HEDONIC TREADMILL

by
Irham Fachreza Anas
member of Sharia Business Intelligence 

"Kenapa makin tinggi pendapatan seseorang, makin susah membentuk kebahagiaan? Saat pendapatan seseorang mencapai Rp 10 juta setiap bulannya, ia sangat bahagia memilik Avanza. Namun, ketika pendapatannya meningkat menjadi Rp 50 juta per-bulan maka kebahagiannya beralih kepada Alphard."

Dalam kajian psikologi keuangan, inilah yang dikenal dengan nama 'Hedonic Treadmill'.
Hedonic Treadmill mengakibatkan ekspektasi dan gaya hidup seseorang akan meningkat sejalan dengan peningkatan kemampuan finansial. Ibarat berjalan di atas treadmill. Seseorang dapat saja meningkatkan kecepatannya dalam berjalan, namun betapa pun cepatnya ia berjalan keberadaannya tetap stagnan di atas treadmill. Alih-alih ingin menjadi yang tercepat justru ia malah tersungkur/terjatuh karena tidak mampu mengimbangi laju treadmill.

Prinsip utama dari Hedonic Treadmill adalah : more is better. Makin banyak mobil yang dimiliki makin bagus. Makin banyak properti yang dibeli makin 'tajir' dan seterusnya hingga seluruh isi bumi ini dimiliki namun tetap tidak membuat bahagia sebelum dapat memiliki langit.

Hedonic Treadmill memberikan akibat yang destruktif dalam kehidupan seseorang, setidaknya menjadi ; Shopaholic 'gila belanja' dan Depresi 'ujungnya gila beneran'.

Pada saat pendapatan seseorang rendah, biasanya ia dapat membedakan dengan jelas antara 'voice of need & want'. Jika kita lapar maka kita akan membeli makanan untuk dimakan, inilah 'voice of need'. Jika kita lapar maka kita hanya dapat makan dengan makanan yang dibeli dari outlet bintang 5 atau kita baru puas jika sudah memakan 5 porsi, maka itulah 'voice of want'.

Orang rasional yang berpendapatan rendah akan berfikir keras untuk membelanjakan uangnya kepada suatu hal yang muncul dari 'voice of want'. Ia akan memilih pembelanjaan yang bersumber dari 'voice of need'. Namun, di saat kemampuan finansialnya telah meningkat maka perbedaan antara keduanya 'voice of need & want' akan terlihat samar secara perlahan. Pembelanjaan tidak lagi hanya berkaitan dengan kebutuhan namun harus dikaitkan dengan simbol untuk menandai perasaan, gaya atau status sosial tertentu. Jika ini telah terjadi, maka kebiasaan 'gila belanja' tidak mungkin bisa terbendung lagi. 

Akibat lain yang lebih mengerikan ; seseorang yang sudah terlanjur dengan gaya hidup 'more is better' tidak mampu lagi mengendalikan 'hasrat belanja' tatkala pendapatannya mulai menurun. Saat itu terjadi, maka hutang menjadi solusi singkat untuk mengatasi 'hasrat belanja' tadi. Hutang baginya merupakan 'additional income' yang diperoleh tanpa memikirkan kemampuan pengembaliannya. Hutang pun kian membengkak, tak jarang orang bisa menjadi depresi karena masalah hutang, baik depresi karena dikejar debt collector maupun depresi karena kehilangan aset yang disita sebagai jaminan hutang.

Cara Mengatasi Hedonic Treadmill.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Hedonic Treadmill mengakibatkan ekspektasi dan gaya hidup seseorang meningkat sejalan dengan peningkatan kemampuan finansial. Apakah hal itu dibenarkan? Saya berpendapat peningkatan ekspektasi dan gaya hidup dapat dibenarkan.

Harus diakui bahwa motivasi seseorang untuk BAHAGIA melalui peningkatan materi merupakan hal yang positif. Motivasi itu akan memacu produktifitasnya dalam kegiatan ekonomi. Jika secara jamak dilakukan, tentunya produktivitas itu akan berdampak positif juga pada perusahaan tempat ia bekerja atau bahkan negaranya. Bukankah muslim yang kuat dari aspek materi, fisik dan keilmuan lebih disukai daripada muslim yang lemah? Sudah seharusnya Kesalehan itu menjadi 'fungsi positif' dari produktifitas seseorang. (QS. 16 : 76)

Permasalahan Hedonic Treadmill adalah pada Alokasi dan Ketamakan. Hal tersebut dapat di atasi dengan 'Caring' dan 'Sharing'. Dua prinsip ini yang menjadi 'early warning system' dalam pengelolaan keuangan guna mengatasi dampak destruktif dari Hedonic Treadmill.

'Caring'

Caring berarti kepedulian terhadap kebutuhan hidup. Baik tingkatan kebutuhan maupun skala waktu dari kebutuhan itu sendiri.Tingkatan kebutuhan seseorang dapat diklasifikasi menjadi 3 hal ; keperluan, kesenangan dan kemewahan.

Keperluan adalah segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar manusia dan wajib dipenuhi ; makanan dan rasa aman (QS. 106 : 4). Oleh Syatibi kebutuhan dasar manusia dikembangkan menjadi 5 hal ; agama, hidup, keturunan, akal/ilmu dan harta.

Kesenangan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menambah kemanfaatan bagi seseorang. Anak kita butuh terhadap ilmu dan hal itu bisa didapat-salah satunya dengan -memasukkannya ke sekolah. Jika kita memiliki pendapatan yang cukup besar, Kita pasti akan lebih senang memilih sekolah bonafit (kurikulum, pendidik dan infrastruktur) untuk anak kita ketimbang sekolah yang terbatas (kurikulum, pendidik dan infrastruktur) dengan biaya yang tentunya lebih mahal.

Kemewahan adalah segala sesuatu yang tidak menambah kemanfaatan fisiologis seseorang. Jika menggunakan pendekatan Maslow, maka kemewahan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk dihargai dan aktualisasi diri.

Kebahagiaan seorang muslim adalah kebahagiaan yang mencakup cakrawala utuh setiap waktu (Kahf, 1997). Jika konsep ini dikaitkan dengan skala waktu dari kebutuhan manusia, maka sesungguhnya kebutuhan manusia terbagi menjadi 2 bagian ; kebutuhan hidup saat ini dan kebutuhan hidup setelah kematian. Dalam perencanaan keuangan keluarga Islami di kenal istilah 'dome of needs' / kubah kebutuhan.

Perencanaan keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini meliputi 13 hal ; Pendidikan, Pernikahan, Simpanan/Investasi, Kebutuhan Rumah Tangga, Masa Pensiun, Kelahiran, Kewajiban Kepada Orang Tua, Budaya Riset (cth ; membaca), Kendaraan, Properti, Pajak, Asuransi dan Kebutuhan Mendesak.  Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup setelah kematian ada 5 hal yang ditawarkan oleh konsep 'dome of needs' ;  Kurban, Haji/Umroh, Zakat, Infaq/Sedekah dan Waqf. Khusus kebutuhan kedua -Hidup setelah Mati- dapat dikembangkan sesuai dengan ajaran keyakinan masing-masing.

Bagaimana jika ada seseorang yang memiliki Mobil Avanza dan ia mengalami kenaikan pendapatan yang cukup besar, namun sampai saat ini ia tercatat belum pernah mendaftar Haji dan juga berkurban? Jika ia peduli terhadap kebutuhan hidup setelah mati, maka besar kemungkinan ia akan memprioritaskan terlebih dahulu alokasi pendapatannya untuk pendaftaran haji dan berkurban ketimbang membeli mobil baru.

'Sharing'
Sharing berarti berbagi. Kebahagiaan sesungguhnya terletak dalam kebaikan (Kahf, 2008). Kebaikan dimaksud adalah sikap positif terhadap kehidupan orang lain dengan berbagi. Tidak ada yang salah dengan motivasi peningkatan materi. Bahkan, sebetulnya hal tersebut dapat menjadi kebaikan jika diseimbangkan dengan tidak melibatkan hal yang negatif dan disertai motivasi berbagi.

Motivasi berbagi materi kepada orang lain yang membutuhkan dapat mengikis sifat tamak materi dalam diri seseorang. Ini penting dicatat, karena sifat tamak materi berkontribusi mengubah seseorang menjadi Shopaholic.

Terkikisnya sifat tamak materi inilah yang membuat gaya hidup seseorang menjadi tidak berlebihan/moderation.

Bagaimana jika ada seseorang yang memiliki pendapatan besar ingin membeli jam tangan mewah 'Rolex'? Jika ditelusuri sebenarnya ia sudah memiliki sejumlah jam tangan lain. Apakah keinginan orang ini harus dilarang dan termasuk pada hal yang berlebihan ?

Saya pribadi tidak bisa melarang orang yang memiliki kemampuan keuangan lebih agar menahan 'hasrat'nya untuk membelanjakan barang mewah. Bisa jadi bagi mereka pembelian barang mewah menjadi suatu kebutuhan untuk ber-aktualisasi di kalangan kaya. Jika mampu secara finansial dan memang benar dibutuhkan, kenapa tidak? Bukankah sudah menjadi sunnatullah ada orang tertentu yang diberi anugerah lebih oleh Allah swt?

Hal penting yang wajib di-ingatkan kepada mereka yang berpendapatan besar adalah sudahkah ia mengalokasikan pendapatannya untuk berbagi kepada orang lain yang membutuhkan? Sikap Tidak Berlebihan bagi saya bukan sekedar mengurangi pemborosan yang tidak perlu.  Sikap Tidak Berlebihan dalam memenuhi kebutuhan hidup sejatinya adalah sikap yang dituntun dengan mengutamakan kepentingan orang lain yang membutuhkan (Mannan, 1984). Anugerah Allah swt adalah milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan anugerah itu berada dalam tangan segelintir orang tertentu tidak berarti dapat mereka manfaatkan sendiri sehingga orang lain tidak memiliki bagian sedikit pun dari anugerah itu. (QS. 36 : 47)

Wallahu a'lam
Selamat menemukan KEBAHAGIAN yang bersahaja, SAHABAT.

QS. 102 ayat 8; "kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)."

Wallahu a'lam

Bagus untuk dibaca :

1. Fakta Ilmiah Mengejutkan tentang Relasi Uang dan Kebahagiaan | Blog Strategi + Manajemen
2. Compulsive vs. Impulsive Shopping



Comments

Post a Comment