BELAJAR DARI KELUARGA NABIULLAH IBRAHIM AS

Pada hari yang mulia ini, 10 Dzulhijah seluruh umat Islam di seantero dunia memperingati hari raya Idul  Adha atau hari raya qurban. Sehari sebelumnya, 9 Dzulhijah, jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji wukuf di Arafah, berkumpul di Arafah dengan memakai ihram putih sebagai lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan antar satu bangsa dengan bangsa yang lainnya kecuali takwa kepada Allah. 

Pada hari yang mulia ini, di tanah air kita tercintanya ini, allhamdulillah kita diberikan nikmat oleh Allah untuk duduk sejenak men-instropeksi kembali ketakwaan, keimanan dan keislaman kita. Mengapa kita sering sekali diingatkan oleh alim ulama, cendikiawan muslim, ustadz dan lainnya untuk terus menerus ber-instropeksi terhadap ketakwaan, keimanan dan keislaman kita. 

Jawaban yang sederhana adalah karena hingga detik ini, negeri kita yang mayoritas muslim ini  juga terus-menerus menjadi panggung tempat dipentaskannya berbagai macam krisis akhlak yang memilukan. Mulai dari kirisis akhlak tingkat nasional yang telah menjadi konsumsi rutin kita melalui pemberitaan media massa, baik elektronik maupun cetak, sampai kepada krisis akhlak tingkat internal (yang privasi) yang senantiasa terjadi dalam hubungan keluarga, antara suami dan istri, antara orang tua dan anak yang boleh jadi kita sendiri sedang mengalaminya saat ini.

Instropeksi diri adalah tahapan psikologis pertama yang mesti dilakukan oleh setiap orang yang menginginkan perubahan terjadi dalam hidupnya. Perubahan yang dimaksud sebagai muslim adalah perubahan sikap prilaku untuk bisa ber-akhlaqul karimah dalam kehidupan pribadi, berkeluarga dan bermasyarakat sehingga Allah pun Ridho kepada Kita.    
      
Jika Allah subhanahu wa ta'ala telah memberikan ridhonya kepada kita maka di Yaumil Akhir Kelak Yang Pasti Akan Terjadi, Allah memberikan perlindunganNya dari siksa atau azab api neraka serta masuk kita kepada dalam surga Jannatun Na’im.  Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
"Dan ada pun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggal(nya)." {QS. An Nazi'at: 40- 41}

Pada hari yang mulia ini, kita kembali diingatkan kepada Kisah Monumental Seorang Kholilulloh kekasih Allah subhanahu wa ta'ala, Bapak Para Nabi, Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam. Melalui Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam dan Keluarganya, Allah hendak menitipkan hikmah pelajaran besar dan penting yang harus kita ambil dan intropeksikan kepada diri mengenai Akhlak Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam yang merupakan buah dari ke dalam Tauhid Beliau dan Keluarganya.     
        
Betapa besar dan pentingnya hikmah pelajaran yang dititipkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala melalui Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam dan Keluarganya sehingga hal tersebut membuat kita dan bahkan nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sekali pun harus mengambil pelajaran dari Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam dan Keluarganya. Allah berfirman :

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
“Sesungguhnya telah ada contoh teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.” (QS. Al Mumtahanah: 4)

Pada suatu hari, Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba dia memerintahkan kepada istrinya, Siti Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan membawa bayinya. Perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada saat itu nabi Ismail masih bayi dan belum disapih.

Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam melangkahkan kaki menyusuri bumi yang penuh dengan pepohonan dan rerumputan, sampai akhirnya tiba di padang sahara. Beliau terus berjalan hingga mencapai pegunungan, kemudian masuk ke daerah jazirah Arab. Ibrahim  menuju ke sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan, tidak ada minuman, tempat itu menunjukkan tidak ada kehidupan di dalamnya.

Di tempat itu beliau turun dari punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan istri dan anaknya. Setelah itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya di sana. Mereka berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau melangkah meninggalkan tempat itu. 

Tentu saja Siti hajar terperangah diperlakukan demikian, dia membuntuti suaminya dari belakang sambil bertanya “Ibrahim hendak pergi ke manakah engkau?” Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada sesuatu apapun ini?

Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam tidak menjawab pertanyaan istrinya. Beliau terus saja berjalan, Siti hajar kembali mengulangi pertanyaannya, tetapi Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam tetap membisu. Akhirnya Siti hajar paham bahwa suaminya pergi bukan karena kemauannya sendiri. Dia mengerti bahwa Allah memerintahkan suaminya untuk pergi. Maka kemudian dia bertanya, “apakah Allah yang memerintahkanmu untuk pergi meninggalkan kami? Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam menjawab, “benar“.  Kemudian istri yang shalihah dan beriman itu berkata,” kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bersama kami. Dia-lah yang telah memerintahkan engkau pergi. Kemudian Ibrahim terus berjalan meninggalkan mereka. Subhanallah.

Hikmah Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah Keluarga Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam adalah Keluarga Yang Senantiasa Berbaik Sangka Kepada Allah. Lihatlah, bagaimana nabi Ibrahim dan Siti hajar, mampu berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta'ala mereka meyakini bahwa selagi mereka bersama Allah, maka tidak akan ada yang menyengsarakannya, tidak akan ada yang dapat mencelakainya tidak akan ada yang dapat melukainya.

Bila kita lihat banyaknya manusia yang  frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya manusia sengsara bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka akan tetapi karena sedikitnya husnu dzon (berbaik sangka) kepada kebaikan Allah. Hidup dalam kekurangan Takdir Allah disalahkan, Hidup dalam serba berkecukupan Allah dilupakan.

Seorang hamba yang bijak adalah mereka yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah dan ia akan berusaha menggunakan karunia Allah tersebut dengan jalan yang diridhoiNya, inilah hakikat syukur. Jika ia diuji dengan penderitaan atau kekurangan, ia merasa bahwa Allah sedang  mengujinya agar ia dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya, inilah hakikat sabar. 

Tentang Hal ini Rasullullah Bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Shahih Muslim / 2999) "Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Seluruh perkaranya baik baginya. Tidak ada hal seperti ini kecuali hanya pada orang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan lantas dia bersyukur, maka hal itu baik baginya. Dan jika dia ditimpa kesulitan lantas dia bersabar, maka hal itu baik baginya." 

Hikmah Pelajaran lain yang bisa kita ambil dari  Keluarga Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam adalah bahwa keluarga beliau adalah Pribadi Teladan Dalam Berkeluarga.

Pertama, Sebagai suami, Nabiullah Ibrahim AS ditaati oleh istrinya. Ketaatan istri tersebut tentu tidak terlepas dari kemuliaan pribadi dan ketaatan Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Hal ini mengajarkan kepada setiap suami bahwa jika ingin ditaati oleh istri, seorang suami harus mampu menampilkan dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab, berkepribadian luhur, cinta pada keluarga, dan berperilaku sesuai dengan tuntunan agama. Akan sulit bagi seorang suami yang menginginkan istrinya taat dan shalehah, sementara suami sendiri memiliki akhlak yang buruk. Akan sia-sia jika suami lebih menginginkan istrinya berubah ke arah yang lebih baik, sementara pribadi sang sua­mi tersebut tidak pula mampu mengubah kebiasaan-kebia­saan buruk yang ia lakukan. Sejatinya, ubahlah diri sendiri, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mengubah orang-orang yang dipimpinnya, termasuk istri dan anak-anaknya.

Sebagai seorang ayah, Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam tampil sebagai pendidik yang penuh kasih sayang, demokratis, dan menjadi teladan. Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam membawa Ismail untuk membangun Ka’bah lalu berdiam di sekitarnya (Qs. Ibrahim/14: 37). Nabi Ibrahim memberi contoh secara lang­sung bagaimana cara beri­badah kepada Allah, bukan sekedar nasihat. Upaya ini sejatinya kita teladani dengan konsisten menjadi contoh yang baik kepada anak keturunan kita; bukan sekedar menceritakan contoh kebaikan saja.

Kedua, sosok isteri sholihah yang ada pada diri Hajar.  Hajar, dialah wanita yang diberikan kepada Ibrahim dari pembesar Mesir. Ibrahim pun menikahinya. Hajar adalah seorang istri yang taat dan patuh pada suaminya. Kewajiban taat seorang istri kepada suami di sini tentu bukanlah ketaatan yang buta. Ketaatan tersebut semata dalam rangka ketaatannya pada perintah Allah. Inilah yang akan meringankan dan melapangkan isteri ketika melaksanakan perintah suami, seberat apapun perintah suaminya tersebut. Isteri shalihah yakin bahwa dalam memenuhi perintah Allah pasti ada jaminan kemaslahatan dan pahala   dari-Nya. Di mana Allah pasti tidak akan menyia-nyiakannya.

Sebagai seorang Ibu, Siti Hajar memainkan perannya untuk bertanggung jawab dalam mendidik anak­nya. Ia seorang ibu yang tangguh, pantang menyerah dan tak kenal putus asa. Ketika bayinya meronta kehausan, Siti Hajar berlari-lari mencari air. Dari Shafa ke Marwa, berulang-ulang untuk mencari air demi memenuhi kebutuhan jasmaniah anaknya. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam ritual ibadah Sa’i ketika Haji dan Umrah.

Siti Hajar juga menyerang Iblis dengan lontaran batu ketika Iblis mencoba untuk merusak ruhaniyah anaknya agar menolak keputusan Ibrahim menyembelih Ismail atas perintah Allah. Lontaran batu itu juga menjadi ibadah melontar jumrah dalam ibadah Haji.

Hal ini menunjukkan bahwa Siti Hajar melindungi fisik dan ruhaniyah anaknya. Siti Hajar menjadi pendidik pertama dan laksana sekolah bagi anaknya. Al-Ummu Madrasah, Ibu adalah sekolah.

Ketiga, teladan Nabiullah Ismail 'alaihissalam sebagai seorang anak shaleh. Nabiullah Ismail 'alaihissalam tidak membantah perintah ayahnya yang diabadikan dalam kisah pada saat Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam mendapat perintah untuk menyembelih Putra kesayangannya tersebut.  Malah Ismail menguatkan hati ayah­nya agar tabah menjalankan perintah tersebut. Ia berkata: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Kesalahen Ismail sejatinya menjadi inspirasi dan tauladan bagi generasi muda saat ini. Seorang pemuda harus siap berkorban apa saja untuk berbakti kepada orang tua. Waktu, pikiran, tenaga, bah­kan jiwanya sekali pun ia korban­kan demi baktinya pada orang tua sehingga mereka bangga memiliki anak seperti dia. Namun kepatuhan pada orang tua itu tidak boleh berten­tangan dengan perintah Allah.

Intinya Adalah : Sebagai Seorang Suami dan Ayah, jika menginginkan istri kita sesabar dan sekuat Siti Hajar, anak sesholeh dan secerdas Ismail maka jadilah Ibrahim beserta sifat-sifatnya yang mulia. Shalih, mengabdi kepada Allah secara total, tidak berputus asa, bertanggung jawab, dan mampu menjadi Teladan bagi Keluarga.

Sebagai Seorang Istri jika mengiginkan suami laksana Ibrahim dan anak laksana Ismail maka jadilah Siti Hajar dengan segala kemuliaannya, sabar,percaya kepada pemimpin (Suami), peduli pendidikan keluarga dan senantiasa berbaik sangka dalam berkeluarga.

Sebagai Seorang Anak jika mengiginkan Orang Tua laksana Ibrahim dan Siti Hajar, maka jadilah Ismail yang menyenangkan, santun kepada orang tua dan membanggakan orang tua dengan akhlak dan prestasi yang baik.

Inilah hikmah pelajaran dari sekian banyak hikmah dan pelajaran lain yang dititipkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala melalui Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam dan Keluarganya. Dengan Belajar dari keluarga Nabiullah Ibrahim 'alaihissalam pada hakikatnya kita sedang belajar mengenai Penempaan diri, penguatan hubungan vertikal kepada Sang Khalik dan pengokohan hubungan horizontal antar sesama manusia. 

Semoga kita bisa mencontohnya dalam kehidupan pribadi, berkeluarga dan bermasyarakat. Kita bermohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala semoga melalui "wasilah" instropeksi singkat ini, Allah subhanahu wa ta'ala berkenan meringankan langkah kita untuk bisa memulai ber-akhlaqul karimah dari hal yang kecil, dari diri sendiri dan dimulai dari selesainya Khutbah Ied ini. 

Ya Allah Ya Haq, Tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar adalah benar dan beri kami kekuatan dan kemampuan untuk terus mengikuti kebenaran tersebut, dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang bathil adalah bathil dan beri kami kekuatan untuk terus menjauhi dan meninggalkannya.

Wallahu a'lam

Alhaqqu min robbika fala takuunanna minal mumtariin. 

Comments