Antara Ribâ, Bunga, Bonus dan Bagi Hasil (1)

Sebuah Pesan Kepada Pencari Kebenaran
Bagian Pertama

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Nostalgia Isu Bank Syariah 
Bank Syariah telah menjadi bagian dalam sistem keuangan di Indonesia sejak tahun 1992. Total Aset Bank Syariah posisi 30 Juni 2017 tercatat sebesar Rp 387,8 triliun didukung dengan 201 Bank Syariah dan 2.641 jaringan kantor yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pangsa pasar Bank Syariah terhadap Industri Perbankan Nasional telah mencapai 5.34%. Pada sisi lain, kritik tajam mengiringi perjalanan Bank Syariah selama lebih dari 25 tahun terakhir.

Sejenak bernostalgia. Civitas akademika Muamalat Ekonomi Islam tentu masih ingat isu Bank Syariah menjadi bahan diskusi yang menghidupkan kelas. 

Diskusi tentang nilai dasar ekonomi Islam pada Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Islam, berujung dengan perdebatan tentang Bank Syariah yang dianggap tidak mampu mengimplementasikan nilai keadilan dalam pembiayaan macet. Diskusi tentang biaya produksi pada Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam, berujung dengan perdebatan tentang Bank Syariah yang dianggap tidak akan mampu menurunkan biaya produksi disebabkan harga pembiayaan cenderung tetap (fixed cost). Diskusi tentang moneter pada Mata Kuliah Ekonomi Makro Islam, berujung dengan perdebatan tentang Bank Syariah yang dianggap pro Kapitalis karena masih mengadopsi konsep time value of money dalam perhitungan harga pembiayaan. Diskusi tentang strategi memulai usaha pada Mata Kuliah Kewirausahaan berujung dengan perdebatan tentang Bank Syariah yang dianggap tidak mendukung sektor produktif mikro, kecil dan menengah karena menerapkan pembiayaan berbasis agunan. Diskusi tentang  akad murabahah pada Mata Kuliah Fiqh Muamalah berujung dengan perdebatan tentang Bank Syariah yang dinilai tidak syar’i karena dianggap melanggar prinsip murabahah dalam khazanah fiqh Islam. 

Berbicara Muamalat Ekonomi Islam, maka 70% pikiran orang akan mengarah pada Bank Syariah. Apa mungkin karena Bank Syariah merupakan institusi bisnis pertama yang menerapkan ekonomi rabbani ? atau Bank Syariah mungkin terlalu “seksi” sehingga semua kritik tertuju padanya. Bagaimana menurut Anda ?

Antara Ribâ dan Bunga
Dikutip dari al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah al-Zuhailiy rahimahullâh, Mazhab Hanafi menyatakan bahwa ribâ adalah :
"Kelebihan harta tanpa (adanya) 'iwadh pada transaksi pertukaran harta dengan harta" [jilid 4, hal 435]. 

Defenisi ini mensyaratkan suatu praktik pengambilan (kelebihan) harta dari pihak lain dinyatakan ribâ bilamana tidak memiliki 'iwadh (dasar / underlying / padanan / ganti rugi) yang dibenarkan oleh Syariah.

Dalam jual beli pada umumnya terjadi pertukaran barang dengan uang. Keuntungan berupa kelebihan harta dari pokok modal barang tidak dikategorikan ribâ. Sebab, dasar transaksi jual beli adalah barang. Permisalan lain ; kelebihan dalam jual beli bukanlah ribâ karena transaksi jual beli dibenarkan oleh Syariah. Allâh subhânahu wa ta’âla berfiman:
"... dan Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan ribâ..." (QS. Al-Baqarah (2) : 275]

Dalam transaksi sewa pada umumnya terjadi pertukaran manfaat barang dengan uang. Keuntungan berupa kelebihan harta dari uang sewa tidak dikategorikan ribâ. Sebab, dasar transaksi sewa adalah manfaat barang. Sama halnya dengan transaksi jasa. Upah sebagai kelebihan harta yang didapat pekerja/pemberi jasa tidak dikategorikan ribâ. Sebab, dasar pemberian upah adalah kerja (keahlian) untuk kepentingan perusahaan. Permisalan lain ; kelebihan harta dalam transaksi sewa dan jasa bukanlah ribâ karena transaksi tersebut dibenarkan oleh Syariah. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda :   
"Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya"  

Hadits di atas diriwayatkan oleh ‘Abd ar-Razzâq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’îd al-Khudriy. Juga diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu al-Hasan dalam kitab al-atsâr tapi riwayatnya terputus. Lalu al-Baihaqiy meriwayatkanya dari jalur Abu Hanîfah, menurut Abu Zur’ah bahwa hadits tersebut mauqûf sampai Abu Sa’îd. [al-Zuhailiy, jilid 4 hal 524].

Pada perbankan konvensional kita sering mendengar istilah bunga. Bunga adalah imbal jasa atas pinjaman uang. Sedangkan suku bunga adalah Persentase dari pokok utang yang dibayarkan sebagai imbal jasa ( bunga ) dalam suatu periode tertentu. [id.wikipedia.org]. 

Keuntungan berupa kelebihan harta (uang imbal jasa) yang diterima Nasabah Simpanan dari Bank Kovensional atau pun sebaliknya adalah ribâ. Keuntungan tersebut diperoleh adalah atas dasar pinjaman uang atau hutang-piutang. Pinjaman uang tidak bisa dijadikan dasar dari praktik pengambilan (kelebihan) harta. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman (hutang-piutang) yang mendatangkan tambahan maka itulah ribâ”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hârits ibnu usâmah. Terdapat hadits lain dengan redaksi yang  sedikit berbeda yang diriwayatkan oleh al-Baihaqiy [wajhun min wujûhi al-ribâ] [lihat ; Subûlu al-Salam Syarh Bulûghu al-Marâm Min Jam’i Adillah al-Ahkaam, jilid 3 hal 72].

Menurut Buya Yahya, para ulama sepakat menerima hadits ini tanpa “cek ricek lagi” karena kesesuaiannya dengan dalil lain [www.youtube.com/watch?v=TniqhrDGrPY].  Sebagai tambahan wawasan, menarik untuk dibaca artikel Ustadz Lazuardi Irawan hafizhahullâh yang mengkaji keshahihan hadits kullu qardhin ini. [https://lazuardiirawan.wordpress.com/2012/03/29/shahihkah-hadis-kullu-qardhin-jarra-nafan-fahuwa-riba].   

Jamak diketahui bahwa forum ulama baik Nasional maupun Internasional telah sepakat tentang keharaman bunga Bank Konvensional.

Di tingkat Nasional, baik langsung maupun tidak langsung dalam berbagai forum ijtima’ ulama telah menghasilkan keputusan tentang status hukum terhadap bunga. Diantaranya ; Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968, Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdhatul Ulama (NU) tahun 1992, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada tahun 2000 dan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tahun 2003. Dari berbagai forum serta harapan masyarakat muslim terhadap praktik keuangan islami, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah).

Berikut beberapa kutipan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/Fa’idah) ;

Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.

Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.

Hukum Bunga (Interest)
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

Di tingkat Internasional, forum ulama internasional yang mengharamkan bunga Bank Konvensional antara lain: Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di al-Azhar Mesir pada tahun 1965, Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara negara OKI di Jeddah pada tahun 1985, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy tahun 1406 H, Dar al-Itfa Kerajaan Saudi Arabia tahun 1979 dan Supreme Shariah Court Pakistan tahun 1999.

Antara Riba, Bonus dan Bagi Hasil
Entah siapa yang memulai. Di media sosial beredar potongan video berdurasi singkat menceritakan seorang Ustadz yang dikenal sebagai pakar keharaman harta muamalat kontemporer memberikan fatwa tentang hukum pembukaan tabungan di Bank Konvensional. Ustadz tersebut memberikan solusi agar si penanya mengajukan permintaan untuk menghapus pasal pemberian bunga pada (formulir/perjanjian) tabungan. Tentu solusi ini dimaksudkan agar dia (si penanya) terhindar dari ribâ.       

Terbesit dalam hati, fatwa itu mungkin muncul dari kondisi darurat yang dialami si penanya sehingga tetap membuka tabungan pada Bank Konvensional. Boleh jadi karena si penanya tidak menemukan fitur yang dia butuhkan pada tabungan Syariah. Yakinlah bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Dalam keadaan darurat tertentu untuk hal yang khusus dapat mengakibatkan perubahan status hukum dari perbuatan mukallaf.

Selang beberapa minggu, video itu kembali muncul. Kali ini disebarkan oleh situs albaitu yang mempromosikan buku dagangannya. Dahi berkerut saat membaca kalimat yang berulang kali ditulis oleh Abu Abdillah dalam situs albaitu Riba (Bunga, Bonus, Bagi Hasil)”. Teringat tulisan ketika menanggapi Booklet 13 Fakta Tentang Riba ceroboh memasukkan denda dan sita agunan dalam komponenribâ. [https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/10/menakar-fatwa-riba-pada-denda-sita.html].

Bonus berupa kelebihan sejumlah dana yang diberikan Bank Syariah ke dalam Giro dan Tabungan Wadi’ah bukanlah bunga atau ribâ. Bonus adalah bentuk pemberian dari Bank Syariah atas dasar 'urf atau common practice yang terjadi pada industri perbankan dalam praktik penghimpunan dana pihak ketiga. Nasabah Giro dan Tabungan di samping mendapatkan keamanan dan fasilitas keuangan lainnya juga mendapatkan imbal jasa. Begitulah 'urf atau common practice-nya.  

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) memberi syarat agar pemberian yang menjadi 'urf atau common practice tadi tidak melanggar Syariah dengan menerbitkan keputusan yang menyatakan bahwa “Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank”. [Fatwa DSN-MUI No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan No. 2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan]. 

Pemahaman penulis terhadap makna “disyaratkan” dalam konteks tidak diperjanjikan secara tegas dalam redaksi pasal pada dokumen perjanjian/akad (dalam segala bentuknya di Bank Syariah). Bank Syariah merupakan perusahaan bisnis formal. Berbeda kondisi pada transaksi pinjaman uang antar individu secara informal. Misalnya, pinjaman uang kepada kerabat dekat. Gerak tubuh berupa “kedipan mata” dan lainnya ataupun tutur kata yang mengarahkan agar si peminjam uang tahu bahwa ia harus mengembalikan lebih dari uang yang dipinjamnya, masuk dalam makna “disyaratkan”. Jika ini yang terjadi maka kelebihan yang diterima si pemberi pinjaman adalah ribâ. 

Jika Giro atau Tabungan Syariah Anda diberikan bonus secara rutin oleh Bank Syariah, maka bonus itu adalah pendapatan Bank Syariah yang diberikan kepada Anda. Perlu dicatat bahwa bonus tidak dapat diprediksi jumlahnya karena bergantung pada kebijakan Bank Syariah. Jika Anda tidak menginginkan Bonus dari Bank Syariah, maka bisa diminta langsung kepada Bank Syariah.  

Bagi Hasil berupa kelebihan sejumlah dana yang diberikan Bank Syariah ke dalam Giro, Tabungan dan Deposito Mudharabah bukanlah bunga atau ribâ. Dasar utama pemberian bagi hasil adalah keuntungan. Ada keuntungan pasti ada yang dibagi. Lainnya adalah 'urf atau common practice industri perbankan dalam praktik penghimpunan dana pihak ketiga. Nasabah membuka Deposito untuk mendapatkan imbal hasil bukan sekedar menyimpan uang. Begitulah 'urf atau common practice-nya.

DSN-MUI memberi syarat agar pemberian keuntungan tadi tidak melanggar Syariah dengan menerbitkan keputusan yang salah satunya menyatakan bahwa “Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening”. [Fatwa DSN-MUI No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, No. 2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan dan No. 3/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito]. 

Pemahaman penulis terhadap kalimat “Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah” adalah pada angka prosentasi yang ditetapkan di depan antara Bank dan Nasabah. Sebagai contoh, nisbah Deposito Syariah yang disepakati adalah Nasabah 55% dan Bank 45 %. Jika Bank memperoleh pendapatan dari usahanya, maka hak Nasabah atas pendapatan tersebut sebesar 55%.

Jika Giro, Tabungan dan Deposito Mudharabah Anda mendapatkan Bagi Hasil secara rutin dari Bank Syariah, maka diperkirakan Bank Syariah Anda dalam performa yang baik. Hak Nasabah adalah mendapatkan Bagi Hasil atas pendapatan usaha. Dari sisi profitabilitas, kegiatan Usaha Bank Syariah juga memiliki dinamikanya sendiri. Bagi Anda yang memiliki Deposito Syariah, maka usahakan Anda tidak mencairkannya dalam jangka waktu minimal 6 bulan. Anda bisa meneliti sendiri bagi hasil yang diberikan Bank Syariah ada kalanya naik dan ada kalanya turun.

Bagaimana jika bagi hasil yang diterima cenderung tetap? Maka ada kemungkinan Bank Syariah Anda sedang terekspose risiko imbal hasil. Cara termudah dalam rangka memitigasi risiko imbal hasil adalah melepaskan sebagian hak atas bagi hasil untuk diberikan kepada Anda. Atau memberikan sebagian pendapat non operasional yang tidak masuk dalam objek bagi hasil untuk diberikan kepada Anda. Begitulah 'urf atau common practice yang terjadi di Bank Syariah dalam rangka mempertahankan Anda sebagai Nasabah.                                             

Insyâ Allâh Bagian Kedua tulisan ini, akan menyajikan analisis terhadap 'urf atau common practice pada industri perbankan dalam praktik penghimpunan dana pihak ketiga. 

Jika Anda tidak menginginkan bagi hasil dari Bank Syariah, maka Anda wajib meluangkan waktu untuk datang langsung kepada Bank Syariah. Kedatangan Anda bukan untuk menghapus pasal bagi hasil. Pasal bagi hasil berkaitan dengan syarat & rukun sahnya akad mudhârabah. Kedatangan Anda ditujukan untuk menyampaikan permohonan tertulis agar bagi hasil yang Anda terima disalurkan kepada lembaga sosial.                            

Anda dapat memilih Badan Wakaf Indonesia (BWI). Bank Syariah yang tergabung dalam Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang telah berkerjasama dengan BWI sebagai Nadzhir Wakaf Uang. Imbal hasil atas penggunaan dana wakaf dari kegiatan usaha Bank Syariah akan dibukukan ke rekening BWI untuk kegiatan sosial Islami.   

Pesan Kepada Pencari Kebenaran 
Duhai Abu Abdillah, masih ingat dengan tulisan Antum berjudul Hukum Menabung di Bank Konvensional atau Bank Syariah pada situs albaitu ?

“... Sekalipun seorang tidak mengambil atau memakan tambahan riba (bunga, bonus, bagi hasil) nya, karena tatkala seorang membuka tabungan di suatu bank, maka akan disyaratkan padanya untuk menandatangani pernyataan untuk menerima tambahan riba (bunga, bonus, bagi hasil) pada rekening tabungannya sebagai bentuk persetujuan. Padahal Allah Ta’ala melarang hamba-Nya berbuat  riba, bahkan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam pun melaknat orang yang berbuat riba."

Berikut pendapat yang patut Antum renungkan dari sesama penggiat dunia maya :
“Hukum adalah cabang dari mindset terhadap objek hukumnya. Jika mindsetnya keliru, dipastikan kesimpulan hukumnya pun akan keliru.” (Abu Khalid Resa Gunarsa)

Insyâ Allâh bagian 2 tulisan ini, akan menyajikan analisis terhadap 3 (tiga) dalil dari para asâtidz hafizhahumullâh yang boleh jadi Antum rujuk.

https://irham-anas.blogspot.co.id/2017/11/antara-riba-bunga-bonus-dan-bagi-hasil-2.html

Wallâhu a'lam

Wallâhu Muwaffiq ila Aqwam al-Tharîq

Selamat Memperingati Hari Santri. 
Saya Santri Pondok Pesantren Dârul Muttaqien (Parung Bogor)

Comments