by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence
Tulisan ini merupakan respon dari diskusi
yang terjadi seputar tulisan “Antara Ribâ, Bunga, Bonus dan Bagi Hasil ;
Sebuah Pesan Kepada Pencari Kebenaran
(Bagian Pertama)” di wall media sosial milik penulis sendiri.
[https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/10/antara-riba-bunga-bonus-dan-bagi-hasil.html]
Lagu berjudul “Denda di Bank Syariah adalah
Ribâ”
Bagi mereka yang
selama ini senang menyanyikan lagu berjudul
“Denda di Bank Syariah adalah Ribâ”, tepatnya 1 tahun silam telah mendapatkan angin segar dengan munculnya berita pengumuman
salah satu Bank Syariah yang resmi telah meniadakan denda tunggakan dalam
seluruh produk pembiayaan. Siapakah mereka yang menyanyikan lagu tersebut ? silahkan membaca revisi tulisan
berjudul [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/10/menakar-fatwa-riba-pada-denda-sita.html].
Berita penghapusan
denda tunggakan, mereka gunakan untuk menyudutkan (bully garis halus) Bank Syariah lain yang masih mengenakan denda
tunggakan kepada Nasabah. Tentunya praktik itu biasa terjadi dalam arena debat versi kelas bulu di media sosial ataupun
dalam situasi kondisi lainnya. Berita tersebut juga dapat digunakan untuk
memperkuat kembali faham mereka bahwa “Denda di Bank Syariah adalah Ribâ”. Alam
bawah sadar mereka, mungkin berkata ; buktinya sudah ada Bank Syariah “yang
bertaubat” dengan menghilangkan kebijakan denda tunggakan untuk seluruh produk
pembiayaan,”.
Apakah betul Bank Syariah yang telah
menghapus denda itu terpengaruh dengan nyayian
berjudul “Denda di Bank Syariah
adalah Ribâ” ?
Pada awalnya
Penulis meng-amini hal itu, dan cenderung tidak mau
mencari tahu lebih dalam perspektif apakah yang digunakan dalam menetapkan
keputusan fenomenal itu. Penulis bahkan mengapresiasi langkah Bank Syariah
tersebut dengan membuat pernyataan sebagai berikut :
“Dalam
pengamatan saya, terdapat LKS di Indonesia yang sudah menghilangkan pengenaan
denda atau menyalurkan pembiayaan tanpa denda kepada Nasabah. Hal ini tentu
menjadi selling point dalam
rangka meningkatkan ekspansi bisnis. Saya memberikan APRESIASI kepada LKS
yang sudah menghilangkan pengenaan denda atau menyalurkan pembiayaan tanpa
denda serta berharap LKS lain bisa menyusul untuk mengikutinya. Namun, terhadap
LKS yang masih mengenakan denda kepada nasabah, maka jangan terlalu cepat
memvonis LKS tersebut tidak Syar’i. Parameter Syar’i menjadi sempit dan keliru
jika diartikan sebatas ketiadaan denda.”
Waktu memang
berlalu begitu cepat sampai pada suatu saat ada komentator kelas berat mantan praktisi dalam postingan di wall penulis yang memberikan informasi menakjubkan. Informasi inilah yang
akan digunakan dalam mengungkap perspektif lain dari penghapusan denda.
Sebelum lebih jauh, komentator hafizhahullâh itu ternyata mantan
pegawai di Bank Syariah tersebut. Ia menyatakan di
wall penulis ;
“.... bahwa apa yang saya kritik memang yang
dirasakan nasabah, dan Alhamdulillah beberapa yang sy kritisi kepada manajemen
pada waktu sy bekerja mulai didengar, seperti Denda yang dihilangkan ternyata
bisa tuh, nih buktinya...”.
Jika pertanyaan
di atas diulang kembali saat ini “Apakah betul Bank Syariah yang
telah menghapus denda itu terpengaruh dengan nyayian “Denda di Bank Syariah adalah Ribâ” ? maka penulis nyatakan
tidak demikian.
Si Denda dan Si Ribâ
Perlu dilakukan penelurusan sumber insprirasi untuk
meneliti lagu “Denda di
Bank Syariah adalah Ribâ”. Salah satunya dan inipun yang diakui oleh
mereka yaitu buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr.
Erwandi Tarmizi hafizhahullâh. Dalam buku tebal itu ditulis sebagai
berikut ;
1. “Menurut istilah, Riba berarti :
menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (dikenal dengan riba dayn)……”
(hal 383)
2. “Hukum denda keterlambatan adalah riba,
sekalipun dana tersebut seluruhnya diakui sebagai dana sosial. Sebagaimana
telah dijelaskan pada pembahasan jual-beli kredit.”(hal 481)
3. “Hakikat membeli barang secara kredit
adalah membeli barang dengan cara berutang.” (hal 420)
Denda berupa uang merupakan tambahan harta, jika
tambahan ini dikenakan kepada pihak yang berhutang maka itulah ribâ. Misalnya, pada saat Bank
Syariah menyalurkan pembiayaan dengan prinsip (jual beli) murabahah tangguh, maka posisi nasabah adalah
sebagai pihak yang berhutang. Dengan menggunakan pertimbangan pustaka nomor 1, yaitu ribâ adalah menambahkan beban kepada pihak yang
berhutang,
dapat diperoleh kesimpulan bahwa Bank
Syariah yang mengenakan denda untuk maksud apapun kepada
nasabah pembiayaan maka itulah Ribâ.
Penulis cenderung memilih definisi ribâ dari ‘ulama Mazhab
Hanafi sebagaimana terdapat
dalam buku al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Zuhaily (rahimahullâh)
;
"Melebihkan harta tanpa (adanya)
'iwadh pada transaksi pertukaran harta dengan harta" [jilid 4, hal 435].
Berangkat dari definisi ini, maka harus ada
parameter iwadh (dasar / underlying / padanan
/ganti rugi) yang dibenarkan oleh Syariah dalam menilai sah atau tidaknya kelebihan
harta. Definisi ini fokus pada substansi ribâ dalam sistem keuangan, yaitu kelebihan dari harta
bukan penambahan beban. Istilah “menambahkan beban” sangat multi tafsir ; bisa saja berarti
beban kehidupan, beban perasaan, beban budi, beban ekonomi atau beban
lainnya.
Dasar pengenaan sanksi berupa denda uang bukanlah
dalam rangka mencari keuntungan melainkan didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu
bertujuan agar nasabah/konsumen lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Dalam rangka
menjaga dasar inilah dana yang bersumber dari denda tidak boleh diakui sebagai
pendapatan dan itu dinyatakan secara tegas dalam Fatwa DSN-MUI No:
17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran.
Bilamana terdapat Bank Syariah yang mengakui dana denda
sebagai pendapatan, maka Bank Syariah tersebut telah merubah dasar pengenaan
denda yang semula untuk mendisiplinkan nasabah menjadi praktik pengambilan
keuntungan. Jika
ini yang terjadi, maka penulis sepakat itulah ribâ, baik praktiknya maupun
status hartanya dan haram dilakukan oleh Bank Syariah.
Analisis ini sejalan dengan ketetapan dari Accounting and Auditing Organization For Islamic Financial Institution (AAOIFI) dalam bab Murabaha sub pembahasan Guarantees and Treatment of Murabaha Receivables yang menyatakan bahwa "Tidak diperbolehkan LKS memaksa untuk membebankan tambahan pembayaran kepada nasabah untuk (dijadikan keuntungan) bagi LKS .... (5/8). Dibolehkan dalam akad murabahah (membuat klausul) tentang pembayaran sejumlah uang maupun persentase dari jumlah hutang oleh nasabah jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran angsurannya, dimana pembayaran itu disalurkan untuk ke kegiatan sosial .... (5/6)" [AAOIFI - Shari'a Standards, hal 214]
Analisis ini sejalan dengan ketetapan dari Accounting and Auditing Organization For Islamic Financial Institution (AAOIFI) dalam bab Murabaha sub pembahasan Guarantees and Treatment of Murabaha Receivables yang menyatakan bahwa "Tidak diperbolehkan LKS memaksa untuk membebankan tambahan pembayaran kepada nasabah untuk (dijadikan keuntungan) bagi LKS .... (5/8). Dibolehkan dalam akad murabahah (membuat klausul) tentang pembayaran sejumlah uang maupun persentase dari jumlah hutang oleh nasabah jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran angsurannya, dimana pembayaran itu disalurkan untuk ke kegiatan sosial .... (5/6)" [AAOIFI - Shari'a Standards, hal 214]
Dasar prinsip ta’zir yang digunakan untuk mengenakan denda dibenarkan
Syariah, yaitu menunda-menunda
pembayaran bagi yang mampu dapat dikenakan sanksi. Dalam Fatwa DSN-MUI No: 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Nasabah Mampu Yang
Menunda-Nunda Pembayaran terdapat hadits
Nabi shallallâhu 'alaihi
wasallam :
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang
mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
Dalam Shahih Jâmi’ al-Shoghir wa Ziyadâtuh, hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Nasâi dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari
Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid
bin Suwaid dinilai Hasan oleh Muhammad Nashiru al-Diin Albani
(Jil. 2 hal 963).
Perspektif Lain Dari Pengahapusan Denda
Jika pertanyaan
di atas diulang kembali saat ini “Apakah betul Bank Syariah yang telah
menghapus denda itu terpengaruh dengan nyayian
“Denda di Bank Syariah adalah Ribâ” ? maka penulis nyatakan sekali lagi tidak
demikian.
Faham yang
berkembang bahwa “Denda di Bank Syariah adalah Ribâ” berangkat dari perspektif
bahwa ribâ adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang.
Jika perspektif itu
yang di-amini, maka semestinya Bank Syariah itu juga harus menghapus kebijakan ta’widh dalam produk pembiayaannya. Sebab
ta’widh juga merupakan tambahan harta yang
dibebankan kepada Nasabah yang notabene
berhutang sebesar biaya riil yang dikeluarkan Bank Syariah. [silahkan
merujuk pada Fatwa DSN-MUI No: 43/DSN-MUI/VIII/2004
tentang Ta’widh (Ganti Rugi)].
Jika perspektif itu juga betul-betul di-amini, maka Bank Syariah itu telah melakukan praktik ribâ dari jalur ta’widh.
Jika perspektif itu juga betul-betul di-amini, maka Bank Syariah itu telah melakukan praktik ribâ dari jalur ta’widh.
Faktanya Bank Syariah itu
masih mengenakan ta’widh :
Terhitung sejak tanggal 22 Agustus 2016, Manajemen ******
Syariah telah
mengeluarkan kebijakan penghapusan denda tunggakan untuk seluruh produk
pembiayaan baik personal maupun korporasi yang berlaku di kantor cabang seluruh
Indonesia.
Nasabah yang mengalami keterlambatan pembayaran
angsuran pembiayaan (tunggakan) kedepannya tidak dikenakan denda namun atas biaya – biaya riil yang
dikeluarkan oleh bank dalam rangka penagihan (ta’widh) sepenuhnya menjadi beban
nasabah.
Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi Kantor
Cabang ****** Syariah terdekat.
Bagi Penulis, Bank Syariah itu
tidak melakukan melakukan praktik ribâ dari jalur ta’widh. Mengapa demikian? Sebab
penulis berangkat dari perspektif bahwa ribâ adalah "Kelebihan harta tanpa (adanya) 'iwadh pada
transaksi pertukaran harta dengan harta" [al-Zuhaily, jilid 4, hal 435].
Berangkat dari perspektif penulis, maka harus ada
parameter iwadh (dasar / underlying /
padanan / ganti rugi) yang dibenarkan oleh Syariah dalam menilai sah atau
tidaknya kelebihan harta. Penagihan ta’widh
didasari atas biaya riil yang dikeluarkan Bank
Syariah dalam upaya mengelola pembiayaan dan/atau menyelesaikan pembiayaan
bermasalah. Dan hal itu pun diperjanjikan dalam akad pembiayaan. Ta’widh baru akan efektif dikenakan
kepada Nasabah jika Bank Syariah dapat
membuktikan biaya-biaya riil apa saja yang dikeluarkan untuk penanganan
pembiayaan.
Lantas perspektif apakah yang digunakan oleh Bank
Syariah itu ketika memutuskan untuk menghapus denda dari seluruh produk
pembiayaan ? Informasi menakjubkan di dapat dari komentator hafizhahullâh kelas berat mantan praktisi itu dengan
pernyataan sebagai berikut :
"ngga
usah baca sana sini deh, ane nanya nih, ente ma ane kerjasama dalam usaha, krn
ente punya kemampuan ente deh yang jalanin usaha, ane kasih modal pi minta bagi
hasil tiap bulan, tiba2 ente bilang ngga
sanggup bayar bulan ini nih, lalu ane bilang ma ente, ane denda deh karena ga
bayar bagi hasil ma ane, marah ngga ente? Bagaimana ceritanya, tiba2 ngasih denda, emang ane berhutang ma
ente, kita kan kerjasama? begitu”
Perspektif yang digunakan Bank Syariah itu
bukanlah berangkat dari ribâ tadi,
melainkan berangkat dari kendala teknis dalam menentukan kualifikasi
Nasabah yang bisa masuk kategori “menunda-nunda pembayaran padahal mampu”
sehingga ia pantas didenda. Dengan kalimat lain bahwa perspektif yang
digunakan Bank Syariah
itu adalah keadilan di lapangan agar denda tidak diterapkan secara berlebihan
atau lebay-nya adalah “jangan ada denda yang membabi
buta di antara kita”.
Penulis pernah bertanya kepada salah
seorang pejabat Bank Syariah tatkala berbicara
masalah pembiayaan. “Pak
ini produk ada dendanya tidak?”
Pejabat Bank Syariah menanggapi dengan
kalimat yang menyakitkan hati ;“Bapak
memangnya mau ngemplang (nunggak) ya, kok nanya denda terus ? Santai saja kami
pun hati-hati pak.”
Akhir dari kisah ini adalah :
Hentikanlah nyayian “Denda di Bank
Syariah adalah Ribâ” sebab pencantuman klausul denda tidak dapat
dijadikan alasan pembatalan akad pembiayaan dan klausul itu bukanlah sarana ribâ.
Hentikanlah
kegiatan menyudutkan (bully garis halus)
Bank Syariah lain yang masih mengenakan denda tunggakan kepada Nasabah.
Bagaimana kalau diusulkan cara lain yang lebih tepat, yaitu :
“harapan agar Bank Syariah mencoba
menerapkan klausul denda tadi secara efektif
sebagaimana ta’widh.
Dengan kalimat lain, dapat dipahami klausul
itu tetap ada dalam akad. Akan tetapi diharapkan efektif
dikenakan kepada Nasabah yang secara nyata atas dasar hasil investigasi di
lapangan masuk kategori “mampu membayar tapi menunda-nunda”.
Bukankah begitu ? Cobalah renungkan!
"...Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat lalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah
mereka ini...." [ QS.
Shaad (38) : 24 ]
Jangan ribut lagi ya !
Yuk damai!
"Jangan salah pilih lawan" Nasehat Ustadz Abdul Somad hafizhahullâh.
Wallâhu a'lam
Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq
baca juga :
Bank Syariah Dihujat
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/bank-syariah-dihujat.html
Sohib dan Solmed Punya Cerita
https://irham-anas.blogspot.com/2018/11/sohid-dan-solmed-punya-cerita.html
Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/cahaya.html
Sharia Business Intelligence
https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/sharia-business-intelligence.html
Comments
Post a Comment