Menakar Fatwa Riba Pada Denda & (Sita) Agunan



Revisi

Tanggapan Atas Booklet 13 Fakta Tentang Riba

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Muhaimin Iqbal dalam essainya berjudul “Fahrenheit 212” yang menjadi viral di media sosial (whatsapp), mengingatkan umat agar menggunakan momentum tipping point 212 untuk hal – hal positif dalam berbagai aspek kehidupan tak terkecuali bidang pemberdayaan ekonomi umat. Menurutnya, “ketika ummat Islam dalam jumlah yang amat sangat besar berkumpul untuk berdo’a dan sholat Jum’at di Monas dan sekitarnya, Umat yang tadinya tidak nampak kekuatannya, menjadi menampakkan kekuatannya yang menggetarkan seluruh dunia. Tetapi bila kekuatan yang sangat besar tersebut tidak segera digunakan untuk hal-hal yang positif, mengatasi masalah-masalah besar yang dihadapi  umat ini maka kekuatan yang besar tersebut akan kembali seperti uap yang mendingin – terserap kembali ketempatnya masing-masing – nyaris tanpa bekas.” 

Nyata kita lihat bahwa umat Muslim menemukan momentum yang tepat untuk mensosialisasikan secara masif pentingnya ekonomi berbasis syariah di Negeri ini. Syiar pembetukan Bank Syariah 212, Koperasi Syariah 212, Super/Minimarket 212, TV 212, Radio 212 dan instrumen ekonomi syariah lainnya masif disebarkan melalui berbagai media pasca 212. Terbaru ,dikabarkan bahwa langkah nyata dari syiar tersebut adalah berdirinya Koperasi Syariah 212 dan Minimarket Syariah 212. Alhamdulillâh.

Syiar ekonomi syariah di Indonesia tercatat dimulai pada tahun 1990. Saat itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.

Booklet 13 Fakta Tentang Riba

Pada momentum tipping point 212 termasuk 411, Saya menemukan ada penggiat ekonomi syariah -secara individu atau mungkin tergabung dalam suatu organisasi bisnis Islam- berupaya menyadarkan Umat akan bahaya Riba melalui pembuatan slide virtual berjudul “Booklet 13 Fakta Tentang Riba”. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem keuangan internasional yang menguasai perekonomian negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia masih terkontaminasi “akut” dengan sistem Ribawi. Kita telah memasuki zaman dimana sulit untuk sekaligus keluar dari atmosfir ribawi serta terbebas dan steril sama sekali dari debu-debu sistem bunga yang dikategorikan sebagai bencana merata ummul balwa (Setiawan Budi Utomo - Fiqh Aktual ;130). 

“Booklet 13 Fakta Tentang Riba” merupakan syiar nyata yang patut diapresiasi. Syiar tentang bahaya Riba merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang ekonomi yang sejatinya wajib bagi setiap muslim melaksanakannya. Dalam konteks politik ekonomi, syiar tersebut adalah upaya menggunakan momentum tipping point 212/411 untuk hal – hal positif dalam bidang pemberdayaan ekonomi umat berdasarkan prinsip syariah. Namun, ada hal penting dimana saya memutuskan untuk membuat tulisan singkat ini sebagai wujud menjaga tradisi Ilmiah, yaitu memberi tanggapan atas ide/kesimpulan hukum/hasil penelitian orang lain tanpa harus menyudutkan maksud mulia dari pembuatnya.                        

Dalam “Booklet 13 Fakta Tentang Riba” dijelaskan secara singkat salah satu defenisi Riba. “Riba (riba dayn) adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (BUNGA, FASILITAS, DENDA, SITA)”. Menarik untuk dicermati bahwa defenisi Riba dalam booklet tersebut mengarahkan pembaca untuk “seketika” menyimpulkan bahwa HARTA Denda dan Sita (agunan) yang diambil dari konsumen/nasabah lembaga bisnis syariah apapun wa bil khusus Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah Riba yang nyata. Lebih dari itu, pembaca juga diarahkan untuk “seketika” menyimpulkan bahwa LKS  tidak boleh mengenakan DENDA dan SITA (Agunan) dalam kegiatan pembiayaan karena hal itu merupakan bentuk PRAKTIK yang haram.

Memasukkan secara langsung komponen DENDA serta SITA menjadi bagian dari Riba merupakan kesimpulan yang ‘prematur.’ Jika tidak diimbangi dengan suatu kajian/pendapat lain, maka dikhawatirkan syiar dari booklet tersebut menjadi keliru dan kontraproduktif bagi perkembangan LKS di Indonesia yang semakin meningkat khususnya pada momentum tipping point 212/411. Apakah ini hal ini hanya prasangka saja? Alhamdulillâh, tidak. Dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam dunia sosial media saya menemukan fakta dari apa yang saya khawatirkan tadi.

Denda dan Tujuannya
Dasar syariah Pengenaan denda oleh LKS dapat kita kaji bersama dalam Fatwa DSN-MUI No: 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran. terdapat enam pokok aturan dalam fatwa diantaranya ; 
  1. Sanksi adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
  2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
  3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
  4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
  5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
  6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Bilamana ada LKS yang mengenakan sanksi dengan sebab selain angka pertama, maka hindari sikap langsung memvonis LKS keluar koridor syariah atau tidak Syar’i. Setiap LKS sudah pasti memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang notabene merupakan wakil DSN pada LKS. Seluruh kebijakan bisnis yang dilakukan LKS termasuk dalam pengenaan denda, lazimnya sudah mendapatkan persetujuan DPS yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan dalil dan konteks masalah yang dihadapi oleh LKS tersebut.

Dikutip dari al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah al-Zuhailiy rahimahullâh, Mazhab Hanafi menyatakan bahwa ribâ adalah :
"Melebihkan harta tanpa (adanya) 'iwadh pada transaksi pertukaran harta dengan harta" (Jil 4 hal 435).

Defenisi ini mensyaratkan bahwa suatu praktik pengambilan (kelebihan) harta dari pihak lain dapat dinyatakan ribâ bilamana tidak memiliki 'iwadh (dasar / underlying / padanan / ganti rugi) yang dibenarkan oleh syariah.

Dalam jual beli pada umumnya terjadi pertukaran barang dengan uang. Keuntungan berupa kelebihan harta dari pokok modal barang yang didapat penjual tidak dikategorikan ribâ mengingat dasar transaksi jual beli tersebut adalah barang. Permisalan lain adalah bahwa kelebihan dalam jual beli bukanlah riba karena transaksi jual beli dibenarkan oleh syariah. Allah subhânahu wa ta’âla berfiman:
"... dan Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan ribâ..." (QS. Al-Bâqarah (2) : 275]

Dalam transaksi sewa pada umumnya terjadi pertukaran manfaat barang dengan uang. Keuntungan berupa kelebihan harta yang didapat pemberi sewa dari uang sewa tidak dikategorikan ribâ mengingat dasar transaksi sewa tersebut adalah manfaat barang. Sama halnya dengan transaksi jasa, di dalamnya terjadi pertukaran manfaat dengan uang. Upah sebagai kelebihan harta yang didapat pekerja dari perusahaan tidak dikategorikan ribâ mengingat dasar pemberian upah adalah keahlian/kerja untuk kepentingan perusahaan. Permisalan lain adalah bahwa kelebihan harta dalam transaksi sewa ataupun jasa bukanlah ribâ karena keduanya dibenarkan oleh Syariah. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda :   
"Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya"  

Hadits di atas diriwayatkan oleh ‘Abd ar-Razzâq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’îd al-Khudriy. Juga diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu al-Hasan dalam kitab al-atsâr tapi riwayatnya terputus. Lalu al-Baihaqiy meriwayatkanya dari jalur Abu Hanîfah, menurut Abu Zur’ah bahwa hadits tersebut mauqûf sampai Abu Sa’îd. [al-Zuhailiy, jil 4 hal 524].

Menunda-menunda pembayaran bagi yang mampu dapat dibenarkan untuk dijadikan dasar pengenaan sanksi berupa denda uang. DSN-MUI mengutip Hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” 

Dalam Shahih Jâmi’ al-Shoghir wa Ziyadâtuh, hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Nasâi dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid dinilai Hasan oleh Muhammad Nashiru al-Diin Albani (Jil. 2 hal 963).

Dasar pengenaan sanksi berupa denda uang BUKANLAH dalam rangka mencari keuntungan melainkan didasarkan pada prinsip TA’ZIR, yaitu bertujuan agar nasabah/konsumen lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Bagi saya, dalam rangka menjaga dasar inilah dana yang bersumber dari denda tidak boleh diakui sebagai pendapatan dan itu dinyatakan secara tegas oleh DSN MUI. Bilamana terdapat LKS yang mengakui dana denda sebagai pendapatan, maka LKS tersebut telah merubah dasar pengenaan denda yang semula untuk mendisiplinkan nasabah menjadi praktik pengambilan keuntungan. Jika ini yang terjadi, maka saya sepakat itulah Riba, baik praktiknya maupun status hartanya serta haram dilakukan oleh LKS.
                     
Perlu dilakukan penelurusan sumber pustaka untuk meneliti pertimbangan penulis booklet yang memutuskan bahwa DENDA menjadi salah satu bagian dari Riba. Sumber pustaka dimaksud adalah buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh. Dalam bukunya, ia menyatakan secara tegas bahwa ; 
  1. “Menurut istilah, Riba berarti : menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (dikenal dengan riba dayn)……” (hal 383)
  2. “Hukum denda keterlambatan adalah riba, sekalipun dana tersebut seluruhnya diakui sebagai dana sosial. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan jual-beli kredit.”(hal 481)
  3. “Hakikat membeli barang secara kredit adalah membeli barang dengan cara berutang.” (hal 420) 
Denda berupa uang merupakan tambahan harta, jika tambahan ini dikenakan kepada pihak yang berhutang maka itulah riba. Pada saat LKS menyalurkan pembiayaan dengan prinsip (jual beli) murabahah tangguh, maka posisi nasabah adalah sebagai pihak yang berhutang. Dengan menggunakan pertimbangan pustaka yang dirujuk penulis booklet, dapat diperoleh perkiraan kesimpulan, bahwa LKS yang mengenakan denda untuk maksud apapun kepada nasabah pembiayaan maka itulah Riba. 

Saya cenderung memilih definisi Riba yang dinyatakan oleh Mazhab Hanafiyah sebagaimana terdapat dalam buku al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Zuhaily (rahimahullâh) yaitu ; “Kelebihan harta tanpa (adanya) iwadh pada transaksi pertukaran harta dengan harta”. Berangkat dari definisi ini, maka harus ada parameter iwadh dalam menilai sah atau tidaknya pengambilan harta. Definisi ini fokus pada substansi ribâ dalam sistem keuangan, yaitu keuntungan dari penambahan harta. Istilah “penambahan beban” sangat multi tafsir ; bisa saja berarti beban kehidupan, beban perasaan, beban budi, beban ekonomi atau beban lainnya. 

Dalam pengamatan saya, terdapat LKS di Indonesia yang sudah menghilangkan pengenaan denda atau menyalurkan pembiayaan tanpa denda kepada Nasabah. Hal ini tentu menjadi selling point dalam rangka meningkatkan ekspansi  bisnis. Saya memberikan APRESIASI kepada LKS yang sudah menghilangkan pengenaan denda atau menyalurkan pembiayaan tanpa denda serta berharap LKS lain bisa menyusul untuk mengikutinya. Namun, terhadap LKS yang masih mengenakan denda kepada nasabah, maka jangan terlalu cepat memvonis LKS tersebut tidak Syar’i. Parameter Syar’i menjadi sempit dan keliru jika diartikan sebatas ketiadaan denda.

Amanah Dana Nasabah dan Sita Agunan
Sistem keuangan merupakan tatanan perekonomian yang berperan pada berbagai aktivitas jasa keuangan dalam suatu Negara yang diselenggarakan oleh Lembaga Keuangan. Salah satu fungsi dasar Sistem Keuangan adalah memobilisasi dan mengalokasikan dana. Fungsi ini dikenal juga dengan istilah financial intermediary. Sistem Keuangan yang sesuai dengan Prinsip Syariah memiliki 2 prinsip utama (Andri Soemitra - Bank & Lembaga Kuangan Syariah ; 19), yaitu ; Prinsip Syar’i dan Prinsip Tabi’i.

Prinsip Syar’i merupakan prinsip yang diambil dari sumber-sumber hukum syariah yaitu Qur’an, Sunnah dan Ijtihad Ulama (ijma, qiyas, dll). Prinsip Tabi’i merupakan prinsip yang diperoleh dari pengalaman dan hasil akal fikir manusia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi (baca : keuangan dan bisnis) yang terjadi.

Prinsip Syar’i meliputi ; kebebasan bertransaksi, kesetaraan dalam transaksi, keadilan dan saling menguntungkan (lawan dari kedzaliman), tranparansi informasi (lawan dari asimetri informasi), kemaslahatan transaksi dan objek transaksi termasuk terhadap pihak ketiga, bebas judi, bebas riba, bebas dari ketidak jelasan kualitas, kuantitas dan mekanisme transaksi, bebas dari paksaan, bebas dari manipulasi kualitas, kuantitas dan mekanisme transaksi serta implementasi terhadap zakat. Sedangkan, Prinsip Tabi’i meliputi ; tata kelola keuangan dan bisnis yang baik, pengendalian dan pengelolaan terhadap risiko keuangan dan bisnis, kehati-hatian dalam penyelenggaraan aktivitas keuangan dan bisnis, sensitivitas terhadap pasar yang selalu berkembang dinamis dan lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan kegiatan keuangan dan bisnis.

Bank Syariah, sebagaimana bank pada umumnya, merupakan badan usaha yang berfungsi sebagai financial intermediary melalui kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Di samping tunduk pada azas prinsip syariah dan demokrasi ekonomi, Bank Syariah dalam menjalankan kegiatannya juga harus mengedepankan prisip kehati-hatian. Ketiga hal ini (prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian) menjadi asas Bank Syariah sebagaimana amanat dari UU No. 21 Tahun 2008.

Pada sisi penghimpunan dana, Bank Syariah merupakan patner dari Shâhibul Maal (Nasabah) yang memperoleh mandat pengelolaan harta syirkah (mudharabah) atau lebih familiar disebut mudhârib. Bank Syariah juga memiliki peran sebagai penjaga dana titipan nasabah dan wajib mengembalikannya. Pada sisi penyaluran dana, Bank Syariah atas mandat yang diperoleh dari Shâhibul Maal (Nasabah) dan Amanah Titipan dari Nasabah Penitip, menjalankan fungsinya sebagai manajer investasi dengan mengalokasi dana kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan melalui tiga prinsip utama ; jual beli, sewa dan kerjasama. Dalam literatur akademis, peran ini lazim disebut sebagai Fungsi Manajer Investasi pada Bank Syariah.

Bank Syariah wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya (pasal 36 UU No. 21 Tahun 2008). Baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana.

Bank Syariah sebagai Manajer Investasi, dituntut harus mampu berkerja dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi agar dapat terhindar dari kerugian bisnis yang pada akhirnya berdampak negatif secara tidak langsung terhadap kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dalam bentuk pembiayaan merupakan harta milik Shâhibul Maal (Nasabah) dan Nasabah Penitip yang wajib dikembalikan kepada mereka. Merujuk pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang disahkan melalui Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 2008 dinyatakan :
  • “Mudharib tidak boleh menghibahkan, menyedekahkan, dan/atau meminjamkan harta kerjasama, kecuali bila mendapat izin dari pemilik modal.” [buku II tentang akad pasal 240, Kencana PPHIMM].
Catatan : Mudharib adalah Pengelola Harta dalam hal ini Bank Syariah dan Pemilik Modal adalah Shahibul Maal dalam hal ini Nasabah Penghimpunan Dana.
  • “Mustaudi’ tidak berhak mengalihkan objek wadi’ah kepada pihak lain tanpa seizin muwaddi’. [buku II tentang akad pasal 423, PPHIMM].
Catatan : Mustaudi’/Mustauda’ adalah Penerima Titipan dalam hal ini Bank Syariah dan Muwaddi’ adalah Penitip dalam hal ini Nasabah Penghimpunan Dana.

Dalam asas pemberian pembiayaan yang sehat, Bank Syariah harus memperhatikan Jaminan Pemberian Pembiayaan  dalam arti Bank syariah harus mendapatkan keyakinan yang mendalam atas kemauan (itikad baik) dan kemampuan Calon Nasabah/Nasabah membayar kembali atau melunasi pembiayaan sesuai waktunya. (Penjelasan Pasal 8 ayat 1 UU No. 10 Tahun 1998 dan Pasal 69 UU No. 21 Tahun 2008)

Terdapat 5 aspek yang menjadi perhatian Bank Syariah saat melakukan analisa kelayakan pembiayaan yaitu ; karakter/watak, kemampuan, modal, prospek usaha dan agunan. Jalan keluar pertama (first way out) dari asas pembiayaan yang sehat adalah analisa terhadap karakter/watak, kemampuan, modal dan prospek usaha. Sedangkan, Jalan keluar kedua (second way out) dari asas pembiayaan yang sehat adalah analisa terhadap Agunan. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Pembiayaan. (Pasal 1 ayat 26 UU No. 21 Tahun 2008).

Dalam melakukan analisa penilaian terhadap Agunan, Bank Syariah harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai Agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila Nasabah Penerima Fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, Agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali Pembiayaan dari Bank Syariah yang bersangkutan.

Pada buku Harta Haram Muamalat Kontemporer, tidak ditemukan keterangan Dr. Erwandi Tarmizi hafizhahullâh yang menyatakan secara tegas bahwa Sita Agunan merupakan bagian dari Riba. Sita Agunan dimaksud bisa memiliki 2 arti, sebagai contoh rumah yang dijadikan agunan. Sita agunan dapat berarti mengeluarkan pemilik atau penghuni rumah yang notabene adalah nasabah macet untuk kemudian dilakukan penjualan agunan kepada pihak lain menurut ketentuan hukum positif yang berlaku. Sebagian dari hasil penjualan agunan digunakan untuk membayar hutang pokok dan atau lainnya. Sita agunan juga dapat berarti langsung melakukan proses penjualan kepada pihak lain tanpa mengeluarkan pemilik atau penghuni dari rumah. 

Perlu diketahui bahwa proses penjualan agunan adalah langkah terakhir dari berbagai macam langkah penanganan pembiayaan macet, meliputi ; penagihan intensif, klaim penjaminan atau asuransi, penjadwalan kembali, penundaan pembayaran, restrukturisasi pembiayaan, hapus buku, hapus buku disertai dengan hapus tagih dan lainnya. 

Kita dapat membuat perkiraan untuk menemukan pertimbangan penulis booklet saat memutuskan bahwa SITA menjadi salah satu bagian dari Riba. Penulis booklet telah menyatakan bahwa “Riba (riba dayn) adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (BUNGA, FASILITAS, DENDA, SITA).”

Fokus analisa adalah pada kalimat penambahan beban kepada orang yang berhutang. Pelaksanaan SITA memiliki dinamika tersendiri, khususnya bagi nasabah yang memang mengalami penurunan kemampuan ekonomi sehingga mengakibatkan pembiayaannya macet. Satu sisi nasabah tersebut punya kebutuhan sehari hari yang harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain ia pun memiliki kewajiban yang harus diselesaikan dengan lembaga keuangan dan hanya bisa diselesaikan dengan proses SITA. Beban nasabah pembiayaan macet sudah dipastikan bertambah. Di saat LKS memutuskan untuk melakukan proses SITA maka dapat diambil kesimpulan bahwa LKS melakukan praktik Riba. 

Dr. Erwandi menulis sub bab pembahasan “Solusi Islami Untuk Kredit Macet” dengan menjabarkan analisa beberapa alternatif dalam penanganan kredit macet ; i) mensyaratkan jatuh tempo seluruh angsuran sebelum waktunya ketika pembeli terlambat membayar (sebut saja macet), ii) meminta barang untuk dijadikan gadai, iii) bersabar hingga debitur mampu melunasi utangnya dan  iv) memaafkan hutang debitur (menyedekahkan sisa kewajiban) karena hal tersebut merupakan suatu amalan yang pahalanya sangat besar. Di samping itu, Ia juga memberikan kritikan terhadap 2 solusi penanganan kredit macet yang difatwakan oleh DSN-MUI yaitu pengenaan ta’widh dan denda keterlambatan. (hal 468).

Bagi saya alternatif terakhir dari “Solusi Islami Untuk Kredit Macet” yaitu memaafkan hutang debitur (menyedekahkan sisa kewajiban) sangat mulia. Memaafkan hutang debitur adalah solusi “Ilahi” sebagaimana firman Allah subhânahu wa ta'âla dalam Qs. Al-Baqarah [2] ; 280 ; “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Setiap pribadi muslim harus berusaha mencoba memiliki kelapangan jiwa dalam hal utang piutang. Besar harapan di saat orang yang berhutang mengalami kesulitan ia mampu mengikhlaskan piutangnya untuk disedekahkan kepada orang yang berhutang tadi. Tentunya hal ini kembali kepada pribadi masing-masing muslim.

Bagaimana jika solusi memaafkan hutang debitur (menyedekahkan sisa kewajiban) diterapkan oleh LKS yang notabene merupakan kumpulan dari pribadi-pribadi muslim dan non muslim ?                

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa LKS memiliki 2 peran dalam memobilisasi dana di masyarakat. Pertama, LKS berperan sebagai Mudharib yang mendapat mandat dari Shahibul Maal untuk mengelola dana. Kedua, LKS berperan sebagai pemegang amanah dana titipan dari Penitip. Dana yang berhasil didapat oleh LKS terkumpul dalam satu pooling dana untuk kemudian dialokasikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Jika ada dana yang tidak di-pooling melainkan langsung disalurkan kepada masyarakat tertentu, maka dalam konteks ini LKS telah menerapkan prinsip mudharabah muqayyadah (restricted investment). Dalam prinsip mudharabah muqayyadah LKS berperan sebagai arranger yang mempertemukan pemilik dana langsung peer to peer dengan pemohon dana.

Pada prinsipnya, LKS sebagai wakil Shahibul Maal tidak dapat dituntut ganti rugi disaat bisnis yang dikelola LKS merugi. Seluruh kerugian harus diterima oleh Shahibul Maal dengan konsekuensi kehilangan harta syirkah (modal). Namun, kerugian dimaksud adalah kerugian murni karena bisnis bukan kerugian yang disebabkan karena LKS mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam alokasi dana. Dalam hal LKS sebagai penjaga dana titipan, setiap dana yang hilang karena kerugian bisnis menjadi tanggung jawab penuh LKS untuk menggantinya. 

Berangkat dari pemahaman ini, bahwa Sita agunan yang dilakukan LKS bertujuan menjaga harta shahibul maal dan juga penitip (Nasabah) BUKAN bermaksud menambah atau memperoleh keuntungan LKS ataupun Nasabah. Dalam rangka menjaga harta Nasabah LKS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan LKS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.

SITA agunan yang dilakukan LKS bukanlah praktik Riba. LKS dibenarkan secara hukum syariah dan hukum positif untuk melakukan Sita (eksekusi/penjualan) jaminan dimana sebagian dari hasil penjualan tersebut digunakan untuk melunasi utang Nasabah. Jika terdapat kelebihan dan dari hasil penjualan agunan maka kelebihan itu wajib dikembalikan kepada Nasabah. Silahkan merujuk Fatwa DSN-MUI No. 25, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dan peraturan tentang jaminan lainnya.

Kita harus bersikap secara proposional terhadap persoalan Sita agunan pada LKS. Kesimpulan yang gegabah lambat laun dapat menjadi isu negatif yang justru kontraproduktif bagi perkembangan LKS di Indonesia. 

Wallâhu a'lam

Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq

Comments

  1. Ustadz Irham Anas, saya minta fatwa/taujihnya, apakah haram 'menggunakan dana tidak sesuai kesepakatan dengan pemberi dana namun itu untuk kebaikan pemberi dana'. Riilnya, donatur memberikan Rp 1.000.000,- untuk anak yatim, oleh NGO diberikan Rp 700.000,- saja, Rp 100.000,- untuk keperluan administrasi, Rp 100.000,- untuk biaya operasional lembaga/kantor NGO tersebut, Rp 100.000,- untuk upah karyawan NGO tersebut. Boleh atau tidak? Saya betul-betul minta taujih/fatwa Ustadz... Saya tunggu jawaban ustadz di brillyelrasheed@gmail.com atau kalau ada kitab-kitab yang bisa saya pelajari, baik Arab atau Indonesia. Whatsapp saya 082140888638.

    ReplyDelete

Post a Comment