KONSEP MULTI AKAD { Al-Uqûd Al-Murakkabah }

Sumber Utama : Hasanudin. (2009, Mei 28). Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Ciputat : UIN Syahid

Pengertian & Macam Multi Akad
      Multi dalam bahasa Indonesia berarti (1) banyak; lebih dari satu; lebih dari dua; (2) berlipat ganda. [1] Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu.
       Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd  al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan perjanjian[2].Sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya kewajiban.[3]                                            
Menurut Wahbah Zuhaili ‘aqd adalah[4] :
“Pertalian atau perikatan antara ijab & qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan”

      Kata Al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan.[5] Kata murakkab sendiri berasal dari kata "rakkaba-yurakkibu-tarkiban" yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di bawah. Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih adalah sebagai berikut :
      i.      Himpunan beberapa hal sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkîb).
       ii.      Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu yang sederhana (tunggal/basîth) yang tidak memiliki bagian-bagian.
          iii.      Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya

     Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah murakkab. Pengertian pertama lebih tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu pengertian tertentu. Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari terhimpunnya beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu istilah tertentu.
      Dengan demikian pengertian pertama lebih dekat dan pas untuk menjelaskan maksud al-’uqûd al-murakkabah dalam konteks fikih muamalah. Karena itu, akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah [6]:
"Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih --seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.-- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad."

Sedangkan menurut Al-‘Imrani akad murakkab adalah:
"Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad --baik secara gabungan maupun secara timbal balik-- sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad."


Macam – Macam Multi Akad
      Al-‘Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah, al-’uqûd al-mukhtalifah, al-’uqûd al-mutajânisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, adalah multi akad yang umum dipakai.[7]
1.   Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqûd al-mutaqâbilah)
      al-mutaqâbila menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan al-’uqûd al-Mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya.
2.   Akad Terkumpul (al-’uqûd al-mujtami’ah)
      Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh "Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu".
      Multi akad yang mujtami'ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
3.   Akad berlawanan (al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah)
      Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda.
     Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanâqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.
4.   Akad berbeda (al-’uqûd al-mukhtalifah)
      Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijârah dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad (fi al-majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada saat akad.
      Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang membangunnya.Dari pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa multi akad yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.
5.   Akad sejenis (al-’uqûd al-mutajânisah)
      Al-’uqûd al-murakkabah al-mutajânisah adalah akad-akad yang mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat terdiri dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum yang sama atau berbeda.

Hukum Multi Akad
      Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai’ dan salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi. Akan tetapi jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf diperbolehkan. Begitu juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus haram hukumnya, tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh. Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum dari multi akad.
      Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan ini memberi peluang pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad.
      Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
      Mayoritas ulama Hanâfiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.[8]
      Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.
      Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
      Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.[9]

Batasan & Standar Multi Akad
      Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.   Multi akad dilarang karena nash agama
      Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjama, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi Dalam sebuah hadist disebutkan:
"Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman".{ HR. Ahmad }

      Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
      Imam al-Syafi’i memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus, dengan syarat dia meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih. Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima adalah pinjaman (‘âriyah). Sehingga penggunaan manfaat dari seratus tidak jelas; apakah dari jual beli atau pinjaman.
      Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada ribâ yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus.
      Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.
      Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-‘Imrâni tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut.  Yang demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi :
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. { HR. Malik}
2.   Multi akad sebagai hîlah ribâwi
      Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah ribâ fadhl.
                          i.      al-‘înah
      Contoh ‘inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya merupakan hîlah ribâ dalam pinjaman (qardh), karena objek akad semu dan tidak factual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat tidak ditemukan dalam transaksi ini.
      Ibn Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan ribâ fadhl atau ribâ nasa', bukan bertujuan pada harga dan barang.[10]
      Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya ribâ.
                        ii.      Hîlah ribâ fadhl
      Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2 kg beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000) dengan syarat bahwa ia – dengan harga yang sama                      (Rp 10.000)- harus membeli dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih banyak (misalnya 3 kilogram) atau lebih sedikit (misalnya 1 kilogram). Transaksi seperti ini adalah model hîlah ribâ fadhl yang diharamkan.
      Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.
      Maksud hadis di atas, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya.
3.   Multi akad menyebabkan jatuh ke ribâ
      Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti ribâ, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh:
                          i.      Multi akad antara akad salaf dan jual beli
      Seperi dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya mencegah (dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi ribawi.
      Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung ribâ.
                        ii.      Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh)
      Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti contoh, seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta kepada orang lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima pinjaman (muqtaridh), atau muqtaridh memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau kualitas obyk qardh saat mengembalikan. Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur ribâ.
      Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur ribâ di dalamnya. 
4.   Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan
      Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh, atau nikah.
      Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad. Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul. [11] Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhâdah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaki.[12]


[1] Tim Penyusun. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hal 671
[2] Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap. Surabaya : Pustaka Progresif. hal 953
[3] Ttn. 1986. Al-Munjid Fil Lughati. Beirut, Libanon : Darul Masyruq. hal 519
[4] Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi .... Juz 4. hal 2918
[5] Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab .... hal 209
[6] Hasanudin. (2009, Mei 28). Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Ciputat : UIN Syahid. hal 3
[7] Ibid. hal  7
[8] Ibid. hal  13
[9] Ibid. hal 18
[10] Ibid. hal  21
[11] Ibid. hal 23
[12] Ibid. hal 24

Comments

Post a Comment