.

Kembali ke topik Bid’ah. Penulis menerima pendapat adanya pembagian Bid’ah, yaitu ; Mahmûdah (terpuji) dan Madzmûmah (tercela) sebagaimana pendapat Imam Syafi’i. Bid’ah Hasanah, Bid’ah Mustaqbahah /Dhalâlah dan Bid’ah Mubah sebagaimana pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Bid’ah Wâjibah, Bid’ah Muharramah, Bid’ah Mandûbah, Bid’ah Makrûhah, dan Bid’ah Mubâhah sebagaimana pendapat Imam al-Izz bin Abdissalam. Akan tetapi, dari semua pendapat itu Penulis cenderung kepada pendapat Imam al-Izz bin Abdissalam. 

Imam al-Izz bin Abdissalam adalah ahli fiqih (fuqaha’) dari mazhab Syafi’i yang terkenal wara’, tawadhu’ dan zuhud. Berkumpulnya 3 (tiga) karakter mulia dalam diri beliau, tidak mengurangi sama sekali keberaniannya mengkritik kekeliruan seorang Raja. Beliau bahkan pernah memimpin kaum muslimin Damaskus menentang kolonialisme bangsa asing. Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdis Salam bin Abu al-Qasim bin al-Hasan bin Humman al-Salami al-Dimasyqi al-Syafi’i yang lahir di Damaskus. Tahun 577 H. Riwayat lain menyebut beliau lahir pada tahun 578 H. (Kyai Ahmad Kholili Hasib dalam artikel Izzuddin Abdis Salam, Mulia karena Amar Ma’ruf Nahi Munkar - inpasonline).  

Bagi Penulis, pendapat Imam yang dijuluki ‘Pemuka Para Ulama’ oleh muridnya Ibnu Daqiq Al-id, lebih mudah dipahami karena selaras prinsip pembagian hukum taklifi. Pembagian hukum taklifi tentu dengan menggunakan kaidah-kaidah syariat, sehingga jelas parameternya dan tidak ‘liar’. Hukum taklifi berkaitan dengan tuntutan/perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan. Dari sisi ketegasan perintah, ada yang kuat perintahnya untuk mengerjakan atau meninggalkan. Adapula yang bersifat anjuran mengerjakan atau meninggalkan. Termasuk ketiadaan tuntutan/perintah (mubah) untuk mengerjakan atau meninggalkan. Di samping itu, pendapat Imam al-Izz bin Abdissalam pun diakui oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan Imam Nawawi. 

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda ingin ‘Kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah’ ? Siapa yang akan membimbing Anda untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah kalau bukan Ulama ? Apakah Anda menganggap Ulama selain kelompok Anda tersesat ? Bukankah anggapan itu mirip dengan seruan Jaman Old “Ana Khairun Minhu” ?

Pembagian Bid’ah ini sejalan dengan Sunnah. Kyai Muhammad Idrus Ramli, Ulama yang dijuluki ‘Pendekar Aswaja’ Jaman Now menyatakan hadits ‘semua bid’ah sesat’ adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya dibatasi. Dalam buku Wahabi Gagal Paham Dari Amaliah Hingga Aqidah, beliau menukil pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Sahîh Muslim yang menyatakan bahwa ; “Sabda Nabi,“semua bid’ah adalah sesat” ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah adalah sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya”

Dalam ilmu ushul fiqh dikenal istilah Khâsh, yaitu sesuatu yang tidak mengandung 2 makna tanpa batasan (maknanya terbatas atau menunjuk pada hal khusus). Ada juga Takhshîsh yang berarti mengeluarkan sebagian yang ditunjukkan oleh (dalil) yang umum (atau pembatasan dari makna yang umum). Lihat Mabâdiy Awwaliyyah fi Ushûl al-Fiqh wa al-Qawâid al-Fiqhiyyah karya Abdul Hamid Hakim hal 11. Ini buku Ushul Fiqh Dasar Jaman Old yang biasa dikaji para santri di Pesantren. Berangkat dari perspektif ini, analisis Kyai Muhammad Idrus Ramli sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi menyimpulkan adanya takhshîsh terhadap keumuman kalimat “semua bid’ah adalah sesat”.

Terdapat 2 hadits dengan derajat shahih dalam buku Shahîh al-Jâmi’ al-Shoghîr wa Ziyadâtuh tentang anjuran memulai dan/atau memperbanyak sunnah hasanah. Buku karya Syaikh Albani ini merupakan salah satu rujukan favorit bagi Mereka yang menolak pembagian Bid’ah. 
Hadits Pertama
Hadits Kedua

Kyai Muhammad Idrus Ramli menulis sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi dalam Syarh Sahîh Muslim terhadap hadits pertama di atas (riwayat Muslim) bahwa ; “... hadis tersebut mengandung motivasi untuk memulai perbuatan-perbuatan kebaikan dan memulai perbuatan-perbuatan baik, serta peringatan agar menjauhi memulai kebatilan-kebatilan dan perbuatan-perbuatan yang dianggap buruk. Dalam hadits ini juga ada pembatasan terhadap sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,“setiap perkara baru adalah bidah, dan setiap bidah adalah tersesat”. Dan bahwa yang dimaksud dengan hadis tersebut adalah perkara-perkara baru yang batil dan bidah-bidah yang tercela.”... Bidah itu ada lima bagian ; yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.”

Dua hadits shahih tersebut adalah dalil khâsh yang men-takhshish keumuman kalimat “semua bid’ah adalah sesat”. Menarik disimak video ‘debat’ Mudzakarah Ilmiah antara Kyai Muhammad Idrus Ramli dan Dr. Firanda Andirja tentang Bid’ah. Keduanya memiliki dalil dan analisis yang kuat. Cobalah fokus mengamati analisis dari kedua Ulama itu.

Ingat ! ini bukan tentang ‘menang-menangan’. Terkadang dalam sebuah debat ‘hasrat’ untuk diakui sebagai pemenang memang tidak tertahankan. Baik si pelaku debat apalagi kubu pendukung yang tidak kalah hebat saat berkomentar. Tentu hal itu tidak akan pernah mendewasakan umat dalam beragama. Perlu disampaikan bahwa pada saat pertama kali menonton video berdurasi + 2 jam itu, Penulis belum terlalu mengenal sosok Kyai Muhammad Idrus Ramli, termasuk Buya Yahya, Ustadz Adi Hidayat dan Ustadz Abdul Somad. Selengkapnya di ;

Membaca dan mempelajari analisis Ulama Nusantara tentang permasalahan Bid’ah memberikan kesan tersendiri. Di samping padat ‘gizi’ (baca : dalil), cara berfikir Ulama Nusantara dalam menjelaskan suatu permasalahan dinilai konsisten dan sistematis. Pencari Ilmu pun akan dengan mudah memahami permasalahan dan kesimpulannya. Kesan positif ini menjadi alasan lain untuk menerima pendapat adanya pembagian Bid’ah sebagaimana dinyatakan sebelumnya.

“Mengkaji pendapat ulama dalam mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir yang tertib dan sistematis. Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini -- tidak sebagaimana cibiran kalangan tertentu seolah para Kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah......Ini sebabnya anda tidak bisa dianggap pakar dalam bidang ilmu apapun kalau belum berpikir secara runtut, tertib dan sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para Kiai di pondok pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, tidak seperti para mufti facebook dan mufti twitter......Kita ini belum ada seujung kuku ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para Kiai pun kita tidak boleh su'ul adab...” (Prof Nadirsyah Hosen dalam artikel Berfikir Tertib Ala Pesantren – Telegram Gus Nadir)

Kesan positif tidak ditemukan tatkala membaca tulisan berjudul ‘Bid’ah Hasanah Yang Tercela’. Tulisan yang diposting seorang facebookers itu mensiratkan adanya ‘gejala’ salah fikir alias kerancuan. Entah itu asli tulisannya atau bukan, facebookers yang mencoba menjadi Mufti kelas medsos ini seringkali mem-posting tulisan seputar Bid’ah dan intimidasi kesesatan lainnya di fanpage Celoteh Santri. Ia juga sering menambahkan kalimat ‘aneh’ disetiap akhir tulisan, seperti “peringatan ... JAHIL dilarang nimbrung,...”. Mirip-mirip dengan seruan Jaman Old “Ana Khairun Minhu”.   

Dalam www.kbbi.web.id, rancu berarti tidak teratur, campur aduk, kacau (tentang berpikir, bahasa).  Kerancuan pertama adalah pengabungan kata ‘Hasanah’ yang berarti Baik/Terpuji dan Kata ‘Tercela’. 2 (dua) kata sifat bermakna khusus dan saling bertolak belakang. Bagaimana mungkin sesuatu yang terpuji itu tercela secara bersamaan ? Ini konsep Ulama mana ? apakah perlu kita bertanya kepada Pakar Filsafat Bapak Rocky Gerung yang terkenal dengan pernyataan ‘IQ 200 dalam 1 kolam’ atau ‘adu kesalehan’ ?                   

Sebagaimana diketahui sebagian besar Umat Islam telah memahami dengan baik pembagian Bid’ah. Berfikir terbuka, mana yang dapat dinilai sesat dan mana yang tidak. Mereka pun mulai dapat menyikapi dengan bijak perbedaan fiqh/furuiyyah dalam bingkai persatuan bangsa. Buktinya, silahkan melihat kembali berita-berita tentang ‘Aksi Belas Palestina’ yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia. Kajilah latar belakang Keislaman dari Umat Islam yang mendukung aksi dan Umat Islam yang ‘nyiyiriyyun’ terhadap Aksi itu !  

Wajar jika Penulis menilai Mufti Facebook itu kehabisan doktrin (dalil) untuk menjelaskan “semua bid’ah adalah sesat” kepada sebagian besar Umat Muslim yang sudah mulai bersatu, saling memahami satu sama lain di tengah perbedaan fiqh/furuiyyah. Tidak peduli judul tulisan itu ‘ngawur’ yang penting harus terlihat ‘berdalil’ untuk bisa membantah ‘pendukung’ Bid’ah Hasanah yang mulai mendapat simpati mayoritas Umat Islam. 

Kerancuan lain dari sisi konsistensi antara judul, isi dan sanggahan. Ternyata Jauh Panggang Dari Api. Tidak satu pun ada kalimat yang mengajak pembaca menganalisis apa maksud dari bid’ah hasanah yang tercela. Dari awal hingga akhir, tulisan itu hanya berisi kalimat-kalimat umum, intimidasi kesesatan, petikan ayat Qur’an dan potongan Hadits. Lebih rancu lagi, di saat Mufti Facebook menyanggah argumen facebookers lain, ia malah membuat istilah baru yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri dan Tuhan yaitu Bid’ah dan Perbuatan Bid’ah. Entah Ulama Jaman Old dan Jaman Now mana yang dirujuknya. Entah kembali ke dalil mana Mufti Facebook yang satu ini.

Perlu kirangan Mufti Facebook itu membaca dan memahami dengan baik tulisan dan nasehat Ulama Jaman Now sebagai berikut :

Namun membaca karya akademik yang ilmiyah ini, pandangan saya jadi luas, cakrawala berpikir saya tidak sempit. Saya jadi paham kenapa ada kalangan yang 'keukeuh' bilang alkohol najis. Jauh berbeda kalau saya baca tulisan non akademik. Biasanya si penulis langsung hajar saja, alkohol haram, titik tidak pakai koma. Kemudian kita 'diintimidasi' dengan sekian banyak nash baik petikan ayat Quran atau potongan hadits. Tanpa sedikit pun memberi ruang kepada pendapat yang berbeda”. (Ustadz Ahmad Sarwat dalam artikel Karya Akademik vs Non Akademik - facebook)

“Kalau baca buku itu (buku tentang diskursus pemikiran, aqidah dan hukum Islam), hanya 1 intinya yaitu keikhlasan. Jadilah orang yang tulus ikhlas.” [Ustadz Dr. KH. Surahman Hidayat]

Berhentilah merasa menjadi orang paling benar. Sungguh itu adalah karakter Iblis yang karena ucapannya "ana khairun minhu" Aku lebih baik dari Adam, menyebabkan dirinya terusir dari surga. [Belajar Tanpa Guru – Iman Ni’matullah, Lc]




Wallâhu a'lam
Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq


baca juga :

Bank Syariah Dihujat
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/bank-syariah-dihujat.html

Sohib dan Solmed Punya Cerita
https://irham-anas.blogspot.com/2018/11/sohid-dan-solmed-punya-cerita.html

Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/cahaya.html

Sharia Business Intelligence
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/sharia-business-intelligence.html

Comments

  1. Ya begitulah mereka itu. Salah paham atas paham yang salah. Mereka tidak paham apa yang diucapkan Imam Malik tentang bid'ah hasanah. Bisa dibaca: Bid’ah Menurut Imam Malik yang Sering Disalahpahami Kelompok Sawah (Salafi Wahabi)

    ReplyDelete

Post a Comment