Menakar Fatwa Riba Uang Elektronik


Tanggapan Atas Tulisan “Fee Isi Ulang Uang Elektronik Adalah Riba oleh Zaim Saidi”

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Tepat pada tanggal 14 Agustus 2014 lalu, Bank Indonesia telah mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen non – tunai. Melalui edukasi GNNT sejak dini, diharapkan dapat mendorong terwujudnya suatu komunitas atau masyarakat yang bertransaksi non tunai dengan menggunakan instrumen non tunai dalam kegiatan ekonomi-nya (Less Cash Society). Transaksi non tunai dijalankan melalui uang elektronik berbasis kartu (chip based) maupun berbasis server (server based). Perusahaan komersial non perbankan dan non telekomunikasi juga dapat menyediakan layanan transaksi non tunai seperti isi ulang pulsa, pembayaran tagihan listrik, tarik tunai, transfer dan lainnya selama memperoleh ijin dari Bank Indonesia sebagai agen Layanan Keuangan Digital (LKD) dan/atau Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU).

Banyak manfaat dapat dirasakan dengan transaksi non tunai, baik dari sisi masyarakat dan maupun pemerintah. Dari sisi Masyarakat, kepraktisan dan keamanan dari transaksi secara non tunai dibandingkan tunai menjadi pertimbangan penting dalam memutuskan penggunaan uang eletronik. Sedangkan dari sisi Pemerintah setidaknya terdapat 3 manfaat yaitu ; 
  1. Efisiensi biaya produksi instrumen non tunai dengan biaya percetakan, peredaran dan pengelolaan uang tunai, 
  2. Kemudahan dalam menghitung aktivitas ekonomi disebabkan adanya pencatatan otomatis dari transaksi non tunai dan 
  3. Penggunaan alat pembayaran non tunai diyakini dapat meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian.
Uang Elektronik (e-money) Syariah pertama di Indonesia tercatat muncul Maret 2016 yang dijalankan oleh perusahaan non perbankan. Disusul setelahnya, e-money yang diterbitkan oleh salah satu Bank Syariah di Indonesia. Perkembangan terbaru, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan untuk pengenaan biaya atas transaksi top up atau isi ulang uang elektronik. Bank Indonesia berpendapat Pihak perbankan memerlukan biaya pengadaan dan maintenance infrastruktur agar bisnis transaksi non tunai dapat berlangsung jangka panjang (sustain). https://finance.detik.com/moneter/3516283/isi-ulang-e-money-bakal-kena-fee-ini-kata-bi

FEE TOP UP  UANG ELEKRONIK ADALAH RIBA

Bapak Zaim Saidi merilis tulisan dalam website pribadinya (zaimsaidi.com) yang menyimpulkan fee isi ulang uang elektronik adalah riba. Ia menyatakan :

“….Gubernur BI Agus Martowardojo mengungkapkan, otoritas moneter akan mengizinkan setiap perbankan untuk menarik biaya bagi pengguna e-Money yang melakukan isi ulang atau top up. Tujuannya, tentu saja, untuk menambah pendapatan perbankan yang menyediakan fasilitas tersebut.

Besarnya biaya  pengisian kembali uang elektronik itu dikabarkan antara Rp 2000-Rp 2.500 setiap proses pengisian. Dengan cakupan  penggunaan uang elektronik yang semakin luas, dan dalam berbagai hal dipaksakan, serta jumlah pemakainya yang semain besar, total uang yang diraup oleh perbankan bica mencaapai triliunan rupiah setiap tahunnya.  

Bahkan sebelum ada keputusan resmi BI pun beberapa bank telah mulai menerapkan penarikan biaya isi ulang uang tersebut. Persoalan yang lebih serius adalah bahwa pengenaan biaya isi ulang uang elektronik ini merupakan salah satu bentuk riba. Jadi haram hukumnya.”

Bapak Zaim Saidi yang juga dikenal sebagai penggiat Dinar dan Dirham, mengawali analisisnya dengan menjelaskan terlebih dahulu fungsi uang elektronik sebagai alat pembayaran yang sah. Kemudian, ia mencoba mendudukkan transaksi top up atau isi ulang uang elektronik sebagai transaksi sharf mata uang sejenis. Ia sampai pada kesimpulan bahwa fee yang ditarik dari transaksi top up atau isi ulang merupakan kelebihan nilai yang dihukumi menjadi riba.

RUPIAH SEBAGAI OBJEK SHARF

Dalam khazanah fiqh, pertukaran (baca : jual-beli) mata uang baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis dikenal dengan istilah sharf.  Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan pendapat syariah terkait sharf melalui penerbitan Fatwa DSN nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf). Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh). 

Salah satu dalil yang digunakan dalam fatwa Al-Sharf  adalah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri ; 

“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”  

Secara tekstual hadits di atas menginformasikan larangan dan solusi dari transaksi pertukaran emas dan perak. Tidak ada penyebutan mata uang (rupiah, usd, lainnya) dalam redaksi (matan) hadits tersebut. Pelarangan pertukaran emas dengan emas atau perak dengan perak dengan selisih lebih (riba fadhl) disebabkan emas dan perak merupakan tsaman. Tsaman diartikan menjadi alat tukar/alat pembayaran/alat transaksi keuangan di masyarakat saat itu. [lebih lengkapnya lihat pendapat Syaikh ‘Ali Jumu’ah dan Syaikh ‘Abd al-Hamid Syauqiy al-Jibaliy dan Pendapat Peserta Rapat Pleno DSN-MUI dalam Fatwa DSN MUI No. 77].

Mata Uang yang diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Rupiah, bukan emas (dinar) maupun perak (dirham). Hal ini didasarkan pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang bahwa “Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah” (pasal 2 ayat 1). Penggunaan Rupiah untuk transaksi di masyarakat diatur pada pasal 21 ayat 1 yaitu “Rupiah wajib digunakan dalam ; a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; c) dan/atau transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pada ayat berikutnya diatur pengecualian terhadap kewajiban penggunaan Rupiah yaitu : transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri, transaksi perdagangan internasional, simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau transaksi pembiayaan internasional.

Penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah ditegaskan kembali melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia “Rupiah adalah mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”  (pasal 1 ayat 1). Rupiah wajib digunakan untuk transaksi yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik transaksi tunai maupun non tunai (pasal 3 ayat 1).

Berangkat dari ketentuan hukum positif di atas, maka Rupiah telah cukup syarat untuk masuk dalam kategori tsaman sebagaimana dimaksud dalam hadits pertukaran (baca : jual-beli) emas dengan emas di atas. Oleh sebab itu, hadits ini juga dapat diberlakukan pada mata uang Rupiah. Salah satu kaidah fiqh yang dapat digunakan adalah ;

“Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku bersama adat tersebut dan batal (tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uang dalam muamalat” [Fatwa DSN MUI No. 77].

Bilamana dilakukan pertukaran Rupiah dengan Rupiah maka berlaku hukum sharf ; harus senilai (sama nilainya) dan tunai. Jika ada kelebihan dari diantara salah satu rupiah maka kelebihan itu adalah riba fadhl. 

Amir menukar uang pecahan Rp 100.000,- sebanyak 10 lembar kepada Reza untuk mendapatkan uang baru pecahan Rp 10.000,- dengan nilai transaksi sebesar Rp 1.000.000,- Jika ini yang terjadi, maka tidak boleh ada kelebihan nilai dari transaksi ini. Uang Pecahan Rp 100.000,- sebanyak 10 lembar hanya boleh ditukar dengan Uang Pecahan Rp 10.000,- sebanyak 100 lembar. Sama Nilainya (Rp 1.000.000,-) dan Sama Jenisnya (Rupiah). Jika Reza memberikan sebanyak 99 lembar uang pecahan Rp 10.000,- baru kepada Amir, maka kelebihan nilai sebesar Rp 10.000,- yang diterima Reza adalah riba fadhl.

Syaikh Wahbah Zuhaily menerangkan dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu bab Madzahib al-Fuqaha fi ‘Illati al-Riba, bahwa menurut Pendapat Mazhab Hanafi ‘illat (adanya riba fadhl) pada emas dan perak adalah pada nilai (wazn) dan sejenis. Jika 'illat  ini didapati dalam suatu transaksi emas dan perak (sebagai tsaman), maka tidak boleh ada kelebihan dan penundaan. [jil 4, hal 443]

BERLAKUNYA HUKUM SHARF PADA TOP UP  UANG ELEKTRONIK

Merujuk pada Peraturan Bank Indonesia No. 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) Pasal 1 ayat 3 dan 4 dijelaskan bahwa Uang Elektronik adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut  : 
  1. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit ; 
  2. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip ; 
  3. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan 
  4. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Tidak terdapat perbedaan signifikan antara uang kertas, uang logam atau uang elektronik. Kesemuanya menggunakan Rupiah. Perbedaannya adalah nilai nominal Rupiah pada Uang Kertas atau Uang Logam dapat dilihat pada angka yang tertera padanya. Sedangkan pada Uang Elektronik nilai nominal tersimpan secara elektronik dalam chip atau server dan dapat diketahui saldo nominalnya dengan menempelkannya pada mesin pembaca kartu electronic data capture (EDC) atau juga handphone yang sudah terpasang alat dan program near field communication (NFC). Baik uang kertas, uang logam dan uang elektronik semuanya dapat dijadikan alat pembayaran yang sah sebab telah ditetapkan oleh Pemerintah. 

Penambahan nilai nominal pada uang kertas atau uang logam dilakukan dengan menambahkan fisik dari uang tersebut. Sedangkan penambahan nilai nominal pada uang elektronik tidak cukup dilakukan dengan penambahan fisik uang, melainkan harus melalui konversi dari nilai nominal fisik uang menjadi nilai nominal data elektronik berupa saldo. Proses penambahan saldo nilai nominal pada uang elektronik inilah yang dinamakan sebagai proses top up

Pada bagian ini, Saya sependapat dengan analisis Bapak Zaim Saidi bahwa terdapat riba fadhl pada transaksi top up uang elektronik. Jika seseorang melakukan top up uang elektronik, misalkan dengan menggunakan uang kertas Rp 100.000,-, akan tetapi saldo yang tersimpan dana server atau chip uang elektronik hanya sebesar Rp 99.000, maka kelebihan Rp 1.000,- yang diterima penerbit kartu adalah riba. Lainnya adalah top up dengan melakukan pembayaran sebesar Rp 102.000,- untuk kemudian dilakukan penambahan saldo uang elektronik sebesar Rp 100.000,-. Jika tidak ada penjelasan atas iwadh dari kelebihan Rp 2.000,- yang diterima penerbit kartu, maka kelebihan itu adalah riba.
                  
Hal ini tidak berlaku pada pembelian (baca : tukar menukar) voucher listrik dimana nilai nominal rupiah terkonversi menjadi Kilowatt Jam (KWh). Tidak ditemukan 'illat riba di dalamnya karena berbeda jenis dan nilai. 

Jual beli dan/atau top up voucher  pulsa dari Perusahaan Telekomunikasi langsung kepada Distributor/Pedagang eceran dimungkinkan memberi celah terjadinya riba, jika dalam produknya juga terdapat fitur uang elektronik. Walaupun secara praktik transaksi ini adalah jual beli jasa komunikasi yang tangguh (mausufah fi dzimmah), namun dengan hadirnya fitur layanan uang elektronik pada produk telekomunikasi tersebut mengakibatkan munculnya illat tsaman pada saldo nilai pulsa (Rupiah) dalam voucher pulsa. Oleh sebab itu, Jual beli dan/atau top up voucher pulsa dengan fitur uang elektronik dari Perusahaan Telekomunikasi langsung kepada Distributor/Pedagang Pulsa harus sama nilainya. Voucher pulsa Rp 100.000,- minimal harus dibeli dengan nominal uang Rp 100.000,-. Jika ada kelebihan maka kelebihan tersebut dapat diartikan sebagai bentuk penyediaan jasa. 

Peluang untuk dilakukan analisa hukum syariah terhadap voucher pulsa yang diperjual-belikan oleh perusahaan telekomunikasi yang juga menyediakan layanan uang elektronik dalam produknya (voucher pulsa) sangat terbuka. Baik dengan mempertimbangkan konteks bisnis common practice dari perusahaan telekomunikasi atau pun hal lain. Semoga ada yang tertarik menulisnya dalam bentuk penelitian yang lebih serius.


SOLUSI PENGAMBILAN FEE PADA TOP UP UANG ELEKTRONIK

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasullullah shallallahu alaihi wasallam dengan membawa kurma Rasullullah shallallahu alaihi wasallam bertanya kepadanya:

“Ini bukan jenis kurma kita? Orang tersebut menjawab ; Wahai Rasulullah, kami menjual dua Sha’ kurma kami dengan satu Sha’ kurma itu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata : inilah riba, kembalikan kurma ini, Jual kurma kita terlebih dahulu, kemudian dari hasil penjualannya kamu belikan sebagian dari kurma ini” 

[lihat Fiqh Sunnah, Jilid 3 ; hal 335  (terjemahan dengan editor Dr. Muhammad Taufik Hulaimi - Ulama yang memiliki sanad keilmuan kepada Syaikh Sayyid Sabiq ) atau hadits dengan redaksi (matan) lain pada Subulussalam, juz 3, Kitabul al-Buyu’ Babu ar-riba ; hal 52)]

Hadits ini yang menunjukkan betapa mulianya akhlak Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam dalam memberikan bimbingan kepada umat. Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan peringatan bahwa ada seorang  sahabatnya mengambil riba. Di sisi lain, Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam langsung memberikan solusi kepada orang tersebut dengan menunjukkan teknis merubah perbuatan haram menjadi mubah/halal. 

Seharusnya hal ini juga menjadi contoh bagi Cendikiawan yang menguasai ilmu fiqh muamalah. Mencarikan solusi dari permasalahan muamalah umat yang menjadi objek dari kritikannya. Solusi dimaksud, bukan sekedar solusi parsial penyelesaian masalah fiqh. Solusi yang baik juga harus mempertimbangkan konteks sosial dan pranata hukum yang berlaku di masyarakat. Solusi yang baik bukan sekedar ungkapan normatif yang sulit di-implementasikan atau bahkan solusi yang membuat gaduh umat lantaran pembahasannya masuk dalam ranah khilafiyah. 

Teringat pesan dari salah satu Guru yang menjadi salah satu Ulama dalam DSN MUI “Kalau diminta menyelesaikan persoalan Umat, maka usahakan cari solusi penyelesaian yang menapak Bumi”. [lihat tulisan tentang cerita kumpulan Ulama Ahli Hadits dan Ulama Ahli Fiqh karya Ustadz Salim A Fillah yang viral  di facebook bertajuk Jawaban Fiqh dan lainnya ; Ustadz Sunnah]

Kembali pada pokok pembahasan, pengambilan fee dari transaksi top up uang elektronik dapat dilakukan dengan menganalogikan transaksi tersebut kepada transaksi penukaran uang baru di bulan Ramadhan. Usaha yang menjadi tradisi di nusantara ini masuk kategori transaksi sharf. Transaksi ini akan dikombinasikan dengan ijarah sebagai media pengambilan fee.

Kembali pada cerita Amir dan Reza di atas. Uang Rp 100.000,- sebanyak 10 lembar boleh ditukar dengan uang baru pecahan Rp 10.000 sebanyak 100 lembar. Boleh juga menukarnya dengan uang baru pecahan Rp 5.000 sebanyak 200 lembar dan seterusnya dengan syarat nilai transaksinya harus sama. Tidak dibenarkan melakukan pengurangan jumlah lembar uang baru pecahan kecil (Rp 10.000 atau Rp 5.000) dengan maksud mengambil upah (ujroh) dari transaksi itu. Sebab, itulah riba yang terjadi akibat kesalahan dalam cara pengambilan upah . 

Penting diingat kembali, bahwa 'illat  terjadinya riba fadhl pada mata uang rupiah adalah nilai (wazn) dan sejenis. Sempurnakan terlebih dahulu transaksi penukaran uang tersebut dengan mengikuti kaidah sharf terhadap mata uang sejenis agar tidak terjadi riba. Kelebihan nilai yang terima Si Penyedia Jasa setelah sempurnanya transaksi penukaran uang baru tersebut bukanlah riba. Sebab, kelebihan nilai diperoleh dengan cara yang sah dan atas dasar yang sah, yaitu sebagai upah atas kerja Si Penyedia Jasa dalam menghadirkan uang pecahan baru untuk ditransaksikan.

Demikian hal-nya dengan top up uang elektronik, pengambilan fee dapat dilakukan dengan menyempurnakan terlebih dahulu transaksi top up sesuai kaidah sharf  terhadap mata uang sejenis. Nilai hasil konversi uang kertas atau uang logam ke dalam uang elektronik harus sama. Jika top up dengan nominal Rp 100.000,- maka saldo uang elektronik harus bertambah Rp 100.000,-. Tidak boleh bertambah atau bahkan berkurang dengan alasan pengambilan upah atas jasa IT. Setelah sempurna transaksi top up nya, barulah kelebihan pembayaran dari pemegang kartu dapat diakui sebagai fee oleh Bank atau pun perusahaan pemberi jasa uang elektronik.

JAWABAN TERHADAP ARGUMENTASI PIHAK YANG MELARANG FEE ATAS TRANSAKSI PENUKARAN UANG BARU DI BULAN RAMADHAN.

Analisis ini perlu untuk dihadirkan, mengingat solusi kebolehan pengambilan fee atas transaksi top up uang elektronik dianalogi kepada transaksi penukaran uang baru yang menjadi tradisi di penghujung Bulan Ramadhan. Di samping itu, analisis juga dimaksudkan untuk menelaah ulang argumentasi sebagian pihak yang mengharamkan pengambilan fee atas transaksi penukaran uang baru. Terdapat beberapa argumentasi pihak yang mengharam transaksi penukaran uang baru dua diantaranya menyentuh persoalan teknis sehingga tepat dijadikan isu untuk ditelaah lebih serius.  

Argumentasi Pertama : “Upah (ujroh) itu adalah Volume Kerja Bukan Nominal Uang Yang Ditukar”

Mereka (Pihak Yang Mengharamkan) menolak argumentasi yang menganggap kelebihan merupakan upah bagi Si Penyedia Jasa penukaran atas jasanya ; menghadirkan uang baru, mengantri di Perbankan atau Bank Indonesia, mendapatkan akses modal penukaran dan lainnya. Argumentasi mereka adalah bahwa besaran upah itu didasarkan pada volume kerja bukan nominal yang ditukar. Mereka memberikan contoh ;
“Pak Aji meminta Deni menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Deni diupah Rp 50 rb. Kita bisa memastikan, baik Pak Aji menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2 juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Deni tetap 50 rb. Karena upah berdasarkan volume kerja Deni, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu. Sementara kasus tukar menukar ini  (uang baru di bulan Ramadhan) nilainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi riba, dan bukan upah.”

Argumen ini lemah sebab upah bukan hanya berkaitan dengan volume kerja. Pemberian upah juga dapat didasarkan pada hasil atau prestasi. Hanya orang yang mencapai hasil atau prestasi tertentu yang berhak mendapatkan ujroh. Kendati pun ia telah sepenuh tenaga bekerja, ia tetap tidak berhak mendapat upah karena tidak berprestasi. Ini dikenal dengan ju’alah yang masih serumpun dengan ijarah dalam konteks imbalan kerja. Upah atau pun harga sewa dapat ditentukan dengan mempertimbangkan waktu, jarak, tempat atau faktor lain, misalnya ; tingkat kesulitan, keberhasilan memperoleh informasi penting dan kebiasaan wilayah setempat. Misalnya, seseorang yang memiliki suatu informasi penting dapat memberikan harga atas informasi yang ia miliki kepada orang lain.

Argumen lain ; untuk setiap kelipatan 100 ribu harus ada kelebihan 10 ribu atau 5 ribu menjadi 'illat dari haramnya transaksi penukaran uang baru. Argumen ini juga lemah sebab, syarat dari sah akad ijarah adalah disebutkan jelas berapa upah atau harga sewa dalam nominal rupiah yang dikenakan kepada penerima/pengguna jasa pada saat transaksi berlangsung.

Jika yang menjadi persoalan adalah ke-identikan nilai nominal upah dengan prosentasi tertentu dari seikat atau sekumpulan uang pecahan baru, maka hal itu sebetulnya hanya untuk mencari kemudahan dalam perhitungan. Teknis itu dapat dilakukan sepanjang transaksi utama, yaitu penukaran uang yang menjadi pintu munculnya riba telah dilaksanakan sesuai dengan kaidah sharf terhadap mata uang sejenis. Sebagai contoh, Syaikh Wahbah Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu menuliskan terjadi perubahan metode pembayaran sewa dikarenakan faktor kesulitan dalam menetapkan penyerahan objek sewa (pengakuan penerimaan manfaat objek sewa) di lapangan.

“Menetapkan penyerahan objek sewa dapat mengikuti perkembangan masa (waktu per waktu), namun hal tersebut sangat susah diterapkan, oleh sebab  itu ditetapkan bahwa pembayaran sewa adalah mengikuti hari atau mengikuti peringkat. Metode tersebut didasari pada dalil istihsân”. [kitab terbitan tahun 2004 Juz 5. hal 3839-3840]  


Argumentasi Kedua ; “Riba tetap Riba, sekalipun Saling Ridha”

Mereka (Pihak Yang Mengharamkan) menolak argumentasi prinsip “an taradin minkum”  terhadap kelebihan yang diterima oleh Si Penyedia Jasa. Mereka berpendapat prinsip saling ridha yang menjadi syarat kehalalan transaksi sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat Annisa [4] : 29, berlaku hanya untuk transaksi yang halal.  

Tidak ada ridha dalam kemaksiatan atau keharaman. Prinsip “an taradin minkum” hanya berlaku pada transaksi halal secara teknis maupun non teknis (dzat-nya halal). Ini adalah prinsip umum yang benar dan mesti diterima setiap muslim. Argumentasi mereka dalam menanggapi penggunaan prinsip “an taradin minkum” dalam transaksi penukaran uang baru sungguh gegabah. Mereka pun telah memberi celaan dengan istilah Tradisi Riba atau Bisnis Haram, sehingga menutup pintu argumentasi bagi yang lain.
                           
Prinsip “an taradin minkum” pada transaksi penukaran uang baru dapat digunakan dengan syarat setelah semua kaidah sharf terhadap mata uang sejenis sempurna dijalankan, yaitu sama nilai. Jika tidak terpenuhi syarat ini maka prinsip “an taradin minkum”tidak berlaku. 

Prinsip “an taradin minkum”  sesungguhnya berkaitan dengan fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa Islam memiliki keleluasan dalam penentuan besaran nilai keuntungan dalam usaha. Syaikh Yusuf Qardhawi, dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer, menjelaskan  bahwa :

“pada hakikatnya orang yang mengikuti dan mengkaji sunnah rasul dan Sunnah Rasidiyyah (Khulafa ar-rasyidin) dan sebelumnya telah meneliti Qur’an- nisacaya ia tidak akan mendapatkan 1 nash pun yang mewajibkan atau menyunahkan batas keuntungan tertentu...”. “... dan sepengetahuan saya tidak dijumpai perkataan fuqaha yang memberikan batasan terhadap besar kecilnya keuntungan yang diraih seorang pedagang dalam perdagangannya. Kecuali apa yang disebutkan oleh Al-Allamah az-Zaili dari kalangan ulama Hanafiyah...”. “... Az-Zaili member batasan bahwa melampaui batasan keji (ta’addi al-fahisy) itu adalah menjual barang dengan dua kali lipat dari harganya. Tetapi beliau tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan harganya.”

Dalam analisis lain, DR Trisiladi Supriyanto menulis dalam disertasinya berjudul Konsep Rate of Profit Perspektif Ekonomi Islam (Aplikasi di Bank Syariah) (hal 10-11) :

"Sesuai teori rate of profit Islami, keuntungan yang diambil harus mengandung 3 unsur yaitu : 1) nilai tambah atau value addition karena adanya unsur kerja (kasb), 2) pengambilan risiko atau risk taking (ghurm) karena adanya risiko perubahan harga pada barang yang diperdagangkan dan 3) penanggungan kewajiban jika terjadi kecacatan pada barang yang diperjualbelikan atau liability. Berkenaan dengan besarnya rate of profit, Rasulullah SAW sendiri tidak secara tegas menentukan kadar atau batasan dari keuntungan (tahdid al-ribh). Dalam Mejelle, Effendi Ismail Haqqi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keuntungan yang berlebihan adalah tidak melampaui: 1) 1/20 (5%) dari total harga barang; 2) 1/10 (10%) dari harga hewan dan; 3) 1/5 (20%) dari harga rumah (real estate)46. Keuntungan yang dimaksud di sini menurut penulis adalah profit dalam bay‘ naqdan atau jual beli tunai (bukan jual beli tunda). Pendapat yang sama dikatakan oleh Al-Ghazali, bahwa rate of profit untuk barang sebesar antara 5-10 persent dari harga barang tersebut"

Pada kondisi persaingan sempurna, tidak ada batasan besaran keuntungan yang dinilai Islami dari kegiatan usaha. Nilai keuntungan (harga) diserahkan kepada kesepakatan pasar (ar-ribhu ala manittafaqa). Perlu ditegaskan kembali, jika semua syarat dan teknis transaksi penukaran uang baru telah sempurna dilaksanakan sesuai kaidah sharf terhadap mata uang sejenis, maka pada tahap inilah prinsip“an taradin minkum” berlaku. Pelaku usaha penukaran uang baru yang menetapkan keuntungan terlalu tinggi pasti akan terkoreksi oleh pasar.

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk menjaga keberlangsungan bisnis transaksi non tunai diperlukan biaya pengadaan dan maintenance infrastruktur. Jika kita jernih menilai, maka pada hakikatnya ada hajat yang dapat dipertanggungjawabkan terkait pungutan fee pada transaksi top up uang elektronik.

Besar harapan kepada Bank Indonesia agar nantinya kebijakan  fee  pada transaksi top up uang elektronik dapat memberikan keadilan bagi pelaku usaha dan masyarakat. Di samping itu, untuk tetap menjaga kepatuhan terhadap prinsip syariah perlu kiranya DSN-MUI memberikan perhatian terhadap persoalan ini. 

Wallahu a'lam.



baca juga :

Bank Syariah Dihujat ; Catatan Putih Bank Syariah Kepada Pencari Kebenaran/Kemurnian

Cahaya ; Refleksi tentang Liberalisasi dan Islam

Comments

  1. In syaa Allah saya lebih yakin dengan tulisan dan penjelasan d web konsultasisyariah.com

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, Pak Ustadz Irham terima kasih atas penjelasannya. Saya sangat tertarik. Semoga Allah memberkahi kita semua. Kiranya ada rujukan kitab Arab yang bisa saya baca untuk menambahi tulisan ustadz... Saya masih ingin memperluas masalah 'Menyelesaikan transaksi dulu' baru kemudian pemberian ujrah... Pada e-money bagaimana penerapan konsep tersebut? Kiranya bisa komunikasi lebih lanjut dengan ustadz, via whatsapp. Whatsapp saya 082140888638. Atau barangkali ustadz punya Telegram. Saya ingin berguru pada ustadz Irham.

    ReplyDelete
  3. Ustadz, saya mohon informasi dalil jual beli manfaat, mungkin di kitab apa sy bisa cari di Maktabah Syamilah,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jual Beli manfaat itu nama lain dari Ijarah (etimologi/lughawi).

      Lihat di Al Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu Jilid 4 atau 5 (tergantung tahun terbitan).

      Dalam konteks jual beli manfaat coba didalami ; Pulsa dan Listrik dalam konteks seperti apa bisa masuk bab jual beli, mengingat untuk 2 objek itu tidak bisa kita pegang/sentuh tapi hanya bisa kita rasakan manfaatnya.

      Ini penting kaitannya untuk menghukumi transaksi jual beli e-money dimana saya dengar ada Bank yang mendiscount harga. Misal Harga e-money Rp 25 ribu, tapi isinya Rp 20 rb. Menarik untuk dikaji itu.







      Delete

Post a Comment