by Muhammad Iqbal (Pemerhati Sejarah Islam)
Makkah dan Madinah sejak dahulu
merupakan daerah yang aman dari penjajahan bangsa lain, hal ini di sebabkan
karena dua daerah tersebut memiliki kondisi alam yang sangat ekstrim dan di kelilingi
bukit-bukit bebatuan yang kemudian secara alamiah menjadi “benteng” dari
serangan musuh. Dan dua imperium besar saat itu adalah Romawi dan Persia
sebenarnya juga ingin memiliki Makkah dan Madinah karena merupakan sumber
perekonomian. Namun dua imperium ini menyadari betapa susahnya mereka untuk
menguasai dan menyebarkan ajaran mereka. Sebagai gantinya Romawi menyebarkan
ajaran agama Nasrani di Yaman yang saat itu secara politik di kuasai oleh
dinasti Himyariah dan memiliki raja yang bernama Dzu Nuwas. Dan di masa dinasti
Himyariah ini agama Yahudi sudah telebih dahulu menyebarkan ajarannya.
Melihat daerah kekuasaannya di masuki
oleh ajaran Nasrani, Dzu Nuwas merasa terganggu dan mengancam penduduk Najran
yang beragama Nasrani jika tidak perpindah ke ajaran Yahudi, maka Dzu Nuwas
tidak akan segan-segan untuk membunuhnya. Dan sebagian besar penduduk Najran
tetap setia kepada ajaran Nasrani, Dzu
Nuwas sangat marah sekali dengan kesetiaan penduduk Najran hingga akhirnya ia
memerintahkan prajuritnya untuk membunuh semua penduduk Najran yang beragama
Nasrani dengan cara memasukannya kedalam parit dan membakarnya. Imperium Romawi sebagai pelindung ajaran
Nasrani, sangat kecewa dan marah kepada raja Yaman yang secara keji membunuh
para pemeluk Nasrani. Karenanya Imperium Romawi memerintahkan penguasa Habasyah
yang bergelar Raja Najasy untuk mengirimkan pasukan ke Yaman. Raja Najasy pun
mentaati perintah, kemudian ia mengirim 70.000 pasukan yang di komandoi oleh Aryath
dengan salah satu pasukannya yang bernama Abrahah al-Asyrum.
Dengan jumlah pasukan yang cukup banyak
tersebut akhirnya mengalahkan pasukan Dzu Nuwas, Prof. Ali Husni[1]
yang menukil pendapatnya Imam ath-Thabari mengatakan bahwa Dzu Nuwas memacu
kudanya membelah ombak lautan dan setelah itu ia mengilang, dan itu pertanda
berakhirnya kekuasaan dinasti Himyari. Prof. Ali Husni menambahkan bahwa
penyerangan pasukan Habasyah merupakan langkah kecil dari imperium Romawi, yang
sesungguhnya tujuan utama mereka mengirimkan pasukan adalah untuk menjajah
Yaman. Dari kemenangan melawan pasukan Dzu Nuwas ini, Raja Najasy mengangkat Aryath
sebagai Raja Yaman. Namun kekuasaan Aryath hanya sebentar, ia serakah terhadap
harta rampasan perang, dan inilah yang memicu pemberontakan dari kalangan
pasukannya sendiri. Beberapa pasukan yang merasa mendapatkan jatah harta
rampasan yang sedikit, melakukan sebuah kudeta untuk membunuh Aryath di bawah
komando Abrahah. Dan kudeta itu berhasil, kemudian Abrahah mengambil tampuk
kekuasaan dan menjadi Raja Yaman.
Di masa Abrahah ini pula mereka mampu
mengeksploitasi semua sumber daya yang ada di Yaman. Raja Najasy mendapatkan
kabar bahwa Abrahah melakukan pemberontakan kepada Aryath dan membunuhnya,
kemudian Raja Najasy telah menyiapkan pasukannya untuk menyerang balik Abrahah.
Dengan rasa ketakutan Abrahah dengan cepat mengirimkan surat kepada raja Najasy
“Wahai rajaku, sesungguhnya Aryath adalah hamba sahayamu, dan aku pula hamba
sahayamu, memang benar bahwa kami berselisih pandang dalam perintahmu, dan kami
semua taat kepadamu, namun aku lebih kuat dan lebih paham kondisi Habasyah di
bandingnya, saat aku mendengar bahwa paduka raja akan mengirim pasukan untuk
menyerang Yaman, aku sudah terlebih dahulu mencukur semua rambutku. Dan aku
juga mengirimkan rambutku dan segenggam tanah Yaman kepada paduka raja untuk di
letakkan di bawah kaki paduka raja. Dengan hal ini sekiranya paduka raja
memaafkan dan membatalkan niat paduka untuk menyerang Yaman.” Ketika surat dan
paket kiriman Abrahah tiba di Habasyah, Raja Najasy memaklumi dan memahami
paket yang dikirimkan sebagai bentuk kesetiaan dan ketaatan Abrahah kepada Raja
Najasy. Kemudian Raja Najasy mengirimkan surat balasan kepada Abrahah,
“Menetaplah di Yaman hingga tiba perintahku.”
Setalah naik tahta Abrahah[2]
kemudian menjadikan Sana’a sebagai ibu kota Yaman. Dengan kekuasaan yang di milikinya
sebagai seorang Raja Yaman, Abrahah memerintahkan pasukaannya untuk membuat
bangunan yang menjulang tinggi, dan dalam bahasa Arab di sebut “Qullays”[3]
yaitu gereja yang sangat megah dan dapat di kunjungi oleh siapa saja, dan di
klaim oleh Abrahah belum pernah dibangun oleh raja manapun. Ambisi Abrahah
adalah agar bangsa Arab meninggalkan Ka’bah
dan menjadi penganut agama Nasrani dan beribadah di gereja Sana’a Yaman. Dan
ketika bangunan itu rampung, Abrahah mengajak seluruh penduduk jazirah Arab
untuk beribadah di gerejanya.
Melihat sebuah bangunan baru tak lantas
membuat orang-orang Arab bergembira, justru ini memancing kemarahan, tercatat
dalam sejarah bahwa salah seorang dari Bani Malik bin Kinanah sengaja mendatangi
Qullays untuk mengotorinya sebagai bentuk penghinaan kepada Abrahah. Melihat
gerejanya di kotori, Abrahah menjadi beram dan bersumpah untuk segera
menghancurkan Ka’bah agar tidak adalagi tandingan dan berani mengotorinya.
Padahal awalnya Abrahah mengajak penduduk Arab untuk beribadah ke gerejanya
dengan cara santun namun setelah gerejanya di kotori oleh Bani Malik, Abrahah
berubah sikap menjadi amat marah kepada masyarakat Arab, dan dari sisi penduduk
Arab sumpah Abrahah ini di tanggapi dengan serius dan bersumpah pula akan
memerangi Abrahah karena telah berani ingin menghancurkan Ka’bah, rumah Allah
yang mulia.
Niat
jahat akan bertemu dengan orang yang berniat jahat pula
Kemudian Abrahah memerintahkan
pasukannya untuk pergi memberikan laporan kepada Raja Najasyi bahwa ia dan
pasukannya akan menyerang kota Makkah dan meminta bala bantuan berupa beberapa
gajah. Namun rencana Abarahah tak berjalan dengang mulus begitu saja, ada
beberapa rintangan yang di hadapinya sebelum akhirya ia berhasil mendekati kota
Makkah. Rintangan pertama justru berasal dari daerah kekuasaan Abrahaah
sendiri, yaitu salah seorang pembesar Yaman yang bernama Dzu Nafar yang
merupakan sekutu dari Quraisy yang tidak rela Abrahah dan pasukannya akan
menghancurkan Ka’bah.
Dzu Nafar menyerukan kepada kaumya yang
sepaham dengannya untuk menyerang Abrahah, namun penyerangan ini tidak
berlangsung lama, karena pasukan Dzu Nafar dapat dengan mudah di kalahkan
pasukan Abrahah, dan saat Dzu Nafar tertawan dan akan di bunuh, maka Dzu Nafar
memelas memohon ampun dan berkata “Wahai raja, janganlah engkau membunuhku,
boleh jadi kebersamaanku denganmu akan lebih baik daripada membunuhku.”
Abrahah pun memaafkannya kemudian mengikat kedua kakinya dengan rantai, Abrahah
dan pasukan beserta para tawanannya pun kembali melanjutkan perjalanan dalam
misi penghancuran Ka’bah.
Rintangan kedua yang di hadapi Abrahah
adalah saat mereka tiba di Tihamah yang di pimpin oleh seorang dari Bani
Khats’am yang bernama Nufail bin Habib al-Khats’am menyerang Abrahah, dan
lagi-lagi dengan mudah Abrahah mengalahkan
pasukan Nufail bin Habib dan menawannya. Karena di anggap menghalangi misi
Abrahah, sebenarnya ia ingin membunuh pemimpin Bani Khats’am tetapi Nufail bin
Habib memohon belas kasihan Abrahah dan berkata “Wahai raja, janganlah engkau bunuh aku karena aku adalah pemandu di
tanah Arab. Ini adalah dua orang tangan kananku dari kabilah Khats’am, Shahran
dan Nahis. Kami tunduk dan patuh padamu.” Abrahah pun membebaskannya dan
kemudian Nufail memandu Abrahah menuju Makkah.
Perjalanan misi penghancuran Ka’bah pun
dilanjutkan hingga tibalah mereka di Thaif, dan bertemu dengan pemimpin dari
kabilah Tsaqif yang bernama Mas’ud bin Mu’tab, namun pertemuan dengan kabilah
Tsaqif ini berbeda dengan dua kabilah sebelumnya yang berperang dengan Abrahah.
Kabilah Tsaqif justru menyatakan kesetiaannya kepada Abrahah sehingga
pernyataan mereka dapat dikatakan berlebihan mereka berkata,”Wahai raja, sesungguhnya kami adalah budakmu
kami mendengarkan dan taat kepadamu, tidak ada pada kami perselisihan padamu,
dan bukanlah rumah ibadah kami yang paduka raja tuju-maksud mereka adalah
Latta- sesungguhnya rumah ibadah yang paduka raja tuju berada di Makkah dan
kami akan mengutus seseorang yang akan menjadi pemandu paduka raja menuju
Makkah.”
Kemudian Mas’ud bin Mu’tab mengutus Abu
Righal sebagai pemandu pasukan Abrahah sampai di Mughammis sebuah daerah di
pinggiran Makkah. Namun takdir Allah menentukan Abu RIghal meninggal dunia kota
ini. Bagi masyarakat kota Makkah yang melintasi kuburan Abu Righal di Mughammis
sering melempari kuburannya karena marah mengenang perbuatan Abu Righal yang
memandu Abrahah menuju Makkah.
Setelah dari Mughammis Abrahah mengutus
al-Aswad bin Maqsud untuk merampas semua harta benda milik bani Quraisy
termasuk 200 unta milik Abdul Muthalib bin Hisyam. Sebenarnya bani Quraisy dan
Kinanah ingin melawan pasukan Abrahah namun mereka merasa tidak mampu melihat
jumlah pasukan Abrahah yang sangat banyak. Kemudian Abrahah mengutus Hunathah
al-Himyari dan memerintahkannya untuk mencari pemimpin dari negri ini-yang
dimaksud adalah Makkah-, dan katakan kepada mereka bahwa “Sesungguhnya saya
(Abrahah) datang untuk berperang melawan kalian, saya hanya ingin menghancurkan
Ka’bah selama kalian tidak berniat melawan saya.” Sesampainya Hunathah di
Makkah bertemulah dia dengan pemimpim Makkah yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim
bin Abdul Manaf bin Qushay dan menyampaikan apa yang di perintahkan Abrahah
padanya, Abdul Muthalib berkata, “Demi
Allah kami tidak ingin berperang melawannya, dan kami juga tidak mampu untuk
memeranginya, ini adalah rumah Allah yang suci dan rumah kekasihnya, nabi
Ibrahim Alaihi Salam.” Kemudian Hunathah mengajak Abdul Muthalib untuk
bertemu dengan Abrahah.
Sesampainya Abdul Muthallib dan Hunathah
di kemah Abrahah. Kemudian di pandu oleh dua orang penerjemahdari Habasyah dan
Arab di samping Abrahah untuk mengetahui apa yang di inginkan Abdul Muthalllib.
Ternyata yang di inginkan Abdul Muthallib hanyalah mengambil 200 ekor unta yang
di rampas oleh pasukan Abrahah. Mendengarkan permintaan Abdul Muthallib tersebut
membuat Abrahah kecewa, karena sebelumnya ia sempat kagum dengan sosok Abdul
Muthallib, namun justru Abdul Muthallib lebih mengutamakan unta miliknya dan
sahabatnya di bandingkan rumah Allah yang menjadi tempat ibadah kakek moyang
mereka. Abdul Muthallib menambahkan “Sesungguhnya
aku adalah pemilik unta ini sedangkan Ka’bah pemiliknya adalah Allah, Dia yang
akan menjaganya”, kemudian dengan sombongnya Abrahah membalasnya dengan
berkata “Baiklah, sekarang tidak adalagi
yang menghalangiku untuk menghancurkan
Ka’bah”, di balas singkat oleh Abdul Muthallib “Itu urusan Anda dengan-Nya.”
Meski demikian Abdul Muthallib
sebenarnya juga tidak ingin Ka’bah yang mulia ini akan dihancurkan
oleh Abrahah, untuk itu sempat bernegosiasi dengan Abrahah dengan memberikan
1/3 dari harta penduduk Tihamah namun Abrahah bersi keras akan tetap
menghancurkan Ka’bah.
Maka kembalilah Abdul Muthallib dengan
perasaan menyesal tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan Ka’bah dari
serangan pasukan Abrahah. Dan Abdul Muthallib pun memerintahkan penduduk di
sekitaran Ka’bah untuk mengungsi di balik lembah-lembah yang berada di Makkah.
Setelah semuanya mengungsi tinggallah Abdul Muthallib seorang diri, ia berdiri
di depan pintu Ka’bah sambil memegang pintu Ka’bah dan seraya berdoa, “ Ya, Allah seorang itu telah melindungi
pelananya, maka lindungilah hukum yang sah menurut-Mu, janganlah salib
mengalahkan-Mu dna tipu daya mereka atas tipu daya-Mu, jika Engkau membiarkan
mereka dan kiblat kami maka urusan itu adalah sesuai dengan yang Engkau ketahui.[4]
Sementara itu pasukan Abrahah mulai
bergerak, namun mereka masih harus menempuh puluhan mil lagi untuk sampai di
Makkah.[5]
Dan saat matahari mulai terbit, Abrahah dan pasukannya akan mendekati Makkah
membawa beberapa ekor gajah yang di kirim dari kota asalnya Habasyah, Abrahah pun menunggangi gajah yang paing besar
yang bernama Mahmud. Namun tak di sangka gajah-gajah ini tidak mau mengkuti
keinginan Abrahah, setiap kali ingin mendekati Makkah, maka gajah-gajah ini selalu
tersungkur ke tanah, meskipun pawang mereka memaksa berdiri mereka kembali
tersungkur tapi anehnya ketika gajah-gajah ini berdiri dan menghadap Yaman
atau ke arah selatan, mereka berlari.
Kemudian datanglah sekumpulan burung[6]
dari arah lautan dan masing-masing burung membawa tiga buah batu, satu batu di
letakkan di paruhnya dan dua buah batu di kakinya. Setiap burung melemparkan
batu-batu itu ke arah pasukan Abrahah, namun tidak semua terkena batu-itupun
hanya sedikit saja-dan pasukan yang selamat itu pun hidupnya terlunta-lunta[7],
sedangkan nasib Abrahah sendiri tercatat dalam sejarah[8]
terkena batu dan akhirnya mati dalam keadaan hina, dan kisah ini di abadikan
dalam al-Quran dalam surat al-Fiil ayat 1-5. Itulah akhir hidup seorang mantan
prajurit yang kemudian menjadi raja Yaman namun kesombongan meyelimuti dirinya
dan akhirnya di balas oleh Allah dengan pasukannya dan menjadikan Abrahah hina
dalam sejarah peradaban manusia.
Kekalahan Abrahah ini merupakan tonggak
awal terjadinya kebangkitan sejarah bangsa Arab. Dan menjadi awal berkembangnya
syair-syair yang bertemakan kekalahan pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah
di antara penyairnya adalah sepupu nabi Muhammad yaitu Thalib bin Abi Thalib
bin Abdul Muthallib. Penduduk Makkah juga menjadikan kekalahan Abrahah ini
sebagai penanggalan waktu di setiap kejadian. Penduduk Makkah pun kembali hidup
seperti sedia kala, mereka berkumpul untuk menyembah berhala yang berjumlah
300-an di sekitaran Ka’bah.
Menurut Prof. Muhammad Ali ash-Shallabi[9]
hikmah yang dapat kita pelajari dari Abrahah dan pasukannya adalah, Allah ingin
membuktikan keagungan baitullah dan bukti kenabian, sebab saat Abrahah
menyerang Ka’bah, Rasulullah masih berada dalam kandungan ibunda Aminah, beliau
lahir setelah 50 hari setelah kegagalan Abrahah dan pasukannya untuk
menghancurkan Ka’bah.
Dari sejarah ini dapat kita ambil
pelajaran, bahwa kesombongan itu akan berakhir dengan kehinaan, begitulah yang
terjadi pada diri seorang mantan pasukan yang kemudian mengkudeta rajanya
sendiri dan merebut kekuasaan. Kesombongan kepada kekuasaan inilah yang
menghantarkan Abrahah pada gelapnya pandangan terhadap kehidupan, dia bisa saja
memaksa pasukannya untuk membuat bangunan yang lebih megah di bandingkan Ka’bah
dan iri terhadap keagungan Ka’bah. Tapi semua itu langsung di jawab oleh Allah
dengan mengirimkan pasukan burung untuk menghancurkan Abrahah. Lalu masih
pantaskah kita untuk bersombong diri dengan kekuasaan, keilmuan dan harta yang
kita miliki sedangkan semua itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.
SKKM, masih merenungkan diri ini yang
masih sering sombong.
[1] Prof. Dr. Ali Husni al-Kharbuthi, Sejarah Ka’bah, Kisah Rumah Suci yang Tak Lapuk Dimakan Zaman (Jakarta:
Turos, 2013) hal: 151
[2] Ibid, Abrahah menduduki
tahta kerajaan Yaman dari tahun 525-575 M hal: 152
[3] Al-Qullays berasal dari kata Yunani yaitu ekklesia yang artinya gereja.
[4] Ibnu Hisyam, As-Siratun Nabawiyah libni Hisyam, jilid
I (Darul Kutub al-Ilmiyah Libanon 2009) hal: 38.
[5] Menurut Pro. Ali Husni,
pasukan Abrahah masih butuh waktu tiga hari untuk sampai di kota Makkah.
[6] Banyak masyarakat yang menyangka bahwa Ababil adalah nama dari
jenis burung, padahal dalam kitab Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir, Syaikh Ahmad
Syakir mengatakan bahwa Abaabiil itu artinya kumpulan-kumpulan, jadi jelas
disini bahwa ababil bukanlah jenis burung melainkan kumpulan burung-burung yang
membawa batu. Syaikh Ahmad Syakir menambahkan bahwa burung-burung itu seperti
burung alap-alap.
[7] Prof. Ali Husni mengatakan
bahwa pasukan Abrahah yang masih hidup menjadi pengemis di pinggiran Makkah,
kemudian juga ada yang menjadi kuli dan petani penggarap.
[8] Prof. Dr. Ali Muhammad
ash-Shallabi, Sirah Nabawiyah
(Jakarta, Beirut Publishing: 2014) hal: 33. Beliau mencatat akhir hidup Abrahah
terkena penyakit pada tubuhnya dan ujung-ujung jarinya berjatuhan dan setiap
ujung jarinya yang jatuh itu di barengi dengan nanah dan darah. Dan Abrahah
berhasil pulang ke Yaman dan kemudian mati.
[9] Ibid hal:33.
baca juga :
Bank Syariah Dihujat
Sohib dan Solmed Punya Cerita
Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam
Sharia Business Intelligence
Kok ada fotonya babang ganteng
ReplyDeleteGak masuk sebenernya. . 😂😂