Griya Swakarya ; Kemurnian atau Diversifikasi Produk ?

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Tulisan ini merupakan respon dari diskusi yang terjadi seputar tulisan “Antara Ribâ, Bunga, Bonus dan Bagi Hasil ; Sebuah Pesan Kepada Pencari Kebenaran (Bagian Pertama)” di wall media sosial milik penulis sendiri. [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/10/antara-riba-bunga-bonus-dan-bagi-hasil.html]

Produk Itu Bernama Griya Swakarya
Desember 2016 silam, dunia Perbankan Syariah diramaikan berita tentang keluarnya izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap produk pembiayaan konsumer salah satu Bank Syariah. “Ini barang bukan sembarang barang da” (baca ; produk) meniru  gaya pedagang minang di suatu pasar. Produk itu laksana oase pelepas dahaga bagi sebagian masyarakat Indonesia yang memang menginginkan perubahan terjadi di Bank Syariah. Perubahan dengan meninggalkan praktik-praktik yang meniru Bank Konvensional. Produk fenomenal itu bernama Griya Swakarya.

“Griya Swakarya merupakan produk inovasi model bisnis syariah dengan dasar akad murabahah (jual beli). Dalam hal ini Bank Syariah terlebih dahulu menguasai asset property yang akan dikelola, dibangun dan dijual dimana dalam neraca didudukan sebagai persediaan bank. Secara syariah murabahah menjadi  lebih sempurna karena obyek yang diperjualbelikan telah dikuasai oleh Bank”, tegas Petinggi Bank Syariah itu dalam suatu wawancara.

Kemudian, Ia menambahkan “bahwa manfaat dari model bisnis ini dapat memangkas harga properti yang semula mengandung harga pokok plus margin dari developer serta margin dan pembiayaan bank.  Maka  harga properti dengan model bisnis ini diharapkan lebih kompetitif karena komponen biayanya menjadi hanya terdiri dari harga pokok plus margin pembiayaan bank.”                         

Dari berbagai berita yang ada, diketahui uji coba pertama Griya Swakarya dilakukan terhadap 3 unit dari 49 unit rumah di kawasan Bogor. Saat ini alhamdulillah sudah berkembang ke beberapa daerah. Saat menerima kabar keluarnya izin OJK, penulis menghubungi seorang sahabat yang bekerja di Bank Syariah empunya Griya Swakarya. Ucapan selamat dan salut disampaikan sembari meminta informasi succes strory produk tersebut.

Setali tiga uang dengan cerita penghapusan denda tunggakkan Bank Syariah. Bagi mereka yang merindukan kemurnian sebotol madu, kehadiran Griya Swakarya tetap disikapi dengan cara-cara yang tidak arif. Bank Syariah lain yang masih melibatkan pihak ketiga (supplier/penjual) dan/atau menggunakan wakalah dalam ber-murabahah divonis melanggar aturan Syariah. Alam bawah sadar mereka mungkin berkata ; "buktinya sudah ada Bank Syariah “yang bertaubat” dengan benar-benar menjadi pedagang rumah”. Tentunya praktik itu biasa terjadi dalam arena debat versi kelas bulu di media sosial ataupun dalam situasi kondisi lainnya. 

Masih ingat dengan komentator kelas berat mantan praktisi dalam postingan“Antara Ribâ, Bunga, Bonus dan Bagi Hasil ; Sebuah Pesan Kepada Pencari Kebenaran (Bagian Pertama)” ? Jika sudah lupa atau bahkan belum tahu, ada baiknya membaca terlebih dahulu link ini [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/menyoal-perspektif-penghapusan-denda.html].Komentator hafizhahullâh itu menyatakan ;

Pernyataan Pertama : “.... Kritik lain saya seperti yang sy sampaikan diatas, sy termasuk yang tidak setuju dengan jual beli murabahah model wakalah, (tapi bukan berarti salah), Alhamdulillah bisa tuh diakomodir oleh dirut saya Pak Imam Sapto dan berubahlah itu ...”.

Pernyataan Kedua :“Hehehe, jual beli, yang namanya jual beli barang harus sepenuhnya dikuasai penjual (bank), coba dicek di bank ente, rumah yang dimurabahahin sudah jadi milik bank belum?, paling diwakalahin”

Pesan Komentator kelas berat mantan praktisi ini, menunjukkan bahwa lahirnya inovasi Griya Swakarya bukan berangkat dari perspektif kemurnian. Ini terungkap dari pernyataannya “...sy termasuk yang tidak setuju dengan jual beli murabahah model wakalah (tapi bukan berarti salah)...”.Lalu dari perspektif apa produk itu lahir ? inilah yang akan menjadi bahan analisis dalam tulisan bertajuk “Griya Swakarya ; Kemurnian atau Diversifikasi Produk ?”.  

Pesan kedua Komentator kelas berat mantan praktisi, menunjukkan bahwa ia sendiri memandang rendah wakalah yang dijalankan oleh Bank Syariah. Ini terungkap dari pernyataannya “...coba dicek di bank ente, rumah yang dimurabahahin sudah jadi milik bank belum?, paling diwakalahin”.

“Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank” [lihat Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 119]. Wakalah merupakan jembatan pemenuhan syarat mutsman, yaitu mutsman harus milik penjual. [Fikih Mu’amalah Maliyyah Jilid Akad Jual Beli, hal 217].

Penulis enggan memberi tanggapan langsung atas pernyataan kedua Komentator kelas berat mantan praktisi itu. Mengingat ia telah menyatakan bahwa penulis hanya berangkat dari kacamata akademisi yang bersemayam idealisme. Apa kata dunia bila ada Dosen yang membaca kalimat sarkastik itu? Atau mungkin sang komentator itu tidak pernah “menelan” bangku kuliah sehingga gaya bahasanya jadi seperti itu ? Atau .... ?

Konsekuensi Sebuah Kemurnian
Beberapa tahun ini kampanye kembali kepada kemurnian atau purifikasi agama gencar dilakukan oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Mulai dari persoalan fiqh ibadah hingga sampai juga kepada fiqh muamalah. Saking gencarnya kampanye itu, mereka yang ingin sekali disebut sebagai Islam versi Salafi (awas jangan dibaca talafi ya!!) membuat polarisasi dalam dunia dakwah dengan memunculkan istilah “Ustadz Sunnah”.[https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/06/ustadz-sunnah.html]. Seakan tidak mau kalah dengan mereka, kelompok lain pun muncul dengan istilah “Ustadz Wajib”. [http://islamictawsia.blogspot.co.id/2017/06/tinggalkan-ustadz-ustadz - sunah - ikuti .html]. Mungkin kita hanya tinggal menunggu waktu muncul kelompok dengan istilah yang tak kalah spektakuler semisal ; Ustadz Mubah, Makruh atau bahkan Haram. Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh.

Kembali pada topik Griya Swakarya. Sungguh membingungkan jika ada orang yang menganggap bahwa Griya Swakarya merupakan “true murabaha” (Murabahah Yang Benar selanjutnya akan ditulis “kemurnian/murni”). Klaim kemurnian akan mengakibatkan produk skim murabahah lain yang tidak sesuai kaidah Griya Swakarya menjadi tidak murni lagi.  

“Pembiayaan dengan menggunakan skema akad murabahah merupakan pembiayaan yang paling populer di Indonesia karena lembaga keuangan syariah pada umumnya, baik bank maupun nonbank, sangat banyak menggunakan skema ini.”
“Pada saat akad murabahah dipraktikkan di LKS, akad murabahah tidak lagi merupakan akad yang berdiri sendiri. Pada umumnya, akad murabahah digandengkan secara pararel dengan janji (al-wa’d) pemberian kuasa (akad wakalah). Penggangdengan akad ini dalam literatur disebut ‘aqd al-murabahah li al-amir bi al-syira’13 yang secara harfiah berarti akad murabahah yang disertai dengan perintah untuk membeli. Ada sedikit perbedaan antara skema jual beli murabahah berdasarkan fatwa DSN-MUI dan skema murabahah yang ditetapkan dalam Mi’yar Syar’i (standar syariah). Akad Murabahah dalam ketentuan standar syariah menganut konsep muallaq (efektif [nafadz] akad murabahah setelah pembeli menyatakan telah membeli barang). Berarti barang yang menjadi objek akad belum menjadi milik LKS pada saat akad. Sedangkan dalam fatwa DSN-MUI lebih berhati-hati karena LKS tidak boleh menjual barang, kecuali barang tersebut sudah menjadi milik LKS (bai’ ma la yamlik).”
[Fikih Mu’amalah Maliyyah Jilid Akad Jual Beli karya Prof. Dr. H. Jaih Mubarok,S.E, M.H., M.Ag dan Dr. Hasanudin, M.Ag hafizhahumâllâh hal 224-226]. Mengenai topik Murabaha To The Purchase Orderer bisa dibaca pada buku Shari’a Standards yang diterbitkan oleh Accounting and Auditing Organization For Islamic Financial Institution (AAOIFI) hal 110-134 ]

Lebih jauh akibat klaim kemurnian itu, kehadiran produk Griya Swakarya di bumi Indonesia mengakibatkan produk skim murabahah lain (versi AAOIFI dan Fatwa DSN-MUI) harus dinyatakan tidak murni. Baik produk murabahah di Bank Syariah empunya Griya Swakarya atau bahkan produk murabahah Bank Syariah lain sejagad Indonesia yang tidak sesuai kaidah Griya Swakarya harus dinyatakan tidak murni. 

Konsekuensi hadirnya sesuatu yang murni adalah dengan menghentikan sesuatu yang tidak murni. Jika klaim kemurnian dihubungkan dengan konteks hukum dispensasi syar’i (rukhshah), maka akan memunculkan konsekuensi yang harus disikapi secara serius. Kehadiran praktik bisnis yang diklaim murni akan mengakibatkan hukum dispensasi syar’i (rukhshah) dari praktik bisnis yang diklaim tidak murni menjadi terangkat / tidak berlaku / hilang. Disebabkan kehadiran praktik bisnis yang diklaim murni tadi, maka skema praktik bisnis yang diklaim tidak murni kembali ke hukum asalnya yaitu haram.

Berikut beberapa kaidah fiqih dalam persoalan dispensasi syar’i (rukhshah) ;
“Kemudharatan-kemudharatan itu membolehkan segala hal-hal yang dilarang”

“Sesuatu yang diperbolehkan oleh adanya pemaafan/udzur, akan menjadi tidak boleh lagi bila pemaafan/udzur itu sudah tidak ada lagi”
atau kaidah: 
“Suatu kesulitan (dapat) mendatangkan kemudahan”

“Memperingan, mempermudah Bukan memperberat dan mempersulit”
Dimana, 2 (kaidah) itu memiliki turunan meliputi, yaitu :

“Apabila sempit suatu urusan, maka (urusan itu) menjadi luas. Dan Apabila (sudah) luas (urusan itu), maka (urusan itu harus kembali) menjadi sempit”

“Apabila sempit suatu urusan, maka (urusan itu) menjadi luas."

“Apabila luas suatu urusan, maka (urusan itu) menjadi sempit”
[Silahkan merujuk ; Kaidah Fiqh Ekonomi Islam Tentang Dharurat dalam Industri Finansial - Inti Sari dari Majallah al-Ahkâm al-‘Adliyyah Buku 1 karya Agustianto Mingka, MA hafizhahullâh ; Qawa’id Fiqhiyyah karya Dr. Ahmad Sudirman Abbas hafizhahullâh hal 104 -124 ; 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat – al-Qawâid al-Hâkimat li Fiqh al-Muâmalât karya Dr. Yusuf Qardhawi hafizhahullâh, hal 187 -189 & Fatwa DSN-MUI No. 108]

Logika sederhananya tanpa kaidah fiqh adalah ; 

"Kalau sudah ada yang murni, maka tinggalkan yang tidak murni", begitulah kiranya menurut Pencari Kemurnian.  

"Kalau sudah tahu ada amalan yang jelas sunnah-nya maka tinggalkan amalan yang jelas bid’ah-nya", begitulah kiranya menurut Ustadz Sunnah. 

"Kalau sudah jelas mana Ustadz Wajib, tidak ada alasan untuk tetap ikut Ustadz Sunnah", begitulah kiranya menurut pendukung Ustadz Wajib.

Dalam konteks pendapatan bisnis, jika klaim kemurnian ini di-amini oleh Bank Syariah empunya Griya Swakarya, maka konsekuensinya adalah pendapatan operasional utama yang berasal dari skim murabahah (piutang) Non Griya Swakarya mutlak dihukumi haram dan harus masuk ke dalam rekening dana sosial dimulai sejak hari pertama Griya Swakarya itu dipasarkan

Bukankah begitu konsekuensinya ?

Tafsir Istilah “Menguasai”
Sungguh mengherankan jika ada penulis buku yang dikenal agamis mempermasalah penggunaan “istilah” dengan mengambil kesimpulan lebih kurang “istilah kadang menipu”. Seolah-olah ia menganggap bahwa “pengguna istilah selain geng-nya adalah tukang tipu”. Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh.

“...Ini juga menjadi jawaban bahwa "Istilah" memang bisa mengakibatkan perubahan status hukum. Istilah itu mengandung suatu perspektif. Bagi yang keberatan dengan permisalan Nikah dan Zina dalam persoalan ribâ, maka bisa menggunakan permisalan ini. Huruf ha [ﺡ] lah yang menjadi titik halal di antara 2 riba. ...... Ada sebagian ‘ulama berkumpul dalam suatu majlis. Mereka mencoba memahami dalil untuk kemudian menterjemahkan huruf ha [ﺡ]  agar menjadi fatwa pedoman bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Sementara, ‘Ulama lain mengkritisi pedoman tadi juga dengan menggunakan analisis dalil yang tidak kalah hebat Arab-nya untuk menterjemahkan huruf ha [ﺡ] menurut perspektifnya”.

Para pencinta kemurnian di mana pun Antum berada, bagaimana cara menjelaskan Hukum Pinjam-Meminjam Pulpen yang biasa dilakukan antar teman sekelas/sekantor/sekomplek ? apakah sekedar meminjam ? atau sekaligus meminta tintanya ? apa istilah yang tepat digunakan untuk hal itu ? meminjamkah, memintakah atau malah harus keduanya ? bukankah dalam kedua istilah itu terdapat  perbedaan yang memiliki konsekuensi masing-masing ? “Mohon hati-hati dalam menjelaskan ini kepada umat, karena kalau tidak, Antum bisa masuk kategori tukang tipu dengan istilah”.

Bagi mereka yang ikut mengharamkan praktek murabahah di Bank Syariah, salah satu hipotesis mereka adalah kaidah ; Bank harus menerima barang (qabdh) yang dipesan untuk kemudian baru bisa me-murabahah-kannya kepada Nasabah.

“Seorang Nasabah ingin membeli mobil dengan spesifikasi yang dirincikan. Kemudian pihak bank menghubungi salah satu show room melalui telepon dan ia melakukan akad jual beli mobil secara tunai. Masih dalam ruangan yang sama Bank langsung membuat akad jual-beli mobil secara murabahah dengan Nasabah, sebelum Bank menerima mobil dari show room. Setelah akad dibuat Nasabah datang ke show room tersebut dan menerima mobil yang diinginkan” [Murabahah model ini fasid (rusak) lihat Harta Haram Muamalat Kontemporer hal 448]

"Kesalahan dalam praktek murabahah Model 2 adalah pihak bank menjual rumah ke nasabah tanpa lebih dulu menerima rumah itu dari developer. Karena bank hanya mentransfer uang ke developer, tanpa studi tapak dan memeriksa rumah tersebut. Akad jual-beli murabahah ini statusnya fasid (batal) dan haram." [http://pengusahamuslim.com/5916-murabahah-bank-syariah-100-persen-riba.html]

Mereka mengutip hadits dari Abu Daud dari Hakim bin Hizam. Dalam buku yang menjadi rujukan mereka, sama sekali tidak menjelaskan ragam pendapat ‘ulama mengenai qabdh (penguasaan), baik Qabdh Haqiqi (penguasaan fisik) maupun Qabdh Hukmi (penguasaan konstruktif). Apakah mereka mengira para ‘Ulama mengabaikan hadits Abu Daud dari Hakim bin Hizam ? Apa mungkin ini konsekuensi dari adagium “kembali kepada Qur’an dan Sunnah"? Wallâhu a'lam. 

Dalam Fiqh al-Buyû ‘ala al-Madzâhib al-Arba’at sub pembahasan No. 171 al-Syarthu al-Sâbi’ An Yakûna Maqbûdhan li al-Bâi’ (hal 392), dijelaskan 5 (lima) pendapat ‘Ulama tentang qabdh (penguasaan) ; i) qadbh bukan syarat sah bai’ (namun pendapat ini ditentang oleh Abd al-Barr), ii) Haram (jual beli sebelum qabdh ) untuk barang berupa makanan dan bukan makanan, manqûlan atau ghair manqûlan  sebagaimana dzahirnya (hadits) riwayat Ibn ‘Abbas, iii) hanya haram (jual beli sebelum qabdh ) khusus  untuk makanan dan boleh untuk selainnya, iv) Dilarang (jual beli sebelum qabdh ) khusus untuk barang yang bisa ditakar atau ditimbang dan v) Dilarang jual beli sebelum qabdh untuk seluruh banda manqûlât dan boleh untuk benda ‘Aqâr.

Dalam kitab yang Penulis terima dari salah seorang Manager Kepatuhan Syariah di Bank Syariah swasta ternama hafizhahullâh, sub pembahasan No. 173 al-Qabdh Fi al-'Aqâr, dijelaskan ragam cara qabdh misalnya penyerahan kunci rumah, penyerahan dengan kunci dengan pernyataan penguasaan. Pada sub pembahasan berikutnya No. 174, dijelaskan cara qabdh terhadap rumah yang masih ditempati oleh Penjual. Itulah beberapa ragam qabdh yang tidak akan ditemukan dalam “Buku Sakti” para Pencari Kemurnian. Qabdh merupakan istilah dari penguasaan terhadap sesuatu dan kemampuan (memiliki/melepaskan) terhadapnya sama seperti sesuatu yang mungkin didapat dengan tangan maupun tidak. [Fiqh al-Buyû ‘ala al-Madzâhib al-Arba’at - Jil 1 hal 397]

Qabdh atas barang tidak bergerak ('Aqâr) adalah dengan cara penjual menggugurkan hak kepemilikannya dan membiarkan pembeli sebagai pemilik yang baru untuk memanfaatkannya. Adapun hikmah dari larangan jual beli sebelum menerimanya dari orang lain ; tanggung jawab pembeli pertama (misalnya Bank) menjual barang yang masih dalam tanggungan penjual, kemudian ia mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut berasal dari penjualan barang yang belum menjadi tanggungannya. Kemudian bentuk transaksi tersebut adalah menyerupai transaksi riba (sehingga harus dicegah). [Fiqh Sunnah - al- I’tishom , Jil 3 hal, 280-281 & Fiqh al-Buyû ‘ala al-Madzâhib al-Arba’at - Jil 1 hal 398].

Senada dengan hal tersebut dalam Fikih Mu'amalah Maliyyah Jilid Akad Jual-Beli karya Prof Dr. H. Jaih Mubarak dan Dr. Hasanuddin hafizhahumâllâh sub bahasan Dua Jual Beli Pararel (yang masuk dalam analisis ini) dinyatakan  bahwa ;

“Keragaman penafsiran hadits tentang “dua jual beli dalam satu jual beli” membuktikan hadits tersebut dipahami atau ditafsirkan dengan pendekatan yang berbeda-beda, terutama dari segi harga (tsaman), barang yang dipertukarkan (mustman/matsmun), cara pembayaran (tunai dan tangguh), dan shigat akad yang murakkab (multiakad). Secara tidak langsung, pemahaman-pemahaman tersebut menunjukkan bahwa tidak semua “dua jual-beli dalam satu jual beli” itu dilarang karena ragamnya penafsiran yang menunjukkan terhindarnya akad dari gharar atau jual-beli atas barang yang bukan milik penjual (bai’ ma laisa indak)” [hal 178]. 

Standar Buku Standar Produk Perbankan Syariah “Murabahah” yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan sebagai tindaklanjut terbitnya Surat Edaran OJK No.36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) dan Peraturan OJK No.24/POJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan UUS menyatakan bahwa :

Kepemilikan Obyek Pembiayaan harus sudah dalam penguasaan penjual baik dalam penguasaan fisik (qabdh haqiqi) ataupun penguasaan konstruktif  (qabdh hukmi). (3.3.10)

Kepemilikan Obyek Pembiayaan sedapat mungkin dialihkan secara efektif dari Bank sebagai Penjual kepada Nasabah sebagai Pembeli sesuai kebiasaan yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Syariah (3.3.11)

Konsep kepemilikan Obyek Pembiayaan secara efektif yang dimaksud adalah saat kedua belah pihak memasuki dan menyepakati kontrak sah jual beli sekalipun tidak diharuskan adanya bukti legal administrasi kepemilikan oleh Bank (penguasaan fisik). Kepemilikan oleh Bank dianggap sah hanya cukup dengan bukti transaksi antara Bank dan Pemasok (penguasaan konstruktif). (3.3.12)

Khususnya untuk produk dengan skim murabahah dengan wakalah, Bank Syariah mau tidak mau harus terus mengupayakan peningkatan hubungan kerjasama dengan berbagai supplier penyedia barang dalam bentuk Kerjasama Tertulis. Ini sangat dibutuhkan sebagai upaya menekan ketidakjelasan (gharar) atas objek murabahah yang akan ditransaksikan. Dalam kerjasama itu perlu dimasukkan kesepakatan-kesepakatan yang berhubungan dengan tata cara qabdh dan/atau kepemilikan prinsip. Bank Syariah mau tidak mau juga harus terus dengan sepenuh hati mengingatkan nasabah agar dapat menyempurnakan pelaksanaan wakalah. Hal ini penting karena Wakalah merupakan jembatan pemenuhan syarat mutsman, yaitu mustman harus milik penjual.

Lebih jauh, upaya-upaya tersebut merupakah salah satu bukti pemenuhan kepemilikan secara prinsip sebagaimana yang diamanahkan dalam Fatwa DSN-MUI.

Wakalah “Yang Tertuduh” dan Azas "lex specialis derogat legi generalis"
Perlu dipahami kembali bahwa wakalah merupakan jembatan pemenuhan syarat mutsman sebagaimana terdapat dalam Fatwa DSN-MUI No. 04 dan KHES pasal 119. Ini menjadi penting agar tidak gegabah dalam memahami kedudukan wakalah sebagaimana yang dialami oleh Komentator kelas berat mantan praktisi itu.

“Akad jual beli murabahah dalam Undang-Undang Perbankan Syariah merupakan pengembangan akad jual beli murabahah yang terdapat dalam kitab fikih. Jual-beli murabahah dalam kitab fikih merupakan jual-beli yang bersifat langsung, sedangkan jual-beli murabahah dalam praktik perbankan merupakan akad jual-beli yang bersifat tidak langsung karena fungsi intermediary bank (sebagai institusi keuangan) dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” [Fikih Mu’amalah Maliyyah Jilid Akad Jual Beli, hal 217]

Ketentuan pada Hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana, bukan penyediaan barang. Guna membuktikan secara hukum bahwa nasabah telah menerima pembiayaan, maka diperlukan alat bukti (perdata) yang dapat memberikan fakta itu. Alat bukti (perdata) salah satunya adalah catatan pembukuan dana di rekening Nasabah. Pada sisi ini, dokumen wakalah menjadi sangat vital untuk memitigasi kemungkinan munculnya risiko operasional dan risiko hukum dari uang pembiayaan yang sudah berpindah tempat. Dengan adanya wakalah, maka sudah bisa dipastikan dana yang keluar dari rekening Nasabah pasca pencairan adalah tetap dimiliki oleh Bank sedangkan Nasabah tetap dalam posisi bertindak untuk dan atas nama Bank Syariah. Demikian hal-nya dengan tindakan hukum Nasabah di saat menandatangani dokumen-dokumen kepemilikan objek jual beli untuk dan atas nama Bank. Wakalah merupakan media bagi Bank Syariah sebagai penyedia dana untuk mempersingkat proses administratif perpindahan title objek jual-beli langsung kepada nasabah. Inilah fungsi lain dari Wakalah.

Bagaimana jika ada produk pembiayaan yang keluar dari kaidah penyediaan dana sebagaimana produk Griya Swakarya?

Berdasarkan salah satu azas hukum positif ; lex specialis derogat legi generalis, maka diperlukan izin khusus dari otoritas perbankan agar produk itu tetap dapat termitigasi dari sisi Risiko Hukum dan Risiko Kepatuhan. Izin khusus itu juga berguna dalam klasifikasi portofolio pembiayaan murabahah untuk keperluan perpajakan (misalnya ; pajak sektor bisnis properti), pengelolaan kekayaan negara (misalnya ; perpindahan title aset dari Perusahaan ke Konsumen dalam hal Bank Syariah sebagai BUMN/BUMD) atau kepentingan lainnya.

Mengapa Diversifikasi ?
Griya Swakarya merupakan diversifikasi (penganekaragaman) portofolio pembiayaan murabahah, dan bukan soal kemurnian. Diversifikasi ini dibutuhkan untuk segmen pasar yang masih menganggap Bank Syariah belum menjadi Penjual “seutuhnya”. Walau bagaimana pun, Bank Syariah harus tetap mengakomodir keinginan segmen pasar tersebut. 

Griya Swakarya merupakan diversifikasi khas produk keuangan Syariah. Ciri khasnya bukan terletak pada konsep pencatatan persediaan, sebab itu mudah dilakukan dengan modifikasi jurnal. Ciri khasnya adalah tanggung jawab kontraktual Bank sebagai pengelola usaha dagang properti. Bank Syariah bertanggung jawab langsung (kontraktual) atas permasalahan yang berkaitan dengan kondisi barang yang telah dijual secara cicil kepada konsumen (Nasabah). Harus diakui Bank Syariah yang menerapkan pembiayaan Murabahah Non Kaidah Griya Swakarya, tidak bisa menerapkan tanggung jawab kontraktual kepada Nasabah. Dalam hal terjadi permasalahan pasti akan melibatkan Penjual Pertama dalam penyelesaian masalah. Tanggung jawab Bank Syariah terbatas pada mediasi Nasabah dan Penjual Pertama. [intisari wawancara tentang Hukum Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Syariah dalam Kasus Janji Pelunasan Dipercepat dengan Mustolih Siradj, SHI, MA, CLA hafizhahullâh (Pengacara Ekonomi Syariah)].

Harus diingat, ini bukan soal benar  dan salah, akan tetapi memang seperti itulah konsep perbankan berdasarkan undang-undang yang berlaku di Nusantara tercinta. Memaksakan pembiayaan murabahah tanpa wakalah harus berlaku untuk semua portofolio pembiayaan murabahah di Bank Syariah tidaklah tepat.  

Pertimbangan pertama adalah murabahah tanpa wakalah ataupun dengan wakalah dibolehkan secara syariah. Bagaimana mungkin Antum bisa menuduh Fatwa  DSN-MUI yang juga memuat aturan wakalah melanggar Syariah ? Fatwa DSN-MUI punya karakteristik yang moderat. Tidak terlalu “liberal”, seperti Malaysia yang membolehkan Ba’i Inah tanpa ‘udzur Syar’i. Tidak terlalu “stricted (kaku)”, sebagaimana fatwa dari Timur Tengah. [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/fatwa-ulama-dewan.html].

Pertimbangan kedua dari sisi pengelolaan risiko. Bank Syariah tetaplah lembaga financial intermediary yang dikenal sebagai highly regulated Industry. Di samping tunduk pada azas prinsip syariah dan demokrasi ekonomi, Bank Syariah juga harus mengedepankan prisip kehati-hatian dalam menjalankan fungsinya itu. Bahkan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan Bank Syariah wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya (pasal 36). [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/08/bank-syariah-dana-prinsip-menjaga-harta.html].

Bank Syariah harus berhati-hati dalam memilih objek yang bisa diterapkan untuk murabahah tanpa wakalah ini (semisal Griya Swakarya). Pemilihan properti sebagai underlyng dari Griya Swakarya sangat tepat. Mengingat, nilai tanah dan bangunan cenderung naik setiap tahun. Di saat terjadi kelesuan ekonomi (misal ; daya beli rendah), Bank memiliki buffer risiko (market risk) dari kenaikan harga tanah.    
                          
Berbeda, jika underlyng murabahah tanpa wakalah adalah kendaraan. Secara nature nilai dari kendaraan cenderung turun setiap tahunnya. Di saat terjadi kelesuan ekonomi (misal ; daya beli rendah), Bank tidak memiliki buffer risiko dari penurunan nilai itu sehingga ter-ekspose risiko pasar. Untuk barang seperti ini murabahah dapat dilakukan dengan wakalah. Tentunya dengan tetap mengedepankan pola perjanjian kerjasama dengan supplier penyedia barang dan/atau pemenuhan terhadap wakalah sebagai salah satu bukti adanya hubungan kontraktual antara Bank Syariah dan supplier (kepemilikan secara prinsip).

Itu baru 1 risiko dari 10 risiko bisnis yang dihadapi Bank Syariah berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 65/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Bagi yang menganggap analisa risiko ini terlalu “liberal”, tolong jelaskan hukum meninggalkan unta tanpa diikat untuk keperluan sholat dzuhur di masjid. 

Akhir dari kisah ini adalah :
Hentikanlah kegiatan menyudutkan (bully garis halus) Bank Syariah lain yang masih melaksanakan murabahah dengan wakalah. Sebab, murabahah tanpa wakalah ataupun dengan wakalah dibolehkan secara syariah.  Bagaimana kalau diusulkan cara lain yang lebih tepat, yaitu :

Pertama : harapan agar Bank Syariah lain meniru untuk melakukan diversifikasi atas portofolio pembiayaan murabahah-nya. Diversifikasi yang menjadi ciri khas Bank Syariah sebagaimana Gadai Emas iB. Diversifikasi itu adalah pembiayaan murabahah yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak ; Bank Syariah dan Nasabah. Meminjam istilah penentang poligami “dalam rumah tangga jangan pernah ada orang Ketiga diantara kita”.

Kedua : harapan agar seluruh Bank Syariah memperluas kerjasama dengan supplier atau penyedia barang. Khususnya terhadap barang yang secara nature memiliki risiko penurunan nilai seperti ; otomotif, elektronik, perkakas, buah-buahan dan lainnya. Kerjasama ini sangat diperlukan untuk meminimalisir gharar dalam transaksi murabahah dan menjadi salah satu saranan pemenuhan Qabdh (penguasaan), baik Qabdh Haqiqi (penguasaan fisik) maupun Qabdh Hukmi (penguasaan konstruktif).

Ketiga: harapan agar Bank Syariah dan Nasabah memahami maksud penggunaan Wakalah dan bersedia sepenuh hati untuk dapat menyempurnakan pelaksanaannya sesuai dengan kedudukan masing-masing. Hal ini penting karena Wakalah merupakan jembatan pemenuhan syarat mutsman, yaitu mustman harus milik penjual.

Bukankah begitu ? Cobalah renungkan! 

Jangan ribut dan galau lagi ya !   Yuk damai!

"Jangan salah pilih lawan" Nasehat Ustadz Abdul Somad hafizhahullâh

Wallâhu a'lam

Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq

baca juga :

Bank Syariah Dihujat

Sohib dan Solmed Punya Cerita

Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam

Sharia Business Intelligence



Comments