PENDAHULUAN SKRIPSI : ANALISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUL MANNAN DAN MONZER KAHF DALAM KONSEP KONSUMSI ISLAMI



Ekonomi Islam merupakan sebuah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat dengan berpedoman kepada nilai-nilai ’ilahiyah’ yaitu ajaran Islam yang paripurna (QS.5:3).[1] Defenisi yang dikemungkakan oleh M.A Mannan meletakkan ekonomi Islam ke dalam sebuah disiplin keilmuan. Menurut Muhammad Sholahuddin, ekonomi Islam juga dapat dikatakan sebagai sebuah sistem ekonomi tersendiri. Aspek-aspek yang ada dalam kajian ekonomi Islam juga tidak jauh berbeda dengan sistem ekonomi lainnya, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Muhammad Sholahuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Asas-asas Ekonomi Islam’ menggunakan istilah sistem untuk penyebutan ekonomi Islam dengan harapan agar masyarakat tidak terjebak dalam wacana Islamisasi keilmuan. [2]

Perkembangan ekonomi Islam di dunia dalam tataran praktisi maupun akademis saat ini sangat signifikan. Hal ini ditandai dengan munculnya bank syariah dan menjamurnya lembaga keuangan syariah lainnya di seluruh dunia. Lembaga keuangan syariah merupakan motor dari eksistensi sistem ekonomi Islam  di dunia. Tidak hanya negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang membangun lembaga keuangan syariah (baca : bank syariah), melainkan negara-negara yang notabene bukan negara Islam pun juga turut membangun lembaga keuangan syariah. Misalnya, Singapura. Pemerintah Singapura, sebagaimana diberitakan oleh harian Republika edisi sabtu 11 Juni 2005, bahkan memiliki ambisi untuk menjadi penguasa ekonomi syariah (baca : Islam).

Terkait dengan paragraf di atas, Euis Amalia dalam bukunya ‘Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam’ dan makalah ‘Ekonomi Islam; Konstruksi Ilmu, Pengembangan Sistem dan Kelembangaan’ menuliskan bahwa matinya teori ekonomi (kapitalisme) disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (dua diantaranya):
1.  Teori ekonomi tersebut bertujuan untuk memaksimalkan kepuasan keinginan maximizing satisfaction of wants setiap aktivitas ekonomi yang didukung oleh asumsi pasar persaingan sempurna.
2. Ketidakmampuan teori ekonomi tersebut untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat.

Fenomena pemuasan keinginan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan ‘kanker ganas’ dan telah menjangkiti seluruh aspek ekonomi, seperti produksi, distribusi dan konsumsi. ‘Penyakit’ ekonomi lahir dari eksistensi sistem ekonomi kapitalis di dunia. Contoh dari dampak negatif eksistensi sistem ekonomi kapitalis di dunia adalah dalam aspek konsumsi.

Konsumsi merupakan faktor vital yang mendasari munculnya aktifitas produksi dan distribusi. Tanpa konsumsi tidak mungkin seseorang akan melakukan aktifitas produksi dan distribusi. Sistem ekonomi kapitalis secara langsung telah menyebabkan perilaku konsumsi masyarakat dunia lebih cenderung kepada pemuasan keinginan maximizing satisfaction of wants. Perilaku ini direpesentasikan dengan memaksimalkan pengunaan barang dan jasa maximizing utility yang cenderung bebas nilai. Lambat laun perilaku semacam ini akan bermuara pada munculnya budaya baru dalam perilaku konsumsi masyarakat dunia yaitu hedonisme dan permisivisme. Hedonisme adalah paham yang mengutamakan pemuasan nafsu duniawi semata sedangkan permisivisme adalah paham yang serba membolehkan (mengkonsumsi) segalanya.[3]

Di Indonesia, perilaku konsumtif masyarakat terhadap barang dan jasa tumbuh dan berkembang dikarenakan pengaruh dari arus globalisasi ekonomi (kapitalis) yang masuk ke Indonesia. Ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan semacam shopping mall, industri mode, kawasan hunian mewah, kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba instan (fast food), telepon seluler dan lain sebagainya. Menjamurnya institusi perbelanjaan tersebut mengakibatkan masyarakat Indonesia mendapatkan kemudahan akses pasar untuk berperilaku konsumtif.                                  

Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat terkondisikan dengan paradigma yang menganggap bahwa konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan memanfaatkan nilai guna suatu barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan tetapi konsumsi juga berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, gaya, status atau simbol sosial tertentu.[4]

Sebuah studi yang dilakukan oleh Euromonitor International menunjukkan, dalam kurun waktu 25 tahun (1990-2015), rumah tangga Indonesia mengalami revolusi konsumsi yang luar biasa. Belanja konsumen untuk produk AC naik 332 persen, cable TV naik 600 persen, kamera naik 471 persen, sepeda motor naik 17.430 persen, mesin cuci piring naik 291 persen, dan telepon naik 1.643 persen[5]. Dengan kata lain,  dalam sebuah keluarga tidak cukup kalau hanya memiliki satu TV, satu sepeda motor atau bahkan satu mobil.  

Data lain menunjukkan, saat ini para pengusaha kartu kredit di Indonesia sigap untuk melakukan expansi terhadap kartu kredit. Kartu kredit merupakan media ekuitas yang diciptakan oleh bankir-bankir untuk menopang kegiatan perbelanjaan bagi masyarakat di Indonesia. Menurut mereka, expansi kartu kredit di Indonesia saat ini sedang dilakukan secara besar-besaran, hal ini ditunjang dengan kebiasaan orang Indonesia yang sangat konsumtif. Banyak orang-orang Indonesia yang termasuk ‘berpenyakit’ belanja atau Impulsive Shopper. Target pasar ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para penerbit kartu kredit untuk mendapatkan nasabah-nasabah yang ‘gila’ belanja di Indonesia[6].

Masalah lain yang ditimbulkan dari eksistensi ekonomi kapitalis adalah ketimpangan distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan yang buruk, mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang tinggi, baik kesenjangan pendapatan maupun kesenjangan kesempatan. Berdasarkan angka koefisien Gini (indikator standar untuk mengukur ketimpangan), Indonesia ternyata termasuk ke dalam 30 negara yang paling merata sedunia (diperingkat dari data Bank Dunia, World Development Indicator 2002). Dengan angka koefisien Gini sebesar 0,32 (peringkat ke 26) berarti Indonesia sejajar dengan negara-negara bekas komunis seperti Slowakia, Belarusia, dan Hongaria.[7] Angka 0,32 menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia sangat parah. Sebab, besaran angka koefisien Gini yang ditorerir adalah maksimal 0,3/ 0,30.

"Sesuai dengan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, nilai koefisien Gini Indonesia tahun 2010 menurun menjadi 0,33 (sebelumnya 0,36 pada tahun 2009). Nilai koefisien Gini Indonesia menurun sejak tahun 2008, hal tersebut menunjukkan sejak tahun 2008, tingkat kemerataan pendapatan Indonesia semakin merata. (versi pemerintah)."


"Tingkat 'koefisien gini' negara kita terus menerus berkisar di angka 0,3 setiap tahunnya. Ini memperlihatkan ekonomi Indonesia sebenarnya mandek," kata Mantan Menteri Perekonomian Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam Orasi Ilmiah "Garis-garis Besar Masalah Kependudukan Indonesia dan Kebijakan-kebijakan Penyelesaiannya" di Kantor BKKBN, Jakarta, Rabu (4/8/2010).


Masalah ketimpangan distribusi pendapatan yang ditunjang oleh perilaku konsumtif sebagian besar masyarakat Indonesia lambat laun akan menjadi paradoks bagi perekonomian tanah air. Sangat ironi bilamana masyarakat Indonesia disibukkan oleh aktivitas konsumtif dengan kemudahan akses pasar dan ekuitas, sedangkan di sisi lain penduduk miskin di Indonesia makin bertambah, distribusi pendapatan dan kekayaan semakin tidak merata, penyakit-penyakit kekurangan gizi merebak di seluruh penjuru negeri ini dan lain sebagainya. Fenomena tersebut merupakan dampak dari eksistensi ekonomi kapitalisme yang telah diadopsi Indonesia. 

Menurut penulis, penyebab dari pesatnya perkembangan ekonomi Islam di dunia sangat dilatarbelakangi oleh adanya faktor-faktor penyebab matinya teori ekonomi, sebagaimana yang dituliskan oleh Euis Amalia pada paragraf di atas, yang terlihat begitu nyata menghancurkan sendi-sendi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Ekonomi Islam hadir di dunia sebagai solusi untuk memperbaiki kerusakan perekonomian yang disebabkan oleh eksistensi ekonomi kapitalisme. Ekonomi Islam hadir untuk memperbaiki moral ekonomi masyarakat dunia serta meluruskan asumsi-asumsi ekonomi dunia ke arah asumsi ‘ilahiah’ yang tidak bebas nilai

Lantas bagaimanakah ekonomi Islam memperbaiki moral ekonomi dan meluruskan asumsi ekonomi yang telah nyata menjadi ‘penyakit ekonomi’ sebagaimana paragraf di atas? 

Seluruh kegitan ekonomi dalam Islam bukanlah sebuah tujuan akhir dari kehidupan melainkan hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang tinggi, yaitu falah.[8].

Dalam aspek konsumsi, Muhammad Abdul Mannan menyatakan bahwa konsumsi (baca: proses konsumsi) merupakan bagian yang sangat penting dalam kajian ekonomi Islam[9]. Baginya kegiatan konsumsi tidak hanya sekedar bagaimana menggunakan hasil produksi. Lebih dari itu, konsumsi Islami harus dapat menciptakan sebuah distribusi pendapatan dan kekayaan (ekonomi) yang adil. Keberadaan segala bentuk pelarangan konsumsi barang mewah dalam Islam tanpa disertai redistribusi kekayaan dan pendapatan tidak akan sama sekali menyelesaikan masalah-masalah ekonomi.[10]

Dalam analisis lain, Monzer Kahf mengaitkan kegiatan konsumsi dalam Islam dengan rasionalisme Islam, konsep falah, dan skala waktu. Khaf menyatakan, konsumsi dalam Islam berimplikasi pada dua tujuan, yaitu duniawi dan ukhrawi. Baginya, memaksimalkan pemuasan (kebutuhan) tidaklah dikutuk dalam Islam selama kegiatan tersebut tidak melibatkan hal-hal yang merusak.[11] 

Muhammad Abdul Mannan adalah tokoh mainstream ekonomi Islam. Ia mendapatkan gelar doktor di bidang Industri dan Keuangan dari Michigan State University pada tahun 1973. Kontribusinya yang nyata dalam ekonomi Islam adalah karyanya yang fenomenal yaitu Islamic Economics;Theory and Practice yang diterbitkan pada tahun 1970. Buku Mannan ini dipandang sebagai litetratur Ekonomi Islam pertama yang mengulas ekonomi Islam secara komprehensif. Atas karya (Islamic Economics) ini, Muhammad Abdul Mannan mendapat penghargaan pemerintah pakistan sebagai highest academic award of pakistan pada tahun 1974. Penghargaan ‘bergengsi’ ini bagi Mannan setara dengan  hadiah Pulitzer penulis di Eropa dan Amerika.[12]

Monzer Kahf adalah seorang guru besar ekonomi Islam dan perbankan di The Garduate Programe of Islamic Economics and Banking, Universitas Yarmouk di Jordan. Ia meraih gelar Ph.D untuk ilmu ekonomi spesialisasi ekonomi International dari University of Utah, USA pada tahun 1975. Pada tahun 1978, Kahf  menyelesaikan buku pertamanya tentang ekonomi Islam berjudul ”The Islamic Economy : Analytical Study of The Functioning of The Islamic System.” hingga saat ini, Kahf aktif sebagai penulis, konsultan, trainer dan dosen dalam ilmu ekonomi, keuangan dan perbankan.[13].

M.A. Mannan dan Monzer Kahf memang memiliki latar belakang keilmuan yang sama, yaitu ekonomi. Namun, spesialisasi keilmuan mereka jelas berbeda.  Pemikiran Mannan terhadap ekonomi Islam merupakan hasil analisanya terhadap fungsi ekonomi itu sendiri yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip Islam. Sementara itu, pemikiran Monzer Kahf tentang ekonomi Islam secara nyata memisahkan kajian fiqh muamalat dengan kajian ekonomi Islam serta berlandaskan pada nilai-nilai universal. Bila dilakukan kajian komparasi pemikiran kedua cendikiawan khususnya aspek konsumsi tentu akan menghasilkan sebuah pemahaman yang komprehensif mengenai konsep konsumsi Islam yang maslahat.

Dengan bertitik tolak pada pemaparan di atas, maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kedua tokoh ekonomi Islam tersebut yang dituangkan ke dalam skripsi berjudul “ANALISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUL MANNAN DAN MONZER KAHF DALAM KONSEP KONSUMSI ISLAMI”




[1] Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice Foundation of Islamic Economics (England : Hodder and Stoughton Ltd, 1986), h. 18 
[2] Muhammad Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 7 dan h. 32-33
[3] Hari Mukti, Ubah Pola Pikir Hedonisme, Materi ceramah yang diakses dari www.antara.co.id/arc/2007/9/27/hari-moekti-ubah-pola-pikir-hedonisme.
[4] Sonarja Lahmanindra. Kampanye Konsumerisme di Kalangan Remaja Bandung, Artikel yang diakses dari http://digilib.unikom.ac.id/go.php?id=jbptunikompp-gdl-s1-2006-sonarjalah-3065.
[5] Kharies. Konsumerisme Menjebak Bangsa Indonesia ke Dalam Kapitalisme. Artikel yang diakses dari http://ardian.awardspace.info/detail.php?recordID=2.
[6] Aidil Akbar Majid, Yang Tidak Diketahui dari Kartu Kredit, Artikel edisi Minggu 8 April 2007 yang diakses dari http://www.mediakonsumen.com/Artikel460.html.
[7] Arif Anshory Yusuf, Mengkaji Lagi Ketimpangan Di Indonesia, Artikel Koran edisi kamis 14 September 2006 yang diakses dari http://www.kompas.com / kompas-cetak/ 0609/14/ opini/ 2953496. htm.
[8] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Terj. Zainul Arifin dan Dahlia Husin (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), h. 33
[9]Muhammad Abdul Mannan, Economic Development and Social Peace in Islam (Bangladesh : Bangladesh Social Peace Foundation,1989), h. 34
[10] Mannan, Islamic Economics, h. 44
[11] Monzer Kahf. Ekonomi Islam : Telaah Analitik terhadap Fungsi dan Sistem Ekonomi Islam. Terj. Machnul Husein (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. 28
[12] Luqman. Biografi M.A Mannan. Artikel yang diakses melalui maillis ekonomi-syariah dari http://luqmannomic.wordpress.com/2007/09/18/dr-abdul-mannan/. 21 November 2007.
[13] Djaka Heru Priono. Konsep Ekonomi Islam Baqir Sadr dan Monzer Kahf : Sebuah Studi Komparasi. ( Skripsi S-1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 33-34


Comments