EKONOMI ISLAM : KONSEP KONSUMSI MANAN & KAHF



Ekonomi Islam merupakan sebuah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat dengan berpedoman kepada nilai-nilai ’ilahiyah’ yaitu ajaran Islam yang paripurna (QS. al-Mâidah / 5:3). Defenisi yang dikemungkakan oleh M.A Mannan meletakkan ekonomi Islam ke dalam sebuah disiplin keilmuan. Menurut Muhammad Sholahuddin, ekonomi Islam juga dapat dikatakan sebagai sebuah sistem ekonomi tersendiri. Aspek-aspek yang ada dalam kajian ekonomi Islam juga tidak jauh berbeda dengan sistem ekonomi lainnya, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Muhammad Sholahuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Asas-asas Ekonomi Islam’ menggunakan istilah sistem untuk penyebutan ekonomi Islam dengan harapan agar masyarakat tidak terjebak dalam wacana Islamisasi keilmuan.
Perkembangan ekonomi Islam di dunia dalam tataran praktisi maupun akademis saat ini sangat signifikan. Hal ini ditandai dengan munculnya bank syariah dan menjamurnya lembaga keuangan syariah lainnya di seluruh dunia.     

Lembaga keuangan syariah merupakan motor dari eksistensi sistem ekonomi Islam  di dunia. Tidak hanya negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang membangun lembaga keuangan syariah (baca : bank syariah), melainkan negara-negara yang notabene bukan negara Islam pun juga turut membangun lembaga keuangan syariah. Misalnya, Singapura. Pemerintah Singapura, sebagaimana diberitakan oleh harian Republika edisi sabtu 11 Juni 2005, bahkan memiliki ambisi untuk menjadi penguasa ekonomi syariah (baca : Islam).

Terkait dengan paragraf di atas, Euis Amalia dalam bukunya Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam’ dan makalah ‘Ekonomi Islam; Konstruksi Ilmu, Pengembangan Sistem dan Kelembangaan’menuliskan bahwa matinya  teori ekonomi (kapitalisme) disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (dua di antaranya):
  1. Teori ekonomi tersebut bertujuan untuk memaksimalkan kepuasan keinginan maximizing satisfaction of wants setiap aktivitas ekonomi yang didukung oleh asumsi pasar persaingan sempurna.
  2. Ketidakmampuan teori ekonomi tersebut untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat.
Fenomena pemuasan keinginan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan ‘kanker ganas’ dan telah menjangkiti seluruh aspek ekonomi, seperti produksi, distribusi dan konsumsi. ‘Penyakit’ ekonomi ini lahir dari eksistensi sistem ekonomi kapitalis di dunia. Contoh dari dampak negatif eksistensi sistem ekonomi kapitalis di dunia adalah dalam aspek konsumsi.

Konsumsi merupakan faktor vital yang mendasari munculnya aktifitas produksi dan distribusi. Tanpa konsumsi tidak mungkin seseorang akan melakukan aktifitas produksi dan distribusi. Sistem ekonomi kapitalis secara langsung telah menyebabkan perilaku konsumsi masyarakat dunia lebih cenderung kepada pemuasan keinginan maximizing satisfaction of wants. Perilaku ini direpesentasikan dengan memaksimalkan pengunaan barang dan jasa maximizing utility yang cenderung bebas nilai. Lambat laun perilaku semacam ini akan bermuara pada munculnya budaya baru dalam perilaku konsumsi masyarakat dunia yaitu hedonisme dan permisivisme. Hedonisme adalah paham yang mengutamakan pemuasan nafsu duniawi semata sedangkan permisivisme adalah paham yang serba membolehkan (mengkonsumsi) segalanya.
Di Indonesia, perilaku konsumtif masyarakat terhadap barang dan jasa tumbuh dan berkembang dikarenakan pengaruh dari arus globalisasi ekonomi (kapitalis) yang masuk ke Indonesia. Ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan semacam shopping mall, industri mode, kawasan hunian mewah, kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba instan (fast food), telepon seluler dan lain sebagainya, sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan kemudahan akses pasar untuk berperilaku konsumtif.

Dengan demikian, masyarakat Indonesia dapat terkondisikan dengan paradigma yang menganggap bahwa konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan memanfaatkan nilai guna suatu barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan tetapi konsumsi juga berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, gaya, status atau simbol sosial tertentu.

Berdasarkan data pengeluaran konsumsi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukkan bahwa selama periode 2005 – 2007 secara agregat terjadi kenaikan pengeluaran konsumsi masyarakat. Kenaikan pengeluaran konsumsi terjadi pada komoditas bukan makanan (meliputi; property, pakaian, barang tahan lama, elektronik dll ) sebesar 5,3%, yaitu dari 41,53% pada tahun 2002 naik menjadi 50,76% pada tahun 2007. Sedang pengeluaran konsumsi untuk makanan cenderung mengalami penurunan sebesar 15,5%, yaitu dari 58,47 % padatahun 2002 turun menjadi 49,24% pada tahun 2007.  

Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Euromonitor International menunjukkan, dalam kurun waktu 25 tahun (1990-2015), rumah tangga Indonesia mengalami revolusi konsumsi yang luar biasa. Belanja konsumen untuk produk AC naik 332 persen, cable TV naik 600 persen, kamera naik 471 persen, sepeda motor naik 17.430 persen, mesin cuci piring naik 291 persen, dan telepon naik 1.643 persen. Dengan kata lain,  dalam sebuah keluarga tidak cukup kalau hanya memiliki satu TV, satu sepeda motor atau bahkan satu mobil. 

Masalah lain yang ditimbulkan dari eksistensi ekonomi kapitalis adalah ketimpangan distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan yang buruk, mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang tinggi, baik kesenjangan pendapatan maupun kesenjangan kesempatan. Tingkat ketimpangan pendapatan di masyarakat dapat diketahui dengan menggunakan indeks gini.

Berdasarkan Indeks Gini versi BPS ternyata ketimpangan pendapatan di Indonesia mengalami peningkatan yaitu 0,32 pada tahun 2002 menjadi 0,364 pada tahun 2007. Nilai indeks gini sebesar 0,364 menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia sangat parah. Sebab, besaran angka indeks  Gini yang ditorerir adalah maksimal 0,3/ 0,30. sementara itu, provinsi Papua, Gorontalo dan Banten merupakan provinsi yang masuk dalam kategori ketimpangan pendapatan yang tinggi, yaitu sebesar 0,42 (Papua), 0,388 (Gorontalo) dan 0,365 (Banten).

Sementara itu, berdasarkan data indeks gini versi Faisal Basri, dapat diketahui bahwa tren kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia memang benar terjadi. Hanya saja data yang dirujuk oleh pengamat ekonomi tersebut menunjukkan bahwa nilai indeks gini pada tahun 2007 lebih tinggi sebesar 0,376 ketimbang data yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia sebesar 0,364.

Berangkat dari pemaparan di atas terlihat bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat indonesia secara nyata tidak sinergis dengan upaya pemerataan (resdistribusi) pendapatan di kalangan masyarakat. Artinya, pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia naik dan tingkat ketimpangan pendapatan juga naik. Bilamana pemerintah meng-klaim bahwa konsumsi agregat Indonesia saat ini mengalami kenaikan, berarti telah tercipta sebuah kenaikan konsumsi yang semu (tidak berkeadilan), yaitu konsumsi agregat yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki pendapatan menengah dan kaya. Sangat ironi bilamana masyarakat Indonesia disibukkan oleh aktivitas konsumtif dengan kemudahan akses pasar dan ekuitas, sedangkan di sisi lain penduduk miskin di Indonesia makin bertambah, distribusi pendapatan dan kekayaan semakin tidak merata, penyakit-penyakit kekurangan gizi merebak di seluruh penjuru negeri ini dan lain sebagainya.

Menurut penulis, penyebab dari pesatnya perkembangan ekonomi Islam di dunia sangat dilatarbelakangi oleh adanya faktor-faktor penyebab matinya teori ekonomi, sebagaimana yang dituliskan oleh Euis Amalia pada paragraf di atas, yang terlihat begitu nyata menghancurkan sendi-sendi perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Lantas bagaimanakah ekonomi Islam memperbaiki moral ekonomi dan meluruskan asumsi ekonomi yang telah nyata menjadi ‘penyakit ekonomi’ sebagaimana paragraf di atas? 

Ekonomi Islam hadir di dunia sebagai solusi untuk memperbaiki kerusakan perekonomian yang disebabkan oleh eksistensi ekonomi kapitalisme. Ekonomi Islam hadir untuk memperbaiki moral ekonomi masyarakat dunia serta meluruskan asumsi-asumsi ekonomi dunia ke arah asumsi ‘ilahiah’ yang tidak bebas nilai. Seluruh kegitan ekonomi dalam Islam bukanlah sebuah tujuan akhir dari kehidupan melainkan hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang tinggi, yaitu falah..
 Dalam aspek konsumsi, Muhammad Abdul Mannan menyatakan bahwa konsumsi (baca: proses konsumsi) merupakan bagian yang sangat penting dalam kajian ekonomi Islam. Baginya kegiatan konsumsi tidak hanya sekedar bagaimana menggunakan hasil produksi. Lebih dari itu, konsumsi Islami harus dapat menciptakan sebuah distribusi pendapatan dan kekayaan (ekonomi) yang adil. Keberadaan segala bentuk pelarangan konsumsi barang mewah dalam Islam tanpa disertai redistribusi kekayaan dan pendapatan tidak akan sama sekali menyelesaikan masalah-masalah ekonomi.
Dalam analisis lain, Monzer Kahf mengaitkan kegiatan konsumsi dalam Islam dengan rasionalisme Islam, konsep falah, dan skala waktu. Kahf menyatakan, konsumsi dalam Islam berimplikasi pada dua tujuan, yaitu duniawi dan ukhrawi. Baginya, memaksimalkan pemuasan (kebutuhan) tidaklah dikutuk dalam Islam selama kegiatan tersebut tidak melibatkan hal-hal yang merusak.

Muhammad Abdul Mannan adalah tokoh mainstream ekonomi Islam. Ia mendapatkan gelar doktor di bidang Industri dan Keuangan dari Michigan State University pada tahun 1973. Kontribusinya yang nyata dalam ekonomi Islam adalah karyanya yang fenomenal yaitu Islamic Economics;Theory and Practice yang diterbitkan pada tahun 1970. Buku Mannan ini dipandang sebagai litetratur Ekonomi Islam pertama yang mengulas ekonomi Islam secara komprehensif. Atas karya (Islamic Economics) ini, Muhammad Abdul Mannan mendapat penghargaan pemerintah pakistan sebagai highest academic award of pakistan pada tahun 1974. Penghargaan ‘bergengsi’ ini bagi Mannan setara dengan  hadiah Pulitzer penulis di Eropa dan Amerika.

Monzer Kahf adalah seorang guru besar ekonomi Islam dan perbankan  di The Garduate Programe of Islamic Economics and Banking, Universitas Yarmouk di Jordan. Ia meraih gelar Ph.D untuk ilmu ekonomi spesialisasi ekonomi International dari University of Utah, USA pada tahun 1975. Pada tahun 1978, Kahf  menyelesaikan buku pertamanya tentang ekonomi Islam berjudul ”The Islamic Economy : Analytical Study of The Functioning of The Islamic System.” hingga saat ini, Kahf aktif sebagai penulis, konsultan, trainer dan dosen dalam ilmu ekonomi, keuangan dan perbankan.

M.A. Mannan dan Monzer Kahf memang memiliki latar belakang keilmuan yang sama, yaitu ekonomi. Namun, spesialisasi keilmuan mereka jelas berbeda.  Pemikiran Mannan terhadap ekonomi Islam merupakan hasil analisanya terhadap fungsi ekonomi itu sendiri yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip Islam. Sementara itu, pemikiran Monzer Kahf tentang ekonomi Islam secara nyata memisahkan kajian fiqh muamalat dengan kajian ekonomi Islam serta berlandaskan pada nilai-nilai universal. Bila dilakukan kajian komparasi pemikiran kedua cendikiawan khususnya aspek konsumsi tentu akan menghasilkan sebuah pemahaman yang komprehensif mengenai konsep konsumsi Islam yang maslahat.


Comments