Maslahat


Oleh : Nadirsyah Hosen (Gus Nadir)

Ibrahim ibn Musa Abu Ishaq al-Syatibi wafat tahun 1388 M –sekitar 600 tahun yang lalu. Hidup di masa kejayaan Islam di Granada, Spanyol, ia berasal dari daerah Xativa, yang terkenal dengan produksi kertas pada masanya. Dari daerah Xativa inilah ia kemudian dikenal dengan nama Syatibi –sebagaimana Imam Qurthubi yang berasal dari Cordoba, banyak ulama yang hidup dan tinggal di Spanyol (Barat), dan kita kenal lewat nama belakang yang diambil dari kota mereka tinggal. Jadi, sejak dulu Islam sudah berkembang di Barat, kenapa pula kita sekarang alergi kalau ada cendekiawan Muslim berkiprah di Barat?

Imam Syatibi menulis kitabnya yang berisikan penjelasan mengenai dasar dan tujuan Syariah. Semula ia menamai kitabnya dengan judul Unwan al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif, akan tetapi, seperti ia tuturkan sendiri, ia mengalami peristiwa aneh. Ia bertemu dengan kawannya yang mengaku bermimpi bertemu dengannya dimana ia memegang sebuah kitab. Kawannya bertanya apa judul dan isi kitab itu. Dalam mimpi itu Syatibi mengatakan kitabnya berjudul al-Muwafaqat, yang isinya merekonsiliasikan mazhab Ibn al-Qasim (Maliki) dan Abu Hanifah. Setelah kawannya menceritakan mimpi tsb, Syatibi terkejut karena itulah isi buku yang tengah ia garap, dan akhirnya ia mengganti judul kitabnya persis seperti dalam mimpi kawannya itu: al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah.

Di bulan Ramadan ini saya kembali membaca ulang al-Muwafaqat. Imam Syatibi berpendapat setiap prinsip hukum Islam yang tidak didukung oleh nash tertentu tapi sejalan dengan tindakan syara’ dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara’ maka hal itu bisa dipakai sebagai hujjah.

Syatibi menyebut contoh penggunaan istidlal mursal oleh Imam Malik, yang dalam catatan kaki disebut sebagai mashalih mursalah. Contohnya adalah pengumpulan ayat-ayat al-Quran satu kesatuan dalam mushaf, seperti yang kita kenal sekarang ini. Tidak ada dalil khusus yang memerintahkan hal demikian, dan ini bisa dianggap bid’ah, namun tindakan itu dibenarkan dan maslahat bagi umat.

Ini artinya, ketiadaan dalil bukan penghalang untuk melakukan tindakan yang tujuannya untuk kemaslahatan umat. Kalau dulu al-Quran tidak dikumpulkan dalam bentuk mushaf repotlah kita saat ini kalau mau tadarusan di bulan Ramadan.

Imam Syatibi boleh disebut sebagai ulama yang pertama kali secara sistematis mengelaborasi konsep maslahah ini dalam konteks al-dharuriyat al-khams, yaitu lima dasar pensyariatan hukum Islam: menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Sejak era Syatibi, perdebatan usul al-fiqh menjadi dinamis, tidak lagi semata-mata otak-atik bahasa seperti yg diurai dengan njelimet oleh kitab al-Mu’tamad fi Usul al-Fiqh. Di mana ada kemaslahatan, maka di sanalah ada hukum Allah. Aturan Allah itu sejatinya bertujuan menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan. Inilah yang seharusnya menjadi pegangan kita semua: hidup berdasarkan pada maslahat, bukan tipu muslihat. Bukan begitu masbro?

Baca selengkapnya di http://www.nadirsyahhosen.net

Comments