AKAD RAHN (Resume)



2.2.1  Defenisi

Menurut bahasa, rahn (ﺮﻫﻥ) berarti tetap, kekal dan berkesinambungan. Rahn juga bermakna al-habsu (ﺍﻟﺤﺒﺲ) yang berarti menahan atau jaminan[1].

Akad rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.[2]

Secara terminologi ada beberapa defenisi rahn yang dikemungkakan oleh ulama fiqh : Pertama, Ulama Malikiyah mendefenisikannya dengan [3] :

“Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”

Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan bukan hanya harta yang bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat tertentu.
      Kedua, Ulama Hanâfiyah mendefenisikannya dengan[4] ;

“Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian dari barang tersebut”

      Ketiga, Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah mendefenisikannya dengan [5];

“Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utang”

Defenisi yang dikemungkakan oleh Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang hanyalah yang bersifat materi; tidak termasuk manfaatnya, sekalipun manfaat itu menurut mereka termasuk dalam pengertian harta[6].

Ke-empat, dalam Fatwa DSN MUI nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, rahn didefenisikan dengan :
“Menahan barang sebagai jaminan atas utang”

Ke- lima, merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 20 ayat 14 dinyatakan bahwa Rahn/gadai adalah :
”Penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.”

2.2.2  Dasar Hukum
  1. Firman Allah :  
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ …

“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ...”  { QS. Al-Bâqarah [2] : 283}.
  1. Hadits Nabi SAW :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ  إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ.


“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”  {HR. Bukhâri dan Muslim dari ‘Aisyah r.a }


2.2.3  Rukun Akad Rahn
      Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut Jumhur Ulama rukun rahn ada empat, yaitu[7] ;
  1. Pihak yang berakad : yang menggadaikan/pemberi gadai (râhin) & yang menerima gadai (murtahin)
  2. Objek yang digadaikan (marhun)
  3. Hutang (marhun bih)
  4. Ijab qabul (sighat)
Ulama Hanâfiyah berpendapat bahwa rukun rahn hanya sighat ijab dan qabul, sedangkan 3 (tiga) lainnya bukan merupakan rukun dari akad rahn. Di samping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan al-qabdh (penyerahan barang) oleh pemberi utang. [8]

2.2.4  Syarat Sah Akad Rahn
      Agar pelaksanaan akad rahn sempurna, berikut beberapa syarat dari sahnya akad rahn :     
  1. Syarat Pihak yang berakad [9]   :
     i.   Cakap hukum ( Baligh & Berakal ), anak yang tergolong mumayyiz & tidak dalam keadaan gila.
    ii.   Tidak sepihak, khusus untuk akad rahn dalam konteks perwalian.
    iii.   Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa / terpaksa /dibawah tekanan.
  1. Syarat Obyek yang diagunkan [10]:
     i.   Barang itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan dalam Islam (mâl mutaqawwim)
     ii.   Barang itu ada pada waktu akad[11].
    iii.   Barang itu milik sah & sempurna dari râhin (milk al-tâm) atau Barang itu tidak terkait dengan hak orang lain.
     iv.   Barang itu jelas dan tertentu.
    v.   Barang itu dapat diserahkan baik materi maupun manfaatnya
  1. Syarat Utang (marhun bih)[12]:
    i.   Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi utang, meliputi hutang uang atau hutang barang.
   ii.   Utang itu boleh dilunasi dengan barang yang diagunkan, sebab barang itu merupakan jaminan atas utang.
  iii.   Utang itu jelas diketahui oleh kedua pihak yang berakad.
  1. Syarat Akad /sighot :
  i.   Tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang. UlamaHanâfiyah menyatakan bahwa apabila akad rahn dibarengi dengan syarat tertentu, atau dikaitkan dengan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal sedangkan akad rahn-nya sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum dibayar, maka akad rahn diperpanjang 1 (satu) bulan ; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Sedangkan, Ulama Hanâbilah, Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan bilamana syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan rahn 1 (satu) bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), tidak boleh menjual agunan jika masa akad rahn telah jatuh tempo, dan orang yang berutang tidak mampu bayar merupakan syarat yang tidak sesuai dengan tabiat akad rahn, karenanya syarat tersebut batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya : pemberi utang meminta agar akad disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.[13]

  ii.   Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 329 ayat 2 dinyatakan : Akad (yang dimaksud dalam ayat (1) di atas harus dinyatakan oleh para pihak dengan cara lisan, tulisan, atau isyarat.

Di samping syarat-syarat di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad rahn baru dianggap sempurna apabila marhun secara hukum sudah ada di tangan pemberi utang. Syarat yang terakhir ini disebut sebagai qabdh al-marhun.[14] Terdapat 2 (dua) syarat dari qabdh al-marhun, yaitu : mendapat izin dari râhin dan dipegang atau telah dipindahtangakan kemurtahin.[15] Hal ini  sesuai dengan firman Allah SWT :

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ …

“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang....”  { QS. Al-Bâqarah [2] : 283}

Ulama Malikiyah menganggap bahwa marhun tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahaanya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan adalah surat jaminan atau sertifikat tanah.[16]

Imam Syafi’i melihat bahwa Allah tidak menetapkan satu hukum kecuali dengan jaminan yang memiliki kriteria jelas dalam serah terima. Apabila kriteria tersebut tidak ada maka hukumnya juga tidak ada. Mazhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad dan bagi orang yang menggadaikan diharuskan menyerahkan barang jaminan untuk dikuasai oleh (murtahin).[17]

Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 331 dinyatakan : ”Akad gadai sempurna bila harta gadai (selanjutnya dibaca : marhun) telah dikuasai oleh penerima gadai (selanjutnya dibaca : murtahin). Pada pasal 332 ayat 1 dinyatakan : “Harta gadai harus bernilai dan dapat diserahkan-terimakan.” Sedangkan, pada pasal Apabila harta gadai belum diserah-terimakan kepada murtahin maka akad rahn yang telah disepakati dapat dibatalkan.  

2.2.5  Jenis Akad Rahn
     
Terdapat 2 (dua) jenis akad rahn yang umumnya dikenal di dalam khazanah Islam yaitu : rahn hiyâzi dan rahn takmîny atau rahn rasmy. Untuk rahn jenis kedua lebih familiar disebut denganrahn tashjîlyRahn hiyâzi adalah akad penyerahan atas hak kepemilikan barang dalam penguasaan pemberi utang. Artinya, posisi marhun dalam rahn hiyâzi berada di tangan pemberi utang. Sedangkan, rahn takmîny atau rahn rasmy adalah akad (rahn) atas barang bergerak dimana pemberi hutang hanya menguasai hak kepemilikan sedangkan fisik barang masih berada dalam penguasaan râhin sebagai penerima hutang.[18]   

2.2.6  Sifat Hukum Akad Rahn

Menurut Fathi ad-Duraini hakikat rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.[19] Akad rahn termasuk ke dalam akadtabarru’, sebab murtahin tidak menerima suatu tambahan apapun dari râhin.[20]

Sesuai dengan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn serta Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 343, bahwa murtahin selaku peneriman harta gadai mempunyai hak untuk menahan marhun sampai semua utang râhin dilunasi. Oleh sebab itu, apabila barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin selaku pemberi utang maka akad rahn bersifat mengikat [21] serta tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh râhin.

2.2.7  Pemanfaatan Marhun

Akad rahn dimaksudkan sebagai bentuk kepercayaan dan jaminan atas pemberian utang, bukan mencari keuntungan dan hasil darinya. Apabila demikian yang berlaku, debitor (murtahin) tidak berhak memanfaatkan barang yang digadaikan sekalipun diizinkan oleh rahin. Memanfaatkan barang gadaian tak ubahnya seperti qirâdh yang menguntungkan dan setiap bentuk qirâdh yang menguntungkan adalah riba. [22]

Jumhur Ulama, selain Ulama Hanâbilah, menyatakan bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan atas piutangnya, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya. Hal ini didasari dari hadits :

لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ.


“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya.  Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” { HR. al-Syafi’I, al-Daruqutni dan Ibnu Majah }

Dalam konteks, izin dari pemilik, sebagian Ulama Hanâfiyah membolehkan pemegang barang untuk memanfaatkan barang tersebut selama ada di tangannya jika telah memperoleh izin dari pemilik barang. Namun, Ulama Malikiyah, Ulama Syafi’iyah dan sebagian Ulama Hanâfiyahlainnya berpendapat sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan ribâ. Dalam masalah ribâ, perizinan dan ridha tidak berlaku. [23]   

Berbeda dengan paragraf di atas, apabila barang yang dijadikan jaminan adalah binatang ternak, maka sebagian Ulama Hanâfiyah membolehkan pemanfaat barang jaminan berupa ternak tersebut jika mendapat izin dari pemilik ternak. Namun, Ulama Malikiyah, Ulama Syafi’iyah dan sebagian Ulama Hanâfiyah lainnya berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanapa diurus oleh pemiliknya, maka murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya atau pun tidak, karena membiarkan hewan itu tersia-sia, dilarang dalam Islam.

Ulama Hanâbilah, berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannnya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan.  

اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَعَلَى الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

"Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."                                              
 { HR. Bukhâri, Tirmidzi, Abu Daud }

Para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan marhun oleh pemilik barang. UlamaHanâfiyah dan Hanâbilah menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan barang miliknya selama ada izin dari murtahin. Namun, Ulama Syafi’iyah berpendapat pemanfaatan marhun olehrâhin sebagai pemilik barang tidak perlu ada izin dari murtahin. Alasannya, marhun adalah tetap menjadi milik râhin dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya.[24]

Berdasarkan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dinyatakan bahwa Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin râhin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Hal tersebut terjadi mengingat marhun dan manfaatnya tetap merupakan milikrâhin.

Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 357 dinyatakan : “Penerima gadai tidak boleh menggunakan harta gadai tanpa seizin pemberi gadai(selanjutnya dibaca : râhin.”

2.2.8  Biaya Perawatan & Pemeliharaan Marhun

Berdasarkan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dinyatakan bahwa Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban râhin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban râhin. Adapun Besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

Dalam fatwa berbeda, yaitu Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dinyatakan bahwa ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (râhin). Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia membuat ketentuan bahwa  besaran ongkos yang dimaksud didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan sedang pengenaan biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 362 dinyatakan : ”Pemberi gadai bertanggung jawab atas biaya penyimpanan dan pemeliharaan harta gadai, kecuali ditentukan lain dalam akad.”

2.2.9  Berakhirnya Akad Rahn
      Akad Rahn akan berakhir apabila[25] :
  1. Marhun diserahkan kepada râhin sebagai pemilik barang. Pendapat ini adalah menurut Jumhur Ulama selain, Ulama Syafi’iyah dikarenakan bagi mereka rahn adalah jaminan atas utang.
  2. Hutang râhin telah lunas seluruhnya.
  3. Penjualan marhun.
  4. Murtahin melakukan pengalihan utang râhin kepada pihak lain.
  5. Karena pembatalan oleh murtahin walaupun tanpa disertai qabul dari râhin, dikarenakan pembatan itu adalah hak dari murtahin.
  6. 6.   Meninggalnya râhin atau murtahin sebelum marhun diserahkan. Pendapat ini adalah dari Ulama Hanâfiyah. Sedangkan, menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanâbilah   hal tersebut tidak menyebabkan batalnya akad. Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 348 ayat 1 dinyatakan : ”Ahli waris yang memiliki kecakapan hukum dapat menggantikan pemberi gadai (baca : râhinyang meninggal”
  7. Musnahnya marhun (di tangan murtahin). Menurut Ulama Hanâfiyah, atas perkara tersebut murtahin dapat dikenakan denda sebesar harga barang minimum atau sebesar utang râhin, sebab hakikatnya marhun adalah amanah yang diberikan kepada murtahin.[26]
  8. Apabila marhun disewakan, dihibahkan dan atau disedekahkan atas seizin pemilik barang.

[1] Wahbah Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi wa adillatuhu, Juz 6. Damaskus : Dâr Fikr al-Mu’asir.  hal 4207

[2] Nasrun Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama. hal  251

[3] Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi .... Juz 6. hal 4208

[4] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 252

[5] Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi .... Juz 6. hal 4207-4208

[6] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 252 lihat juga Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi .... Juz 6. hal 4207

[7] Wahbah Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah al-mu’âshiroh. Damaskus : Dâr Fikr al-Mu’asir. hal 82

[8] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal 83

[9] Ibid. hal 83

[10] Ibid 

[11] lihat juga Buku II Kompilasi Ekonomi Syariah (KHES) Bab XIII tentang Rahn pasal 332 ayat 2 : “Harta gadai harus ada ketika akad dibuat”

[12] Ibid. hal 84

[13] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 255

[14] Ibid.

[15] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal 84

[16] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 252

[17] Sayyid Sabiq. 2008.Fiqhus Sunnah ... hal 188

[18] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal 88

[19] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 259

[20] Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi .... Juz 6. hal 4208

[21] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 255

[22] Sayyid Sabiq. 2008. Fiqhus Sunnah ... hal 188

[23] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 257

[24] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal  259

[25] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal 87 & lihat juga Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi ... Juz 6. hal 4324 - 4326

[26] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal 86


Comments

  1. Apakah ada keuntungan selain tolong menolong(untuk lembaga)..sebagai murtahin..?

    ReplyDelete

Post a Comment