Dosen Studi Islam dan Filsafat UIKA Bogor
Ahlus sunnah wal Jamaah, secara harfiah, berarti orang yang
berpegang dan mengikuti tuntunan dan kelompok Nabi saw. Sebab, secara harfiah
sunnah berarti tharîqah (tuntunan), maslak (rute yang dilalui) dan mawrid
(sumber air); [1] juga bisa berarti tharîqah mahmûdah mustaqîmah (tuntunan yang
terpuji dan lurus). Karena itu, Fulan disebut Ahlus sunnah, maksudnya adalah
orang yang menjadi pengikut tuntunan yang terpuji dan lurus [2]. Mereka
inilah yang juga disebut ahl al-haq (pengikut kebenaran), lawan dari ahl
al-ahwa’ (pengikut hawa nafsu) [3]. Ahlus sunnah juga bisa berarti orang
yang mengikuti sunnah Nabi saw., lawan dari ahl al-bid‘ah. Hanya saja,
penggunaan istilah Ahlus sunnah kemudian mengalami reduksi sedemikian rupa
setelah istilah ini diadopsi oleh Ahli Kalam hingga hanya berlaku untuk tiga
kelompok yang menjadi pengikut: Maturidi, Asy’ari, Thahawi; ditambah Salafi
(pengikut Ibn Taimiyah). Prof. Rawwas Qal’ah Ji, misalnya, dalam Mu‘jam Lughât
al-Fuqahâ’ menyatakan, bahwa Ahlus sunnah adalah orang-orang yang dalam
berakidah terikat dengan al-Quran dan as-Sunnah, bukan pandangan para filosof.
Mereka kembali kepada tiga kelompok, yaitu para pengikut Maturidi al-Hanafi (w.
333 H), para pengikut Asy’ari (w. 330 H) dan pengikut Salafi yang digagas oleh
Ibn Taimiyah (w. 728 H) [4].
Karena itu, istilah Ahlus sunnah telah mengalami transmisi dari
istilah umum untuk semua orang—termasuk mazhab yang mengikuti tuntunan Nabi
saw. dan para Sahabat—menjadi istilah khas; hanya dibatasi untuk mazhab
tertentu dalam akidah, fikih dan siyâsah. Dulu orang-orang NU, misalnya,
mengklaim dirinyalah Ahlus sunnah, karena mereka menggariskan akidahnya
mengikuti Asy’ari dan Maturidi. Mereka menganggap Muhammadiyah bukan Ahlus
sunnah karena tidak mengikuti kedua mazhab tersebut. Sebaliknya, Muhammadiyah
pernah menganggap orang-orang NU sebagai ahl al-bid‘ah, dan karenanya tidak
layak disebut Ahlus sunnah; yang layak disebut Ahlus sunnah hanya orang-orang
Muhammadiyah. Klaim seperti ini bisa terjadi, karena masing-masing membangun klaim
dengan pijakan dan paradigma yang berbeda. Satu pihak menganggap Ahlus sunnah
sebagai mazhab tertentu sehingga siapa saja yang tidak mengikuti mazhab
tersebut dianggap bukan Ahlus sunnah. Pihak lain menganggap Ahlus sunnah
bukan sebagai mazhab tertentu, tetapi sebagai tuntunan Nabi saw. yang harus
diikuti, sehingga siapa saja yang menyimpang dari tuntunan tersebut disebut ahl
al-bid‘ah, bukan Ahlus sunnah. Dengan kata lain, Ahlus sunnah menurut
Muhammadiyah adalah istilah umum, bukan khusus untuk mazhab tertentu.
Sebaliknya, menurut NU, Ahlus sunnah adalah istilah khas, yang merujuk pada
mazhab tertentu.
Dalam teori usul fikih, istilah tersebut bisa dikategorikan
sebagai haqîqah ‘urfiyyah (makna hakiki menurut konvensi). Ada yang khâshash,
atau konvensi tertentu, seperti konvensi Ahli Kalam, sehingga istilah tersebut
disebut haqîqah ‘urfiyyah khâshah ‘inda al-mutakallimîn. Namun, ada juga yang
bersifat ‘âmmah, atau konvensi umum, sehingga bisa disebut haqîqah ‘urfiyyah
‘âmmah. Nah, dalam kasus NU dan Muhammadiyah, bisa disimpulkan, bahwa NU
menggunakan istilah tersebut dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah khâshah, sementara
Muhammadiyah menggunakannya dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah.
Karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, bahwa sifat orang
Mukmin yang disebut Ahlus sunnah wal Jamaah adalah:
Siapa saja yang bersaksi, bahwa tidak ada tuhan melainkan hanya
Allah Swt., tiada sekutu bagi-Nya, serta Muhammad saw. adalah hamba dan
Rasul-Nya. Dia juga mengakui semua yang dibawa oleh para nabi dan rasul, tidak
ada sedikitpun keraguan dalam keimanannya. Dia tidak mengkafirkan satu orang
pun yang masih bertauhid karena satu dosa. Dia mengharapkan semua perkara yang
hilang darinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menyerahkan urusannya hanya
kepada-Nya. Dia meyakini bahwa apa saja berjalan menurut qadha’ dan qadar
Allah, semuanya, baik dan buruknya. Dia juga mengharapkan kebaikan untuk umat
Muhammad dan mengkhawatirkan keburukan menimpa mereka. Tak seorang pun umat
Muhammad masuk surga dan neraka karena kebaikan yang dilakukannya, dan dosa
yang diperbuatnya, sampai Allah SWT-lah yang memasukan ciptaan-Nya sebagaimana
yang Dia kehendaki. Dia mengetahui hak orang salaf yang telah dipilih oleh
Allah untuk menyertai Nabi-Nya. Dia mendahulukan Abu Bakar, Umar dan Utsman
serta mengakui hak Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad bin
Abi Waqqash, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail atas para Sahabat yang lain.
Merekalah sembilan orang yang telah bersama-sama Nabi saw. berada di atas
Gunung Hira’. Dia menceritakan keutamaan mereka dan menahan diri terhadap apa
yang mereka perselisihkan di antara mereka. Dia shalat Idul Fitri dan Adha,
Khauf, shalat berjamaah dan Jumat bersama semua pemimpin, baik yang taat maupun
zalim. Dia mengusap dua sepatu ketika bepergian dan ketika tidak, meng-qashar
shalat ketika bepergian. Dia meyakini al-Quran kalam Allah, dan diturunkan,
bukan makhluk. Dia meyakini bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa
bertambah dan berkurang. Dia meyakini bahwa jihad tetap berlanjut sejak Allah
mengutus Muhammad saw. hingga sisa generasi terakhir yang memerangi Dajjal,
saat tak akan ada yang bisa mencelakakan mereka kezaliman orang yang zalim. Dia
menyatakan, bahwa jual-beli halal hingga Hari Kiamat sesuai dengan hukum Kitab
dan Sunnah. Dia shalat jenazah dengan empat takbir dan mengurus umat Islam
dengan baik. Dia tidak melakukan perlawanan terhadap mereka dengan pedang Anda.
Jangan berperang karena fitnah. Diamlah di rumah Allah. Dia mempercayai azab
kubur; mengimani Malaikat Munkar-Nakir; meyakini adanya telaga, syafaat;
meyakini bahwa orang-orang yang mempunyai tauhid akan keluar dari neraka
setelah mereka diuji, sebagaimana sejumlah hadis telah menyatakan hal ini dari
Nabi saw. Kita mengimaninya, dan tidak perlu banyak contoh untuk semuanya tadi.
Inilah yang disepakati oleh para ulama dari berbagai penjuru dunia. [5]
Dengan demikian, Ahlus sunnah wal Jamaah itu tidak identik
dengan mazhab tertentu, tetapi siapa saja yang memenuhi kualifikasi di atas.
Maksud dari Imam Ahmad di atas, menurut Qadhi Iyadh, adalah Ahlus sunnah wal
Jamaah dan siapa saja yang meyakini mazhab ahli hadis. Karena itu, menurut Ibn
Abd al-Barr, mereka adalah para ahli hadis dan fikih. [6] Bahkan menurut
Ibn Hajar, mereka adalah semua ahli ilmu syariah. [7] An-Nawawi juga
menyatakan, bahwa boleh jadi kelompok ini berserakan di antara berbagai ragam
kaum Mukmin; ada yang pemberani dan pasukan perang; ada yang ahli fikih, hadis,
zuhud, dan orang-orang yang memerintahkan kemakrufan serta mencegah kemunkaran;
ada juga ahli kebaikan yang lain. Tidak mesti, mereka terkumpul di satu tempat.
Sebaliknya, boleh jadi mereka berserakan di berbagai belahan bumi. [8]
Wallâhu a’lam. []
Catatan Kaki:
1. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.,
XIII/226.
2. Ibid, 226.
3. Al-Jurjani, At-Ta‘rifât, Dar al-Bayan li at-Turats, ed.
Ibrahim al-Abyari, t.t., 57-58.
4. Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Ji, Mu‘jam Lughât al-Fuqahâ’:
‘Arabi-Injelizi-Ifrinji, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 76.
5. Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad, al-Maqshad al-Arsyad fi
Dzikr Ashhab al-Imam Ahmad, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, cet. I, 1990,
II/336-339.
6. Ibn ‘Abd al-Barr, at-Tamhid li Ibn ‘Abd al-Barr, ed. Mustafa
‘Alawi, Wizarah ‘Umum al-Auqaf, Maroko, 1387, V/115.
7. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri fî Syarh Shahîh
al-Bukhârî, ed. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379,
XIII/316.
8. Muhammad bin Abdurrahman al-Mubarakfuri, Abu al-Ala, Tuhfah
al-Ahwadzi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., VI/360.
Comments
Post a Comment