DEBAT "JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI"


Per- tanggal 30 Juni 2010, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia secera resmi menerbitkan Fatwa nomor  77/DSN-MUI/V/2010  yang mengatur tentang Jual - Beli Emas Secara Tidak Tunai. Kemunculan fatwa ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan cendikiawan. Berikut salah satu diskusi terkait Hukum Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia.

Salah satu pendapat yang dinyatakan dalam milis suatu grup diskusi ekonomi syariah  : " Saya menyetujui bahwa secara syariah dibolehkan menjual emas dengan tidak tunai karena Emas yang dibeli itu kan dalam posisi LM (komoditas emas), bukan dalam posisi alat tukar."

Pihak yang membuat pernyataan sebagaimana di atas beralasan bahwa :

Alasan Pertama :
Alat tukar sebenarnya yang saya maksud adalah mata uang resmi yang diberlakukan untuk transaksi di suatu negara. Dalam konteks ini, Lembaga yang dapat menjustifikasi / melegalkan mata uang untuk berlaku di suatu negara adalah pemerintah di negara tersebut. 

Kita sepakat bahwa emas itu berharga, tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak mengakui nya. 

Dalam konteks saat ini di Indonesia, untuk menjadikan emas sebagai  alat pertukaran atau mata uang tetap butuh justifikasi dari pemerintah (BI dan Pemerintah RI). Walaupun beberapa komunitas di Indonesia sudah menggunakan emas (dalam bentuk dinar) sebagai alat tukar untuk beberapa transaksi, hal itu tidak lantas menjadikannya sebagai alat tukar (mata uang) resmi yang disepakati di Republik Indonesia. 

Logam Mulia (LM) menurut saya adalah barang (bahasa fatwa DSN-MUI : sil'ah) yang dapat diperjual-belikan.  Mengapa, karena LM telah menjadi emas batangan / lantakan biasa dan bukan merupakan mata uang, oleh karenanya (meminjam kalimat fatwa DSN-MUI nomor 77) "tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan (baca : emas batangan/LM) dengan harga (uang), sebagaimana tidak terjadi riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama."

Alasan Kedua  :
Transaksi Jual-beli Emas  "Hutang/Tidak tunai" itu menurut saya adalah dalam konteks pembayaran yang dilakukan secara bertahap/angsur (taqsith). Tapi tidak berlaku pada Harga emas dan Kepemilikan emas pada saat transaksi. 

Untuk transaksi Jual-beli Emas  "Hutang/Tidak tunai" itu, harga emas-nya sudah disepakati pada saat transaksi jual beli itu terjadi, kemudian barangnya pun sudah "dibuku/dicatat" menjadi milik pembeli. Bila yang terjadi seperti ini, menurut saya sah-sah saja, mengingat; i) aspek gharar terhadap harga emas kapan yang dijadikan dasar "pricing" transaksi jual-beli serta ii)aspek gharar terhadap kepemilikan emas pada saat akad jual beli disepakati sudah HILANG & insya Allah akan memunculkan "saling ridha" antara penjual dan pembeli. 

Yang tidak boleh adalah si penjual menaikkan harga barang (emas) pada saat akad jual beli na telah di sepakati.  Cth : Awal na disepakati 2 gram emas harga na Rp 1 juta, banyar angsur 4 kali . tiba-tiba pada saat pembeli bayar angsuran ke - 3, penjual bilang hargana berubah jadi 1,5 juta.

Mengapa hal itu tidak boleh ?

Pada saat Akad jual beli ( biasa, Murabahah) telah disepakati, maka jual beli yang ada telah sempurna (taam) sehingga kemudian muncul utang-piutang. Penjual punya piutang sejumlah Rp xx karena telah menyerahkan objek akad dan Pembeli punya utang sebesar Rp xx karena telah mendapatkan/memiliki objek akad.  Atas dasar hal tersebut, bilamana dilakukan penambahan harga setelah terjadi kesepakatan maka berlaku kaidah :
" Kullu qardhin jarro 'alaihi manfa'atan fa Huwa riba " Setiap pinjaman (utang-piuntang) yang menimbulkan tambahan atasnya maka (tambahan ) itulah riba.

Alasan Ketiga :
Dalam konteks pembelian emas di LKS, Mengapa harus bayar angsur ?
1. Sebab 1 : klo bayar na saat itu juga, lebih baik qta beli di Antam atau Toko Emas (relatif lebih murah) tidak perlu ke LKS ; bisa kena marjin lagi dan atau kena biaya tambahan.
2. Sebab 2 : nasabah belum punya uang yang cukup untuk banyak seluruhnya saat itu. Namun berdasarkan cash flow si-nasabah, bahwa ia memiliki pendapatan pasif dari gaji bulanan yang dapat disisihkan untuk beli emas secara angsur di LKS. Mengingat, menurut nasabah ia lebih baik melindungi nilai uangnya di Emas dari pada masuk ke produk investasi syariah selain emas.
3. Sebab 3 , dll.

Wallahu a'lam

Comments

  1. Tidak boleh karena ini termasuk dalam transaksi riba nasi`ah. Riba nasi`ah adalah jual beli dua jenis barang ribawiah yang sama dalam ‘illat dengan tidak secara kontan (kredit). Sementara uang dan emas termasuk barang ribawiah dengan illat yang sama yaitu sama-sama mempunyai nilai tukar.
    Dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
    اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبرُ ُّبِالْبرُ,ِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ, وَالتَّمَرُ بِالتَّمَرِ, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلاً بِمِثْلٍ, سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ, يَدًا بِيَدٍ, فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
    “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, korma dengan korma, dan garam dengan garam. Harus sama besar, sama takarannya, dan harus kontan. Kalau jenis-jenis ini berbeda maka juallah sesuka kalian dengan syarat harus kontan.” (HR. Muslim)
    Maka dalam hadits ini Nabi shallallahu alaihi wasallam menyatakan, jika ada dua barang ribawi yang mempunyai illat yang sama tapi jenisnya berbeda maka boleh diadakan pertukaran dengan catatan harus kontan. Dan walaupun uang dan emas adalah dua jenis yang berbeda, akan tetapi keduanya mempunyai illat yang sama yaitu mempunyai nilai tukar. Karenanya keduanya boleh ditukarkan dengan syarat harus kontan.
    Solusinya, hendaknya dia mengumpulkan uang sampai mencukupi harga emas yang akan dia beli, lalu dia membeli emas secara tunai.Dan Tidak boleh menukar emas dengan uang, walaupun keduanya tidak sama jenis kecuali dengan syarat harus tunai dalam satu majelis. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan barang-barang yang termasuk riba dalam sabdanya,

    فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

    “Jika berbeda jenis, maka juallah terserah kalian, asalkan tunai”[1]

    Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabtnya.

    Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’

    Yang menandatangani fatwa ini:

    Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Sholeh Al Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota Wallahu a’lam.

    ReplyDelete

Post a Comment