Beginilah Kami Diajarkan Dalam Ilmu Hadits


by Ustadz Budi Ashari, Lc

Beginilah Kami Diajarkan Dalam Ilmu Hadits (1)

Dalam Kitab Al Majruhin karya Imam Ibnu Hibban rahimahullah dikisahkan bahwa, Yahya bin Ma’in datang ke Affan untuk mendengarkan kitab-kitabnya Hammad bin Salamah. Affan bertanya: Tidakah kamu mendengarnya dari orang lain? Hammad menjawab: Ya, saya mendengar dari 17 orang yang mendengar dari Hammad bin Salamah. Affan: Demi Allah, saya tidak mau meriwayatkannya kepadamu. Yahya berkata: Aku hanya punya satu Dirham dan aku akan pergi ke Bashroh untuk mendengar riwayat dari At Tabudzaki. Affan berkata: Silakan. Maka ia pun pergi ke Bashroh, datanglah Musa bin Ismail. Musa berkata: Apakah kamu belum mendengarnya dari orang lain? Yahya menjawab: Aku telah mendengarnya dari 17 orang  dan anda orang ke 18. Musa bertanya: Untuk apa kamu lakukan ini? 

Yahya menjawab: Hammad bin Salamah bisa salah. Maka saya ingin membedakan apakah kesalahan ini dari beliau atau dari murid-muridnya (yang menukilnya). Kalau ternyata seluruh muridnya sepakat sama, maka saya tahu kesalahan dari Hammad. Tapi jika mereka sepakat, dan ada satu yang berbeda, maka saya tahu kesalahan dari satu orang itu bukan dari Hammad. Maka saya bisa membedakan kesalahan dari beliau atau dari orang lain. 

Ini bukan satu-satunya kisah para ulama hadits mengajari kita untuk tidak menyimpulkan kecuali setelah mendengarkan, membaca, mengumpulkan, mengulangi sekian banyaknya. Ini telah menjadi kaidah yang sama antar semua ulama hadits.

Yahya bin Ma’in berkata: Kalau kami belum menulis hadits dari 30 jalur, maka kami belum memahaminya. (Al Majruhin, Ibnu Hibban)

Abu Hatim Ar Razi berkata: Kalau kami belum menulis hadits dari 60 jalur riwayat, maka kami belum memahaminya (Fathul Mughits, As Sakhowi)

Hammad bin Zaid dan Syu’bah keduanya adalah ulama besar hadits. Tapi Hammad berkata: Kalau Syu’bah berbeda dengan saya, saya ikuti dia. Kemudian ada yang bertanya: Mengapa? Hammad menjawab: Syu’bah mendengar, mengulangi dan memunculkan. Sementara saya hanya mendengar sekali. (Syarh ‘Ilal Tirmidzi, Ibnu Rojab)

Kini mohon maaf, izinkan saya (terpaksa) harus bercerita kenangan saya saat berguru sebagai salah satu siswa di Fak. Hadits di Univ. Islam Madinah.

Saya pernah mendengarkan ceramah DR. Anis Thohir Al Indunisi salah satu syekh kami hafidzahullah, melalui kaset yang berjudul (ضوابط حسنة في فهم السنة) yang sekarang dijelaskan ulang setelah dituliskan dalam sebuah risalah. Kaidah-kaidah baik dalam memahami sunnah. Berikut di antara kaidah tersebut:

جمع أحاديث الباب الواحد في مكان واحد
(Mengumpulkan hadits-hadits satu bab di satu tempat)

Contoh: Imam Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram mengumpulkan hadits-hadits tentang buang air 22 riwayat kemudian baru bisa disimpulkan mana yang paling shahih, sehingga bisa didapat dengan lengkap berbagai hukum seperti adab buang air dan sebagainya. 

Begitulah...

Maka siapapun yang berlama-lama dalam ilmu hadits, seharusnya mengalir deras dalam dirinya ruh ini. Tidak gegabah menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan satu atau dua hadits shahih, satu atau dua buku saja. Kumpulkan selengkap dan sebanyak mungkin, analisa dengan ilmiah, baru bisa disimpulkan.  

Agar seperti yang dipesankan ahli ilmu: Jangan mengatakan sesuatu, yang perlu meminta maaf setelah itu.

Begitulah hari-hari kami bersama para masyayikh di ilmu hadits. Hafidzohumulloh......

#sapapagi.BA


Beginilah Kami Diajari Ulama Hadits (2)

Mereka yang belajar ilmu Jarh wa At Ta’dil pasti mendapati bab sangat penting ini. Para ulama hadits berbeda pendapat cukup tajam dalam hal ini. Judulnya: Apakah riwayat dari ahli bid’ah bisa diterima?

Maaf sekali lagi. Izinkan saya (terpaksa) harus bercerita kenangan saya saat berguru sebagai salah satu siswa di Fak. Hadits di Univ. Islam Madinah.

Cukup mendalam kesan saya tentang bab ini saat kami diajar di kelas tentang bab ini. Entah mengapa. Yang jelas begitu tajamnya perbedaan pendapat ulama hadits. Bid’ah yang pelakunya tidak kafir, ulama mempunyai beberapa pendapat. Ada yang menolaknya mentah-mentah tanpa ampun. Ada yang menerima dengan syarat tidak menghalalkan dusta untuk membela keyakinan bid’ahnya dan kelompoknya. Ada yang mengatakan riwayat ahli bid’ah yang posisinya sebagai da’i/ulama, mereka ditolak, adapun yang bukan bisa diterima (di dalam pendapat ini pun masih ada perbedaan lagi dan disebutkan bahwa ini sebagai madzhab yang diikuti oleh kebanyakan ulama). Ada juga yang membedakan dari jenis bid’ahnya.

Di kelas kami menggunakan kitab (ضوابط الجرح والتعديل) karya Syekh DR. Abdul Aziz Al Abdul Latif rahimahullah. Saat itu, beliau sudah tidak bisa mengajar kami karena sakit hingga beliau meninggal. Dalam buku tersebut dipaparkan dengan detail, tanpa penulis memperjelas pendapat mana yang dipilihnya. Begitu kuatnya dalil setiap ulama. Tapi penulis dan syekh kami yang mengajar pelajaran ini DR. Anis Thohir pun –seingat saya- cenderung mengatakan riwayat ahli bid’ah bisa diterima dengan syarat-syarat.

Yang pasti, pendapat kebanyakan ulama adalah menerima riwayat ahli bid’ah dengan syarat yang berbeda-beda. Dikarenakan ulama hadits dalam kitab-kitab mereka mencantumkan riwayat para ahli bid’ah.

Al Hafidz Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala’ menukil dari Al Hafidz Muhammad bin Al Barqi yang berkata: Aku bertanya kepada Yahya bin Main: Bagaimana dengan orang yang tertuduh berkeyakinan salah dalam masalah taqdir apakah ditulis haditsnya? Yahya menjawab: Ya, Qotadah, Hisyam Ad Dustuwai, Said bin Abi Arubah, Abdul Warits –dan menyebut nama-nama lain- berkeyakinan seperti itu, mereka tsiqoh, boleh ditulis hadits mereka sepanjang mereka tidak menjadi dainya.

Adz Dzahabi juga menyampaikan penilaiannya kepada salah seorang perawi: Aban bin Taghlib Al Kufi orang syiah tulen tapi dia shoduq (benar dan jujur dalam periwayatannya), kejujurannya untuk kita dan dosa bid’ahnya untuk dia.

Tapi syarat dai atau bukan dai bid'ah pun diragukan dengan apa yang dilakukan Imam Bukhari dalam Mutaba’ah di kitab Shahihnya. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Ikhtishor ‘Ulum Al Hadits menjelaskan: Al Bukhari mengeluarkan riwayat Imron bin Hiththon, seorang khowarij yang memuji Abdurrahman bin Muljam pembunuh Ali radhiallahu anhu dan dia ini salah seorang dai terbesar dalam keyakinan khowarij.

Lebih dari itu, Imron bin Hiththon diambil riwayatnya oleh Yahya bin Abi Katsir (sebagaimana yang dicantumkan oleh Al Bukhari) di Yamamah saat Imron melarikan diri dari Hajjaj bin Yusuf yang mengejarnya untuk membunuhnya karena Imron adalah dainya khowarij. (Lihat Hadyus Sari, Ibnu Hajar)

Dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan perlu dicermati bid’ah yang dibahas di atas bukan sekadar bid’ah ibadah, tapi sudah bid’ah aqidah. Tapi segitu obyektifnya para ulama hadits!!

Saya juga tahu –jangan salah paham- bahwa ilmu diawali dari belajar dari seorang ahli ilmu. Tetapi jika telah mengaji sekian lama, ilmu pun sudah mampu menjadi penyaring. Teladanilah para ahli ilmu yang mengambil riwayat dan ilmu mereka bahkan dari ahli bid’ah.

Begitulah...

Siapapun yang pernah berlama-lama dalam ilmu hadits seharusnya mengalir deras dalam dirinya ruh ini. Seimbangkan kedua hal di atas.

Jadi, mengapa menyempitkan ilmu hanya di lingkaran orang-orang tertentu. Mengapa membatasi gerak murid-murid kita yang telah kuat ilmunya untuk duduk di majlis ahli ilmu hanya gara-gara ahli ilmu itu distempel ahli bid’ah. Yang bid’ahnya bukan dalam masalah aqidah atau bahkan memang bukan bid’ah tapi hanya perbedaan fikih biasa.

Saya semakin paham yang menyempitkan sesuatu yang luas adalah taqlid buta dan fanatisme golongan.

Padahal ulama hadits begitu obyektifnya.

Begitulah hari-hari kami bersama para masyayikh di ilmu hadits. Hafidzohumulloh......
#sapapagi.BA


Beginilah Kami Diajari Ulama Hadits (3)

Lagi....masih tentang ilmu agung; (علم الجرح والتعديل). Salah satu ilmu alat dalam syariat Islam yang luar biasa. Dan semestinya, ilmu ini tidak hanya berhenti di ruangan para ahli hadits. Dikarenakan filosofi dan logikanya begitu kuat, detail dan barokah. Begitu juga ilmu alat yang lainnya. Dahulu, ulama membuatnya untuk ilmu tersebut sekaligus untuk kehidupan ini.

Ilmu ini berisi dua hal: (الجرح) mencacat dan (التعديل) menyatakan adil/bisa dipercaya. Dibuat kaidah-kaidahnya untuk melihat kondisi para perawi hadits Nabi. Mengingat bahwa hadits Nabi adalah landasan syariat, maka para ulama hadits berusaha sekuat tenaga untuk membuat kaidah-kaidah detail yang berguna untuk memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar sabda, perbuatan atau ketetapan Nabi.

Nah, ilmu ini berguna untuk memberi stempel untuk para perawi. Jika seorang perawi dicacat oleh para ahli hadits, maka periwayatannya tidak diterima. Jika dinyatakan adil, maka periwayatannya diterima. Begitu panjang dan detailnya ilmu ini. Andai muslimin paham ilmu ini...

Tapi, sebelum masuk ke detailnya permasalahan dalam ilmu ini, yang pertama dibahas adalah siapa yang layak mencacat. Dan siapa yang layak menyatakan bahwa perawi itu adil. Karena tentu, tidak sembarang orang boleh mencacat dan memberi legalitas. Karena kalau dibiarkan semua orang boleh bicara, saya dan anda telah merasakan dampak negatifnya di zaman ini. Ketika semua orang boleh menilai orang lain. Ketika semua orang boleh mencacat. Ketika semua orang boleh mengeluarkan legitimasi. Kacau! Pertikaian! Hancurnya ilmu! Dan hancurnya persaudaraan!!!

Terus, siapakah kalau begitu yang boleh mengeluarkan pernyataan bahwa seseorang bisa diterima periwayatannya dan yang ditolak periwayatannya.

Kembali, (mohon maaf bercerita). Buku yang menjadi rujukan kami saat belajar adalah (ضوابط الجرح والتعديل). Penulisnya Syekh DR. Abdul Aziz Al Abdullatif menukil dari kitab Al Muqidzoh karya Adz Dzahabi dan kitab Nuzhah An Nadzor karya Ibnu Hajar Al Asqolani tentang 4 syarat seorang yang boleh menilai keadaan perawi. Berikut keempat syarat tersebut, semoga menjadi cermin kita semua :

1. Adil

2. Punya sifat waro’, sehingga waro’nya mampu mencegahnya dari ta’ashub (fanatik buta) dan hawa nafsu

3. Harus jeli, agar tidak tertipu hanya oleh penampilan luar seorang perawi

4. Harus mengetahui sebab cacat dan sebab perawi bisa dipercaya, agar tidak mencacat yang bisa dipercaya dan tidak mempercayai yang cacat

Lihatlah satu per satu. Yang menilai orang lain adil atau cacat harus orang yang adil. Bagaimana menilai orang lain, sementara diri sendiri masih jauh dari sifat adil.
MARI TAHU DIRI...

Juga harus punya sifat waro’. Sebuah akhlak mulia yang membuat seseorang sangat menjaga dirinya, menjaga lisannya, berhati-hati ketika hendak bicara tentang kehormatan orang lain. Akhlak inilah yang membuatnya menjadi terbebas dari fanatisme golongan dan menuruti hawa nafsu dalam menilai orang lain. Maka, mereka yang sangat fanatik dengan kelompoknya, sehingga sering miring dalam menilai di mana hanya yang berasal dari kelompoknya saja yang selalu benar. Maka bagaimana ia menilai orang lain.
MARI TAHU DIRI...

Kemudian harus mempunyai kejelian analisa. Karena hanya menilai penampilan luar seseorang kemudian memberikan vonis, akan mendzaliminya. Jika masih begini cara pandang kita terhadap orang lain. Bagaimana kita menilai orang lain.
MARI TAHU DIRI...

Dan akhirnya, harus mengetahui betul sebab-sebab yang menyebabkan cacatnya seseorang dan adilnya seseorang. Jika ilmu masih sepotong-sepotong. Jika ilmu masih compang-camping. Maka, yang benar akan disalahkan dan yang salah tetap dibela. Masih begini keadaan kita?

MARI TAHU DIRI, dan mari bertanya?
LAYAKKAH KITA MENCACAT....???!

#sapapagi.BA


Beginilah Kami Diajari Ulama Hadits (4)

Sebenarnya ilmu jarh wa ta’dil bagian dari ghibah... 

Karena bisa membicarakan cacat seseorang. Bahkan bisa sangat detail. Sementara kita semua tahu, ghibah itu dosa besar. 

Makanya, para ahli ilmu hadits selalu membahas tentang bab ghibah di awal pembahasan tentang ilmu mulia ini. Untuk mendudukkan beda ilmu yang mulia ini dengan ghibah yang merupakan dosa besar. Sekaligus untuk saling mengingatkan agar tidak melampaui batasnya. 

“Perlu diketahui bahwa Al Jarh wa At Ta’dil aslinya adalah ghibah. Kalaulah bukan karena darurat dan kerusakannya lebih kecil daripada tidak mengghibah, maka para ulama tidak akan pernah rela mencacat. Darurat itu diukur sesuai dengan kadarnya. Maka saya tidak boleh melampaui batas darurat itu.” (Syekh DR. Hatim bin Arif Asy Syarif dalam At Takhrij wa Dirosat Al Asanid)

Mari kita simak bagaimana akhlak para ulama yang benar-benar ulama besar di bidang hadits berikut ini,

Yahya bin Ma’in berkata: Kita ini mencacat orang-orang yang bisa jadi telah meletakkan bawaan perjalanan mereka di surga sejak lebih dari 200 tahun yang lalu.

Ibnu Mahrawaih berkata: Aku masuk ke majlisnya Abdurrahman bin Abi hatim. Dia sedang membacakan kitab Jarh wa Ta’dil di hadapan jamaah. Aku pun menyampaikan kalimat tersebut. Beliau menangis. Bergetar tangannya hingga jatuh bukunya dari tangannya. Dia terus menangis dan memintaku mengulangi kalimat tersebut. Dan tidak bisa melanjutkan bacaan apapun di malis itu. (Al Jami’ li Akhlaq Ar Rawi wa Adab As Sami’, Al Khathib Al Baghdadi)

Begitulah, mereka jelas-jelas ulama. Mereka jelas-jelas samudera di bidang hadits. Mereka jelas-jelas sedang mengajarkan ilmu mulia. Tapi begitu diingatkan, begitu takutnya. Hingga menangis dan bergetar tangannya, tak sanggup lagi menggenggam buku di tangannya dan tak lagi sanggup melanjutkan ilmu mulia yang sedang diajarkannya. 

Itulah mengapa para ahli hadits memberikan syarat orang yang layak mencacat adalah mereka yang punya akhlak waro’. Karena dengan waro’ mereka membungkus ilmunya dengan akhlak itu. Tidak melampaui batas dan tidak ringan lisan mencacat siapa saja kemudian berdalih bagian dari ilmu jarh wa ta’dil. 

Para ulama hadits jauh sejauh-jauhnya dari mereka yang terus menikmati mengunyah-ngunyah daging ulama dan saudaranya yang telah meninggal. 

Maka benarkah, ketika sedang mencacat orang lain bahkan ahli ilmu, sedang membela syariat ataukah sedang menguruti hawa nafsu dan ta’ashub buta.

JUJURLAH....... 

#sapapagi.BA

Comments