MENYOAL ARGUMEN KONTEKSTUALISASI ISLAM


Tanggapan atas artikel : " Argumen untuk Kontekstualisasi Islam | IslamLib

by
Irham Fachreza Anas

31 Januari 2016


"Meski demikian, ada hal-hal yang tidak dapat dikontekstualisasikan dalam Islam..." Saya dalam posisi yang sama dengan Pak Afif dalam point tersebut.

Namun, tatkala melihat dan membaca tulisan dari beberapa cendikiawan yang terbiasa mendahulukan Ra'yu dari Nash, ide kontekstualisasi bagi mereka berlaku untuk segala aspek dalam Islam. Aqidah, Syariah dan Akhlak atau Iman, Islam dan Ihsan atau ibadah dan muamalah atau pembagian lainnya. Alhasil, nash yang sudah qath'i/muhkamat jadi mutasyabbihat. Semua nash bahkan harus dianggap mutasyabbih terlebih dahulu untuk bisa beradaptasi dengan Sikon (Situasi, Kondisi) atau 'makhluk' bernama Konteks itu.

Munculnya wacana Qur'an edisi kritis, penolakan terhadap hadits sahih yang tidak sesuai dengan konteks 'local wisdom', menganggap rendah teks-teks Nash dan menyamakannya dengan produk budaya arab, wacana pelegalan lokalisasi perjudian dan prostitusi,  dan lain sebagainya merupakan ekses dari kontekstualisasi yang sudah masuk kategori Ghuluw.

Isu kajian Islam kontemporer yang justru harus diteliti lebih dalam bukan pada kontekstualisasinya melainkan pada konsistensi perpaduan Ra'yu dan Nash dalam menghadapi problematika perkembangan zaman. Ra'yu dan Nash ibarat Gas dan Rem dalam sebuah kendaraan. Jika gas "Ra'yu" dinjak terlalu dalam seketika akan membuat kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi, pada saat itulah mesti ada rem "Nash" untuk mengimbangi kecepatan agar kendaraan itu dapat dikendalikan dengan baik hingga selamat sampai tempat tujuan. Kecelakaan yang terjadi dalam berkendara umumnya disebabkan oleh kelengahan pengemudi dalam mengendalikan kendaraannya.

Prinsip yang sama juga berlaku dalam proses berfikir atau berijtihad. Proses berfikir/ijtihad terhadap problematika perkembangan zaman yang tidak secara jelas dinyatakan dalam Nash, tidak bisa juga dilakukan dengan membelakangi Nash dan mengedepankan Ra'yu.  Sebaliknya proses berfikir/ijtihad yang dimulai dengan memahami teks dalam Nash tidak serta-merta menafikan ketajaman analisa Ra'yu yang merupakan Anugerah Allah subhanahu wa ta'ala untuk Manusia.

Teringat kembali perdebatan mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dimana Sastrawan kenamaan Taufik Ismail pernah membuat ungkapan 'Tujuan Menghalalkan Cara'. Menurut Taufik Ismail, ungkapan itu berarti guna mewujudkan tujuan PKI menguasai Indonesia maka HALAL menggunakan cara apapun. Dari cara yang baik melalui dialog serta program sosial kemanusian lainnya sampai pada cara-cara keji;  propaganda, membunuh, memfitnah, memerkosa, membakar masjid dan rumah ibadah lain, menghasut, menculik dan gerakan-gerakan negatif lainnya. Sekali lagi, semua cara tersebut HALAL dilakukan untuk mewujudkan tujuan yang satu, yaitu menguasai Indonesia.

'Tujuan Menghalalkan Cara' menjadi ekses paling buruk yang dapat ditimbulkan dari kontekstualisasi Islam. Salah satunya, rusaknya metodologi istinbath hukum yang sudah ditetapkan oleh para ulama terdahulu. Kedudukan Qur'an sebagai sumber utama dan yang pertama dalam penggalian hukum Islam bergeser digantikan dengan "Maqasid Syar'iyyah". Dengan kalimat lain, Nash harus bisa "disesuaikan" dengan Maqasid Syar'iyyah. Parahnya sumber penggalian maqasid pun juga dilakukan dengan membelakangi Nash. Bagaimana mungkin seorang mujtahid kontemporer tidak bisa membedakan tujuan dan proses? Bagaimana mungkin seorang mujtahid kontemporer dengan sadarnya merusak proses demi mencapai tujuan? Apakah boleh dalam kacatama syariah dilakukan pelegalan lokalisasi perjudian dan prostitusi atas nama menciptakan ketertiban umum?

Masih ingatkah kita dengan ungkapan "Tujuan menghalalkan Cara"? Insya Allah pernyataan ini tidak akan pernah berlaku bagi mujtahid kontemporer yang terjaga kesucian berfikirnya. 

Dikisahkan, Amirul mukminin Umar Bin Khattab ra sebagaimana yang dicontohkan Bapak Afif dalam tulisannya. Namun, kisahnya bukan dalam hal Hudud Mencuri melainkan dalam menetapkan Batasan Mahar yang boleh diambil seorang wanita.

"Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang manusia dari memberi mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah: “ …. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20) Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Kemudian Umar pun meralat keputusannya. Kemudian naik ke mimbar dan berkata: “dahulu aku melarang kalian untuk membayar mahar wanita lebih dari 400 dirham, maka (sekarang) barang siapa yang mau (silakan) memberi dari hartanya sebanyak yang dia suka”. Mengutip Al Hâfidz Abu Ya’la, Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawiy (baik lagi kuat)[16].


Lihatlah bagaimana Umar Bin Khattab radhiallahu 'anhu mampu membedakan mana tujuan dan proses. Ia mampu mengerem ketajaman Ra'yu nya yang jelas-jelas bertentangan dengan Nash. Dalam masalah membatasi mahar sebenarnya Umar memiliki tujuan mulia yaitu agar dari pihak lelaki yang tidak mampu memberikan mahar besar bisa menikahi wanita tanpa harus terbebani dengan kewajiban mahar yang besar itu. Amirulmukminin Umar Bin Khattab radhiallahu anhu tidak bermaksud menghilangkan mahar melainkan hanya membatasi jumlahnya. Pada akhir kisah tersebut, mungkin dengan maksud untuk tetap menolong kaum lelaki yang terbebani mahar besar, Umar mengingatkan para Muslimah terhadap sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa barang siapa yang mengurangi beban kesulitan seorang muslim maka Allah subhanahu wa ta'ala akan membantu mengurangi juga beban kesulitan muslim (penolong) itu baik di dunia maupun akhirat. (Silahkan Para Pembaca untuk menonton kisah OMAR).

Sebagaimana tulisan Bapak Afif  bahwa "ada hal-hal yang tidak dapat dikontekstualisasikan...." pada point itu saya fikir ide kontekstualisasi ini dapat memberikan manfaat untuk perkembangan permikiran Islam. Pada point itu, ide kontekstualisasi bisa dikendalikan sehingga tidak menjadi 'tafsir liar' yang Ghuluw.

QS Al-Kahf (18) : 10. (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)".

Wallahu a'lam

Comments