Beberapa minggu lalu, Penulis menerima telpon dari seorang sahabat yang menjadi pegawai di Bank Syariah. Penulis diberitahu bahwa ia kewalahan menghadapi komplain nasabah yang mempertanyakan Kesyariahan Bank-nya dalam menjalankan transaksi Pembiayaan Murabahah. Komplain nasabah itu kira-kira dapat dideskripsikan sebagai berikut : 'Menurut Ustad saya, Akad Murabahah itu adalah akad jual beli. Di mana Bank menjadi penjual dan saya menjadi pembeli. Oleh sebab itu, jika saya ingin memiliki rumah dengan memanfaatkan jasa Bank Syariah melalui KPR iB, semestinya setelah akad selesai ditandatangani Bank Syariah memberikan saya barang yaitu Rumah. Kenapa Bank ini malah memberi sejumlah uang ke rekening pribadi saya untuk kemudian ditransfer ke developer atau penjual rumah. Kalau, Bank Syariah memberikan uang kepada saya maka apa bedanya dengan Bank Konvensional? sama-sama memberikan uang ke rekening. Menurut saya Bank ini tidak syariah'.
Komplain sebagaimana deskripsi di atas, boleh jadi sampai saat ini mewakili persepsi sebagian masyarakat Indonesia tentang praktik murabahah di Bank Syariah. Persepsi itu adalah jika transaksi pembiayaan menggunakan akad murabahah, maka nasabah tidak lagi menerima uang dari Bank Syariah melainkan (hanya) menerima barang yang menjadi objek murabahah.
Penulis memiliki sejumlah pertanyaan terkait hal ini, yaitu ;
1. Benarkah jika Bank Syariah menggunakan Akad Murabahah dalam pembiayaannya secara otomatis Bank tersebut harus diposisikan layaknya Penjual atau Pedagang pada umumnya yang menjajakan barang dagangan kepada konsumen?
2. Benarkah dengan adanya sejumlah dana pembiayaan yang masuk ke rekening nasabah, mengakibatkan Akad Murabahah yang dilaksanakan Bank Syariah menjadi tidak syariah atau bahkan haram karena dianggap sama dengan kredit pada Bank Konvensional ?
Tulisan ini mencoba memberikan pemahaman lain yang lebih 'adil' atas permasalahan pembiayaan murabahah di Bank Syariah. Penulis sengaja memberikan tanda kutip terhadap kata adil, mengingat banyak kritik terhadap praktik pembiayaan murabahah di Bank Syariah hanya didasari pada rujukan kitab-kitab fiqh. Lebih memprihatinkan lagi tak jarang kritikan kepada Bank Syariah disampaikan oleh pihak yang memiliki latar belakang pendidikan syariah tinggi. Mereka mahir menggunakan argumentasi fiqh, namun mereka tidak memahami sepenuhnya kondisi faktual di lapangan terkait objek yang mereka kritik. Mereka tidak memahami substansi hukum positif yang mengatur Bank Syariah. Mereka juga tidak memahami fatwa murabahah yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Penting untuk diketahui kembali, bahwa Perbankan Syariah di Indonesia terikat dan tunduk pada ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Di antaranya ; Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta turunannya, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) serta turunannya dan Fatwa DSN-MUI.
Khusus untuk Fatwa DSN-MUI, aturan yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia ini menjadi mengikat serta memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan bukan hanya semata-mata dikarenakan 'moral obligation' dari shareholder maupun stakeholder Bank Syariah. Fatwa DSN-MUI sudah mengikat secara hukum dikarenakan ketentuan hukum positif memang mengaturnya. Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 26 ayat 2, dengan tegas mengatur bahwa Prinsip Syariah yang berlaku bagi Bank Syariah adalah sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Bagi pihak-pihak yang masih mempertanyakan kekuatan hukum dari fatwa DSN-MUI yang digunakan Bank Syariah, sebaiknya perlu membaca kembali undang-undang yang mengatur perbankan syariah.
PEMBIAYAAN MURABAHAH
Merujuk pada Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1 ayat 25, kata PEMBIAYAAN didefinisikan menjadi : "penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil."
Kata MURABAHAH pada Fatwa DSN MUI nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 didefiniskan menjadi ;"menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba."
Terakhir, defenisi PEMBIAYAAN MURABAHAH pada Lampiran IV Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No.36/SEOJK. 03 /2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah adalah "Penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu untuk transaksi jual beli barang sebesar harga pokok ditambah margin berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan nasabah yang mewajibkan nasabah untuk melunasi hutang/kewajibannya."
Berdasarkan seluruh definisi di atas, perlu digarisbawahi makna umum dari Pembiayaan yang diatur oleh undang-undang maupun aturan OJK, salah satunya adalah Penyediaan Dana.
Jika dikaitkan dengan konteks Pembiayaan Murabahah, maka Bank Syariah di Indonesia lebih cocok disebut sebagai financial intermediary institution atau lembaga keuangan (penyedia dana) ketimbang disebut sebagai Penjual/Pedagang Barang (murni). Ketentuan pada Hukum positif yang berlaku di Indonesia telah menyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana, bukan penyediaan barang. Guna membuktikan secara hukum bahwa nasabah telah menerima pembiayaan, maka diperlukan dokumen yang dapat memberikan informasi adanya sejumlah dana yang diterima oleh Nasabah dari Bank Syariah. Bilamana ada pihak yang menyatakan bahwa bukti penyediaan dana adalah dokumen transfer langsung bank kepada supplier, maka bukti ini dimungkinkan melemahkan kedududukan hukum Bank Syariah dalam berperkara. Sebab, bisa jadi nantinya malah muncul penafsiran yang menerima pembiayaan adalah Supplier bukan Nasabah. Adapun dokumen akad murabahah belum cukup membuktikan bahwa nasabah menerima pembiayaan dari Bank. Dokumen akad belum mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban selama Bank dan Nasabah belum melaksanakan hal-hal yang telah diperjanjikan sesuai dengan kedudukan hukum masing-masing pihak.
Dalam analisis lain, jika Bank Syariah disebut sebagai Penjual/Pedagang Barang (murni) maka seharusnya Bank Syariah terkena risiko persediaan layaknya Penjual/Pedagang yang terkena risiko persediaan barang. Misalnya, risiko rusaknya barang dagangan sebelum terjual maupun diserahkan kepada pembeli. Lebih dari itu, jika Bank Syariah dianggap sebagai Penjual/Pedagang maka seharusnya Bank Syariah memiliki gudang penyimpanan persediaan barang dagang. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Bank Syariah di Indonesia tidak terkena risiko persediaan dan juga tidak mempunyai gudang persediaan barang dagang. Persediaan barang dagang yang dimaksud adalah persediaan barang yang akan diperdagangkan seperti bahan-bahan bangunan untuk produk KPR iB, mobil untuk produk KKB iB, alat-alat elektronik untuk Produk Multiguna iB dan barang lainnya.
Sebetulnya otoritas yang mengatur masalah pencatatan keuangan atau akuntansi di Indonesia, memberikan 2 alternatif pencatatan keuangan atas transaksi murabahah bagi Bank Syariah. Alternatif pertama menjadikan Bank Syariah betul-betul sebagai Penjual/Pedagang yang terkena risiko persediaan melalui Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 102 yang kemudian diadopsi oleh Otoritas perbankan dalam penerbitan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Sedangkan alternatif kedua tetap menjadikan Bank Syariah sebagai financial intermediary institution atau lembaga keuangan (penyedia dana) yang tidak terkena risiko persediaan melalui PSAK No 50 dan 55. Bank Syariah diberi kesempatan untuk memilih 2 alternatif tersebut. Namun demikian, berdasarkan pengamatan penulis sebagian besar Bank Syariah lebih cenderung memilih alternatif kedua.
Kembali kepada masalah awal, kedudukan Bank Syariah sebagai penyedia dana dalam konteks Pembiayaan Murabahah dikuatkan kembali oleh otoritas dalam SEOJK No.36/SEOJK. 03 /2015 halaman 56-57 yaitu pada angka 3 Persyaratan nomor 3.1 "Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam rangka membelikan barang dan nasabah sebagai pihak pembeli barang." Praktik Pembiayaan Murabahah yang dilakukan oleh Bank Syariah tetap melibatkan tiga pihak yaitu Pihak Supplier sebagai Penjual atau pemilik barang Awal, Nasabah dan Bank Syariah selaku penyedia dana. Praktik ini dikenal dengan istilah Murabaha To The Purchase Orderer atau Murabahah Li al-Amir bi al-Syira'.
Mengenai praktik Pembiayaan Murabahah pada salah satu Bank Syariah silahkan merujuk pada tulisan berikut : http://irham-anas.blogspot.co.id/2011/11/analisa-penerapan-akad-murabahah-di.html?m=0. Kesimpulan tulisan ini, bahwa kedudukan hukum Bank Syariah pada Pembiayaan Murabahah adalah financial intermediary institution atau lembaga keuangan (penyedia dana). Dalam rangka memenuhi rukun dari Akad Murabahah, barulah secara otomatis melekat peran kedua dari Bank Syariah yaitu sebagai penjual.
Wallahu a'lam
Semoga Bemanfaat
Saran ane, ada baiknya ente memasukan dalil2 dan nash, tidak hukum2 positif aja, karena menurut ane hukum syariah tidak akan bisa sejalan dengan hukum positif. Dengan kebanyakan Bank syariah memilih sebagai lembaga penyedia dana, ini sangat jelas sekali semakin dekatnya ke syubhat dan condong ke riba. Kita harus mengkaji lagi pengharaman riba dan membolehkan jual beli (arti jual beli yang sebenarnya dengan rukun jual belinya)
ReplyDeleteDalil nash antum bisa lihat di Fatwa DSN MUI. Saya mau tanya antum nikah pake dalil agama saja atau juga pake aturan negara?
DeleteSaran ane, ada baiknya ente memasukan dalil2 dan nash, tidak hukum2 positif aja, karena menurut ane hukum syariah tidak akan bisa sejalan dengan hukum positif. Dengan kebanyakan Bank syariah memilih sebagai lembaga penyedia dana, ini sangat jelas sekali semakin dekatnya ke syubhat dan condong ke riba. Kita harus mengkaji lagi pengharaman riba dan membolehkan jual beli (arti jual beli yang sebenarnya dengan rukun jual belinya)
ReplyDelete