KRITIK & PERBAIKAN PRAKTEK GADAI EMAS iB

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

Best Paper dalam Call For Paper The 1st Islamic Economic & Finance Research Forum (ISEFRF) Pekanbaru 21 – 22 November 2012

Abstract
There is 1 (one) of banking products can be marketed by Islamic Banking only and can not be marketed by Conventional Banks, which called by iB Gold Pawn. This product invite debate which generally arise from incompatibility of sharia contract and indication that calculation of costs is not true or is not came from the real costs incurred. This qualitative study aimed to give opinion how the ideal applications of iB Gold Pawn especially from the sharia contract & calculation of costs. One of the conclusions of this study is charging (cost) insurance to customers iB Gold Pawn is not in accordance with Sharia principles.

Keywords:  iB Gold Pawn, Contract, Cost & Sharia Principles


BAB I   PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
   Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat, para praktisi bank syariah telah melakukan inovasi produk dalam bentuk menciptakan produk-produk keuangan syariah baru dan melakukan adaptasi terhadap produk produk jasa keuangan konvensional. Khusus untuk proses adaptasi, inovasi ini dilakukan mengingat ; i) Fungsi produk konvensional masih relevan dan diperlukan. Alhasil, nama produk lama tetap dipertahankan dengan diberi label khusus untuk membedakannya dari produk konvensional diberi kata ”iB” (baca : ai – bi) yang merupakan kepanjangan dari Islamic Bank, ii) Inovasi produk pada industri keuangan tidak memiliki hak paten sehingga para praktisi secara bebas melakukan adaptasi terhadap suatu produk yang ada di perusahaan lain atau bahkan adaptasi produk yang sedang booming, tentunya adaptasi yang dilakukan tidak akan mungkin seratus persen menyerupai produk yang mereka tiru.[1]
     Inovasi produk merupakan salah satu aspek yang turut memicu perkembangan perbankan syariah hingga bisa mencapai asset sebesar Rp 155 triliun (Juli 2012). Inovasi produk telah memberikan kekuatan pada perbankan syariah untuk menuju pada suatu bisnis perbankan yang kreatif sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar. Selain itu, melalui pembuatan produk baru maupun adaptasi dari produk perbankan yang sudah ada menjadikan perbankan syariah mampu bersaing dengan perbankan konvensional yang notabene sudah puluhan tahun eksis di Indonesia. Sejalan dengan upaya inovasi produk perbankan syariah, Bank Indonesia telah menerbitkan Buku Daftar Produk Perbankan Syariah dengan jumlah produk sebanyak   29 (dua puluh sembilan) jenis. Dalam buku tersebut terdapat 1 (satu) produk perbankan syariah yang secara genuine merupakan produk yang hanya bisa dipasarkan oleh perbankan syariah saja dan tidak bisa dipasarkan oleh perbankan konvensional, nama produk itu adalah Gadai iB.
      Gadai iB merupakan produk pembiayaan dengan memanfaatkan jaminan atas suatu aset. Gadai iB dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan dana jangka pendek dan keperluan yang mendesak. Misalnya, menjelang tahun ajaran baru, hari raya, kebutuhan modal kerja jangka pendek dan lain sebagainya. Namun, dalam konteks produk Gadai iB di perbankan syariah hanya aset berupa emas yang dapat dijadikan jaminan. Emas tersebut bisa meliputi : perhiasan emas, koin emas, uang emas dan emas batangan/lantakan. Oleh sebab itu, produk Gadai iB ini lebih dikenal dengan Gadai Emas iB.   
     Kreativitas perbankan syariah dalam hal membuat pembuatan produk baru maupun adaptasi produk yang dibutuhkan pasar tidak hanya memicu perkembangan perbankan syariah secara signifikan. Di sisi lain, kreativitas tersebut justru mengundang perdebatan seputar keabsahan dan kesesuaian syariah dari produk-produk hasil inovasi para bankir syariah. Perdebatan pertama terhadap Gadai Emas iB mengarah pada kombinasi akad yang digunakan. Secara umum, seluruh bank syariah menggunakan 3 (tiga) akad dalam produk Gadai Emas iB, yaitu rahn, qardh & ijarah. Perdebatan yang muncul adalah dalam konteks penggabungan akad qardh dan akad ijarah. Penggabungan kedua akad tersebut menyebabkan muncul opini di kalangan akademisi dan pemerhati ekonomi syariah, bahwa perbankan syariah telah melakukan kekeliruan karena telah menggabungkan akad yang berbentuk hutang-piutang (dalam hal ini akad qardh) dengan akad ijarah atas sewa tempat penyimpanan emas. Kelompok yang mengkritisi, berargumen bahwa dalam produk Gadai Emas iB dengan kombinasi akad tersebut bisa menjerumuskan bank syariah pada riba. Kombinasi akad qardh & ijarah menyebabkan terkaitnya jumlah pinjaman dengan biaya gadai yang dikenakan kepada nasabah. Dalam hal ini bank syariah secara tidak langsung telah mengambil tambahan keuntungan dari perjanjian hutang-piutang (baca : akad qardh) walaupun keuntungan tersebut diperoleh dari akad sewa yang secara hukum boleh digunakan. Artinya, bank syariah sama saja telah mengambil riba. Perdebatan kedua terhadap Gadai Emas iB adalah terdapat indikasi bahwa bank syariah membebankan biaya gadai melebihi dari biaya yang dikeluarkan untuk operasional & pemasaran produk tersebut. Dengan maksud lain, perhitungan biaya tidak jelas sehingga memunculkan opini bahwa besaran biaya yang dibebankan bank syariah untuk produk ini mengikuti besaran pembiayaan yang diberikan serta jangka waktu pembiayaan. Berangkat dari pemikiran di atas, Penulis tertarik untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut mengenai implementasi yang benar dari Gadai Emas iB dengan mengambil judul ”Menyoal Gadai Emas iB : Kritik dan Perbaikan Praktek Gadai Emas Bank Syariah.”

B.     IDENTIFIKASI MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
      Dalam penelitian ini, Penulis akan melakukan eksplorasi terhadap praktek Gadai Emas iB Bank Syariah dengan rumusan meliputi ; i) gambaran umum praktek Gadai Emas iB serta ii) kritik dan perbaikan terhadap akad yang digunakan dan kebijakan penetapan (pembebanan) biaya Gadai Emas iB. Sedangkan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk ; i) mengetahui gambaran umum Produk Gadai Emas iB dalam prakteknya di bank syariah dan ii) menguji apakah akad yang digunakan dan kebijakan penetapan (pembebanan) biaya Gadai Emas iB sudah sesuai dengan Syariah, yaitu Ilmu Fiqh Mualamat dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

BAB II   TINJAUAN PUSTAKA
A.     AKAD RAHN
      Secara etimologi rahn berarti tetap, kekal dan berkesinambungan. Rahn juga bermakna al-habsu yang berarti menahan atau jaminan.[2] Dalam Fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, rahn didefenisikan dengan :“Menahan barang sebagai jaminan atas utang.” Menurut Jumhur Ulama rukun rahn adalah ; i) Pihak yang berakad : yang menggadaikan/pemberi gadai (Rahin) & yang menerima gadai (Murtahin), ii) Objek yang digadaikan (Marhun), iii) Hutang (Marhun bih) &  iv) Ijab qabul (Sighat).
      Terdapat 2 (dua) jenis akad rahn yang umumnya dikenal di dalam khazanah Islam yaitu : rahn hiyazi dan rahn takminy atau rahn rasmy. Untuk rahn jenis kedua lebih familiar disebut dengan rahn tashjily. Rahn hiyazi adalah akad penyerahan atas hak kepemilikan barang dalam penguasaan pemberi utang. Artinya, posisi marhun dalam rahn hiyazi berada di tangan pemberi utang. Sedangkan, rahn takminy atau rahn rasmy adalah akad (rahn) atas barang bergerak dimana pemberi hutang hanya menguasai hak kepemilikan sedangkan fisik barang masih berada dalam penguasaan rahin sebagai penerima hutang.[3]  Rahn juga dapat terjadi dalam 3 kondisi[4] : i) Rahn bisa terjadi bersamaan dengan terjadinya hutang. Misalnya, pada saat seseorang menjual barang dengan harga (tempo) kemudian barang rahn diserahkan. Hal ini dibolehkan oleh semua mazhab, ii) Rahn bisa terjadi setelah utang. Ini dibolehkan karena utangnya sudah jelas dan tetap dan iii) Rahn bisa terjadi sebelum utang. Misalnya, ”kugaidakan barang ini dan berikan aku pinjaman sebesar Rp 100.000,-. Ini diperbolehkan menurut mazhad Maliki dan Hanafi, karena itu jaminan yang dibenarkan, maka diperbolehkan sebelum utang, sebagaimana kafalah dan ini masuk akal.
      Dalam Akad Rahn, murtahin wajib menjaga dan memelihara marhun yang berada dalam penguasaannya, mengingat marhun layaknya amanah yang harus dijaga, seperti halnya wadiah.[5] Atas dasar inilah salah satunya murtahin dapat meminta imbalan kepada rahin. Berdasarkan, Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dinyatakan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. Adapun Besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Dalam fatwa berbeda, yaitu Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dinyatakan bahwa ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin). Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia membuat ketentuan bahwa besaran ongkos yang dimaksud didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan sedang pengenaan biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

B.     AKAD QARDH
      Secara etimologi qardh adalah al-qath’u yang berarti potongan. Potongan dalam konteks akad qardh adalah potongan yang berasal dari harta orang yang memberikan uang. Qardh juga bisa berarti salaf. [6] Merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor 19/DSN-MUI/IV/2010 tentang Al-Qardh, dinyatakan qardh adalah ;“Suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah” atau ; “Pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan”. Menurut Jumhur Ulama rukun qardh adalah ; i) Pihak yang berakad : Orang yang meminjam (Muqtaridh) & Orang yang memberikan pinjaman (Muqridh), ii) Barang / objek pinjaman (Qardh) & iii) Ijab qabul (Sighat).
      Adapun hal-hal yang dilarang dalam akad Qardh, yaitu ; i) Menarik Manfaat Dari Akad Qardh : menurut Ulama Hanafiyah setiap hutang yang menarik manfaat adalah haram jika diisyaratkan.[7] Menurut Ulama Malikiyah, haram mengambil manfaat dari harta muqtaridh, karena hal tersebut adalah riba. seperti menunggang kuda di rumahnya dan makan dirumahnya atas sebab dia (muqtaridh) memiliki hutang. Merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor 19/DSN-MUI/IV/2010 tentang Al-Qardh, dinyatakan bahwa : Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad. ii) Menggabungkan Akad Qardh (hutang-piutang) Dengan Kontrak Lain : menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, (dicontohkan) jika A memberi hutang kepada B dengan syarat B menjual rumahnya kepada A, atau dengan syarat B mengembalikan pinjaman dengan jumlah lebih banyak, maka hal itu dilarang. Sebab, Nabi Muhammad SAW penggabungan melarang jual beli dengan hutang. Akad qardh adalah akad dalam rangka kebajikan, jika diisyaratkan ada manfaat maka ia keluar dari dari substansinya.

C.     AKAD IJARAH
      Secara etimoligi ijarah dapat berarti ba’i al-manfaah yang berarti pemilikan atas manfaat. Secara terminologi ijarah adalah ”Akad terhadap manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu”. Menurut Jumhur Ulama rukun ijarah adalah ; i) Orang yang berakad : Penyewa (Musta’jir) dan Pemberi Sewa (Mu’jir), ii) Sewa/imbalan : Harga Sewa (Ujroh),               iii) Manfaat Obyek Sewa (Ma’jur) & iv) Ijab qabul (Sighat). Dilihat dari segi objeknya, maka ijarah dibagi menjadi 2 bagian yaitu i)  ijarah ’ala al-manafi’i yang artinya sewa atas manfaat barang dan ii) ijarah ’ala al-’amal yang artinya sewa atas suatu pekerjaan.[8]
      Dalam Fatwa DSN no : 09/DSN-MUI/IV/2000 perihal Pembiayaan Ijarah dinyatakan bahwa Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. Dalam hal ujroh yang ditarik dari Rahn Emas, berdasarkan fatwa Fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas angka 3 bahwa besaran ongkos yang dibebankan kepada nasabah harus didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan untuk operasional Rahn Emas. Salah satu komponen ongkos tersebut adalah ongkos yang dibebankan atas dasar tempat penyimpanan marhun yang dilakukan berdasarkan akad ijarah. Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwa syarat (penentuan) ujroh adalah tidak termasuk dalam harta (kriteria) yang bertentangan dengan syariah (mutaqawwim) dan harus jelas diketahui jumlahnya.
      Terdapat 2 (dua) motode pembayaran ujroh yang lazim digunakan di industri keuangan syariah[9] : i) Contigent to Performance : Pembayaran tergantung pada kinerja objek sewa. dan ii) Not Contigent to Performance : Pembayaran tidak tergantung pada  kinerja objek sewa. Dalam hal lain, dinyatakan bahwa ujroh akan menjadi wajib dibayar oleh musta’jir dan dapat dimiliki oleh mu’jir jika ;i) dipersyaratkan segera dibayar sebagaimana terdapat dalam kontrak, ii) menyegerakan pembayaran ujroh dengan tujuan untuk mempercepat berakhirnya akad iii) membayar atas penggunaan objek sewa secara bertahap berdasarkan waktu penggunaan. Jika telah disepakati bahwa pembayaran sewa dikenakan setelah masa sewa berakhir maka kontrak sewa tetap sah.
       Kepemilikan ujroh atau metode pengakuan ujroh adalah mengikuti kepemilikan manfaat objek sewa, sedang kepemilikan manfaat objek sewa mengikuti perjalanan waktu. Menetapkan penyerahan objek sewa dapat mengikuti perkembangan masa (waktu per waktu), namun hal tersebut sangat susah diterapkan, oleh sebab  itu ditetapkan bahwa pembayaran sewa adalah mengikuti hari atau mengikuti peringkat. Metode tersebut didasari pada dalil istihsan.[10]

D.     KONSEP MULTI AKAD / AL-UQUD AL-MURAKKABAH
      Akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih --seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah dan seterusnya sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad. [11]
      Terdapat 5 (lima) macam bentuk multi akad, yaitu : Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqud al-mutaqabilah), Akad Terkumpul (al-’uqud al-mujtami’ah), Akad berlawanan (al-’uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa al-mutanafiyah), Akad berbeda (al-’uqud al-mukhtalifah) dan Akad sejenis (al-’uqûd al-mutajânisah). Adapun pengertian dari Akad Bergantung/Akad Bersyarat              (al-’uqud al-mutaqabilah) adalah multi akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.

E.     GAMBARAN UMUM GADAI EMAS iB
1)      Mekanisme Gadai Emas iB
      Proses Awal (Realisasi) ; Nasabah melengkapi formulir permohonan gadai emas (selanjutnya disingkat “formulir permohonan’) sebagai dasar proses analisa pembiayaan. Officer gadai melakukan penaksiran emas dengan menetapkan Standar Taksiran Logam Emas (STLE) dan/atau Harga Dasar Emas (HDE) milik nasabah. Untuk mengetahui kadar dan berat emas maka Bank Syariah menggunakan alat sebagai berikut : batu uji, jarum uji emas, asam nitrat dan timbangan metler teledo. Berdasarkan informasi nasabah dan hasil taksiran dari officer gadai, komite pembiayaan gadai memberikan keputusan pemberian / penolakan pembiayaan dengan mencantumkannya dalam formulir permohonan kepada kolom/tabel yang telah disediakan untuk masing – masing level komite pembiayaan gadai (contoh tabel terlampir). Selanjutnya, officer gadai akan meminta nasabah untuk menandatangani Surat Bukti Gadai Emas (SBGE) beserta akad pembiayaan yang ada dibalik SBGE. Terakhir, nasabah dipersilahkan menuju Teller untuk melakukan pembayaran biaya awal (biya administrasi & asuransi) yang dilanjutkan dengan pencairan pembiayaan.
      Proses Pelunasan ; Proses pelunasan Gadai Emas iB dimulai dengan nasabah mendatangi kantor Bank Syariah dengan membawa SBGE asli dan KTP asli dan menemui officer gadai. Officer gadai akan melakukan verifikasi data SBGE nasabah kemudian dilanjutkan dengan pembuatan nota pelunasan biaya penitipan dan pemeliharaan dan nota pelunasan pokok pembiayaan. Setelah dilakukan penyetoran atau pelunasan kewajiban oleh nasabah, officer gadai akan memverifikasi bukti pelunasan yang akan dilanjutkan dengan penyerahan emas kepada nasabah.

2)      Akad Gadai Emas iB
      Secara umum Bank Syariah menggunakan kombinasi akad sebagaimana tersebut di bawah ini yang dibuat berdasarkan dokumen akad yang ditandatangani oleh nasabah ;
Kombinasi Pertama
Versi 1 : Akad Akad Pinjaman Dengan Gadai (Rahn) & Akad Sewa Tempat (Ijarah).
Versi 2 : Akad Qardh Dalam Rangka Rahn & Akad Ijarah
Kombinasi Kedua
Akad Qardh, Akad Rahn & Akad Ijarah
Kombinasi Ketiga
Akad Pembiayaan Gadai Emas iB Bank Syariah ABC. Cttn ; bahwa dalam dokumen tersebut terdapat 3 bagian klausul akad yang dibuat namun tidak memunculkan nama asli akad dimaksud, yaitu klausul akad qardh, akad rahn dan akad ijarah.

      Dalam Gadai Emas iB ini juga dibuat perjanjian Pengalihan Hak yang akan digunakan pada saat diperlukan, yaitu saat nasabah selaku pemilik emas menunjuk wakil penggantinya dalam rangka melakukan suatu tindakan tertentu, misalnya menebus jaminan emas, mengambil jaminan emas dan mengulang atau memperpanjang perjanjian Gadai Emas iB. Akad dibuat menyatu dengan dokumen Surat Bukti Gadai Emas (SBGE) (depan – belakang). Pada halaman depan adalah SBGE. Di halaman belakang akad-akad Gadai Emas iB dan (Perjanjian) Pengalihan Hak. Selain dokumen SBGE dan Akad tersebut, beberapa dokumen lain yang secara hukum menjadi satu kesatuan dari pelaksanaan Gadai Emas iB di Bank Syariah, misalnya Aplikasi Permohonan Pinjaman Gadai, Formulir Persetujuan dan dokumen lain sebagainya.
3)      Biaya Administrasi Gadai Emas iB
      Biaya Administrasi adalah biaya yang dibebankan kepada nasabah Gadai Emas iB atas proses administrasi dokumen dan lain sebagainya sebagai syarat dari penyaluran suatu pembiayaan. Secara umum Bank Syariah menetapkan biaya administrasi dengan kondisi sebagai berikut ;
Kondisi Pertama
Menetapkan Biaya Administrasi dengan nominal secara tiring per berat emas (contoh terlampir). Biaya ini hanya dibebankan 1 (satu) kali, yaitu pada saat realisasi pembiayaan Gadai Emas iB.  (Contoh Terlampir)

Kondisi Kedua
Menetapkan Biaya Administrasi dengan nominal untuk semua pembiayaan Gadai Emas iB. Misalnya Rp 50.000 dan atau Rp 20.000 saja. Biaya ini hanya dibebankan 1 (satu) kali, yaitu pada saat realisasi pembiayaan Gadai Emas iB.  

Kondisi Ketiga
Tidak Memungut Biaya Administrasi karena telah dimasukkan pada Biaya Penitipan dan Pemeliharaan

4)      Biaya Asuransi Gadai Emas iB
      Biaya Asuransi adalah biaya yang dipungut oleh bank untuk dibayarkan pada perusahaan asuransi dalam rangka memberikan jasa per-asuransian atas jaminan emas yang dititipkan nasabah kepada Bank. Manfaat yang akan diterima oleh nasabah yang membayar biaya asuransi adalah bahwa pada saat terjadinya peristiwa yang menyebabkan rusak dan atau hilangnya barang maka nasabah akan mendapatkan ganti rugi dari asuransi sebesar 100 % dari STLE dan/atau HDE yang ditetapkan sesuai taksiran pada awal proses pembiayaan. Secara umum Bank Syariah menetapkan biaya asuransi dengan kondisi sebagai berikut ;

Kondisi Pertama
Memungut Biaya Asuransi misalnya sebesar 0,1333 % / 0,225 % dan atau prosentasi lain terhadap HDE Emas Nasabah.

Kondisi Kedua
Tidak Memungut Biaya Asuransi karena telah dimasukkan pada komponen Biaya Penitipan dan Pemeliharaan.

5)      Biaya Penitipan dan Pemeliharaan Gadai Emas iB
      Biaya Penitipan dan Pemeliharaan adalah sejumlah biaya yang dibebankan kepada nasabah atas jasa penitipan dan pemeliharaan emas nasabah selama barang jaminan (emas) tersebut yang disimpan di bank. Berdasarkan eksplorasi penulis terhadap biaya penitipan dan pemeliharaan yang ditetapkan Bank Syariah terhadap Produk Gadai Emas iB, bahwa secara umum Bank Syariah menetapkan biaya tersebut dengan model sebagai berikut (contoh angka terlampir) ;

Model  Pertama
i) Ditetapkan berdasarkan term hari dan ii) Ditetapkan dengan jumlah nominal tertentu pro rata untuk beberapa karat, jenis dan gram emas

Model  Kedua
i) Ditetapkan berdasarkan term hari dan ii) Ditetapkan dengan jumlah nominal tertentu serta metode tiring per-jumlah pembiayaan serta jenis dan gram emas

Model  Ketiga
i) Ditetapkan berdasarkan bulan dan ii) Ditetapkan dengan jumlah nominal tertentu pro rata untuk beberapa karat, jenis dan gram emas

Model   KeEmpat
i) Ditetapkan berdasarkan term hari dan ii) Ditetapkan dengan mengalikan prosentasi tertentu terhadap hasil taksiran emas.

      Biaya Penitipan dan Pemeliharaan Gadai Emas iB umumnya dikenakan kepada nasabah pada saat akhir masa pembiayaan. Sedangkan pengakuan biaya tersebut digunakan term per – 10 dan atau per- 15 hari. Artinya, biaya penitipan dan pemeliharaan akan di-accrue bank per – 10 dan atau per- 15 hari sehingga menjadi piutang bagi bank. Pada saat uang diterima tunai baru akan menjadi pendapatan penitipan dan pemeliharaan.

6)      Kebijakan Potongan (Diskon) Biaya Penitipan dan Pemeliharaan
      Dalam rangka memberikan keuntungan kepada nasabah, penulis menemukan bahwa terdapat Bank Syariah yang bersedia memberikan diskon biaya penitipan dan pemeliharaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika nasabah gadai menerima pembiayaan di bawah total plafon pembiayaan maksimal yang seharusnya bisa ia peroleh, maka untuk hal tersebut nasabah bisa meminta untuk memperoleh potongan biaya penitipan dan pemeliharaan. Diskon biaya penitipan dan pemeliharaan diberikan Bank Syariah pada saat awal proses pembiayaan sehingga langsung memotong biaya penitipan dan pemeliharaan yang wajib dilunasi nasabah pada saat jatuh tempo pembiayaan.

BAB III   METODE PENELITIAN
A.     JENIS, PENDEKATAN & MODEL PENELITIAN
      Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah Penelitian Lapangan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam material yang ada di lapangan (luar perpustakaan), yaitu penelitian pada 4 (empat) Bank Syariah. Secara keseluruhan pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan empiris, yaitu meneliti Gadai Emas iB dalam prakteknya di 4 (empat) Bank Syariah. Sedangkan, model penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan penghitungan matematis, statistik dan lain sebagainya, melainkan menggunakan penekanan ilmiah atau penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi. Bilamana dalam penelitian ini terdapat angka-angka, model perhitungan, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kuantitatif, maka hal tersebut dilakukan hanya sebatas untuk memperkuat analisis yang ada dalam penelitian ini serta bukan untuk mencari hubungan antara variabel.

B.     DATA & TEKNIK PENGUMPULAN DATA
      Sumber data yang penulis gunakan adalah Data primer yaitu adalah Buku Pedoman Perusahaan (BPP) Gadai Emas iB, Surat Bukti Gadai Emas (SBGE) serta informasi yang didapat melalui wawancara dan mystery calling. Data sekunder seluruh literatur yang berhubungan dengan ilmu fiqh muamalat tentang rahn, qardh & ijarah, Al-Uqud Al-Murakkabah dan literatur lain yang dapat memberikan informasi tambahan pada judul yang diangkat dalam penelitian ini, misalnya ; skripsi, majalah, jurnal, artikel dan lain sebagainya.
       Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penulisan makalah ini adalah i) Studi Dokumentasi Naskah (studi pustaka), yaitu pengumpulan data dengan cara mengkaji Buku Pedoman Perusahaan (BPP), Surat Bukti Gadai Emas (SBGE), literatur, media cetak dan atau semua bahan tertulis lainnya, termasuk karya ilmiah yang diakses dari internet. ii) Wawancara dan Mistery Call dari Officer Gadai dan/atau Pejabat yang membawahi bidang pengembangan produk di 4 (empat) Bank Syariah. Data – data yang didapatkan dari Studi Dokumentasi Naskah, Wawancara dan Mistery Call akan disusun ulang hingga dapat menyatu dengan  teks-teks atau pembahasan penelitian.

C.     TEKNIK ANALISA DATA
      Teknik analisa yang digunakan pada makalah ini adalah Deskriptif analisis. Deskriptif berarti teknik analisa dengan cara memberikan gambaran-gambaran umum mengenai Gadai Emas iB berserta prakteknya di Bank Syariah untuk kemudian dianalisa aspek kesesuaian syariah dari praktek Gadai Emas iB tersebut.

BAB IV   ANALISA DAN PEMBAHASAN
A.     KRITIK & PERBAIKAN AKAD GADAI EMAS iB
      Akad secara terminologi berarti “Pertalian atau perikatan antara ijab & qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan.”[12] Semua akad dalam Syariah memiliki rukun dan syaratnya masing-masing. Rukun dan syarat akad tersebut wajib dinyatakan secara jelas dalam dokumen akad yang akan ditandatangani oleh para pihak.

1)      Penggabungan Akad Qardh dan Akad Rahn.     
      Terdapat beberapa Bank Syariah yang telah menggabungkan Akad Rahn dan Akad Qardh (nama, dokumen) dalam Gadai Emas iB, misalnya dengan menggunakan nama Akad Pinjaman Dengan Gadai (Rahn) dan/atau Akad Qardh Dalam Rangka Rahn.
      Menurut Penulis, penggabungan ini telah mengakibatkan ketidakjelasan terhadap seluruh rukun akad. Nama akad tersebut dapat berarti bahwa Bank Syariah dan Nasabah terikat dalam transaksi hutang piutang (pinjaman  uang) beserta seluruh rukun dan syaratnya, atau bisa juga berarti keduanya terikat dalam transaksi rahn beserta seluruh rukun dan syaratnya.  Selain itu, jika ditinjau dari konteks penerapan multi akad, nama akad yang digunakan oleh Bank Syariah tersebut telah menggabungkan Akad Qardh dan Akad Rahn yang semestinya tetap dilaksanakan secara terpisah dan berdiri sendiri, mengingat kedua akad tersebut memiliki akibat hukum yang berbeda. Dalam konsep multi akad dinyatakan bahwa satu akibat hukum yang muncul dari beberapa akad baik secara gabungan maupun timbal balik tidak dimaksudkan untuk melebur akad-akad yang ada menjadi satu akad baru yang berdiri sendiri. Misalnya, al-’uqud al-Mutaqabilah yaitu multi akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad bergantung pada akad lainnya melalui hubungan timbal balik. Sebagai contoh, Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (selanjutnya disebut ”IMBT”). Akibat hukum dari IMBT adalah terjadinya perpindahan objek sewa kepada musta’jir di akhir periode akad melalui opsi akad hibah dan/atau opsi akad ba’i (dalam hal ini akad hibah). IMBT dibangun dengan menggunakan 2 akad dasar yaitu akad ijarah dan akad hibah. Kesempurnaan IMBT bergantung pada kedua akad tersebut yang saling melengkapi. Tanpa akad hibah, IMBT berubah menjadi akad ijarah murni. Sedangkan, tanpa akad ijarah, IMBT yang bersifat komersial berubah menjadi akad hibah (pemberian harta) yang bersifat tabarru’.
      Berdasarkan analisa di atas, maka penggabungan Akad Rahn dan Akad Qardh dengan menggunakan nama Akad Pinjaman Dengan Gadai (Rahn) dan atau Akad Qardh Dalam Rangka Rahn dalam produk Gadai Emas iB adalah keliru dan tidak sesuai dengan Syariah yang mengharuskan adanya kejelasan dalam maksud akad.
       Seharusnya Bank Syariah tidak melakukan penggabungan Akad Rahn dan Akad Qardh, namun dapat diambil 2 opsi yaitu ; i) memisahkan akad qard dan akad rahn menjadi bagi yang berdiri sendiri sebagaimana yang dilakukan Bank Syariah Kombinasi Kedua pada paragraf Akad Gadai Emas iB di atas, ii) membuat nama akad lain pada perjanjian Gadai Emas iB yang di dalamnya mencakup klausul akad rahn, akad qardh dan akad ijarah sebagaimana yang dilakukan Bank Syariah Kombinasi Ketiga pada paragraf Akad Gadai Emas iB di atas atau iii) cukup dengan menggunakan nama Akad Rahn.     
    Khusus untuk opsi ketiga, yaitu cukup akad rahn saja. Penggunaan akad rahn telah mengakomodir qardh (baca : hutang/piutang) yang terdapat dalam salah satu rukun Rahn yaitu marhun bih. Menurut Hanafiyah, marhun bih merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi utang, meliputi hutang uang dan/atau hutang barang. Selain itu, disepakatinya Akad Rahn akan memunculkan hak yang akan diterima pengadai (rahin) baik itu hak dalam bentuk pemberian hutang uang (qardh) maupun hutang barang. Akad rahn bisa terjadi dalam 3 kondisi, yaitu i) Rahn bisa terjadi bersamaan dengan terjadinya hutang. Misalnya, pada saat seseorang menjual barang dengan harga (tempo) kemudian barang rahn diserahkan. Hal ini dibolehkan oleh semua mazhab, ii) Rahn bisa terjadi setelah utang. Ini dibolehkan karena utangnya sudah jelas dan tetap dan iii) Rahn bisa terjadi sebelum utang. Dalam konteks Gadai Emas iB, maka kondisi terjadinya rahn dalam produk ini yang sangat tepat adalah pada kondisi ketiga, yaitu Rahn bisa terjadi sebelum utang. Tidak akan mungkin nasabah menggadaikan emas miliknya jika tidak memiliki maksud tertentu, dalam hal ini adalah maksud untuk mendapatkan pembiayaan dari Bank Syariah.

2)      Akad Sewa Tempat (Ijarah)   
      Terdapat beberapa Bank Syariah yang menggunakan nama Akad Sewa Tempat (Ijarah) sebagai dasar hukum untuk memungut biaya penitipan dan pemeliharaan dari Gadai Emas iB. Lebih lanjut, dalam dokumen Akad Sewa Tempat (Ijarah) hanya terdapat klausul jasa penitipan barang emas beserta beberapa ketentuan lain misalnya jangka waktu dan biaya sewa.  
      Menurut Penulis, Bank Syariah telah melakukan kesalahan dengan menggunakan nama Akad Sewa Tempat (Ijarah) dan pencantuman klausul sewa tempat (pentipan) emas. Nama Akad Sewa Tempat (Ijarah) tidak bisa memberikan alasan kuat bagi Bank (murtahin) untuk meminta ongkos / nafqah kepada Nasabah (rahin) Gadai Emas iB. Dalam kaitannya dengan produk perbankan, nama tersebut juga tidak dapat menjelaskan diferensiasi antara Produk Gadai Emas iB dengan Produk Save Deposit Box (SDB) iB yang sama-sama menyediakan tempat penyimpanan barang. Penyediaan tempat penyimpanan atas marhun, secara inheren sudah merupakan kewajiban Bank Syariah sebagai murtahin. Murtahin berkewajiban menyimpan (memberi tempat penyimpanan) marhun sebagaimana ia menyimpan hartanya sendiri. Nama tersebut juga secara langsung telah menghilangkan salah satu kewajiban utama Bank Syariah terhadap marhun yaitu tugas pemeliharaan marhun, mengingat marhun layaknya amanah yang harus dijaga, seperti halnya wadiah.
      Bank Syariah perlu melakukan perubahan terhadap callname akad dan klausul akad yang akan digunakan untuk melakukan pungutan biaya penitipan dan pemeliharaan pada Gadai Emas iB. Bank Syariah dapat menggunakan callname Akad Ijarah saja. Dalam Akad Ijarah tersebut wajib dibuat klausul jasa yang diberikan Bank Syariah kepada nasabah gadai termasuk namun tidak terbatas pada: i) Jasa Penitipan dan/atau Penyimpanan yang diwujudkan dengan upaya Bank Syariah menyediakan media atau tempat yang baik untuk menyimpan marhun emas, ii) Jasa Pemeliharaan diwujudkan dengan upaya Bank Syariah dalam melakukan penatausahaan (peng-administrasian) marhun emas, pengamanan dan tanggungjawab penggantian marhun emas dari kerusakan dan atau kehilangan, pemeriksaan harian atas kondisi fisik marhun emas serta jasa pemeliharaan lainnya, dan iii) Jasa Administrasi diwujudkan melalui penatausahaan proses Gadai Emas iB dari awal hingga akhir yang meliputi : proses permohonan, proses analisa, proses pencairan pembiayaan, proses penyelesaian pembiayaan.

Sebelumnya
Akad Sewa Tempat (Ijarah) & Jasa yang dilakukan : Jasa Sewa Tempat Penyimpanan Marhun
Dirubah menjadi
Akad Ijarah & Jasa yang dilakukan : Jasa Penyimpanan Marhun, Jasa Pemeliharaan Marhun serta Jasa Administrasi Gadai Emas iB

      Pencantuman jasa-jasa tersebut dalam Akad Ijarah (Gadai Emas iB) merupakan bukti nyata dari jasa yang diberikan bank sebagai murtahin kepada nasabah sebagai rahin sehingga atas jasa-jasa dimaksud bank berhak secara hukum memungut biaya penitipan dan pemeliharaan. Merujuk pada Ketentuan Umum angka 3 Fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn, dinyatakan bahwa biaya dan pemeliharaan penyimpanan marhun oleh murtahin tetap menjadi kewajiban rahin. Dalam fatwa berbeda, yaitu Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas angka 2 dinyatakan bahwa ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).

B.     KRITIK & PERBAIKAN PENYATUAN AKAD QARDH  DENGAN AKAD IJARAH
      Berdasarkan hasil analisa terhadap 4 Perjanjian dan/atau Akad Produk   Gadai Emas iB Bank Syariah Penulis menemukan terjadinya penyatuan akad qardh dan akad ijarah dalam satu klausul akad yang dinyatakan dengan kalimat sebagai berikut :

Bank Syariah A : “Akad Sewa Tempat ini merupakan satu  kesatuan dengan Akad Pinjaman dengan Gadai (Rahn), Sertifikat Bukti Gadai Syariah dan Formulir Aplikasi & Persetujuan”
Bank Syariah B : “... dan oleh karenanya Akad Qardh dalam rangka Rahn tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Akad ini (Akad Ijarah).”

      Penggabungan akad (multi akad) antara Akad Qardh dan Akad Ijarah dalam suatu produk keuangan syariah bisa dilakukan dengan syarat kedua akad tersebut harus dibuat secara terpisah atau berdiri sendiri, baik secara konstruksi akad maupun klausul-klausul yang ada di dalamnya tidak boleh saling berhubungan. Jika terjadi hubungan antara kedua akad tersebut, maka status ujroh merupakan kompensasi dari utang yang diberikan melalui akad qardh sehingga terjadilah riba dalam multi akad tersebut. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti contoh, seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta kepada orang lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima pinjaman (muqtaridh), atau muqtaridh memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau kualitas obyek qardh saat mengembalikan. Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur riba.
      Terkait Gadai Emas iB, melalui klausul tersebut kedua Bank Syariah dimaksud telah menyatukan Akad Ijarah dengan Akad Pinjaman dengan Gadai maupun Akad Qardh Dalam Rangka Rahn (baca : akad qardh). Dalam hal ini bank secara tidak langsung telah mengambil tambahan keuntungan dari perjanjian utang-piutang walaupun keuntungan tersebut diperoleh dari akad ijarah yang secara hukum sah dilaksanakan. Artinya, bank sama saja telah  mengambil riba yang dilarang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“ Setiap pinjaman (utang-piutang) yang mendatangkan tambahan atasnya maka (tambahan ) itulah ribâ” { HR. Bukhari }
Klausul akad dalam produk Gadai Emas iB ini jelas keliru dan tidak sesuai dengan syariah karena telah menjerumuskan bank pada celah dari praktek riba. Penulis menyarankan agar kedua Bank Syariah ini melakukan perubahan klausul akad sebagaimana di bawah ini :
Sebelumnya

Dirubah menjadi
“Akad Sewa Tempat ini merupakan satu  kesatuan dengan Akad Pinjaman dengan Gadai (Rahn), Sertifikat Bukti Gadai Syariah dan Formulir Aplikasi & Persetujuan”
“... dan oleh karenanya Akad Qardh dalam rangka Rahn tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Akad ini (Akad Ijarah).”
“Akad Ijarah ini berserta seluruh dokumen lain termasuk dan tidak terbatas pada Akad   Rahn, Akad Qardh, Sertifikat Bukti Gadai Emas dan Aplikasi Permohonan Gadai dan dokumen lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk kesempurnaan pelaksanaan Gadai Emas iB”


C.     KRITIK & PERBAIKAN BIAYA ADMINISTRASI GADAI EMAS iB
      Penulis menyayangkan Bank Syariah yang melakukan penetapan biaya administrasi dengan menggunakan metode tiring mengikuti jumlah gram emas[13]. Artinya, semakin besar gram emas yang digadaikan maka akan semakin besar biaya administrasi yang dibebankan pada nasabah. Sebagai contoh, Logam Mulia (LM) seberat 25 s/d 50 gram dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 20.000,-. Sementara untuk LM seberat 50 s/d 100 gram dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 100.000,-.
      Dalam konteks pembiayaan berbasis gadai emas, pembebanan biaya administrasi dengan metode tiring ini sangat tidak tepat, karena proses taksiran kadar dan berat emas untuk seluruh jenis emas adalah sama, yaitu dengan menggunakan batu uji, jarum uji emas, asam nitrat, timbangan metler teledo dan STLE/HDE. Begitu juga dengan dokumen-dokumen yang digunakan hanya sebatas pada formulir permohonan gadai, formulir biodata dan sertifikat gadai untuk seluruh jenis emas. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari proses administrasi gadai emas sehingga bank tidak dibenarkan menetapkan biaya administrasi secara tiring berdasarkan berat gram emas. Berbeda halnya dengan pembiayaan yang tidak berbasis gadai emas, misalnya KPR iB. Biaya administrasi untuk KPR iB bisa berbeda antar nasabah dengan beberapa pertimbangan, salah satunya akses lokasi. Semakin jauh lokasi KPR iB yang diajukan nasabah, maka bank akan membebankan biaya administrasi yang cukup besar sebagai cost recovery dari biaya kunjungan lokasi oleh pihak bank. Dalam analisis lain, metode tiring dalam penetapan biaya administrasi gadai emas secara tidak langsung dapat mengarahkan bank pada celah praktek riba, yaitu keterkaitan antara besaran biaya dan jumlah pinjaman. Semakin berat emas yang digadaikan, maka jumlah pinjaman uang yang diterima nasabah juga akan semakin besar. Pada saat biaya yang dibebankan juga mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan berat emas (baca : besar pinjaman), maka besarnya biaya secara tidak langsung akan terkait dengan besaran pinjaman yang diterima nasabah gadai.   
      Berdasarkan analisa di atas, Penulis merekomendasikan kepada Bank Syariah yang menetapkan biaya administrasi dengan menggunakan metode tiring agar segera melakukan perubahan kebijakan yaitu dengan menetapkan biaya administrasi secara pro-rata untuk seluruh gram emas sebagaimana contoh tabel penetapan biaya administrasi pada kondisi kedua di atas. Penetapan biaya administrasi gadai emas secara dengan metode tiring tidak memiliki dasar yang jelas karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari proses administrasi gadai emas. Oleh sebab itu, biaya administrasi harus ditetapkan dengan metode pro-rata agar dapat menghindarkan Bank Syariah dari celah praktek riba yang diharamkan.

D.     KRITIK & PERBAIKAN BIAYA ASURANSI GADAI EMAS iB
      Merujuk pada Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dinyatakan bahwa biaya yang dapat dikenakan oleh Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah kepada nasabah antara lain biaya administrasi, biaya asuransi dan biaya penyimpanan dan pemeliharaan. Melalui aturan ini Bank Syariah secara hukum diperkenankan membebankan biaya asuransi kepada nasabah atas emas yang menjadi jaminan hutang (baca : qardh). Biaya asuransi tidak dicatat sebagai pendapatan bank, melainkan langsung dibayarkan ke rekening perusahaan asuransi yang telah bekerjasama dengan Bank Syariah dan/ atau dimasukkan ke dalam rekening penampungan biaya asuransi untuk kemudian dipindahbukukan ke rekening perusahaan asuransi sesuai kesepakatan antara perusahaan asuransi dan Bank Syariah.
      Menurut Penulis, biaya asuransi yang dibebankan Bank Syariah kepada nasabah Gadai Emas iB sangat keliru dan tidak sesuai dengan syariah. Jasa Pemeliharaan marhun tidak hanya diwujudkan melalui penatausahaan jaminan, melainkan pada saat terjadi sesuatu yang mengakibatkan kerusakan atau kehilangan marhun, maka pihak yang bertanggung jawab adalah murtahin bukan perusahaan asuransi, mengingat ia telah menerima upah untuk melakukan pemeliharaan. Pada saat Bank Syariah membebankan biaya asuransi kepada nasabah, sama saja  ia telah mengalihkan kewajibannya untuk melakukan pemeliharaan emas pada perusahaan asuransi. Bank Syariah secara nyata telah menghindari tanggungjawabnya sebagai murtahin dengan hanya menerima pembayaran upah tanpa disertai tanggung jawab (baca : iwadh/underlying) yang sepadan. Hal ini tentu akan mengarah pada celah praktek riba yang diharamkan, yaitu riba yang terjadi karena bank mengambil manfaat (ujroh) tanpa ada usaha yang dikerjakan. Seharusnya, biaya asuransi masuk sebagai komponen biaya penitipan dan pemeliharaan. Bilamana Bank Syariah hendak mengalihkan risiko kerusakan dan kehilangan emas kepada perusahaan asuransi, maka hal tersebut dianggap sebagai usaha bank dalam melakukan pemeliharaan marhun emas. Usaha pemeliharaan dimaksud, tidak hanya melibatkan internal bank melainkan juga bekerjasama dengan perusahaan asuransi.
      Berangkat dari pemikiran di atas Bank Syariah harus merubah kebijakan pengenaan biaya Gadai Emas iB, yaitu dengan menghilangkan biaya asuransi yang dibayar oleh nasabah. Biaya asuransi harus masuk dalam komponen perhitungan biaya penitipan dan pemeliharaan, sehingga hanya ada 2 (dua) biaya saja yang dapat dikenakan dalam Gadai Emas iB, yaitu Biaya Administrasi dan Biaya Jasa Penitipan dan Pemeliharaan. Dengan melaksanakan rekomendasi ini maka kekhawatiran banyak pihak yang menganggap bahwa perhitungan (baca : parameter) biaya gadai tidak jelas bisa terbantahkan, mengingat dalam Gadai Emas iB bank telah melakukan usaha nyata untuk menyimpan dan memelihara fisik emas milik nasabah dengan melibatkan perusahaan asuransi yang dibayar oleh Bank Syariah.
      Penulis juga menyarankan agar Departemen Perbankan Syariah (DPbS) Bank Indonesia segera meninjau kembali Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah khususnya pada point yang menyatakan bahwa bank syariah dapat mengenakan biaya asuransi kepada nasabah produk Qardh Beragun Emas. Point tersebut harus dihapus karena hanya ada 2 (dua) biaya saja yang dapat dikenakan dalam Gadai Emas iB, yaitu Biaya Administrasi dan Biaya Jasa Penitipan dan Pemeliharaan.

E.     KRITIK & PERBAIKAN BIAYA PENITIPAN DAN PEMELIHARAAN GADAI EMAS iB
      Biaya penitipan dan pemeliharaan merupakan profit engine dalam produk Gadai Emas iB. Sebanyak 2 (dua) model penetapan biaya penitipan dan pemeliharaan, yaitu model pertama dan ketiga[14] adalah model penetapan biaya yang seharusnya diterapkan oleh Bank Syariah dalam Produk Gadai Emas iB. Penetapan biaya penitipan dan pemeliharaan berdasarkan kadar, jenis emas & berat emas dibenarkan dalam syariah karena kelenturan (flexibility) dalam menentukan ujroh dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, jarak dan atau kriteria lain yang tidak bertentangan dengan syariah (mutaqawwim). Terkait penggunaan metode tiring terhadap karat dan jenis emas, juga dibenarkan dalam syariah karena pengambilan keuntungan dapat didasarkan pada risiko yang dihadapi. Emas dalam bentuk perhiasan akan lebih berisiko dibanding emas dalam bentuk logam mulia bersertifikat (ANTAM). Dalam kaidah fiqhiyyah dinyatakan :
 “Resiko menyertai manfaat”
   (ﻠﻐﻨﻡ ﺑﺎ ﺍﻠﻐﺮﻡ )
      Sedangkan, metode pengakuan pendapatan ujroh dengan menggunakan term atau fathroh per-10 dan/atau per-15 hari juga sesuai dengan syariah dalam hal pengakuan akuntansi terhadap ujroh. Menurut penulis metode pengakuan tersebut memunculkan keadilan bagi nasabah Gerai Emas iB. Dalam konsep Ijarah dinyatakan bahwa ujroh akan menjadi wajib dibayar oleh musta’jir dan dapat dimiliki oleh mu’jir, salah satunya, jika musta’jir membayar atas penggunaan objek sewa secara bertahap berdasarkan waktu penggunaan. Artinya, kepemilikan ujroh oleh mu’jir adalah mengikuti kepemilikan manfaat objek sewa yang diterima musta’jir. Metode pembayaran ujroh dengan cara mengikuti hari atau mengikuti peringkat merupakan metode didasari pada dalil istihsan.
      Adapun, 2 (dua) model lain dari penetapan biaya, yaitu yaitu model kedua dan ke-empat[15] dalam tabel di atas merupakan ’critical issue’ dari paragraf ini.
    Penulis menyayangkan Bank Syariah yang memberlakukan metode tiring per-golongan pembiayaan (Model Penetapan Kedua) untuk menetapkan besaran biaya pemeliharaan yang diterima nasabah. Walaupun secara matematis dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah pembiayaan maka semakin rendah biaya pemeliharaan (lampiran nomor 4), namun hal tersebut tidak bisa menghindarkan keterikatan jumlah pinjaman dengan biaya yang akan dibebankan kepada nasabah. Hal tersebut tetap tergolong tasyabbuh bir riba karena secara tidak langsung telah mengaitkan jumlah biaya yang dibebankan terhadap pinjaman yang diterima nasabah.
       Penulis juga menyayangkan Bank Syariah yang menetapkan biaya penitipan dan pemeliharaan dengan meng-kalikan sejumlah prosentasi tertentu terhadap taksiran emas (Model Penetapan Ke-empat). Sebagaimana diketahui bahwa kelenturan (flexibility) dalam menentukan ujroh hanya dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, jarak dan atau kriteria lain yang tidak bertentangan dengan syariah (mutaqawwim). Penetapan ujroh dengan menggunakan taksiran emas termasuk kriteria yang berbahaya dan dapat bertentangan dengan syariah karena taksiran emas bisa merefleksikan jumlah pembiayaan (pinjaman) yang dapat diberikan kepada nasabah. Walaupun saat ini, pembiayaan (pinjaman) yang bisa diberikan hanya 90% dari nilai taksiran emas, namun manakala bank menetapkan bahwa jumlah pinjaman dalam Gadai Emas iB bisa sampai 100% dari taksiran emas untuk suatu tujuan bisnis tertentu, maka Bank Syariah yang menggunakan kriteria taksiran emas secara langsung telah terjebak dalam praktek riba. Dalam analisis lain, penggunaan prosentasi dapat mengundang permasalahan lain karena kompensasi / ujroh dalam konsep Ijarah harus dapat diketahui dengan jelas oleh si penerima sewa dan hal tersebut tentu bukan dengan menggunakan nilai prosentasi melainkan dengan menggunakan nilai nominal agar dapat terhindar dari tasyabbuh bir riba.

F. KRITIK & PERBAIKAN TERHADAP POTONGAN BIAYA PENITIPAN DAN PEMELIHARAAN
      Pemberian diskon biaya penitipan dan pemeliharaan untuk nasabah gadai menerima pembiayaan dibawah total plafon pembiayaan maksimal yang seharusnya bisa diperoleh merupakan kebijakan yang sangat keliru dan tidak sesuai dengan Syariah. Kebijakan ini secara tidak langsung telah menjerumuskan Bank Syariah kepada celah praktek riba, yaitu terkaitnya jumlah biaya yang dibebankan terhadap dan pinjaman yang diterima nasabah. Kebijakan seperti inilah yang menjadi indikasi bahwa besaran biaya yang dibebankan bank syariah untuk produk Gadai Emas iB mengikuti besaran pembiayaan yang diberikan serta jangka waktu pembiayaan. Walaupun biaya penitipan dan pemeliharaan merupakan hak dari Bank Syariah, namun dengan memberikan diskon di awal proses pembiayaan berarti secara tidak langsung dapat dipahami bahwa besarnya biaya penitipan dan pemeliharaan Gadai Emas iB tidak terkait dengan jumlah berat emas yang digadaikan, melainkan terkait dengan jumlah pinjaman yang diterima nasabah. Hal ini sangat dilarang dalam Syariah sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
“ Setiap pinjaman (utang-piutang) yang mendatangkan tambahan atasnya maka (tambahan ) itulah ribâ” { HR. Bukhari }
      Rekomendasi Penulis untuk Product Developmet Bank Syariah adalah diskon biaya penitipan dan pemeliharaan dapat saja diberikan kepada nasabah dengan catatan diberikan saat pelunasan atau akhir perjanjian Gadai Emas iB dan tidak diperjanjikan di awal akad. Hal ini dilakukan agar bank dan nasabah dapat terhindar dari celah praktek riba yang diharamkan mengingat penetapan biaya penitipan dan pemeliharaan (ujroh) dalam produk Gadai Emas iB dilakukan dengan mempertimbangkan tempat, jangka waktu penyimpanan dan berat emas, jenis emas, karat emas dan bukan dengan mempertimbangkan jumlah pinjaman.

G.     KRITIK & PERBAIKAN BIAYA PENITIPAN DAN PEMELIHARAAN SETELAH MASA GADAI BERAKHIR
      Berdasarkan hasil analisa terhadap 4 Perjanjian dan/atau Akad Produk Gadai Emas iB Bank Syariah Penulis menemukan bank telah menetapkan biaya penitipan dan pemeliharaan lebih rendah pada saat masa gadai telah berakhir yang dinyatakan dengan kalimat sebagai berikut :
”Pengambilan barang jaminan dilakukan oleh NASABAH atau kuasa NASABAH bersamaan dengan pelunasan pembiayaan. Apabila NASABAH tidak mengambil barang jaminan bersamaan dengan pelunasan pembiayaan, maka NASABAH dikenakan biaya penyimpanan sesuai tarif pro rata harian save deposit box.”
       Melalui pasal ini bank telah membuat kesalahan yang cukup signifikan. Dengan maksud lain, bank telah melakukan kekeliruan dalam menetapkan biaya penitipan dan pemeliharaan pasca pelunasan gadai bagi nasabah yang tidak mengambil barang emas yaitu hanya sebesar biaya safe deposit box, bukannya sebesar ketetapan biaya penitipan dan pemeliharaan emas per-10 hari dan/atau per-15 hari di saat awal Gadai Emas iB. Sebagai informasi bahwa biaya  safe deposit box untuk 1 tahun pada salah satu bank ditetapkan sebesar dari  + Rp. 180.000,- s/d 500.000,- per tahun.
      Sebagaimana kritik penulis terhadap potongan biaya penitipan dan pemeliharaan pada paragraf di atas, bahwa walaupun Bank Syariah berhak menentukan besaran biaya penitipan dan pemeliharaan baik pada saat masa pembiayaan maupun pasca pelunasan pembiayaan gadai sebagaimana hak yang dimiliki mu’jir untuk menetapkan ujroh bagi musta’jir, namun dengan menetapkan harga yang relatif lebih murah pada saat masa gadai berakhir (baca : kewajiban lunas) berarti secara tidak langsung penentuan besarnya biaya penitipan dan pemeliharaan sebenarnya tidak terkait dengan jenis, karat dan berat emas yang digadaikan, melainkan hanya terkait dengan jumlah pinjaman yang diterima nasabah. Menurut penulis, inilah bentuk inkonsistensi Bank Syariah dalam penetapan biaya penitipan dan pemeliharaan Gadai Emas iB dan inilah kebijakan bisnis yang tidak tepat karena termasuk dalam tasyabbuh bir riba atau menyerupai riba.
      Bank Syariah harus melakukan koreksi atas kebijakan ini dengan menetapkan biaya penitipan dan pemeliharaan secara konsisten sama pada saat masa gadai berlangsung maupun masa gadai berakhir, mengingat dalam Gadai Emas iB biaya penitipan dan pemeliharaan ditetapkan dengan mempertimbangkan tempat, jangka waktu penyimpanan dan berat emas, jenis emas, karat emas dan bukan dengan mempertimbangkan jumlah pinjaman. Penulis juga merekomendasikan agar bank dimaksud mengubah klausul akad dengan kalimat sebagaimana di bawah ini :

Sebelumnya
Dirubah menjadi
”Pengambilan barang jaminan dilakukan oleh NASABAH atau kuasa NASABAH bersamaan dengan pelunasan pembiayaan. Apabila NASABAH tidak mengambil barang jaminan bersamaan dengan pelunasan pembiayaan, maka NASABAH dikenakan biaya penyimpanan sesuai tarif pro rata harian save deposit box.”
”Pengambilan barang jaminan dilakukan oleh NASABAH atau kuasa NASABAH bersamaan dengan pelunasan pembiayaan. Apabila NASABAH atau kuasa NASABAH tidak mengambil barang jaminan bersamaan dengan pelunasan pembiayaan, maka NASABAH akan dikenakan biaya penitipan dan pemeliharaan Barang sebagaimana tercantum dalam Surat Bukti Gadai Emas yang dihitung proposional per - 15 hari.” (opsional ; per - 10 hari)


BAB V   KESIMPULAN & REKOMENDASI
A.     KESIMPULAN
      Berdasarkan analisa penulis terhadap praktek Gadai Emas iB di Bank Syariah maka munculnya perdebatan-perdebatan di masyarakat yang berujung pada opini bahwa Gadai Emas iB tidak sesuai dengan syariah tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Faktanya penulis menemukan beberapa Bank Syariah memang telah melakukan langkah-langkah yang keliru dalam mengelola produk ini.
      Adapun langkah-langkah yang keliru dalam pengelolaan produk ini adalah sebagai berikut : i) penggunan nama akad yang tidak tepat, ii) adanya klausul akad yang menyatukan antara qardh dan ijarah, iii) penetapan biaya administrasi yang tergolong dalam tasyabbuh bir riba,  iv) penetapan biaya asuransi yang jelas bagian dari riba, v) penetapan biaya penitipan dan pemeliharaan yang tergolong dalam tasyabbuh bir riba, vi) kebijakan diskon biaya penitipan dan pemeliharaan yang merupakan celah dari praktek riba dan vii) biaya penitipan dan pemeliharan yang lebih rendah setelah masa gadai berakhir yang juga tergolong dalam tasyabbuh bir riba.

B.     REKOMENDASI
      Penulis tetap berkeyakinan bahwa produk Gadai Emas iB bisa diarahkan kepada produk yang lebih benar dan sesuai dengan syariah. Oleh sebab itu, Penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1.  Kepada Bank Syariah, khususnya Bagian Development Product agar dapat melakukan perbaikan-perbaikan terhadap pengelolaan Gadai Emas iB setidaknya terhadap 7 (tujuh) kekurangan sebagaimana terdapat dalam Bab Analisa dan Pembahasan di atas. Khusus untuk kebijakan pembebanan biaya asuransi ke nasabah agar segera dihapus dan/atau dihilangkan karena jasa asuransi adalah tugas Bank Syariah sebagai kompensasi atas ujroh penitipan dan pemeliharaan marhun yang diterima Bank Syariah dari nasabah.
2.      Kepada Departemen Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPbS BI) agar dapat meninjau kembali Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) nomor 14/7/DPbS tanggal 29 Februari 2012 perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah khususnya pada point yang menyatakan bahwa Bank Syariah dapat mengenakan biaya asuransi kepada nasabah produk Qardh Beragun Emas. Point tersebut harus dihapus karena berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian singkat ini bahwa biaya asuransi dalam Gadai Emas iB jelas bagian dari riba. Hanya ada 2 (dua) biaya saja yang dapat dikenakan dalam Gadai Emas iB, yaitu Biaya Administrasi dan Biaya Jasa Penitipan dan Pemeliharaan.
3.    Kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) agar dapat meninjau kembali Fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas sebab terdapat kekurangan dalam fatwa tersebut yaitu hanya mencantumkan istilah biaya penyimpanan barang. Hal ini perlu menjadi perhatian karena berdasarkan analisa yang telah dilakukan dalam penelitian singkat ini bahwa kewajiban utama Bank Syariah terhadap marhun selain menyediakan tempat penyimpanan barang adalah dengan melakukan tugas pemeliharaan marhun, mengingat marhun layaknya amanah yang harus dijaga, seperti halnya wadiah.  


DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-islami Wa Adillatuhu, Juz 4 s.d Juz 6, Damaskus : Dar Fikr al-Mu’asir, 2004.

__________________, Al-Fiqh Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh. Damaskus : Dar Fikr al-Mu’asir, 2002.

Hasan, Abdullah ‘Alwi Haji, Sales and Contract in Early Islamic Commercial Law, New Delhi : Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan, 1997.

Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia (Paper). Ciputat, 2009.

Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000.

Iqbal, Zamir, Abbas Mirakhor, An Introduction Islamic Finance ; Theory and Practice, Singapore : John wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, 2007.

Karim, Adiwarman Azwar, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, Ed 3, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.

Musa, Kamil, Ahkamu Al-Mu’amalat, Beirut : Ar-Resalah Publisher, 1998.

Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir, Sofwan Abbas & Amir Hamzah), Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat, 2008.

San´ani, Muhammad ibn Isma´il al-Amiri al-Yamin. Subulussalam, Jil. 3, Kairo : Darul Hadits ,2000.

Widiyono, Try, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009.

Comments