ANOMALI TREN BERFIKIR LIBERAL


Tanggapan atas artikel : Politik “Mengutip Ayat” dan Kekacauan Epistemologis | IslamLib
http://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/politik-mengutip-ayat-dan-kekacauan-epistemologis/

by 
Irham Fachreza Anas 

08 Februari 2016

"Bacalah wahyu-wahyu Ilahi yang sebentar lagi akan banyak Engkau terima dan baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan ilmu pengetahuan. Bacalah semua itu tetapi dengan syarat engkau lakukan dengan atau demi nama Tuhan yang selalu memelihara dan membimbingmu dan Yang mencipta semua makhluk kapan dan dimana pun" (Tafsir Al-Misbah,jil 15, hal 454).

Berangkat dari tafsir surat Al 'Alaq (96) ayat 1, setiap manusia khususnya muslim memiliki tanggung jawab untuk membaca kehidupan. Kata "membaca" memiliki makna luas. Menghimpun, menelaah, mendalami, meneliti, memprediksi, mengetahui ciri-ciri dan lain sebagainya dapat bermuara pada kata "membaca".

Pemahaman pada ayat pertama ini kurang sempurna jika kita berhenti pada kata "Iqra /membaca". Ayat yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala berdiam diri di Gua Hira memang tidak berenti pada "iqra" melainkan "bismi Rabbika/dengan nama Rabb-mu". Kemudian, diikuti kalimat tambahan untuk menjelaskan makna rabb sebagai tuhan yang maha mencipta "alladzii kholaq". Kalimat "bismi rabbika" menjadikan aktivitas membaca bertemu dengan arah dan tujuannya sehingga aktivitas ini menjadi sempurna.

Melalui ayat pertama surah Al'Alaq, umat islam diperintahkan untuk dapat membaca kehidupan dengan arah dan tujuan bermuara pada Yang Maha Agung. Tatkala seorang muslim membaca dirinya sendiri ia pasti akan mengaitkan bacaannya kepada Yang Maha Agung. Begitu juga ketika ia membaca alam dan lingkungannya, ia pasti akan mengaitkannya dengan Yang Maha Agung. Keterkaitan itu adalah wujud pengabdianya kepada Yang Maha Agung serta sebagai bukti ucapannya ; "sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya (kupersembahkan) untuk Allah subhanahu wa ta'ala Penguasa Alam Semesta".

Merupakan suatu Keanehan jika ada yang begitu "Alergi" dengan orang yang mengutip ayat sebagai dasar argumentasi dalam forum diskusi, debat ataupun bentuk interaksi sosial lainnya. Padahal, mereka yang alergi itu malah "Kecanduan" mengutip pemikiran-pemikiran yang diimport dari tokoh Barat. Bukankah bentuk pertanggungjawaban argumentasi seseorang juga didasarkan pada dalil-dalil yang digunakan ? Lantas mengapa harus alergi dengan kutipan ayat?

Merupakan suatu Keanehan jika ada yang begitu "Fobia" terhadap kutipan ayat dan menganggapnya hanya sebagai siasat untuk memenangkan atau mengakhiri diskusi. Lebih parah lagi, menganggap kutipan ayat sebagai bentuk otoritarianisme. Padahal di sisi lain, mereka berani secara terang-terangan menggunakan kutipan pemikiran tokoh-tokoh Barat dalam rangka memojokkan argumentasi lawan bicara dalam forum diskusi, debat dan lain sebagainya.

Bukankah hal yang wajar dalam diskusi maupun perdebatan para pihak saling berusaha untuk menyakinkan lawan bicara ?

Seperti hal nya dalam persidangan, Jaksa dan Pengacara pasti berusaha untuk menyakinkan Hakim melalui alibi maupun dalil hukum masing-masing. Lain lagi dalam Pemilu, calon pemimpin dengan tim suksesnya akan berusaha menyakinkan masyarakat untuk memilihnya.

Bukankah pihak yang sudah terpengaruh dengan opini lawan bicara sejatinya merupakan pihak yang 'kalah'? Lantas mengapa harus 'Fobia' dengan kutipan ayat ?

Merupakan suatu Keanehan jika ada pihak yang menyatakan muslim yang mengkutip ayat sengaja mengaburkan garis pemisah antara “pendapat manusia” dan “firman Tuhan” dengan tujuan agar pendapatnya itu diangkat dari level yang relatif ke level lain yang lebih tinggi: level absolut. Keanehan berfirkir yang ketiga ini naik ke level tertinggi-meminjam istilah KH. Cholil Nafis - yaitu "Kelainan Berfikir". Mengapa demikian ?

Pertama, hal yang dituduhkan itu sejatinya menampar mukanya sendiri. Mereka meyakini kebenaran Firman Allah subhanahu wa ta'ala namun kenyataannya hanya berhenti pada pemikiran yang tak berbekas dalam perbuatan. Firman Allah subhanahu wa ta'ala malah menjadi penghias perpustakaan atau hanya sebatas pelengkap daftar pustaka tatkala pemikirannya berhadapan dengan perbuatan. Alhasil, tafsiran akallah yang berbekas dalam perbuatan. Parahnya, tafsiran yang mereka buat justru banyak bersumber dari pemikiran-pemikiran yang diimport dari Barat. Wajar saja hal ini mereka lakukan. Bukankah mereka Alergi dan Fobia terhadap kutip ayat?

Kedua, mereka menyatakan bahwa muslim yang mengutip ayat sengaja mengaburkan garis pemisah antara “pendapat manusia” dan “firman Tuhan”. Ini mirip dengan ungkapan "maling teriak maling".  Sebab,  mereka punya andil besar mengaburkan batasan tsawabit dan mutaghayyirat dalam metodologi istinbath hukum. Mereka juga mengaburkan batasan muhmakat dan mustasyabihat. Misalnya, ide kontekstualisasi yang blong, semua Firman Allah subhanahu wa ta'ala dianggap mutasyabbih dulu untuk bisa beradaptasi dengan konteks. Lebih jauh, ekses paling buruk dari ide ini adalah rusaknya metodologi istinbath hukum yang sudah ditetapkan oleh para ulama terdahulu. Kedudukan Firman Allah subhanahu wa ta'ala sebagai sumber utama dan yang pertama dalam penggalian hukum Islam bergeser digantikan dengan "Maqasid Syar'iyyah". Dengan kalimat lain, Firman Allah subhanahu wa ta'ala harus bisa "disesuaikan" dengan Maqasid Syar'iyyah. Parahnya sumber penggalian maqasid dilakukan dengan mengenyampingkan Firman Allah subhanahu wa ta'ala. Sekali lagi, wajar saja hal ini mereka lakukan. Bukankah mereka Alergi dan Fobia terhadap kutip ayat?

Mengutip ayat bukanlah sebuah "intrik" politik untuk memenangkan diskusi ataupun perdebatan. Berusaha menghadirkan Allah subhanahu wa ta'ala dalam "membaca" kehidupan ini merupakan wujud pengabdian kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Melalui ayat pertama surah Al-Alaq ini, Allah subhanahu wa ta'ala telah memberikan petunjuk mengenai kerangka epistimologi ilmu. Epistimologi yang kacau adalah justru epistimologi yang datang dari penafsiran ahlu hawa - meminjam istilah Dr. Ahmad Sastra- Sinkretisme Epistimologi.

QS Al-Kahf (18) : 10. (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)".

Wallahu a'lam

baca juga :

1. Anomali Tren Berpikir ‘Humanis’ |

2. Islam Liberal : Sinkretisme Epistimologi karya Dr. Ahmad Sastra

Comments