SHAHIHKAH, HADITS KULLU QARDHIN JARRA NAF’AN FAHUWA RIBA?


SHAHIHKAH, HADITS KULLU QARDHIN JARRA NAF'AN FAHUWA RIBA? 
oleh : Ust. Irawan



A-  PENGANTAR:

Diskusi tentang fiqih muamalat merupakan topik yang hangat di negeri ini. Salah satu topik yang menarik untuk dikaji dan dibahas adalah terkait dengan isu riba. Para ulama telah bersepakat bahwa setiap tambahan yang dipersyaratkan atas pokok dari hutang adalah riba. Namun terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama dahulu dan kontemper terkait dengan manfaat yang tidak berupa uang yang diperoleh dari akad hutang – piutang (qardh). Pokok penyebab dari munculnya perbedaan pendapat dalam masalah ini, bermula dari perbedaan penafsiran atas hadis nabi SAW:
 كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Artinya: “Setiap akad qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
Terkait dengan topik ini, maka makalah ini ditulis untuk mendapat kejelasan tentang status hadis ini dan penjelasan para ulama tentang kandungan hukumnya.
B-  TAKHRIJ HADIS
1) RIwayat Pertama:
(حديث مرفوع) وَقَالَ  الْحَارِثُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي أُسَامَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ حَمْزَةَ ، أنا سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ ، عَنْ عُمَارَةَ الْهَمْدَانِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا ” .
Artinya: (hadis marfu’) Telah berkata Al-Harits, telah menceritakan kepada kami Hafsh Ibn Hamzah, telah mengabarkan kepada kami Sawwar Ibn Mush’ab dari Umarah Al-Hamdanii, ia berkata saya mendengar dari Ali ra., bahwa Rasul SAW bersabda: “Setiap akad qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
(Vide: Al-Mathalib Al-Aliiyah bi Zawaid Al-Masaniid Ats-Tsamaniyah, AL-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalanii, Kitab An-Nawafiil – Abwab Al-Jum’ah)
2) Riwayat Kedua:
حدثنا حفص بن حمزة أنبأ سوار بن مصعب عن عمارة الهمداني قال سمعت عليا يقول قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : كل قرض جر منفعة فهو ربا
Telah menceritakan kepada kami Hafsh Ibn Hamzah, telah mengabarkan kepada kami Sawwar Ibn Mush’ab dari Umarah Al-Hamdanii, ia berkata saya mendengar dari Ali ra., bahwa Rasul SAW bersabda: “Setiap akad qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
(Vide: Zawa’id Al-Haitsami, No. 437, Jilid 1/hal. 500, Al-harits Ibn Abi Usamah (Al-Hafidz Nurudin Al-Haitsami), Penerbit Markaz Khidmah Al-Sunnah Wal Sirah An-Nabawiyah, Madinah Munawarah, Tahun 1413 H/1992 M, Tahqiq Dr. Husain Ahmad Shalih Al-Bakirii)
3) Riwayat Ketiga:
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ وأبو سعيد بن أبي عمرو قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا إبراهيم بن منقذ حدثني إدريس بن يحيى عن عبد الله بن عياش قال حدثني يزيد بن أبي حبيب عن أبي مرزوق التجيبي عن فضالة بن عبيد صاحب النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال : كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا    
Telah mengabarkan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafidz, dan Abu Sa’id Ibn Abi Amru, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad Ibn Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Ibn Munqidz, telah menceritakan kepadaku Idris Ibn Yahya dari Abdullah Ibn Iyasy, ia berkata telah menceritakan kepadaku Yazid Ibn Abi Habib dari Abi Marzuq At-Tujiibii dari Fadhalah Ibn Ubaid (sahabat Nabi SAW), ia berkata: “Setiap akad qardh (pinjam – meminjam) dengan mengambil manfaat, maka hal itu termasuk salah satu bentuk riba”.
(Vide: Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra, Hadis No. 10715, jilid 5/hal, 349-350, Imam Ahmad Ibn Al-Husain Ibn Ali Ibn Musa – Abu Bakar Al-Baihaqi, Maktabah Dar Al-Baz – Makkah Al-Mukarramah, Tahun 1414 H/1994 M, Tahqiq Muhammad Abdul Qadir Atha)

C-  STATUS PARA PERAWI HADIS:
1)  Harits Ibn Muhammad
Nama: Harits Ibn Muhammad Ibn Dahir, nama kuniyah Abu Muhammad, lebih dikenal dengan nama Harits Ibn Abi Usamah At-Tamimii, tinggal di baghdad dan wasith, termasuk generasi perawi hadis ke 12.
Penilaian para ulama kritikus hadis (ulama al-jarh wa at-ta’dil):
Ahmad Ibn Kamil Asy-Syajari, Ibrahim Ibn Ishaq Al-Harbii, Ibn Abdil Barr Al-Andalusi, Al-Khatib Al-Baghdadi menyatakan ia terpercaya (ثقة)
Ad-Daruqutni menyatakan ia jujur dan terpercaya (صدوق)
Adz-Dzahabi: Al-Hafidz, jujur, ahli ilmu (العالم)
Abu Al-Fath Al-Azdi berkata: ia perawi lemah (ضعيف)
(http://www.islamweb.net/hadith/RawyDetails.php?RawyID=14244)

2)  Hafsh Ibn Hamzah
Namanya Hafsh Ibn Hamzah Adh-Dharir, nama kuniyah Abu Umar, tinggal di kota baghdad, termasuk generasi perawi  hadis ke 10.
Penilaian para ulama kritikus hadis (ulama al-jarh wa at-ta’dil):
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asaqlani:
صدوق
Artinya: Jujur dan terpercaya

Pengarang kitab tahrir Taqrib At-Tahdzib:
مجهول، تفرد بالرواية عنه الحارث بن محمد بن أبي أسامة، ولم يوثقه أحد
Artinya: ia tidak dikenal (majhul), Al-Harits menyendiri dalam meriwayatkan hadis dari Muhammad Ibn Abi Usamah, dan tidak ada seorang ulama-pun yang menilainya tsiqah.
(Vide: http://www.islamweb.net/hadith/RawyDetails.php?RawyID=15476)


3)  Sawwar Ibn Mush’ab
Nama: Sawwar Ibn Mush’ab Al-Hamdani, nama kuniyah: Abu Abdullah. Nasabnya: Al-Kufii & Al-Hamdani, tinggal di kota baghdad dan kufah – Iraq. Aktifitasnya sebagai muadzin masjid. Ia termasuk generasi perawi hadis ke 8.
Penilaian para ulama kritikus hadis (ulama al-jarh wa at-ta’dil):
1- Abu Ahmad Ibn Adi Al-Jurjani:
عامة ما يرويه ليس بمحفوظ وهو ضعيف
Artinya: Secara umum, hadis yang diriwayatkan tidak terjaga, dan ia adalah perawi dhaif

2- Abu Bakar Al-bazar
لين الحديث
Artinya: Hadisnya lemah

3- Abu Bakar Al-Baihaqi
متروك، ومرة: ضعيف لا يحتج به، وفي كتابه القراءة خلف الإمام والسنن الكبرى وقال: ضعيف
Artinya: Hadisnya ditinggalkan. Ia lemah dan hadisnya tidak dijadikan hujah

4- Abu Ja’far Al-Uqaili
لا يتابع على كثير من حديثه
Artinya: Tidak dijadikan hujah, sebagian besar hadisnya.


5- Abu Hatim Ar-Razi:
متروك الحديث لا يكتب حديثه ذاهب الحديث
Artinya: Hadisnya ditinggalkan, tidak ditulis hadisnya, hadisnya tidak bernilai.

6- Abu hatim Ibn Hibban Al-Busti (Abu hatim Ibn Hibban Al-Busti)
كان ممن يأتي بالمناكيرعن المشاهير حتى يسبق إلى القلب أنه كان المتعمد لها
Artinya: Ia termasuk perawi yang kadangkala meriwayatkan hadis mungkar yang populer hingga ia berubah menjadi kebiasaan, hingga penilaian yang terpilih adalah hadisnya mungkar.

7- Abu Dawud As-Sijistani
غير ثقة
Artinya: Ia tidak terpercaya

8- Abu Abdullah Al-Hakim An-Naisaburii
ليس بالقوي عندهم، ومرة يروي عن عطية العوفي الموضوعات
Artinya: Ia tidak termasuk perawi yang kuat menurut ulama ahli hadis, dan pernah meriwayatkan hadis-hadis palsu dari Athiyah Al-Awfii.

9- Abu Nuaim Al-Ashbahanii:
متروك الحديث، الهذلي
Artinya: Hadisnya ditinggalkan, Al-Hudzalii.

10- Ahmad Ibn Hambal:
أنكر الرواية عنه، ومرة: ليس بشئ، ومرة: متروك الحديث
Artinya: Imam Ahmad mengingkari hadisnya, hadisnya lemah, dan ditinggalkan hadisnya.

11- Imam Ahmad Ibn Syu’ib Nasa’i:
متروك الحديث، ومرة: ليس بثقة ولا يكتب حديثه
Artinya: Hadisnya ditinggalkan, bukan perawi terpercaya dan tidak ditulis hadisnya

12- Al-Hafidz Ibn hajar Al-Asqalani
في جزء أبي الجهم عنه مناكير
Artinya: Ia meriwayatkan hadis dalam satu bab – Abi Jahm, serta meriwayatkan hadis-hadis mungkar.

13- Ibn Iraq:
متفق على تركه
Artinya: Disepakati untuk ditinggalkan hadisnya

14- Imam Ad-Daruqutnii:
متروك الحديث، ومرة: ضعيف، ذكره في الضعفاء والمتروكين
Artinya: Hadisnya ditinggalkan, perawi yang lemah, dan ia memasukkan sawar Ibn Mush’ab dalam kitab para perawi hadis dhaif dan yang ditinggalkan.

15- Imam Adz-Dzahabi:
في جزء أبي الجهم عنه مناكير
Artinya; Ia meriwayatkan hadis dalam satu bab – Abi Jahm, serta meriwayatkan hadis-hadis mungkar.

16- Ali Ibn Al-Madini:
ضعيف
Artinya: Perawi yang lemah

17- Imam Bukhari:
يعد من الكوفيين منكر الحديث
Artinya: Dimasukkan dalam perawi kufah yang meriwayatkan hadis mungkar


18- Yahya Ibn Ma’in:
من رواية محمد بن عثمان بن أبي شيبة قال: كان ضعيفا، ومن رواية العباس قال: ضعيف ليس بشيء، ومن رواية ابن أبي مريم قال: لم يكن بثقة ولا يكتب حديثه
Artinya: Dari riwayat Muhammad Ibn Utsman Ibn Abi Syaibah, ia berkata: Sawar Ibn Mush’ab adalah perawi lemah (dhaif), dari riwayat Al-Abbas, ia berkata: ia adalah perawi lemah dan hadisnya tidak ada apa-apanya, dari riwayat Ibn Abi Maryam, ia  berkata: ia tidak termasuk perawi yang terpercaya dan tidak ditulis hadisnya.
(http://www.islamweb.net/hadith/RawyDetails.php?RawyID=18979)

4)  Umarah Al-Hamdanii
Nama: Umarah Al-Hamdanii, menurut para ulama ahli hadits, ia tidak diketahui identitasnya (مجهول الحال).
(http://www.islamweb.net/hadith/RawyDetails.php?RawyID=44301)

Status hadis yang diriwayatkan oleh Ali dari Al-Harits adalah sangat lemah (ضعيف جدا) karena keberadaan Sawwar Ibn Mush’ab dalam sanadnya. Mayoritas ulama kritikus hadis (علماء الجرح و التعديل) menilai Sawwar Ibn Mush’ab sebagai perawi yang lemah dan ditinggalkan hadisnya, serta ada klaim bahwa Sawwar Ibn Mush’ab pernah meriwayatkan hadis-hadis palsu dari Athiyah Al-Awfii, maka pendapat yang terpilih adalah meninggalkan dan tidak menulis hadisnya.

D-  Penilaian Para Ulama Ahli Hadits:

1)  Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalanii:
1227- Hadis:
أن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن قرض جر منفعة
Artinya: “Nabi SAW melarang qardh dengan mengambil manfaat“.

Dalam riwayat lain:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.

Umar Ibn Badr dalam Kitab Al-Mughni berkata:
لم يصح فيه شيء
Artinya: “Tidak ada riwayat shahih tentang hal ini”.

Imam Al-Haramain mengatakan:
إنه صح وتبعه الغزالي
Artinya: riwayat ini shahih dan diikuti oleh Imam Al-Ghazali

Al-Harits Ibn Abi Usamah telah meriwayatkan dalam kitab musnadnya hadis dengan riwayat yang pertama (pent- hadis Ali ra.).

Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Sawwar Ibn Mush’ab dan ia ditinggalkan hadisnya. Imam Al-Baihaqi telah meriwayatkan dalam kitab Al-Ma’rifah dari Fadhalah ra. secara mauquf dengan lafadz:
كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا
Artinya: Setiap qardh yang memberikan manfaat adalah salah satu bentuk riba”

Imam Al-Baihaqi juga meriwayat hadis ini dalam kitab As-Sunan Al-Kubra secara mawquf dari Abdullah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, Abdullah Ibn Salam dan Abdullah Ibn Abbas ra. secara mawquf pula.
(Vide: Talkhis Al-Habiir Fii Ahadits Ar-Rafi’i Al-kabir, Al-Hafidz Ibn hajar Al-Asqalanii, Jilid 3/hal. 34, Al-Madinah Al-Munawarah – Tahun 1384 H, Tahqiq As-Sayid Abdullah Hasyim Al-Yamanii Al-Madanii)


2)  Imam Az-Zaila’ii:

Hadis kedua: Dari Ali ra., ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا
Artinya: “Rasul SAW melarang qardh dengan mengambil manfaat”.

Saya (Az-Zaila’ii) berkata:
رَوَى الْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ فِي ” مُسْنَدِهِ ” حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ حَمْزَةَ أَنَا سَوَّارُ بْنُ مُصْعَبٍ عَنْ عُمَارَةَ الْهَمْدَانِيِّ ، قَالَ : سَمِعْت عَلِيًّا يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ) كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا ( 
Artinya: ”Hadis ini diriwayatkan Al-Harits Ibn Abi Usamah dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Hafsh Ibn Hamzah, telah mengabarkan kepada kami Sawwar Ibn Mush’ab dari Umarah Al-Hamdanii, ia berkata, saya mendengar Ali ra., ia berkata, Rasul SAW bersabda: ” Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.

Terkait dengan jalur riwayat dari Al-Harits Ibn Abi Usamah, maka Abdul Haq menyebutkan hadis ini dalam kitab Ahkamnya dalam Bab Al-Buyuu’. Ia menilai ada cacat dalam sanadnya yaitu pada Sawwar Ibn Mush’ab, dan ia berkata: 

إنَّهُ مَتْرُوكٌ
Artinya: Sawar Ibn Mush’ab adala ditinggalkan hadisnya.

Abu Jahm meriwayatkan hadis ini dalam satu bagian-nya yang telah dikenal (فِيجُزْئِهِ الْمَعْرُوفِ “). Telah menceritakan kepada kami Sawwar Ibn Mush’ab. Penulis kitab At-Tanqih tidak menguatkannya, kecuali dalam satu bagian dari Abu Jahm. Dan ia berkata:
إسْنَادُهُ سَاقِطٌ ، وَسَوَّارٌ مَتْرُوكُ الْحَدِيثِ
Artinya: “Dalam sanadnya ada perawi yang gugur dan Sawwar Ibn Mush’ab adalah ditinggalkan hadisnya”

Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab mushanafnya, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari hajjaj dari Atha’, ia berkata:
كَانُوا يَكْرَهُونَ كُلَّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
Artinya: “mereka (ulama salaf) membenci setiap akad qardh dengan mengambil manfaat” .
(vide: Nashb Ar-Rayah Fii Takhrij Ahadits Al-Hidayah, jilid 9/hal. 357, dalamhttp://www.al-islam.com, dimana halaman berbeda dengan versi cetak).

3)  Imam Shan’anii:

8/814 Dari Ali ra., ia berkata, Rasul SAW bersabda: ”Setiap qardh yang memberikan manfaat adalah riba”. Hadis ini diriwayatkan Al-Harits Ibn Abi Usamah, didalam sanadnya terdapat perawi yang gugur (وإسنادُهُ ساقِطٌ).
Hadis ini memiliki riwayat pendukung yang dhaif (شاهِدٌ ضعيفٌ) yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dari Fadhalah Ibn Abi Ubaid ra.
Hadis ini memiliki riwayat pendukung lain yang mauquf yang diriwayatkan oleh  Imam Bukhari dari Abdullah Ibn Salam ra.
(Vide: Subulus Salam, Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Amiir Ash-Shan’anii, jilid 4/hal. 225, dalam http://www.al-islam.com, nomer halaman berbeda dengan nomer halaman versi cetak) (bersambung)
Penjelasan Syeikh Abdullah Ibn Abdurrahman Al-Basam:
Dari Ali ra., ia berkata, Rasul SAW bersabda:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِباً
Artinya: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
Al-Harits Ibn Abi Usamah (Al-haitsami) meriwayatkan hadis ini, didalam sanadnya terdapat perawi yang gugur (وإسنادُهُ ساقِطٌ), maksudnya:
لأَنَّ فِي إسْنَادِهِ سَوَّارَ بْنَ مُصْعَبٍ الْهَمْدَانِيَّ الْمُؤَذِّنَ الأَعْمَى، وَهُوَ مَتْرُوكٌ.
Artinya: karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Sawwar Ibn Mus’ab Al-Hamdani seorang muadzin buta, dan ia adalah perawi yang hadisnya ditinggalkan (وَهُوَ مَتْرُوكٌ).
Status Hadis Ini Adalah Hadis Sangat Lemah Dhaif (ضَعِيفٌ جِدًّا)
Imam Al-Baghawi mengelurkan hadis ini, lalu ia berkata: telah menceritakan kepada kami Sawwar Ibn Mush’ab dari Umarah dari Ali Ibn Abi Thalib ra. secara marfu’. Sanad hadis ini sangat lemah (ضَعِيفٌ جِدًّا),
Imam Ibn Abdil Hadi berkata:
هذا إسنادٌ سَاقِطٌ، وسَوَّارٌ مَتْرُوكُ الحديثِ
Artinya: Dalam sanadnya terdapat perawi yang gugur (هذا إسنادٌ سَاقِطٌ), dimana Sawar adalah ditinggalkan hadisnya.
Umar Al-Mawshilii berkata:
لم يَصِحَّ فيه شَيْءٌ
Artinya: “tidak ada riwayat shahih tentang hal ini”.
Sekalipun hadis ini dhaif, tapi memiliki riwayat pendukung  berupa hadis-hadis mawquf dari Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, Abdullah Ibn Salam, Fadhalah Ibn Ubaid ra., serta didukung ijma ulama atas hal ini dan mereka mengamalkan hadis ini.




4)  Syeikh Ijlunii:
1991- Hadis:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
Artinya: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
Al-Harits Ibn Abi Usamah meriwayatkan dalam kitab musnadnya dari Ali ra. secara marfu’. Ia berkata dalam kitab At-Tamyiz: dalam sanadnya terdapat perawi yang gugur (وإسناده ساقط ).
Dan telah popular diucapkan oleh masyarakat hadis: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
(vide: Kasyf Al-Khafa’ Wa Muzil Al-Ilbas Amma Usytuhira Min Al-Ahadits Alaa Alsinah An-Nasm, jilid 2/hal. 125, Syeikh Al-Ijlunii, Penerbit Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabii)
5) Imam Al-Manawii
6336 – ( كل قرض جر منفعة ) إلى المقرض ( فهو ربا ) أي في حكم الربا فيكون عقد القرض باطلا فإذا شرط في عقده ما يجلب نفعا إلى المقرض من نحو زيادة قدر أو صفة بطل

Artinya: (Setiap qardh dengan mengambil manfaat) atas peminjam (adalah riba) maksudnya seperti hukum riba, sehingga akad qardh-nya batal, ketika menetapkan syarat dalam akad kepada peminjam dengan sesuatu yang memberikan manfaat, seperti tambahan kadar atau sifat, maka akad tersebut batal.
(Al-Harits) Ibn Abi Usamah dalam musnadnya (dari Ali ra.) amirul mukminin.

Imam As-Sakhawi berkata:
إسناده ساقط
Artinya: dalam sanadnya terdapat perawi yang gugur”.

Saya (Al-Manawi) berkata:
فيه سوار بن مصعب
Artinya: “Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Sawwar Ibn Mush’ab.


Imam Adz-Dzahabi berkata:
قال أحمد والدارقطني : متروك
Artinya: Imam Ahmad dan Ad-Daruqutni berkata: bahwa Sawwar Ibn Mush’ah ditinggalkan hadisnya”
(Vide: Faidhul Qadir No. 6336, jilid 5/hal. 28, Zainuddin Abdurrauf Al-Manawii, Penerbit  Al-Maktabah, At-Tijariyah Al-Kubro –Mesir, tahun 1356 H, ta’liq Majid Al-Hamawii; dan Taysir bi Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir, Jilid 2/Hal. 422, Imam Al-Manawii, Penerbit Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’I – Riyadh, Tahun 1408 H/1988 M, Cetakan ke 3)

6) Syeikh Syamsudin Muhammad Al-Hambalii:
قال أبو الجهضم العلاء بن موسى أبي جمرة حدثنا سوار عن عمارة عن علي ابن أبي طالب قال قال رسول الله كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya: Telah berkata Abu Al-Jahdham Al-Alaa’ Ibn Musa Abi Hamzah, telah menceritakan kepada kami Sawwar Ibn Amarah dari Ali Ibn Abi Thalib ra., ia berkata, telah bersabdanya Rasul SAW: “setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
Dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang gugur (هذا الإسناد ساقط). Sawwar Ibn Mush’ab adalah ditinggalkan hadisnya (وهو متروك)
(Vide: Tanqih At-Tahqiq Fii Ahadits At-Ta’liq, Jilid 3/hal. 3, Syeikh Syamsudin Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abdul Hadi Al-Hambalii, Dar Kutub Al-Ilmiyah Beirut – Lebanon, Tahun 1998, Tahqiq Ayman Shalih Sya’ban)

7)  Syeikh Muhammad Ibn Darwis Al-Huut
1094- Hadis:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
Dalam sanadnya terdapat perawi bernama Sawwar Ibn Mush’ab, dimana ia ditinggalkan hadisnya dan gugur dalam sanad. Sebagian ahli fiqh berargumentasi dengan hadis ini tidak pada tempatnya.
(vide: Asna Al-Muthalib Fii Ahadits Mukhtalafah Al-Maratib, jilid 1/hal. 218, Muhammad Ibn Darwis Ibn Muhammad, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah)

8) Syeikh Ahmad Bushairii:
[2937] وقال الحارث بن محمد بن أبي أسامة: ثنا حفص بن حمزة، أبنا سوار بن مصعب، عن عمارة الهمداني قال: سمعت عليًّا يقول: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: “كل قرض جر منفعة فهو ربا”.

2937- Telah menceritakan kepada kami Hafsh Ibn Hamzah, telah mengabarkan kepada kami Sawwar Ibn Mush’ab dari Umarah Al-Hamdanii, ia berkata saya mendengar dari Ali ra., bahwa Rasul SAW bersabda: “Setiap akad qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
هذا إسناد ضعيف، لضعف سوار بن مصعب الهمداني
Artinya: Sanad hadis ini lemah (dhaif) karena kelemahan Sawwar Ibn Mush’ab Al-Hamdanii.

Hadis ini memiliki riwayat pendukung (شاهد) secara mauquf dari Fadhalah Ibn Ubaid ra., dengan lafadz:
كل قرض جرَّ منفعة فهو وجه من وجوه الربا
Artinya: “Setiab qardh dengan mengambil manfaat adalah salah satu bentuk riba”.

Imam Al-Hakim meriwayatkannya dalam kitab Al-Mustadrak Ala Shahihain, Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan Al-Kubra dengan lafadznya. (Vide: Ittitah Al-Khairah Al-Maharah bi Zawaid Al-Masaniid Al-Asyrah  no. 2937, jilid 3/hal. 115, Ahmad Ibn Abi Bakar Ibn Ismail Al-Bushairii)

9)  Syeikh Muhammad Nashirudin Al-Albani:

a)  9728- Hadis:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.

Imam As-Suyuti mentakhrij hadis ini dari Imam Al-Harits dari Ali ra.

Syeikh Albani berkata: hadis ini dhaif, lihat hadis no. 4244 dalam kitab Dhaif Al-Jami’.
(Vide: Shahih Wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir Wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashirudin Al-Albani, jilid 1/hal. 300, Penerbit Al-Maktab Al-Islamii)

b) 1398- Hadis Dhaif :
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
(Vide: Mukhtashar Irwa’ Al-Ghalil Fii Takhrif Ahadis Manar As-Sabiil, jilid 1/ hal. 274, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Penerbit Al-Maktab Al-Islamii – Beirut, Tahun 1405 H/1985 M)

10)   Penulis Kitab Raudhah Al-Muhaditsin
4124- Dari Ali ra., ia berkata, Rasul SAW bersabda:
كل قرض جر منفعة فهو ربا
Artinya: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba”.
Berkata Al-Hafidz Ibn Hajar dalam kitab Al-Bulugh Al-Maram (jilid 1/hal. 176), Hadis ini diriwayatkan Al-Harits Ibn Abi Usamah, didalam sanadnya terdapat perawi yang gugur (وإسنادُهُ ساقِطٌ).
Hadis ini memiliki riwayat pendukung yang dhaif (شاهِدٌ ضعيفٌ) yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dari Fudhalah Ibn Abi Ubaid ra.
Hadis ini memiliki riwayat pendukung lain yang mauquf yang diriwayatkan oleh  Imam Bukhari dari Abdullah Ibn Salamra.
Catatan: berkata Al-Faqii (jilid 1/hal. 176): dalam sanadnya terdapat Sawwar Ibn Mush’ab.
Imam Nasa’i berkata:
متروك
Artinya: ia ditinggalkan hadisnya.

Berkata Imam Bukhari:
منكر الحديث
Artinya: hadisnya munkar.
(Vide: Raudhah Al-Muhaditsin, jilid 9/hal 274m dalam Maktabah Syamilah)

E-  PENDAPAT PARA ULAMA SALAF ASH-SHALIH

a)      Mengambil Manfaat Dari Qardh Adalah Makruh
14657 – أخبرنا عبد الرزاق قال أخبرنا معمر عن أيوب عن بن سيرين قال كل قرض جر منفعة فهو مكروه قال معمر وقاله قتادة
14657- Telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Mu’amar dari Ayub dari Ibn Siirin, ia berkata: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah dibenci (makruh)”, Mu’amar berkata, ini pendapat qatadah.
14659 – أخبرنا عبد الرزاق قال أخبرنا الثوري عن مغيرة عن إبراهيم قال كل قرض جر منفعة فلا خير فيه
14659- Telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Ats-Tsaurii dari Mughirah dari Ibrahim An-Nakhai, ia berkata: “Setiap qardh dengan mengambil manfaat adalah riba, maka tidak ada kebaikan atasnya”.
(Vide: Mushanaf Abdurrazaq No. 14.657 – 14.659, jilid 8/hal. 145, Penerbit Al-Maktabah AL-Islamii Beirut – Lebanon, Tahun 1403 H, Tahqiq Habiruhman Al-A’dhami)
20072 – حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ حَجَّاجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ : كَانُوا يَكْرَهُونَ كُلَّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Hajaj dari Atha’, ia berkata: “mereka (ulama salaf ash-shalih) membenci setiap qardh dengan mengambil manfaat”
(Vide: Mushanaf Ibn Abi Syaibah No. 20.072, Jilid 5 – Kitab Al-Buyu’ Wal Aqdhiyah Bab Man Kariha Kulla Qardhin Jarra Manfaah)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ إدْرِيسَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ الْحَسَنِ وَمُحَمَّدٍ أَنَّهُمَا كَانَا يَكْرَهَانِ كُلَّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, Telah menceritakan kepada kami Idris dari Hisyam dari Hasan dan Muhammad, keduanya membenci qardh dengan mengambil manfaat ”.
(Vide: Mushanaf Ibn Abi Syaibah, Jilid 5 – Kitab Al-Buyu’ Wal Aqdhiyah Bab Qardh Jarra Manfaah)
b) Mengambil Manfaat Dari Qardh Adalah Riba:
( 4 )  حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ قَالَ : أَقْرَضَ رَجُلٌ رَجُلًا خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ وَاشْتَرَطَ عَلَيْهِ ظَهْرَ فَرَسِهِ فَقَالَ : ابْنُ مَسْعُودٍ : مَا أَصَابَ مِنْ ظَهْرِ فَرَسِهِ فَهُوَ رِبًا .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Waki’,  telah menceritakan kepada kami Ibn Aun dari Ibn Siirin, ia berkata: seorang memberi pinjaman kepada fulan sebesar 500 dirham, dan memberi syarat untuk menunggangi kudanya, kemudian ia berkata: Ibn Mas’ud ra. Berkata: manfaat berupa menunggangi kudanya adalah riba.
(Vide: Mushanaf Ibn Abi Syaibah, Jilid 5 – Kitab Al-Buyu’ Wal Aqdhiyah Bab man Kariha Kulla Qardhin Jarra Manfaah)

F. PENJELASAN IMAM IBN QUDAMAH:
وَلاَ يَجُوزُ اْلإِقْرَاضُ فِي النَّقْدِ وَغَيْرِهِ (بِشَرْطِ) جَرِّ نَفْعٍ لِلْمُقْرِضِ كَشَرْطِ (رَدِّ صَحِيْحٍ عَنْ مُكَسَّرٍ أَوْ) رَدِّ زِيَادَةٍ) أَوْ رَدِّ جَيِّدٍ عَنْ رَدِئٍ وَيَفْسُدُ بِذَلِكَ الْعَقْدُ عَلَى الصَّحِيْحِ لِحَدِيْثِ {كُلُّ قَرْضٍ يَجُرُّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا} وَهُوَ وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا فَقَدْ رَوَى الْبَيْهَقِيُّ مَعْنَاهُ عَنْ جَمْعٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالْمَعْنَى فِيهِ أَنَّ مَوْضُوْعَ الْعَقْدِ اْلإِرْفَاقُ فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ لِنَفْسِهِ حَقًّا خَرَجَ عَنْ مَوْضُوْعِهِ فَمَنَعَ صِحَّتَهُ (وَلَوْ رَدَّ هَكَذَا) أَيْ زَائِدًا فِي الْقَدْرِ أَوْ الصِّفَةِ (بِلاَ شَرْطٍ فَحَسَنٌ بَلْ مُسْتَحَبٌّ لِلْحَدِيْثِ السَّابِقِ )إنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً(وَلاَ يُكْرَهُ لِلْمُقْرِضِ أَخْذُهُ وَلاَ أَخْذُ هَدِيَّةِ الْمُسْتَقْرِضِ بِغَيْرِ شَرْطٍ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَالتَّنَزُّهُ عَنْهُ أَوْلَى قَبْلَ رَدِّ الْبَدَلِ .وَأَمَّا مَا رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى الْحُرْمَةِ فَبَعْضُهُ شُرِطَ فِيهِ أَجَلٌ وَبَعْضُهُ مَحْمُولٌ عَلَى اشْتِرَاطِ الْهَدِيَّةِ فِي الْعَقْدِ وَفِي كَرَاهَةِ الْإِقْرَاضِ مِمَّنْ تَعَوَّدَ رَدَّ الزِّيَادَةِ وَجْهَانِ أَوْجُهُهُمَا الْكَرَاهَةُ
Artinya: “Tidak diperbolehkan meminjamkan uang atau pun yang lain dengan menyertakan syarat untuk mengambil manfaat bagi orang yang meminjami. Seperti syarat mengembalikan mata uang emas (dinar) dan mata uang perak (dirham) yang utuh dari pinjaman mata uang emas (dinar) dan perak (dirham) pecahan, atau mengembalikan disertai dengan adanya tambahan, atau mengembalikan dengan barang yang bagus dari pinjaman barang yang telah usang. Akad tersebut menurut pendapat yang shahih menjadi rusak berdasarkan hadits, “Setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba”. Meskipun hadits tersebut lemah. Hadits terebut diriwayatkan maknanya oleh al-Baihaqi dari sekelompok sahabat. Maksud dari hadits tersebut adalah “pokok pembicaraan dalam akad itu adalah mengambilan manfaat”. Jika seseorang mensyaratkan suatu hak untuk dirinya yang keluar dari pokok akad yang dapat mencegah keabsahan akad, seperti mengembalikan dengan adanya tambahan dalam ukuran atau sifatnya tanpa adanya syarat, maka diperbolehkan bahkan disunahkan menurut hadits yang telah lalu, “Sebaik-baik pinjaman diantara kalian adalah yang paling baik pengembaliannya”. Dan tidak dimakruhkan mengambil tambahan atau hadiah dari orang yang meminjam yang tidak disertai dengan syarat. Al-Mawardi berkata, “Menjauhi hal tersebut lebih utama sebelum pengembalian ganti”. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan yang lain, yang menunjukkan pada pengharaman, karena sebagian disyaratkan adanya jangka waktu, dan sebagian lagi memuat syarat adanya hadiah pada saat terjadi akad.Mengenai hukum makruh pinjaman pada orang yang biasanya meminta tambahan (pent- berupa manfaat) terdapat dua pendapat. Kedua-duanya menunjukkan adanya hukum makruh”. (Vide: Mughni al-Muhtaj, Imam Ibn Qudamah, jilid II/hal. 119)

G.  STATUS HUKUM HADITS MAUQUF
Secara bahasa :
اسم مفعول من ” الوَقف ” كأن الراوي وقف بالحديث عند الصحابي، ولم يتابع سرد باقي سلسلة الإسناد
Artinya: Mauquf merupakan isim maf’ul dari kata al-waqfu (berhenti), seperti seorang perawi yang menghentikan hadits pada sahabat, dan tidak mengikutkan sisa dari silsilah (mata rantai) sanad.
Secara istilah :
ما أُضِيف إلى الصحابي من قول أو فعل أو تقرير
Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan”.
Penjelasan Istilah :
أي هو ما نُسِبَ أو أُسْنِدَ إلى صحابي أو جَمْع من الصحابة سواء كان هذا المنسوب إليهم قولا أو فعلا أو تقريراً ، وسواء كان السند إليهم متصلا أو منقطعاً .
Artinya: “Yaitu sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan; dan baik berupa sanad yang sampai kepada mereka itu secara muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus)”.
Contoh :
1) Mauquf pada perkataan; perkataan rawi : Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib ra.:
حدثوا الناس بما يعرفون ، أتريدون أن يُكَذَّبَ الله ورسولُهُ
Artinya: “Sampaikanlah kepada manusia sesuai dengan yang mereka ketahui. Apakah engkau menginginkan Allah SWT dan Rasul-Nya didustakan ?” 
2) Mauquf pada perbuatan; perkataan Imam Al-Bukhari :
وأَمَّ ابنُ عباس وهو متيمم
Artinya: “Ibnu ‘Abbas ra. mengimami (shalat), dalam keadaan ia bertayamum” 
3) Mauquf taqrir; seperti halnya perkataan sebagian tabi’in :
فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم يُنْكِر عَلَيَّ
Artinya: ”Aku telah melakukan demikian dihadapan salah seorang sahabat, dan beliau tidak mengingkariku”.
(Vide: Taysir Musthalah Al-hadits, Dr Mahmud Thahan, hal. 107-109, Penerbit Dar Al-Fikr )
Syeikh Mahmud Thahan menjelaskan hukum beramal dengan hadis mauquf:
الموقوف ـ كما عرفت ـ قد يكون صحيحاً أو حسناً أو ضعيفاً لكن حتى ولو ثبتت صحته فهل يحتج به ؟ والجواب عن ذلك أن الأصل في الموقوف عدم الاحتجاج به . لأنه أقوال وأفعال صحابة . لكنها أن ثبتت فأنها تقوي بعض الأحاديث الضعيفة ـ كما مر في المرسل ـ لأن حال الصحابة كان هو العمل بالسنة ، وهذا إذا لم يكن له حكم المرفوع ، أما أذا كان من الذي له حكم المرفوع فهو حجة كالمرفوع

Artinya: “Hadits mauquf – sebagaimana yang anda diketahui – ada yang bernilai sahih, hasan, atau dha’if. Tetapi, meskipun telah dipastikan status sahihnya, apakah ia dapat digunakan sebagai hujjah ?  Jawabannya adalah bahwa hukum asal dari hadits mauquf adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Hal itu disebabkan karena hadits mauquf hanyalah merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja. Namun jika hadits tersebut telah tetap, maka hal itu bisa memperkuat sebagian hadits dla’if – sebagaimana telah dibahas pada hadits mursal – karena yang dilakukan oleh shahabat adalah melaksanakan sunnah. Ini apabila hadits mauquf tidak dinilai sebagai hadis marfu’ (marfu’ hukman). Adapun jika hadits mauquf tersebut dinilai sebagai hadis marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah sebagaimana hadits marfu’.
(Vide: Taysir Musthalah Al-hadits, Dr Mahmud Thahan, hal. 107-109, Penerbit Dar Al-Fikr )
Dari kajian diatas, tidak ditemukan sebab dan faktor yang dapat digunakan untuk menghukumi riwayat mauquf diatas menjadi hadis marfu. Maka, riwayat mauquf dari sejumlah sahabat seperti dari Abdullah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, Abdullah Ibn Salam, Fadhalah Ibn Ubaid ra. dan lainnya, dinilai sebagai hasil ijtihad sahabat Nabi SAW, dengan syarat bahwa riwayat mauquf tersebut bernilai sahih. Adapun yang dijadikan hujjah adalah perkataan, perbuatan & ketetapan sahabat yang dinisbahkan kepada Rasul SAW. (bersambung)

H.  STATUS HUKUM HADIS DHAIF
Hadits dla’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam fadlail maupun persoalan yang menyangkut tentang ahkam (hukum syari’ah). Hal tersebut dikhabarkan oleh Ibnu Sayyidin-Naas [vide: Kitab Uyuunul-Atsar] dari Yahya bin Ma’in berkata:
«من لم يكن سَمحاً في الحديث، كان كذّاباً!». قيل له: «وكيف يكون سمحاً؟». قال: «إذا‏شَكَّ في الحديث تركه».‏
Artinya: “Barangsiapa yang tidak mempunyai sikap toleran/lapang dalam hadits, maka ia seorang pendusta”. Dikatakan kepadanya : ”Bagaimana seorang dikatakan sebagai seorang yang toleran/lapang ?”. Maka ia menjawab : ”Apabila ia ragu dalam sebuah hadits, maka ia meninggalkannya”.[Vide: Tahdzibut-Tahdzib jilid 11/hal. 250 – biografi Yahya bin Ma’in)].
Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Al-Arabi. Pendapat ini tampaknya merupakan pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim (berdasarkan kriteria-kriteria yang kita pahami dari keduanya), dan Ibnu Hazm Al-Andalusi. Selain itu, pendapat ini juga merupakan pendapat dari Malik, Syu’bah, Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Syammah Al-Maqdisi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Asy-Syaukani, dan jumhur ahli hadits kontemporer. Pendapat ini dibangun atas dasar dalil sabda Nabi SAW :
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Artinya: ”Barangsiapa yang menceritakan satu hadits dariku yang diduga bahwa hadits tersebut adalah dusta, maka ia merupakan salah satu di antara pendusta” (HR Ibn Abi Syaibah dari Mughirah Ibn Syu’bah dan Samurah Ibn Jundub ra.).
Ada sejumlah ulama yang berpendapat bahwa hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Dawud dan Imam Ahmad. Menurut mereka, kedua ulama ini berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat daripada ra’yu (rasio) perseorangan. Namun klaim ini dibantah oleh Ibnul-Qayyim sebagai berikut :
ليس المراد بالضعيف عنده الباطل ولا المنكر ولا ما في روايته متهم بحيث لا يسوغ الذهاب إليه فالعمل به بل الحديث الضعيف عنده قسيم الصحيح وقسم من أقسام الحسن ولم يكن يقسم الحديث إلى صحيح وحسن وضعيف بل إلى صحيح وضعيف وللضعيف عنده مراتب فإذا لم يجد في الباب أثرا يدفعه ولا قول صاحب ولا إجماعا على خلافه كان العمل به عنده أولى من القياس
Artinya: ”Tidaklah yang beliau (Imam Ahmad) maksudkan hadits dha’if yang bathil, yang munkar, serta bukan riwayat yang mengandung perawi yang tertuduh (muttaham), sekiranya dilarang mengambil dan mengamalkannya; tetapi hadits dha’if menurut beliau adalah bagian dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan, dan dha’if; tetapi menjadi shahih dan dha’if. Hadis dha’if menurut beliau terdiri dari beberapa tingkatan. Dan apabila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang menolaknya atau pendapat seorang shahabat atau ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas (analogi)”.
(Vide: I’lamul-Muwaqqi’in An Rabiil A’lamiin, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah Jilid 1/hal. 31.)
Imam Ahmad tidak akan mengamalkan hadits dla’if kecuali dalam bab yang bersangkutan tidak ada yang lainnya, dan di antara hadits dla’if itu ada yang berkualitas hasan (menurut terminologi ulama sesudahnya).
Penjelasan Ibnul-Qayyim diatas, dinukil oleh Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib dalam rangka untuk membantah pendapat yang menyatakan bahwa Imam Ahmad mendukung penggunaan hadits dha’if secara mutlak. Kemudian Dr. Muhammad Ajaj Al-Khathib menegaskan bahwa: ”Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat pertama yang menolak hadis dhaif sebagi hujjah, merupakan pendapat yang paling selamat. Kita memiliki cukup banyak hadits-hadits shahih tentang fadlail, targhib, dan tarhib, yang merupakan sabda Nabi SAW. (Vide: Ushulul Hadits, Dr. Muhammad ’Ajaj Al-Khathib, hal. 253)
Penjelasan Imam Ath-Thahawiy tentang wajibnya menolak hadis dhaif sebagai hujjad dalam masalah hukum dan keimanan:
مَنْ حَدَّثَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثًا بِالظَّنِّ مُحَدِّثًا عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ مُحَدِّثٌ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ وَالْمُحَدِّثُ عَنْهُ بِالْبَاطِلِ كَاذِبٌ عَلَيْهِ كَأَحَدِ الْكَاذِبِينَ عَلَيْهِ الدَّاخِلِينَ فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ ) مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ ( وَنَعُوذُ بِاَللَّهِ تَعَالَى مِنْ ذَلِكَ .
Artinya: “Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasul SAW dengan dasar dzan (dugaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau SAW dengan tanpa haq, dan termasuk orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil. Niscaya ia menjadi salah satu pendusta yang masuk dalam sabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”. (Vide: kitab Musykilul-Aatsar, Imam Ath-Thahawi, jilid 1/hal. 107 – Maktabah Al-Misykah)

I- KESIMPULAN:
Berdasarkan hasil kajian diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal terkait hadis ’Kullu Qardhin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba’ sebagai berikut:
1-     Filosofi dari akad qardh (utang piutang) adalah bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan (pent- berupa uang), ketika pengembalian utang, maka hal itu sudah keluar dari tujuan utama memberikan qardh (yaitu untuk tolong menolong).” (Vide: Al Mughni, Ibnu Qudamah, Jilid 9/hal. 104).
2-     Akad qardh termasuk akad tabaru’ yaitu untuk tujuan non bisnis. Seperti penjelasan Imam Asy Syairazi Asy Syafi’i: “Diriwayatkan dari Abu Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas ra., mereka semua melarang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan. Alasannya, karena utang piutang adalah untuk tujuan tolong menolong (berbuat baik). Jika dipersyaratkan adanya keuntungan, maka akad utang piutang berarti telah keluar dari tujuannya (yaitu untuk tolong menolong).” (Vide: Al Muhadzdzab, Asy Syairazi Asy Syafi’, Jilid 2/hal. 81)
3-     Status hadis ’Kullu Qardhin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba’ adalah sangat lemah (Dhaif jiddan), karena keberadaan perawi bernama Sawwar Ibn Mush’ab yang ditinggalkan dan tidak ditulis hadisnya.
4-     Status hadis mauquf dari sejumlah sahabat seperti Ibn Mas’ud, Ubay Ibn Ka’ab, Abdullah Ibn Salam, Fadhalah Ibn Ubaid ra. dan lainnya, sebagian bernilai sahih dan sebagian lain bernilai dhaif. Mayoritas Ulama menilai hadis mauquf sebagai pendapat sahabat Nabi SAW, adapun yang menjadi hujjah dalam masalah hukum adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan sahabat yang dinisbahkan kepada Nabi SAW.
5-     Pendapat sebagian ulama salaf ash-shalih bahwa manfaat yang diperoleh dari qardh adalah riba, merupakan pendapat yang lemah, karena hadis yang dijadikan sebagai dasar adalah hadis yang sangat lemah, bahkan ditinggalkan. Maka pendapat salaf ash-Shalih (sahabat dan generasi yang mengikutinya) yang terpilih bahwa mengambil manfaat dari qardh adalah makruh (dibenci). Pengertian makruh adalah:
مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ امْتِثَالًا, وَلَا يُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ
Artinya: : “Sesuatu yang mendapat pahala karena meninggalkannya, dan tidak mendapat dosa/hukuman karena mengerjakannya”
(Vide: Syarh Al-Muhala Ala Al-Waraqat – Bab Ta’rif Al-Makruh, Jalaludin Al-Mahali, dalam http://www.taimiah.org)
Pengertian manfaat disini adalah manfaat yang tidak berbentuk uang, seperti seorang yang berkata: saya pinjamkan uang, jika anda meminjamkan buku kepada saya, atau saya pinjamkan uang, jika anda memperbaiki pintu rumah saya. Maka, status hukum mengambil manfaat yang tidak berbentuk uang (selain tambahan atas pokok hutang) dari akad qardh (hutang – piutang) baik berupa materi atau non materi adalah makruh.
6-      
ألأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
Artinya: “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya.”
Dalil yang digunakan untuk mengharamkan mengambil manfaat dari qardh adalah lemah, maka hukum transaksi ini kembali kepada hukum asal transaksi muamalah bahwa mengambil manfaat yang tidak berbentuk uang (selain tambahan atas pokok hutang) dari akad qardh (hutang – piutang) baik berupa materi atau non materi adalah mubah.
Namun demikian, sebagian besar ulama menilai aktifitas mengambil manfaat yang tidak berbentuk uang (selain tambahan atas pokok hutang) dari akad qardh (hutang – piutang) baik berupa materi atau non materi adalah makruh, karena alasan sebagai berikut:
-          Qardh dikategorikan sebagai akad tabaru’ untuk kepentingan non bisnis dan bertujuan saling tolong menolong.
-          Menutup jalan menuju perkara yang diharamkan (sadd adz-dzariiah) yaitu riba.
7-     Perkara yang dilarang terkait dengan akad qard adalah
a)      Menetapkan syarat berupa tambahan atas pokok qardh (riba jahiliyah/riba qardh) atau menetapkan tambahan atas pokok qardh sebagai kompensasi perpanjangan jangka waktu pelunasan hutang (riba nasi’ah) (Vide: lihat tulisan kami tentang “Tidak Ada Riba Di Bank Syariah ?”)
b)     Mengaitkan jual beli dengan akad qardh (salaf):
عن عَبْد اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ ….
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah halal transaksi utang-piutang yang dikaitkan dengan transaksi jual beli, …” (HR. Abu Daud, no. 3506; hadis hasan)
Dalam hadis di atas, terdapat larangan Nabi SAW atas transaksi utang-piutang yang dikaitkan dengan jual beli, yaitu menjual suatu barang, dengan syarat, pembeli akan memberi piutang kepada penjual. Misalnya: Ada orang yang berkata kepada kita, “Juallah bukumu kepadaku, nanti aku akan memberi piutang kepadamu sebanyak seratus ribu rupiah.”
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam jalan yang diridhai, serta dijauhkan dari perkara yang dimurkai-Nya. Wallahu a’lam bi shawab.

Comments