A.
PENERAPAN
MANAJEMEN RISIKO PT. BANK SYARIAH MANDIRI (BSM)[1]
BSM menyadari bahwa pengaruh globalisasi
industri, perkembangan ekonomi dan perkembangan industri yang pesat mengakibatkan
persaingan usaha yang semakin ketat. Kondisi ini mendorong BSM lebih proaktif
mengembangkan produk dan layanan sehingga BSM harus meningkatkan penerapan manajemen
risiko yang efisien dan efektif. Karena itu, BSM senantiasa melakukan perbaikan
dan pengembangan dalam penerapan manajemen risiko secara berkesinambungan. Penerapan
manajemen risiko yang dilakukan BSM diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1. Penyediaan
informasi yang cepat dan tepat bagi manajemen dalam pengambilan keputusan
bisnis yang mengandung risiko signifikan bagi BSM
2. Penyeimbangan
tingkat risiko yang dihadapi dengan tingkat pengembalian hasil yang diterima
dari berbagai kegiatan bisnis BSM;
3. Pengukuran
kinerja bisnis yang berbasis risiko, baik secara transaksional, portofolio,
maupun BSM-wide;
4. Pengalokasian
modal BSM secara efisien pada berbagai risiko yang dihadapi BSM;
5. Peningkatan
nilai perusahaan bagi seluruh stakeholder.
I.
Organisasi Manajemen Risiko di BSM
BSM memiliki organisasi manajemen risiko yang secara jelas menetapkan
batas wewenang dan tanggung jawab seluruh jenjang organisasi di dalam
perusahaan. BSM menerapkan prinsip pemisahan fungsi antara satuan kerja
pengambil risiko (risk taking unit),
satuan kerja pendukung (supporting unit) dan satuan kerja manajemen
risiko (risk management unit). Risk owner atas pengelolaan risiko
berada pada masing-masing unit kerja terkait. Penerapan manajemen risiko
memerlukan komitmen dan keterlibatan dari seluruh pihak dalam
organisasi. Untuk mendorong penerapan manajemen risiko yang efektif BSM
memiliki Komite Manajemen Risiko (KMR). KMR yang beranggotakan Direksi
dan pejabat eksekutif berfungsi memberikan rekomendasi kepada Direktur
Utama mengenai arah kebijakan dan strategi manajemen risiko perusahaan.
Tugas KMR meliputi perumusan dan penyusunan kebijakan, pedoman, dan strategi
penerapan manajemen risiko, sehingga kegiatan usaha BSM sejalan dengan
visi, misi, dan rencana bisnis yang ditetapkan. Dalam menjalankan
tugasnya, KMR dibantu oleh Working Group (WG) KMR yang terdiri
atas WG Asset Liabilities Management (ALMA) & Pembiayaan dan
WG Operasional. WG memiliki tugas melakukan kajian risiko dan memberikan
rekomendasi atas situasi dan kondisi usaha yang dihadapi BSM.
II.
Kerangka Kerja Manajemen Risiko BSM
Seiring
dengan perkembangan kompleksitas usaha, produk, dan jaringan BSM, eksposur
risiko usaha BSM semakin meningkat. Agar pengelolaan risiko usaha tetap
terkendali secara baik, BSM memiliki kerangka kerja manajemen risiko yang
komprehensif dan terintegrasi pada seluruh unit kerja, lini usaha, produk, dan
aktivitas fungsional BSM. Fokus manajemen risiko pada tahun 2010 adalah pelaksanaan
konsolidasi manajemen risiko dengan perusahaan induk, pengkinian kebijakan dan
prosedur, penetapan limit, dan peningkatan kompetensi sumber daya insani.
1. Konsolidasi
Dengan Perusahaan Induk
Dalam rangka mensinergikan penerapan
manajemen risiko antara perusahaan anak dan perusahaan induk (Bank Mandiri), BSM
melakukan konsolidasi penerapan manajemen risiko.Konsolidasi penerapan
manajemen risiko dengan Bank Mandiri mencakup arsitektur kebijakan &
prosedur operasional BSM, tools manajemen risiko, penilaian profil
risiko BSM, Risk Based Audit (RBA), dan risk awareness.
2. Kebijakan
dan Prosedur
BSM
senantiasa mengkinikan kebijakan dan prosedur terkait penerapan
manajemen risiko agar sesuai dengan situasi dan kondisi usaha, termasuk
iklim perbankan di Indonesia. Sepanjang tahun 2010 BSM telah melakukan
pengkinian kebijakan dan prosedur yang meliputi:
a) Standar
prosedur operasional pembiayaan warung mikro;
b) Standar
prosedur operasional investasi surat berharga;
c) Penanganan
pembiayaan bermasalah;
d) Metode
Watch List pembiayaan komersial;
e) Risk
Acceptance Criteria (RAC) pembiayaan sektor usaha tertentu;
f) Pedoman kas dan teller;
g) Pedoman
pelaksanaan program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme (PPT);
h) Pedoman
operasional Call Center;
i) Pengelolaan kewenangan akses sistem;
j) Standardisasi perangkat lunak komputer
kerja;
k) Standardisasi
perangkat jaringan komunikasi;
l) Prosedur penilaian dan penggunaan rekanan;
m) Limit portofolio pembiayaan sektor usaha
tertentu;
n) Limit
Secondary Reserve;
o) Limit
transaksi Net BSMing;
p) Pengelolaan
beban kerugian akibat terjadi risiko operasional.
3. Penetapan
Limit
Sebagai
salah satu upaya dalam mengelola risiko agar sesuai dengan permodalan
yang dimiliki, BSM menetapkan limit yang mencakup:
a) Limit
wewenang memutus pembiayaan;
b) Limit
eksposur 25 debitur terbesar;
c) Limit
in house BMPK;
d) Limit
portofolio pembiayaan untuk sektor ekonomi & subsektor tertentu;
e) Limit
portofolio pembiayaan valuta asing;
f) Limit coverage asuransi pembiayaan;
g) Limit
transaksi tresuri;
h) Limit
saldo kas;
i) Limit transaksi operasional;
j) Limit Giro Wajib Minimum;
k) Limit
Posisi Devisa Neto (PDN);
l) Limit secondary reserve.
4. Sertifikasi
Manajemen Risiko
Sumber
Daya Manusia (SDM) memegang peranan penting dalam mengelola risiko,
sehingga BSM perlu senantiasa meningkatkan kompetensi seluruh pegawai.
Untuk memenuhi hal tersebut serta memenuhi ketentuan BSM Indonesia, BSM
mengikutsertakan pegawai untuk mengikuti ujian sertifikasi manajemen
risiko. Jumlah pegawai BSM yang memperoleh sertifikasi manajemen risiko
pada tahun 2010 adalah:
Level
|
Jumlah
Pegawai
|
I
|
388
|
II
|
87
|
III
|
21
|
IV
|
5
|
Total
|
501
|
III.
Infrastruktur dan Proses Manajemen Risiko
BSM
menerapkan manajemen risiko pada seluruh aktivitas operasional agar eksposur
risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas,dan risiko operasional dapat
terkendali secara baik dan memadai.
1. Risiko
Kredit
BSM
harus mengelola risiko kredit secara baik dan berkesinambungan guna menjaga
portofolio aktiva produktif tetap berkualitas baik dan memberikan keuntungan.
Karena itu BSM selalu menjaga agar tidak terjadi penurunan kualitas pembiayaan
sehingga Non Performance Financing (NPF) tidak melampaui limit sesuai
ketentuan BSM Indonesia.
a.
Kebijakan, Prosedur, dan Tools
Selama tahun 2010, BSM membuat, mengkaji
ulang dan mengkinikan kebijakan, prosedur, dan credit risk tools sesuai
dengan kondisi ekonomi makro, perkembangan dunia usaha, dan perubahan regulasi
pemerintah atau BSM Indonesia. Kaji ulang dan pengkinian tersebut meliputi:
1) Pengkinian
kebijakan bisnis BSM yang mencakup ; kebijakan investasi dan kebijakan
pembiayaan;
2) Pengembangan
standar prosedur operasional pembiayaan untuk masing-masing segmen usaha;
3) Limit
pemutusan pembiayaan;
4) Pedoman
penilaian rekanan;
5) Pembuatan
scoring pembiayaan alat berat;
6) Pengkinian
scoring pembiayaan mikro;
7) Update
rating sektor industri;
8) Risk
Acceptance Criteria (RAC) untuk beberapa sector industri antara
lain jasa kesehatan, telekomunikasi dan multifinance;
9) Pengembangan
Watch List tools.
b. Limit
Portofolio Pembiayaan
BSM memiliki portfolio guideline atas
pembiayaan yang disalurkan guna mengoptimalkan tingkat pengembalian sesuai
dengan tingkat risiko yang dihadapi (risk
adjusted return). Selain portfolio guideline, BSM juga menetapkan
limit untuk portofolio pembiayaan tertentu, yaitu:
1) Pembiayaan
25 debitur terbesar;
2) Pembiayaan
koperasi-konsumer;
3) Pembiayaan
valuta asing;
4) Pembiayaan
dengan agunan investasi terikat (mudharabah muqayyadah)
5) Pembiayaan
perumahan;
6) Pembiayaan
telekomunikasi;
7) Pembiayaan
gas;
8) Pembiayaan
multifinance;
9) Pembiayaan
perkebunan kelapa sawit;
10) Pembiayaan
tambang batubara;
11) Pembiayaan
distribusi BBM;
12) Pembiayaan
jasa kesehatan;
13) Pembiayaan
angkutan umum laut;
14) Pembiayaan
perdagangan ritel;
15) Pembiayaan
pertanian tanaman pangan.
c. Monitoring
Kualitas Pembiayaan
BSM memantau dan menjaga kualitas
pembiayaan dengan melakukan:
1) Pemantauan
kondisi usaha dan kinerja pembiayaan nasabah melalui Watch List tools;
2) Pemantauan
atas perkembangan kualitas portofolio pembiayaan berdasarkan segmen bisnis, sector
industri, dan skema pembiayaan;
3) Stress
testing terhadap situasi/kondisi ekonomi makro dan industri. Salah satu stress testing adalah
melakukan simulasi terhadap kemungkinan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
dengan skenario kenaikan harga TDL sebesar 18%. BSM berasumsi bahwa kenaikan
TDL akan mempengaruhi inflasi dengan kenaikan sebesar 0,3%. Berdasarkan skenario
tersebut potensi penurunan kualitas pembiayaan BSM menunjukkan hasil yang tidak
signifikan. Stress testing juga dilakukan untuk mengantisipasi
pengaruh krisis ekonomi di Yunani, dan currency war terhadap portofolio
pembiayaan BSM.
2. Risiko
Pasar
BSM menghadapi risiko pasar terkait dengan portofolio valuta asing dan surat berharga kategori Trading dan Available for Sale (AFS) yang dimiliki BSM. Dalam mengelola risiko pasar, BSM senantiasa memantau eksposur risiko secara rutin sehingga dapat meminimalisasi kerugian akibat pergerakan imbal hasil pasar dan perubahan nilai tukar yang tidak menguntungkan. BSM melakukan pengelolaan risiko pasar melalui:
BSM menghadapi risiko pasar terkait dengan portofolio valuta asing dan surat berharga kategori Trading dan Available for Sale (AFS) yang dimiliki BSM. Dalam mengelola risiko pasar, BSM senantiasa memantau eksposur risiko secara rutin sehingga dapat meminimalisasi kerugian akibat pergerakan imbal hasil pasar dan perubahan nilai tukar yang tidak menguntungkan. BSM melakukan pengelolaan risiko pasar melalui:
a. Pengukuran
potensi kerugian maksimum akibat pergerakan nilai tukar dengan menggunakan
model Exponential Weighted Moving Average (EWMA). Pada pengukuran
tersebut BSM menggunakan data volatilitas nilai tukar dan Posisi PDN selama
periode tertentu.
b. Penetapan
limit PDN atas posisi valuta asing BSM. BSM menetapkan limit internal PDN
sebesar 5% dari modal BSM. Per 31 Desember 2010, posisi PDN BSM sebesar 1,09%
atau tidak melampaui limit yang ditetapkan. BSM mengkaji ulang limit tersebut
secara berkala atau apabila terjadi perubahan kondisi eksternal yang
signifikan.
c. Pengukuran
repricing gap untuk mengukur gap antara asset dan kewajiban yang
sensitif terhadap perubahan imbal hasil pasar pada setiap jangka waktu. BSM
melakukan pengukuran repricing gap secara bulanan. Hal tersebut untuk
mengetahui risiko yang dihadapi BSM apabila terjadi perubahan tingkat imbal
hasil pasar.
3. Risiko
Likuiditas
Risiko
likuiditas terkait dengan ketidakmampuan BSM dalam memenuhi seluruh
kewajiban yang jatuh tempo dalam jangka pendek. BSM mengelola risiko
likuiditas melalui penetapan Kebijakan Manajemen Risiko dan Pedoman
Pengelolaan Dana, strategi dan contingency plan likuiditas. Dalam
mengelola risiko likuiditas, BSM melakukan:
a. Penetapan
limit internal Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah dan valuta asing masing-masing
sebesar 5,04% dan 3% dari rata-rata DPK. Per 31 Desember 2010, posisi GWM Rupiah
sebesar 5,11% dan GWM valas sebesar 5,98%.
b. Penetapan
limit secondary reserve sebesar 5% dari rata-rata DPK. Posisi secondary reserve per
31 Desember 2010 adalah sebesar 13,16%. Disamping itu BSM juga menetapkan limit
likuiditas lain berupa limit deposan terbesar dan limit saldo kas maksimal yang
disesuaikan dengan kebutuhan. BSM me-review limit-limit tersebut secara
berkala sesuai dengan situasi dan kondisi terkini.
c. Penempatan
pada instrumen keuangan Bank Indonesia dan instrumen keuangan jangka pendek
lain sebagai cadangan likuiditas BSM.
d. Pengukuran
kecukupan likuiditas melalui penyusunan proyeksi cashflow dan liquidity
gap secara rutin sehingga BSM dapat memanfaatkan likuiditas secara tepat
dan efisien sesuai kebutuhan.
e. Pemeliharaan
akses BSM ke pasar uang antar BSM syariah melalui perolehan dan pemberian credit
line dari dan untuk BSM lain.
f. Pemantauan rasio likuiditas antara lain
dengan melakukan monitoring rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga, rasio
kewajiban antar BSM, dan rasio kas terhadap dana pihak ketiga.
4. Risiko Operasional
BSM
membutuhkan pengelolaan risiko operasional secara terpadu dan terintegrasi agar
kegiatan operasional BSM terpantau dan terkendali dengan baik. Proses internal,
sistem, manusia, dan kejadian eksternal adalah faktor-faktor yang memicu
kejadian risiko operasional yang dapat merugikan BSM.
a. Penggunaan
peranti lunak
b. Dalam
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan pengendalikan risiko operasional, BSM
memanfaatkan peranti lunak berbasis web yaitu ORMIS (Operational Risk Management Information
System). Peranti ORMIS digunakan oleh seluruh unit kerja. Disamping itu, BSM
juga memanfaatkan tools yang dikembangkan untuk mengelola risiko
operasional yaitu LED (Loss Event Database), RCSA (Risk and Control Self
Assessment), dan KRI (Key Risk Indicator). Sepanjang tahun 2010 BSM terus
melakukan pengembangan dan perbaikan terhadap kualitas operation risk
tools.
c. Perhitungan
kecukupan modal risiko operasional.
d. BSM
telah menghitung kecukupan modal risiko operasional dengan menggunakan metode basic
indicator approach yang memasukkan unsur ATMR meskipun Bank Indonesia
belum mewajibkannya kepada Bank syariah. BSM melakukan hal ini sebagai
inisiatif guna meyakinkan stakeholder bahwa modal BSM cukup untuk meng-cover
potensi kerugian yang ditimbulkan oleh risiko operasional. Selain itu, BSM juga
melakukan pengelolaan atas pencadangan kerugian risiko operasional.
e. Penerapan
Manajemen Risiko Teknologi Informasi
f. BSM
menerapkan manajemen risiko terhadap teknologi informasi (TI) yang memegang
peranan penting sebagai Core Banking Business BSM. Manajemen risiko TI
antara lain diterapkan pada proses desain suatu pengembangan sistem sampai
dengan tahap akhir. Melalui User Acceptance Test (UAT), BSM dapat
mengidentifikasi dan melakukan perbaikan terhadap kelemahan yang ditemukan,
sebelum sistem digunakan oleh user.
g. BSM
juga telah mengembangkan kebijakan dan prosedur mengenai pemanfaatan teknologi
informasi yaitu: standarisasi perangkat jaringan komunikasi data; standarisasi
perangkat lunak; pengelolaan kewenangan akses sistem; dan pengembangan layanan electronic
Banking dari segi keamanan aksesibilitas.
h. Business
Continuity Management (BCM).
i. Guna menjaga kelangsungan bisnis BSM dan
sebagai langkah meminimalisasi risiko operasional yang disebabkan oleh
gangguan/bencana (disaster), BSM menyusun kebijakan Business Continuity
Management (BCM). Penetapan kebijakan BCM meliputi pengawasan aktif
manajemen, Business Impact Analysis dan Risk Assessment, Business
Continuity Plan (BCP), pengujian BCP dan audit atas pelaksanaan BCP.
j. Dalam pelaksanaannya, implementasi BCM antara
lain dilakukan melalui penyusunan pedoman BCP yang terdiri atas pedoman Contingency
Plan (CP) dan pedoman Disaster Recovery Plan (DRP). BSM telah
melakukan uji coba DRP secara berkala guna memastikan kesiapan sistem TI cadangan
(back up) apabila terjadi keadaan darurat yang dapat mengganggu
kelangsungan bisnis BSM. Selama 2010, BSM telah melakukan uji coba DRP sebanyak
dua kali.
.
IV.
Profil Risiko
Penilaian
profil risiko bertujuan untuk memberikan informasi kepada seluruh stakeholder
mengenai kondisi risiko usaha yang dihadapi BSM. Profil risiko meliputi
penilaian terhadap risiko inheren dan efektifitas Risk Control System
(RCS). Penilaian risiko inheren merupakan penilaian atas risiko yang
melekat pada kegiatan bisnis BSM, melalui analisa kuantitatif atas parameter
tertentu. BSM melakukan penilaian RCS secara self assesment melalui analisa
kualitatif terhadap empat aspek penilaian RCS yang meliputi pengawasan aktif
dewan komisaris dan direksi, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit,
kecukupan proses identifikasi pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko
serta sistem informasi manajemen risiko, serta sistem pengendalian intern yang
menyeluruh.
Hasil
penilaian masing-masing jenis risiko pada akhir 2010 adalah:
No
|
Jenis
Risiko
|
Penilaian
Posisi Desember 2010
|
|
Tingkat Risiko Inheren
|
Risk Control System
|
||
1
|
Risiko Kredit
|
Low
|
Acceptable
|
2
|
Risiko Pasar
|
Low
|
Strong
|
3
|
Risiko Likuiditas
|
Low
|
Strong
|
4
|
Risiko Operasional
|
Moderat
|
Acceptable
|
5
|
Risiko Hukum
|
Low
|
Acceptable
|
6
|
Risiko Reputasi
|
Low
|
Acceptable
|
7
|
Risiko Stratejik
|
Low
|
Strong
|
8
|
Risiko Kepatuhan
|
Low
|
Strong
|
Predikat
Risiko BSM secara keseluruhan
|
Low
|
Strong
|
Berdasarkan profil
risiko per Desember 2010, sebagian besar risiko inheren BSM berpredikat rendah
(low) dan sistem pengendalian risiko berpredikat strong to acceptable.
Predikat risiko komposit BSM secara keseluruhan adalah rendah (low) dengan tren stabil.
B.
PENERAPAN
MANAJEMEN RISIKO PT. BANK SYARIAH MEGA INDONESIA (BSMI)[2]
Pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus di
tahun 2010 telah mendorong kebutuhan modal usaha meningkat. Membesarnya
permintaan pembiayaan kepada BSMI juga diikuti oleh peningkatan risiko yang
semakin kompleks. Persaingan yang semakin ketat di pembiayaan usaha mikro juga
berpotensi untuk terus meningkatkan risiko bisnis.
Untuk mengantisipasi tingginya risiko
tersebut, BSMI berusaha menjalankan manajemen risiko secara ketat dan terkontrol.
Melalui pengelolaan risiko yang baik, kegiatan operasional BSMI diharapkan
dapat semakin prudent, lebih efektif
dan efisien. Hal tersebut akan berdampak langsung terhadap tingkat daya saing
perusahaan di pasar.
Agar menjadi bank yang sehat dan produktif,
penerapan manajemen risiko yang baik menjadi kebutuhan mutlak bagi BSMI. Melalui
pengelolaan risiko yang baik, kepercayaan stakeholders
juga akan semakin tertanam kuat. Penerapan manajemen risiko diharapkan
dapat memberikan manfaat berupa:
1. Perhitungan
pemenuhan modal yang lebih baik dimana pengukuran didasarkan atas besar
kecilnya risiko yang diambil oleh Bank.
2. Peningkatan
kualitas manajemen dalam pengambilan keputusan
3. Penilaian
kinerja unit bisnis yang lebih baik melalui implementasi risk control yang melekat pada unit bisnis.
4. Peningkatan
keterbukaan terhadap stakeholder
dalam bentuk penyediaan informasi risiko yang lebih baik.
I. Program
Sertifikasi Manajemen Risiko
Keberhasilan operasional Bank salah satunya ditentukan oleh kualitas
pelaksanaan manajemen risiko dalam bentuk pemahaman dan pengetahuan pegawai
mengenai risiko. Hal ini bukan sekedar pemenuhan ketentuan BI melainkan best practices yang berlaku di industri
perbankan.
Bank Indonesia telah mengeluarkan dan mengkinikan peraturan mengenai
Sertifikasi Manajemen Risiko bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum yang dimulai
sejak PBI No. 7/25/PBI/2005, kemudian PBI No.8/9/PBI/2006 dan terakhir PBI No. 11/19/PBI/2009.
Bank Mega Syariah telah berkomitmen untuk melanjutkan program sertifikasi
pegawai sesuai dengan ketentuan PBI.
Dalam pelaksanaan sertifikasi BSMI memutuskan untuk menyelenggarakan
pelatihan internal untuk mempersiapkan peserta dalam menghadapi ujian
sertifikasi. Selama tahun 2010 BSMI telah menyelesaikan program sertifikasi
management risiko dari Badan Standarisasi Manajemen Risiko (BSMR). Total
terdapat 26 yang sudah mendapat sertifikasi BSMR.
II.
Profil Risiko Selama Tahun 2010
Laporan
profil risiko menggambarkan tingkat risiko yang terdapat pada seluruh aktivitas
Bank serta kecukupan pengendalian risiko yang diterapkan. Laporan profil risiko
Bank memuat 5 (lima) jenis risiko yaitu: penyediaan dana, rate of return, likuiditas, operasional dan kepatuhan. Laporan ini
disampaikan kepada Bank Indonesia secara triwulanan.
Triwulan
1
|
Triwulan
2
|
Triwulan
3
|
Triwulan
4
|
|
Risiko
Inheren
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Pengendalian
Risiko
|
Dapat
Diandalkan
|
Dapat
Diandalkan
|
Dapat
Diandalkan
|
Dapat
Diandalkan
|
Risiko
Komposit
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Profil risiko BSMI selama tahun 2010 dapat
dikatakan berada pada posisi Sedang. Sedangkan risiko inherent yang dihadapi oleh BSMI dijelaskan di bawah ini :
1. Risiko
Penyediaan Dana
Manajemen
risiko pembiayaan Bank ditujukan untuk menjaga agar kualitas pembiayaan tetap
berada pada kondisi baik tanpa menghalangi ekspansi pembiayaan yang telah
disusun dalam rencana bisnis. Aktivitas pembiayaan yang difokuskan pada
pembiayaan UKM dan mikro serta gadai syariah telah dipersiapkan sedemikian rupa
dalam bentuk penyediaan infrastruktur berupa bangunan fisik, sumber daya insani
maupun dukungan dalam bentuk penyediaan kebijakan dan prosedur.
Mitigasi risiko pembiayaan dilakukan secara hati-hati dan
berkesinambungan dalam seluruh aktivitas pembiayaan sejak pendekatan kepada
nasabah hingga pembiayaan dilunasi. Pemilihan calon nasabah dilakukan dengan
memperhatikan target pasar yang telah disusun dalam rencana bisnis dengan
tujuan untuk memastikan bahwa ekspansi telah dilakukan terhadap sektor yang
prospektif.
2. Risiko
Rate Of Return
Karakteristik usaha syariah tidak memperbolehkan Bank memiliki portofolio
untuk tujuan diperdagangkan (trading). Walaupun demikian struktur neraca Bank
tetap dipengaruhi oleh interest rate risk
in banking book yang merupakan risiko yang disebabkan oleh kegagalan bank
dalam menyeimbangkan hasil dari pembiayaan dan aset lain dengan bagi hasil yang
diharapkan oleh nasabah pemilik dana pihak ketiga. Risiko ini dipengaruhi baik
secara langsung atau tidak langsung oleh volatilitas suku bunga pasar. Hal ini
menyebabkan Bank untuk
selalu memperhatikan pergerakan suku bunga sebagai acuan dalam menentukan
kebijakan pricing sumber dana dan pembiayaan. Risiko rate of return
melekat pada instrumen aset seperti pembiayaan, surat berharga syariah dan
liabilitas seperti giro, tabungan dan deposito.
3. Risiko
Likuiditas
Kebutuhan likuiditas selama tahun 2010 sangat tinggi sebagai akibat dari
pertumbuhan pembiayaan yang juga tinggi. Bank mampu melakukan manajemen
likuiditas sehingga tidak terkena dampak risiko likuiditas. Beberapa faktor
yang mendukung keamanan likuiditas Bank antara lain posisi secondary reserve
dalam bentuk SBIS dan Surat Berharga yang dapat dijaga pada tingkat aman dan
ketentuan BI yang memperbolehkan dilakukannya repo terhadap SBSN.
Kebijakan manajemen risiko likuiditas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
operasional dan kebutuhan tak terduga seperti penarikan dana nasabah dalam
jumlah signifikan. Kebijakan ini mencakup penetapan strategi likuiditas,
pemeliharaan cadangan likuiditas dan akses pendanaan antar bank.
4. Risiko
Operasional
Peningkatan
eksposur risiko operasional selama tahun 2010 terjadi sebagai akibat
peningkatan jaringan kerja dan volume pembiayaan setelah Bank meluncurkan
strategi pembiayaan terhadap sektor UKM, mikro dan gadai. Peningkatan risiko
operasional salah satunya bersumber dari proses internal terutama sumber daya
manusia, sedangkan faktor eksternal dapat berupa perubahan kondisi ekonomi
makro maupun kebijakan pemerintah.
Bank mampu menjaga profil risiko kepatuhan pada level yang masih dapat
diterima seperti terlihat pada beberapa indikator seperti tidak terdapat
pelanggaran kepatuhan terhadap aturan internal dan eksternal, posisi CAR dan
pemenuhan PPAP serta GWM, NPF dibawah ketentuan maksimal Bank Indonesia, serta
tidak adanya pelampauan maupun pelanggaran BMPK.
III.
Langkah-Langkah Mengurani Risiko Tahun
2011
1.
Pemberian limit pembiayaan mikro dan gadai oleh pejabat bank harus melalui
divisi risk management.
2. Memberikan pelaporan secara harian mengenai perfomance
financing seperti pertumbuhan pembiayaan,
risiko pembiayaan dan write off.
3.
Memberikan opini risk terhadap setiap produk baru maupaun aktifitas baru yang akan
dijalankan oleh BSMI.
4. Diversifikasi jenis pembiayaan dengan mengeluarkan jenis pembiayaan baru
yaitu pembiayaan pensiun dan
meneruskan program pembiayaan
gadai dan UKM.
5. Peningkatan kualitas manajemen likuiditas melalui peningkatan nominal dana
murah seperti giro dan tabungan
dan mengurangi dana mahal seperti
deposito.
6. Peningkatan manajemen pembiayaan dimana Bank hanya akan memberikan pembiayaan untuk sektor yang telah dikuasai
dengan baik dan menghindari
pembiayaan untuk sektor yang sama
sekali baru.
7.
Pelatihan dasar manajemen risiko untuk pegawai baru.
C. KOMPARASI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PT.
BANK SYARIAH MANDIRI (BSM) & PT. BANK SYARIAH MEGA INDONESIA (BSMI)
Merujuk pada Peraturan Bank Indoensia
nomor 13/23/PBI/2011 ttg Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum & Unit
Usaha Syariah pada pasal 5 (ayat 1 s/d
3) dinyatakan bahwa terdapat 10 risiko yang wajib diterapkan &
diperhitungkan dalam penilaian risiko pada Bank Syariah (BUS/UUS), meliputi :
a) Risiko Kredit, b) Risiko Pasar, c) Risiko Likuiditas,
d) Risiko Operasional, e) Risiko Hukum, f) Risiko Reputasi, g) Risiko
Stratejik, h) Risiko Kepatuhan, i) Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) & j) Risiko
Invetasi (Equity Invesment Risk).
Berdasarkan
deskripsi profil risiko yang dilaporkan oleh BSM dan BSMI pada Laporan Tahunan
Bank tahun 2010, bahwa ragam risiko yang dilaporkan dan/atau diperhitungkan dalam
laporan profil risiko BSM lebih lengkap (sesuai PBI di atas) dari
pada ragam risiko yang dilaporkan dan/atau diperhitungkan dalam laporan profil
risiko. Namun, sebagai catatan bahwa pada tahun 2010 BSMI telah melaporkan
risiko Imbal hasil (Sesuai PBI yang keluar tahun 2011) sehingga BSMI di sisi
lain lebih advance karena telah
memperhitungkan risiko yang seharusnya baru wajib dilaporkan pada tahun 2011. Berikut
perbandingannya :
Jenis
Risiko
|
BSM
|
BSMI*
|
||
Risiko
Inheren
|
Risk
Control System (RCS)
|
Risiko
Inheren
|
Risk
Control System (RCS)
|
|
Risiko
Kredit
|
Low
NPF Gross 3,52% di tahun
2010 & NPF Netto 1,29% di tahun 2010.
|
Acceptable
|
Sedang/ Moderat
NPF Gross 3,52% di tahun
2010
|
Dapat Diandalkan/ Acceptable
|
Risiko
Pasar
|
Low
|
Strong
|
Sedang/ Moderat
|
Dapat
Diandalkan/ Acceptable
|
Risiko
Operasional
|
Moderat
CAR 2010 pada level
10,60% menurun dibandingkan pada tahun 2009 sebesar 12,39%.
|
Strong
|
Sedang/ Moderat
CAR pada level 13,14% di
tahun 2010
|
Dapat
Diandalkan/ Acceptable
|
Risko
Imbal Hasil/Rate of Return Risk/ Displaced commercial risk
|
NA
|
NA
|
Sedang/Moderat
|
Dapat
Diandalkan/ Acceptable
|
Ket : * ) dibuat dengan asumsi masing-masing risiko sama
statusnya
Perbandingan Pengelolaan Risiko :
BSM
|
BSMI
|
|
Risiko
Kredit
|
Penetapan limit untuk 15 portofolio
pembiayaan tertentu & Monitoring kualitas pembiayaan
|
Aktivitas pembiayaan yang difokuskan
pada pembiayaan UKM dan mikro serta gadai syariah & Mitigasi risiko ; Pemilihan
calon nasabah dengan memperhatikan target pasar RBB
|
Risiko
Pasar
|
Pengukuran potensi kerugian maksimum
akibat pergerakan nilai tukar dengan menggunakan model Exponential
Weighted Moving Average (EWMA), Pengukuran repricing gap bulanan, dll
|
NA
|
Risiko
Likuiditas
|
Penetapan limit internal Giro Wajib
Minimum (GWM) Rupiah dan valuta asing, Penetapan secondary reserve 5% dari
rata-rata DPK, Pengukuran kecukupan likuiditas melalui penyusunan proyeksi cashflow
dan liquidity gap secara rutin, dll
|
posisi secondary reserve dalam
bentuk SBIS dan Surat Berharga yang dapat dijaga pada tingkat aman
|
Risiko
Operasional
|
Penggunaan
peranti lunak berbasis web yaitu ORMIS (Operational Risk Management Information System), menghitung kecukupan
modal risiko operasional dengan menggunakan metode basic indicator approach
yang memasukkan unsur ATMR, menyusun kebijakan Business Continuity
Management (BCM). Penetapan kebijakan BCM meliputi pengawasan aktif
manajemen, Business Impact Analysis dan Risk Assessment,
Business Continuity Plan (BCP), pengujian BCP dan audit atas
pelaksanaan BCP, dll.
|
tidak
terdapat pelanggaran kepatuhan terhadap aturan internal dan eksternal, posisi
CAR dan pemenuhan PPAP serta GWM, NPF dibawah ketentuan maksimal Bank
Indonesia, serta tidak adanya pelampauan maupun pelanggaran BMPK.
|
Risko
Imbal Hasil/Rate of Return Risk/ Displaced commercial risk
|
NA
|
struktur neraca Bank tetap
dipengaruhi oleh interest rate risk in
banking book sehingga menyebabkan Bank untuk selalu
memperhatikan pergerakan suku bunga sebagai acuan dalam menentukan kebijakan
pricing sumber dana dan pembiayaan
|
Comments
Post a Comment