AKAD QARDH (Resume)



2.3.1  Defenisi
    
Qardh secara etimologi adalah al-qath’u (ﺍﻠﻗﻄﻊ) yang berarti potongan.[1] Potongan dalam konteks akad qardh adalah potongan yang berasal dari harta orang yang memberikan uang. Qardh juga bisa berarti salaf [2]

Secara terminologi ada beberapa defenisi qardh yang dikemungkakan oleh ulama fiqh, Pertama, Ulama Hanâfiyah mendefenisikannya dengan :

“Pemberian harta mitsly (kepada seseorang) untuk dikembalikan seperti semula

“Akad yang khusus mengenai penyerahan harta mitsly kepada seseorang untuk kemudian dikembalikan dengan jumlah yang sama”

Harta mitsly (mâl mitsly) adalah harta yang ada jenisnya di pasaran, atau harta yang dapat ditimbang, ditakar seperti gandum, beras, kapas, dan besi.[3] 
     
Kedua, merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia  (DSN-MUI) nomor 19/DSN-MUI/IV/2010 tentang Al-Qardh, dinyatakan qardh adalah ;

Suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah” atau ;

“Pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan”

Ketiga, merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab I tentang Ketentuan Umum pasal 20 ayat 36 dinyatakan bahwa Qard adalah :

“Qard adalah penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.”

2.3.2  Dasar Hukum
  1. Firman Allah, :

يأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ...

"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis..." {QS. Al-Bâqarah [2]: 282}.
  1. Hadits Nabi SAW :
مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ (رواه مسلم.

“Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” { HR. Muslim } 

“Dari Anas bin Malik berkata, berkata Rasulullah SAW : “Aku melihat pada waktu malam di-Isra’-kan, pada pintu surga tertulis : shadaqah dibalas 10 kali lipat dan Qardhh 18 kali. Aku bertanya : ‘Wahai jibril mengapa Qardh lebih utama dari shadaqah?’ Ia menjawab: ‘Karena peminta-minta sesuatu dan  ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan’.” { HR. Ibnu Majah dan Baihaqi }.

Berdasarkan hadits di atas, seluruh umat Islam telah ber-ijma’ tentang kebolehan akad qardh.Akad qardh menjadi sunnah dilakukan oleh orang yang memberi utang dan mubah bagi orang yang menerima utang.[4]

2.3.3  Rukun Akad Qardh
  1. Pihak yang berakad : Orang yang meminjam (Muqtaridh) & Orang yang memberikan pinjaman (muqridh)
  2. Barang / objek pinjaman (qardh)
  3. Ijab qabul (sighat)

2.3.4  Syarat Akad Qardh
      Agar pelaksanaan akad qard sempurna, berikut beberapa syarat dari sahnya akad qard     
  1. Syarat Pihak yang berakad    :
    i.  Cakap hukum ( Baligh & Berakal ) & tidak dalam keadaan gila, payah (sakit) dan perwalian, kecuali dalam kondisi darurat.[5]
   ii. Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa / terpaksa /dibawah tekanan.
  1. Syarat Obyek (qardh) :
   i. Barang itu dapat diukur, ditimbang dan atau ditakar. Barang tersebut termasuk dalam mâl mitsly.(Ulama Hanâfiyah). Sedang menurut Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanâbilah, barang yang tergolong mâl qimy, juga sah menjadi objek akad. Menurut mereka mâl qimy meliputi : emas, perak, makanan, barang perniagaan, dan lain sebagainya.
  ii.   Barang itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan dalam Islam (mâl mutaqawwim)
  1. Syarat Akad /sighot :
  i. Lafadz yang digunakan harus jelas yaitu qardh dan atau salaf.
 ii.  Bagi muqridh, akad ditujukan dalam rangka menolong muqtaridh.

Di samping syarat-syarat di atas, qardh dianggap sempurna apabila harta sudah ada di tangan dan/atau diserah-terimakan kepada penerima hutang. Syarat ini disebut sebagai qabdh.[6] 

2.3.5  Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Akad Qardh
2.3.5.1  Menarik Manfaat dari Akad Qardh

Menurut Ulama Hanâfiyah setiap hutang yang menarik manfaat adalah haram jika diisyaratkan. Namun jika manfaat itu tidak diisyaratkan dan tidak diketahui maka hal tersebut tidak dilarang. Demikian juga dengan pemberian hadiah kepada muqridh, jika disyaratkan maka dilarang. Sebaliknya ketika tidak ada syarat maka, pemberian hadiah itu tidak dilarang.[7]

Menurut Ulama Malikiyah, haram mengambil manfaat dari harta muqtaridh, karena hal tersebut adalah ribâ. seperti menunggang kuda di rumahnya dan makan dirumahnya atas sebab dia (muqtaridh) memiliki hutang. Jika pengambilan manfaat itu bukan disebabkan oleh hutang, seperti penghormatan maka tidak dilarang. Demikian juga haram hukumnya hadiah yang diberikan olehmuqtaridh kepada muqridh dengan maksud untuk menunda pembayaran hutang.[8]

Merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia   (DSN-MUI) nomor 19/DSN-MUI/IV/2010 tentang Al-Qardh, dinyatakan bahwa :
Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.”

2.3.5.2  Menggabungkan Akad Qardh (hutang-piutang) Dengan Kontrak Lain Seperti Kontrak Jual-Beli

Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanablah, (dicontohkan) jika A memberi hutang kepada B dengan syarat B menjual rumahnya kepada A, atau dengan syarat B mengembalikan pinjaman dengan jumlah lebih banyak, maka hal itu dilarang. Sebab, Nabi Muhammad SAW penggabungan melarang jual beli dengan hutang. Akad qardh adalah akad dalam rangka kebajikan, jika diisyaratkan ada manfaat maka ia keluar dari dari substansinya.

2.3.6  Sifat Akad Qardh
      Akad qardh termasuk ke dalam akad tabarru’,[9] karena di dalamnya ada unsur menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Oleh sebab itu, muqridh berhak meminta agar harta yang dipinjam dikembalikan dengan segera. Akad qardh tidak boleh dilakukan secara tangguh agar terhindar dari ribâ al-nâsiah. Namun, menurut Ulama Hanâfiyah, tangguh menjadi boleh dalamqardh karena menyangkut 3 hal : wasiat, ingkar janji, perintah pengadilan dan dalam hiwâlah.[10]


[1] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal  89

[2] Wahbah Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi wa adillatuhu, Juz 5. Damaskus : Dâr Fikr al-Mu’asir. hal 3786

[3] Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. hal 78,  lihat juga Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi ... Juz 5. hal  3792 & Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal  80

[4] Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi ... Juz 5. hal 3787

[5] Ibid. Hal 3792

[6] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal  80

[7] Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi ... Juz 5. hal 3793

[8] Ibid. 3794

[9] Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah... hal  80

[10] Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi ... Juz 5. hal 3788

Comments