GHARAR, SEPERTI APA?


GHARA, SEPERTI APA?
oleh : Ust. Irawan


A- Pengantar
Perkembangan bisnis kontemporer demikian pesat, yang menjadi tujuan adalah mendapatkan keuntungan materi semata. Parameter agama dikesampingkan, yang menjadi ukuran adalah mendulang materi sebanyak-banyaknya. Ini merupakan ciri khas peradaban kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak mengherankan bila dalam praktek bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi, riba, manipulasi supply and demand serta berbagai kegiatan yang dilarang dalam Islam menjadi hal yang wajar.
Salah satu praktek yang dilarang dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis kotemporer ribawi adalah praktek gharar (uncertianty). Makalah ini ditulis untuk menjelaskan gharar dari aspek bahasa, fiqh, ragam dan bentuk mitigasinya. Sebagai sebuah upaya edukasi kepada masyarakat tentang praktek bisnis islami yang harus menghindari perkara-perkara yang dilarang dalam Islam.
B – Gharar Secara Istilah
Secara etimologis, merupakan isim mashdar dari (غَرَّر ) (Vide: Mu’jam Maqayis Fil Lughah, Bab (غرّ) ; Lisanul Arab Bab (غرر), jilid 5/hal. 13).
Makna kata gharar berkisar pada risiko (khathar), ketidaktahuan (jahl), kekurangan (nuqsan) dan/atau sesuatu yang mudah rusak (ta`arrudh lil halakah).  (Vide: Mu’jam Maqayis Fil Lughah, Bab (غرّ) ; Lisanul Arab, Bab (غرر), jilid 5/hal. 13;  Al-Misbah Al-Munir, Bab (غ ر ر) hal. 230; Ash-Shihah, Bab (غرر)Jilid 2/hal.768).
Adapun, secara terminologis terdapat sejumlah definisi gharar dari para ulama:
الغرر: هو المجهول العاقبة.
1-    Ibn Taimiyyah berpendapat: “Gharar adalah konsekuensi yang tidak diketahui (the unknown consequences).” (Vide: Majmu` al-Fatawa, vol. XXIX, hlm. 22.)
الغرر :بأنه مالا يعلم حصوله، أو لا تعرف حقيقته ومقداره.
2-    Ibn Qayyim berpendapat: “Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui hasilnya, atau dikenal hakikat dan ukurannya”.
الغرر : ما تردد بين أمرين ليس أحدهما أظهر.
3-    Abu Ya’la berpendapat: ”gharar adalah hal yang meragukan antara 2 perkara, dimana tidak ada yang lebih nampak/jelas”.
الغرر ما يكون مجهول العاقبة لا يدرى أيكون أم لا.
4-    Al-Jurjani berpendapat: ”Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui hasilnya, apakah dapat terealisasi atau tidak ?” (Vide: At-Ta’rifat, Imam Al-Jurjanii Hal. 141, Penerbit Al-Halabii – Qahirah)
C- Dalil Yang Melarang Gharar
عن أبي هريرة رضي الله عنه: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasul SAW telah mencegah (kita) dari (melakukan) jual beli (dengan cara lemparan batu kecil) dan jual beli barang secara gharar.” (HR. Muslim III/1153 dan 1513, At-Tirmidzi II/349 dan no: 1248, , Ibnu Majah II/739 dan no: 2194 , Nasa’i VII/262, Lihat juga ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, serta Shahih: Muktashar Muslim no: 939, Irwa’ul Ghalil no: 1294,).
Jual Beli secara Gharar (yang tidak jelas sifatnya) adalah segala bentuk jual beli yang di dalamnya terkandung jahalah (unsur ketidakjelasan), atau di dalamnya terdapat unsur judi (maysir).
Imam Nawawi menjelaskan:
وأما النهي عن بيع الغرر فهو أصل عظيم من أصول كتاب البيوع ؛ ولهذا قدمه مسلم ، ويدخل في مسائل كثيرة غير منحصرة
Artinya: Adapun larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli (bab al-buyu’). Sehingga, Imam Muslim menempatkan hadis gharar ini di bagian pertama (pent- dalam Kitabul Buyu’), dan memasukkan ke dalamnya berbagai masalah yang tidak terhitung seperti:
-   jual beli budak yang kabur (بيع الآبق),
-   jual beli barang yang tidak ada (المعدوم),
-   jual beli barang yang tidak diketahui (المجهول),
-   jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan (ما لا يقدر على تسليمه),
-   jual beli barang yang belum menjadi hak milik penuh si penjual (ما لم يتم ملك البائع عليه),
-   jual beli ikan di dalam kolam yang lebar (بيع السمك في الماء الكثير),
-   jual beli air susu yang masih berada di dalam puting hewan (اللبن في الضرع),
-   jual beli janin yang ada di dalam perut induknya (بيع الحمل في البطن),
-   menjual sebagian dari sepotong makanan dalam keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa ditimbang) (بيع بعض الصبرة مبهما),
-   menjual satu pakaian di antara sekian banyak pakaian (بيع ثوب من أثواب),
-   menjual seekor kambing di antara sekian banyak kambing (شاة من شياه),
-   dan yang semisal dengan itu semuanya.
وكل هذا بيع باطل ؛ لأنه غرر من غير حاجة
Dan, semua jual beli diatas adalah jual beli yang batil, karena terdapat unsur gharar, tanpa ada keperluan yang mendesak.”
Imam Nawawi menambahkan bahwa jual beli barang secara mulamasah, secara munabadzah, jual beli barang secara habalul habalah, jual beli barang dengan cara melemparkan batu kecil, dan larangan itu semua yang terkategori jual beli yang ditegaskan oleh nash-nash tertentu, maka semua model jual beli itu termasuk dalam larangan jual beli barang secara gharar. Akan tetapi jual beli secara gharar ini disebutkan secara sendirian dan ada larangan secara khusus, karena praktik jual beli gharar ini termasuk praktik jual beli jahiliyah yang amat terkenal. (Vide: Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid 10/hal. 156)


D- Dimana Terjadi Gharar ?
Syeikh Muhammad Hamzah menjelaskan bahwa gharar dapat terjadi pada obyek akad/محل العقد seperti pada barang atau harga barang dalam akad, berikut beberapa jenis gharar yang lazim terjadi pada obyek akad:
1-    Ketidakjelasan pada jenis obyek (الجهل بجنس المحل):
كأن يقول : بعتك سلعة بعشرة ، أو بعتك ما في كمّي بعشرة
Artinya: “seperti seorang yang berkata: saya jual kepada anda barang senilai 10, atau saya jual kepada anda barang yang ada disakuku senilai 10”, tanpa membatasi jenis barang yang dijual.
2-    Ketidakjelasan atas spesifikasi obyek (الجهل بنوع المحل),
 بعتك حيواناً بكذا ، دون أن يبين نوع هذا الحيوان أهو من الجمال أم الشّاة
Artinya: “seperti seorang yang berkata: saya jual hewan senilai x, tanpa menjelaskan spesifikasi hewan, apakah henwan tersebut unta atau kambing”, maka jual beli ini fasad karena ketidakjelasan spesifikasi obyek.
3-     Ketidakjelasan atas sifat obyek  ( الجهل بصفة المحل)
بيع ما تلده البهيمة ، فالبيع معلّق على ولادة البهيمة ، فإن ولدت لزم المشتري الثمن على أي صفة جاء بها المولود ، وإن لم تلد ، فلا يكون هناك بيع
Artinya: ”seperti jual beli yang akan dilahirkan oleh binatang ternak. Jual beli ini tergantung dengan kelahiran binatang ternak, jika binatang ternak tersebut melahirkan anak, maka pembeli wajib membeli dengan harga tertentu dengan sifat apapun yang melekat pada anak binatang ternak. Namun, jika ternak tersebut tidak melahirkan, maka tidak ada jual beli”.
Walhasil, jual beli ini tertolak karena ketidakjelasan atas sifat obyek barang.
4.     Ketidakjelasan atas ukuran obyek (الجهل بمقدار المحل),
فلا يصح بيع سلعة مجهولة القدر ، أو بيع سلعة بثمن مجهول القدر
Artinya: “tidak sah jual beli barang yang tidak jelas ukuran/takarannya, atau jual beli barang yang  tidak jelas harganya”.
5.     Ketidakjelasan atas zat obyek (الجهل بذات المحل),
كبيع ثوب من ثياب مختلفة ، أو بيع شاة من قطيع ، دون تحديد ذات السلعة المباعة .
Artinya: “seperti jual beli pakaian dari beragam jenis pakaian, atau jual beli kambing yang terdapat di padang pasir, tanpa membatasi zat barang yang dijual”
6.     Ketidakjelasan jangka waktu (الجهل بالأجل),
كالبيع بثمن مؤجل إلى أجل غير محدد ، كبيع سلعة بثمن مؤجل إلى أن تلد الناقة
Artinya: “seperti jual beli dengan harga tangguh tanpa dibatasi waktunya, atau jual beli barang dengan harga tangguh hingga waktu unta melahirkan”.
Dalam jual beli ini terdapat gharar yang muncul dari penundaan pembayaran hingga jangka waktu yang tidak jelas.
7-  Ketidakjelasan karena tidak mampu diserah terimakan (عدم القدرة على التسليم),
فلا يصح بيع ما لا يقدر على تسليمه ، كالبعير الشارد الذي لا يعلم مكانه ، أو بيع الدين بالدين ، أو بيع الإنسان ما اشتراه قبل قبضه
Artinya: “tidak sah jual beli barang yang tidak mampu diserah terimakan, seperti untang yang hilang yang tidak diketahui keberadaannya, atau jual beli hutang dengan hutang, atau jual beli atas barang sebelum dikuasai”.
8-    Ketidakjelasan karena bersepakat atas barang yang tidak ada ( التعاقد على المعدوم),
Terkait dengan hal ini, terdapat kaidah fiqh:
أن كل معدوم في الحال ، مجهول الوجود في المستقبل ، لا يجوز بيعه
Artinya: “setiap barang yang tidak ada dzatnya pada saat transaksi, dan tidak jelas keberadaanya di masa datang, maka tidak boleh diperjual belikan”.
وأن كل معدوم محقق الوجود في المستقبل ، بحسب العادة ، يجوز بيعه
Artinya: “Adapun, sesuatu yang tidak ada barangnya (pada saat) transaksi, namun bisa diadakan pada masa datang sesuai dengan adat kebiasan, maka diperbolehkan jual beli atasnya”.
9-   Ketidakjelasan karena tidak melihat obyek (عدم رؤية المحل), yaitu jual beli yang dikenal dengan istilah jual beli (العين الغائبة).
واختلف الفقهاء في جواز بيع العين الغائبة ، فقال بعضهم : لا يجوز مطلقاً ، ولابد من مشاهدة العين المبيعة وقت العقد ؛ وقال الجمهور بجوازها على الصفة ، وأثبتوا حيار الرؤية ، فإن رأى المبيع على غير ما وُصف له ، فله الخيار في إمضاء البيع أو فسخه
Artinya: “Para ahli fiqh berbeda pendapat terkait dengan kebolehan jual beli dimana barangnya belum dilihat pada saat transaksi (العين الغائبة). Sebagian ulama berpendapat, jual beli ain al-ghaibah tidak diperbolehkan secara mutlak. Dan merupakan keharusan melihat barang yang dijual pada saat akad. Mayoritas ulama berpendapat tentang kebolehan jual beli dengan sifat seperti ini. Para ulama ini menetapkan khiyar ru’yah, artinya jika pembeli melihat barang yang berbeda dengan sifat yang diminta seblumnya, maka pembeli memiliki hak khiyar  untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya”.
(Vide: Syeikh Muhammad Hamzah, dalam Makalah Buyu’ Muharamah Bi Sabab Al-Gharar, http://islamictrade.blogspot.com/2009/10/blog-post.html)
E-  Ragam Jual Beli Gharar
Syaikh Muhammad Hamzah menjelaskan, bahwa jual beli gharar (بيع الغرر ) hukumnya haram. Ini adalah prinsip dalam fiqh jual beli.
فعن أبي هريرة رضي الله عنه: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر
Artinya: dari Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa ”Rasul SAW melarang jual beli gharar”.
Namun, tidak semua jenis gharar diharamkan. Jika gharar yang terjadi adalah ringan (gharar yasir), ada hajat untuk itu, dan masyarakat menerima hal tersebut, dimana patokannya adalah kebiasan (`urf) masyarakat, hal tersebut tidak mempengaruhi jual beli. Contohnya seperti ketidaktahuan terhadap pondasi rumah yang dijual. Yang dilarang adalah gharar yang dominan (gharar fahisy) yang menyebabkan perselisihan dan satu sama lain saling memakan harta secara batil.” (Vide: http://islamictrade.blogspot.com/2009/10/blog-post.html.)
Para Ulama menjelaskan beberapa ragam jual beli yang dikategorikan jual beli gharar, sebagai berikut:
1. Jual Beli Secara Mulamasah dan Munabadzah
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “(Kita) dilarang dari (melakukan) dua bentuk jual beli: yaitu secara mulamasah dan munabadzah.
Adapun mulamasah ialah setiap orang dari pihak penjual dan pembeli meraba pakaian rekannya tanpa memperhatikannya.
Sedangkan munabadzah ialah masing-masing dari keduanya melemparkan pakaiannya kepada rekannya, dan salah satu dari keduanya tidak memperhatikan pakaian rekannya” (HR Muslim III/no. 1152 dan 1511, Shahih: Mukhtashar Muslim no: 938).
 نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الملامسة والمنابذة في البيع
Dari Abu Sa’ad al-Khudri ra, ia berkata, “Rasulullah telah melarang kita dari (melakukan) dua bentuk jual beli dan dua hal yang mengandung ketidakjelasan: yaitu jual beli secara mulamasah dan munabadzah.
Mulamasah ialah seseorang meraba pakaian orang lain dengan tangannya, pada waktu malam atau siang hari, tetapi tanpa membalik-baliknya;
Munabadzah ialah seseorang melemparkan pakaiannya kepada orang lain dan orang lain itupun melemparkan pakaiannya kepada pelempar pertama yang berarti masing-masing telah membeli dari yang lainnya tanpa diteliti dan tanpa saling merelakan.” (HR Bukhari, Muslim III/1152 no 1512, dan ini lafadznya, dan Nasa’i VII/260, lihat juga Fathul Bari IV/358 no: 2147, 44, ’Aunul Ma’bud IX/ 231 no: 3362).
Jual beli secara mulamasah dan munabadzah adalah jual beli gharar karena ketidakjelasan sifat dan karakteristik obyek.
2. Jual Beli Barang secara Habalul Habalah
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال  : كان أهل الجاهلية يتبايعون لحوم الجزور إلى حبل الحبلة . قال وحبل الحبلة أن تنتج الناقة ما في بطنها ثم تحمل التي نتجت فنهاهم النبي صلى الله عليه و سلم عن ذلك
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Adalah kaum jahiliyah biasa melakukan jual beli daging unta sampai dengan lahirnya kandungan, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting. Dan, habalul habalah yaitu unta yang dikandung itu lahir, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting, kemudian Nabi melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari dan Muslim III/ 1153 no: 1514, Tirmidzi II/ 349 no: 1247 secara ringkas, Nasa’i VII/ 293 dan Ibnu Majah II/740 no: 2197 secara ringkas, lihat juga Fathul Bari IV: 356 no: 2143, ‘Aunul Ma’bud IX: 233 no: 3365, 64).
Jual-beli Habal al-habalah adalah jual-beli bertempo sampai unta betina melahirkan, kemudiam anaknya membesar dan unta itu kembali bunting lagi. Tempo tersebut didalamnya terdapat gharar yang banyak yang bisa menyebabkan perselisihan.
Akad ini menjadi fasad karena gharar yang dominan. Rasulullah SAW telah melarang jual beli seperti ini, seperti yang disampaikan oleh Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi SAW bersabda “Jual-beli salaf dalam kasus dalam habal al-habalah adala riba“(HR. An-Nasai)
Jual beli secara habalul hablah adalah jual beli gharar karena ketidakjelasan sifat dan karakteristik obyek.
3. Jual Beli Dengan Lemparan Batu Kecil
عن أبي هريرة رضي الله عنه: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع  الحصاة
Artinya: ”Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasul SAW melarang jual beli dengan lemparan batu kecil…..” (HR Ibnu Majah II: 752 no: 2235, serta Hasan: dalam Shahih Ibnu Majah no: 1817).
Imam Nawawi menjelaskan bahwa jual beli dengan lemparan batu-batu kecil, memiliki tiga penafsiran:
Pertama, seorang penjual berkata pada si pembeli, ‘Saya menjual dari sebagian pakaian ini, yang terkena lemparan batu saya,’ atau ia berkata kepada si pembeli, ‘Saya menjual kepadamu tanah ini, yaitu dari sini sampai dengan batas tempat jatuhnya batu yang dilemparkan.’
Kedua, seorang berkata kepada si pembeli, ‘Saya jual kepadamu barang ini, dengan catatan engkau mempunyai hak khiyar (pilih) sampai aku melemparkan batu kecil ini.’
Ketiga, pihak penjual dan pembeli menjadikan sesuatu yang dilempar dengan batu sebagai barang dagangan, yaitu pembeli berkata kepada penjual, ‘Apabila saya lempar pakaian ini dengan batu, maka ia saya beli darimu dengan harga sekian.’ (Vide: Imam Nawawi , kitab Syarh Sahih Muslim jilid X/156)
Jual beli dengan melempar batu adalah jual beli gharar, karena ketidakjelasan sifat dan karakteristik obyek.
4. Jual Beli Madhamin dan Malaqih
عن ابن عباس أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم  نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمَلاقِيحِ ، وَالْمَضَامِينِ ….
Dari Ibn Abbas, ia berkata, “Nabi SAW melarang jual beli Al-Madhamin, Al-Malaqih ….” (HR Thabrani dalam Al-Kabir, Al-Bazzar, dalam sanadnya terdapat perawi bernama Ibrahim Ibn Ismail Ibn Abi Habibah, Imam Ahmad menilainya sebagai perawi terpercaya, sedang mayorita ulama menilainya perawi lemah (dhaif)).
Madhamin ialah menjual sperma hewan, di mana si Penjual membawa hewan pejantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu menjadi milik pembeli.
Malaqih, Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan
Jual beli dengan madhamin, malaqih dan habalul hablah adalah jual beli gharar, karena ketidakjelasan sifat dan karakteristik obyek.

5. Jual Beli Sesuatu yang Belum Menjadi Hak Milik
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ يَطْلُبُ مِنِّى الْبَيْعَ وَلَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبِيعُهُ لَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ »
Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata : Aku berkata, “Ya Rasulullah, ada seorang memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak kumiliki. Bolehkan saya menjualnya kepadanya ?” Maka jawab beliau, “Jangan kamu jual sesuatu yang tidak menjadi milikmu.” (HR. Al-Baihaqi II/451 no. 10.725; Ibnu Majah II/ 737 no:2187, Tirmidzi II/ 350 no: 1250, Nasa’i VII/ 289, Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 1292, lihat juga ‘Aunul Ma’bud IX/ 401 no: 3486,).
Jual beli sesuatu yang belum dimiliki adalah jual beli gharar, karena ketidakjelasan pemilik obyek barang.
6. Jual Beli Barang yang Belum Diterima
عن ابن عباس ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من اشترى طعاما فلا يبعه حتى يقبضه » ، قال ابن عباس : وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasul SAW bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.” Ibnu Abas berkata, “Saya menduga segala sesuatu sama statusnya dengan makanan.” (HR Bukhari dan Muslim III/ 1160 no: 30 dan 1525 dan lafadz ini baginya, Nasa’i VII: 286 dan Tirmidzi II: 379 no: 1309, lihat juga Fathul Bari IV/ 349 no: 2135, ‘Aunul Ma’bud IX/ 393 no:3480,).
Dari Thawus dari Ibnu Abas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah menjualnya hingga ia manakarnya.” Kemudian saya (Thawus) berkata kepada Ibnu Abas, “Mengapa?” Jawabnya, “Tidakkah engkau melihat orang-orang membeli dengan emas, sedangkan makanan yang dibeli itu tertangguhkan.” (HR Bukhari dan Muslim III/ 1160 no: 31 dan 1525 dan lafadz ini baginya, lihat juga Fathul Bari IV/ 347 no: 2132 dan ‘Aunul Ma’bud IX/ 392 no: 3479).
Jual beli sesuatu yang belum dimiliki adalah jual beli gharar, karena ketidakjelasan tentang kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek barang kepada pembeli.
7. Jual Beli Atas Pembelian Saudara
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال  : …ولا يبيع الرجل على بيع أخيه  ..
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra, bahwa Rasul SAW bersabda, “Janganlah seseorang membeli atas pembelian saudaranya….” (HR Bukhari dan Muslim III/ 1154 no:1412, dan Ibnu Majah II/ 333 no: 1271, lihat juga Fathul Bari IV/ 373 no: 2165).
Dari abu Hurairah ra, bahwa Rasul SAW bersabda, “Janganlah seseorang Muslim menawar atas tawaran saudaranya.” (HR. Muslim III/ 1154 no: 1515).
Jual beli sesuatu yang belum dimiliki adalah jual beli gharar, karena ketidakjelasan jual beli yang terjadi, apakah atas jual beli fulan A atau fulan B.
8. Jual Beli secara ‘Ienah.
Yang dimaksud jual beli secara ‘ienah ialah seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu diserahkan kepada pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali barangnya tadi secara kontan sebelum harganya diterima, dengan harga yang lebih rendah daripada harga penjualnya tadi.
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi SAW bersabda,
 « إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم »
Artinya: “Apabila kalian berjual beli secara ‘inah dan memegangi ekor-ekor sapi’ [kinayah/kiasan sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan kalian ridha dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu kehinaan, Ia (Allah SWT) tidak akan mencabutnya, hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud 3/274; Al-Baihaqi 5/316; no. 10.484; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/209; Shahih: Shahihul Jami’ Ash-Shaghir no:423, lihat juga ‘Aunul Ma’bud IX/ 335 no:3445).
Jual beli secara ienah adalah jual beli gharar, karena ketidakjelasan harga obyek barang, apakah yang berlaku harga tangguh atau harga tunai yang lebih rendah.
F- Apakah Semua Gharar Diharamkan ?
Para Ulama telah merumuskan pedoman gharar yang diperbolehkan dalam transaksi muamalat, yaitu transaksi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Gharar Yang Ringan Dalam Akad (أن يكون الغرر يسيرا على العقد);
 فقد أجمع العلماء على أن يسير الغرر لا يمنع صحة العقود، إذ لا يمكن التحرز منه بالكلية، وذلك كجواز شرب ماء السقاء بعوض، ودخول الحمام بأجرة مع اختلاف الناس في استعمال الماء، أو مكثهم في الحمام، وما أشبه ذلك.
Artinya: “Para Ulama telah bersepakat bahwa gharar yang ringan (yasir) tidak menghalangi keabsahan akad (Vide: Ibn Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid, jilid 2/hal. 155; Al-Qarafi dalam Al-Furuq jilid 3/hal. 265; AN-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab jilid 9/hal. 258), jika tidak mungkin mencegahnya secara keseluruhan (Vide: Ibn Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid, jilid 2/hal. 155; Al-Qarafii dalam Adz-Dzakirah Lil Qarafii jilid 5/hal. 93; Al-Qarafi dalam Al-Furuq jilid 3/hal. 265; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab jilid 9/hal. 258). Demikian diperbolehkan meminum air dari tukang jual air  (السقاء) dengan upah (iwadh), masuk kamar mandi dengan fee (ujrah) walau terdapat perbedaan tentang banyaknya air yang diginakan atau berapa lama tinggal didalamnya, dan hal yang serupa dengan itu” (Vide: An-Nawawi dalam Majmu’ Syarh Al-Muhadzab jilid 9/hal. 258; Ibn Qayyim dalam Zad Al-Ma’ad jilid 5/hal. 821; Asy-Syatibii dalam Al-Muwafaqat jilid 4/hal. 158).
 قال ابن القيم: ” والغرر إذا كان يسيراً أو لا يمكن الاحتراز منه لم يكن مانعاً من صحة العقد، بخلاف الكثير الذي يمكن الاحتراز منه”.
Ibnul Qayyim: Gharar jika ringan/sedikit atau tidak mungkin mencegahnya, maka tidak menghalangi keabsahan akad, berbeda dengan gharar yang dominan yang mungkin untuk dicegah. (Vide: Ibnul Qayyim dalam Zad Al-Ma’ad jilid 5/hal. 820)
 وقال القرافي : “الغرر والجهالة – أي في البيع – ثلاثة أقسام : كثير ممتنع إجماعا، كالطير في الهواء ، وقليل جائز إجماعا ، كأساس الدار وقطن الجبة، ومتوسط اختلف فيه ، هل يلحق بالأول أم بالثاني ؟”.
Al-Qarafi berkata: gharar dan ketidakjelasan (dalam jual beli), terbagi menjadi 3 bagian:
1.      gharar yang dominan dilarang menurut konsesus (ijma’) seperti jual beli burung yang sedang terbang diangkasa,
2.      gharar yang ringan/sedikit diperbolehkan menurut konsesus (ijma’) seperti cacat pada pondasi rumah dan  benang katu pada jubah/jas;
3.      gharar yang , terdapat perbedaan pendapat, apakah lebih dekat kepada gharar yang pertama atau gharar kedua ?
(Vide: Al-Qarafii dalam Al-Furuq, jilid 3/hal. 265)
Adapun, gharar yang dominan adalah gharar yang mendominasi akad, sehingga seakan-akan akad tersebut menjadi seperti gharar yang dimaksud. Seperti menjual ikan didalam sungai, atau menjual burung yang terbang diangkasa. Dalam kasus ini, gharar yang terjadi dominan yaitu ketidakjelasan sifat dan karakteristik obyek barang, sehingga seakan-akan akad tersebut berubah seperti gharar yang terjadi.
 وقال الباجي- مبيناً ضابط الغرر الكثير-:” الغرر الكثير هو ما غلب على العقد حتى أصبح العقد يوصف به”.
Al-Bajii berkata: menjelaskan pedoman gharar yang dominan: gharar yang dominan adalah yang gharar yang mendominasi pada akad, hingga akad menjadi seperti yang disifati. (Vide: Al-Muntaqa, jilid 5/hal. 41)
2-  Gharar Tidak Dapat Dicegah Kecuali Dengan Susah Payah (ما لا يمكن التحرز فيه من الغرر إلا بمشقة);
فقد أجمع أهل العلم، على أن ما لا يمكن التحرز فيه من الغرر إلا بمشقة كالغرر الحاصل في أساسات الجدران، وداخل بطون الحيوان، أو آخر الثمار التي بدا صلاح بعضها دون بعض، فإنه مما يتسامح فيه، ويعفى عنه.
Artinya: “Para Ulama telah bersepakat (vide: An-Nawawi dalam Majmu Syarah Al-Muhadzab jilid 9/hal. 258; Ibnul Qayyim dalam Zad Al-Ma’ad jilid 5/hal. 820), bahwa gharar yang tidak mungking dicegah kecuali dengan susah payah (بمشقة), seperti gharar yang terjadi di pondasi bangunan, sesuatu yang terdapat dalam perut hewan, atau buah yang hanya matang sebagian saja, maka ia termasuk perkara yang ditolerir dan dimaafkan”. (Vide: An-Nawawi dalam Majmu Syarah Al-Muhadzab jilid 9/hal. 258; Ibnul Qayyim dalam Zad Al-Ma’ad jilid 5/hal. 820; Asy-Syatibii dalam Al-Muwafaqat jilid 4/hal. 158)
3-   Gharar Yang Menjadi Kebutuhan Umum Yang Mendesak (تدعو إلى الغرر حاجة عامة);
Kebutuhan umum dapat menempati kedudukan darurat/mendesak (إن الحاجات العامة تنزل منزلة الضرورات), Al-Juwainii menjelaskan:
((الحاجة في حق الناس كافة تنزل منزلة الضرورة))
Artinya: ”Kebutuhan yang menjadi hak masyarakat secara keseluruhan dapat menempati kedudukan darurat/mendesak”.
Pedoman penentuan kebutuhan mendesak adalah seluruh perkara, jika ditinggalkan oleh masyarakat dapat menimbulkan kemudharatan (bahaya) dalam suatu keadaan atau dalam harta”. (Vide: Ghuyats Al-Ummam Fii At-Tiyats Al-Dzulm hal 478-479)
Jika terdapat kebutuhan masyarakat kepada suatu aktifitas muamalah yang terdapat padanya gharar, dimana kebutuhan masyarakat tersebut tidak sempurna kecuali dengan aktifitas muamalah tersebut, maka ini termasuk gharar yang dimaafkan. (Vide: Ghuyats Al-Ummam Fii At-Tiyats Al-Dzulm hal 481)
Ibn Rusy menjelakan tentang pedoman gharar yang tidak punya dampak     (ضابط الغرر غير المؤثر):
Artinya: ”gharar yang tidak punya dampak adalah gharar yang ringan atau terdapat kebutuhan mendesak, atau sesuatu yang mengumpulkan 2 perkara (pent- kebutuhan mendesak dan unsur gharar yang ringan). (Vide: Ibn Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid, jilid 2/hal. 175; An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab jilid 9/hal. 258)
Syeikhul Islam Ibn Taimiyah berpendapat:
((والشارع لا يحرم ما يحتاج الناس إليه من البيع لأجل نوع من الغرر، بل يبيح ما يحتاج إليه من ذلك))
Artinya: “Asy-Syari’ tidak mengharamkan seuatu yang menjadi kebutuhan manusia dari aktifitas jual beli yang terdapat padanya unsur gharar, bahkan Asy-Syari’ membolehkan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat walau terdapat padanya unsur gharar (pent- gharar yang sedikit)” (Vide: Ibn Taimiyah dalam Majmu Al-Fatawa jilid 29/hal. 227; jilid 32/hal 236; jilid 29/hal. 25-26)
Dalil yang digunakan oleh para ulama untuk memperbolehkan sesuatu yang dibutuhkan walau ada unsur gharar ( ما تدعو الحاجة إليه من الغرر ). Hadis-hadis yang melarang jual beli buah hingga buah tersebut matang, diantaranya adalah hadis Ibn Umar ra.:
((نهى رسول الله – r – عن بيع الثمار حتى يبدو صلاحها، نهى البائع والمبتاع))
Artinya: ”Rasul SAW melarang jual beli buah-buahan hingga matang, ia (Rasul SAW) melarang hal ini bagi penjual dan pembeli”. (HR Bukhari dalam Kitab Al-Buyu’, Bab Bai Ats-Tsimar Qabla badwi Shilahiha, no. 2194 – jilid 2/112; Muslim dalam Kitab Al-Buyu’ Bab An-Nahyi An Bai’ Ats-Tsimar Qabla badwi Shilahiha bi Ghairi Syarth Al-Qath’i no. 1534 – jilid 3/1165)
4-  Gharar Terjadi Selain Pada Akad Komersil (akad mu’awadhat) (أن يكون في غير عقود المعاوضات).
بأن الغرر منع في عقود المعاوضات، وما فيه شائبة معاوضة؛ لأن المال في هذه العقود مقصود تحصيله أو مشروط، فمنع الشارع الحكيم الغرر فيهما، صوناً للمال عن الضياع في أحد العوضين أو كليهما. أما عقود الإحسان والتبرعات فمقصودها بذل المال وإهلاكه في البر، فلذلك لم يأت ما يدل على منع الغرر فيها، وليست كعقود المعاوضات، فتلحق بها.
Artinya: ”Gharar tidak diperbolehkan dalam akad – akad komersial (al-muawadhat), dan akad yang mengandung unsur komersial, karena harta dalam akad-akad ini ditujukan untuk menghasilkan sesuatu atau akad – akad yang bersyarat. Asy-Syari’ (Allah SWT) melarang gharar dalam keduanya, dalam rangkan menjaga harta dari kehilangan pada salah satu dari kompensasi atau keduanya (pent- harga/uang dan obyek barang). Adapun akad non komersial dan akad sosial, bertujuan untuk memberikan harta dan menghabiskannya untuk tujuan kebaikan. Maka tidak ada dalil yang melarang gharar dalam akad non komersial dan akad sosial. Berbeda dengan akad – akad komersial , maka gharar tidak diperkenankan. (Vide: Al-Furuq Lil Qarafii, jilid 1/hal. 150; Adz-Dzkirah Lil Qarafii, jilid 6/hal. 243-244 dan jilid 7/hal. 30; Majmu’ Al-Fatawaa, jilid 31/hal. 270-271)
Namun demikian, terdapat sejumlah ulama seperti Imam Nawawi yang berpendapat bahwa gharar yang terjadi dalam akad komersial dapat ditoleransi, seperti halnya jual beli yang terdapat unsur gharar didalamnya, tatkala transaksi tersebut memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
§  terdapat kebutuhan yang mengharuskan melakukan gharar (إن دعت الحاجة إلى ارتكاب الغرر),
§  tertutup kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali (لا يمكن الاحتراز عنه إلا بمشقة),
§  gharar yang terjadi ringan/sepele (وكان الغرر حقيرا),
 أجمعوا على صحة بيع الجبة المحشوة وإن لم ير حشوها ولو بيع حشوها بانفراده لم يجز
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan jual beli jubah/jas yang di dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara terpisah, maka  justru tidak diperbolehkan. (Vide: Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid X/hal. 156)
Sebagian ulama memberi toleransi atas gharar yang terjadi dalam beberapa akad komersial, karena memenuhi kriteria seperti diatas:
 وأجمعوا على جواز إجارة الدار والدابة ونحو ذلك شهرا مع أن الشهر قد يكون ثلاثين يوما وقد يكون تسعة وعشرين ،
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan melakukan menyewa rumah atau hewan  dan yang semisal selama 1 bulan, walau 1 bulan dapat berarti 30 hari atau 29 hari”.
 وأجمعوا على جواز دخول الحمام بالأجرة مع اختلاف الناس في استعمالهم الماء وفي قدر مكثهم ،
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan masuk ke dalam kamar mandi (umum) dengan upah (ujrah), walau ada perbedaan dalam penggunaan air dan berapa lama waktu didalam kamar mandi tersebut”.
 وأجمعوا على جواز الشرب من السقاء بالعوض مع جهالة قدر المشروب واختلاف عادة الشاربين وعكس هذا ،
Artinya: ”kaum muslim telah bersepakat tentang kebolehan minum dari tempat air minum dengan upah, walau tidak diketahui banyaknya air yang diminum dan perbedaan kebiasaan para peminim dan sebaliknya.”
(Vide: Bab Ta’min – Abhats Haiah Kibar Al-Ulama, tahun 2001, http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?)
G- Hubungan Gharar Dengan Resiko
أن بيع الغرر هو البيع الذى يتضمن خطرا يلحق أحد المتعاقدين ؛ فيؤدى إلى ضياع ماله.
Sesungguhnya jual beli gharar adalah jual beli yang mengandung resiko yang melekat kepada salah satu pihak, sehingga dapat menyebabkan hartanya hilang. (vide: Maushu’ah Al-Mafahim – Huruf Ghain/Bab Gharar, dalamhttp://www.elazhar.com/mafaheemux/20/3.asp)
Dari definisi dan penjelasan di atas, tampak bahwa gharar memiliki korelasi kuat dengan risiko. Pengertian risiko (الخطر ) secara bahasa:
وهو تعريض المرء نفسه أو ماله للهلاك من غير أن يعرف
Artinya: ”seorang yang menghantarkan diri atau hartanya pada kerusakan yang tidak ia ketahui”. (Vide: Mishbah Al-Munir, Jilid 2/hal. 442)
Sehubungan dengan risiko dalam perspektif syariah, maka Ibn Taimiyyah membagi risiko menjadi dua bagian:
Pertama: Risiko Bisnis (خطر التجارة),
وهو أن يشتري السلعة بقصد أن يبيعها بربح، ويتوكل على الله في ذلك، فهذا لابد منه للتجار
Artinya: ”ketika seseorang membeli barang dengan maksud menjualnya kembali dengan tingkat keuntungan tertentu, dan dia bertawakkal kepada Allah atas hal tersebut.  Ini merupakan risiko yang harus diambil oleh para pebisnis”. Bisnis tidak mungkin terjadi tanpa hal tersebut.
Kedua: Maisir (Judi, zero sum game) (الميسر),
الميسر الذي يتضمن أكل مال الناس بالباطل، فهذا الذي حرمه الله ورسوله
yang mengandung tindakan memakan harta sesama secara batil. Jenis inilah yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Vide: Tafsir Ayat Asykalat, jilid. II/ hlm. 700.)
Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) syarat, agar risiko dapat dikategorikan sebagai tolerable risks (resiko yang dapat diterima):
1.      Syarat pertama (dapat diabaikan (negligible/gharar yasir)
Untuk tolerable risk, kemungkinan dari kegagalan haruslah lebih kecil daripada kemungkinan tingkat keberhasilannya.
2. Syarat kedua (tidak dapat dihindarkan (inevitable/la yumkinu al-taharruz minhu)
Indikasi bahwa tingkat penambahan nilai dari suatu aktivitas transaksi tidak dapat diwujudkan tanpa adanya kesiapan untuk menanggung risiko.
3. Syarat yang ketiga (tidak diinginkan dengan sengaja (unintentional/ghair maqshud)
Tujuan dari suatu transaksi ekonomi yang normal adalah untuk menciptakan nilai tambah, bukan untuk menanggung risiko. Sehingga, keinginan/tujuan dari suatu transaksi keuangan dan investasi bukanlah untuk bermain dengan risiko.
Ibn Rusyd menegaskan bahwa tidak semua gharar memberikan dampak yang merusak akad. Jika gharar yang terjadi tidak dominan dan ada kebutuhan mendesak atas hal tersebut, maka mayoritas ulama masih memperbolehkannya, seperti ulasan berikut:
 وقد اتفق العلّماء على أن الغرر ينقسم إلى مؤثر فى البيوع  وغير مؤثر، ويشترط فى الغرر حتى يكون مؤثرا أن يكون كثيرا، أما إذا كان يسيرا أو تدعو إليه الضرورة فإنه لا تأثير له على العقد.
Artinya: ”Para Ulama bersepakat bahwa gharar terbagi menjadi gharar berpengaruh pada jual beli dan gharar yang tidak berpengaruh. Syarat agar gharar memiliki dampak jika gharar itu banyak. Adapun, jika gharar itu ringan/sedikit, atau ada kebutuhan mendesak, maka gharar itu tidak berpengaruh kepada akad”. (Vide: Ibn Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid, Jilid 2/hal. 118)
H.  GHARAR  DALAM  JUAL BELI  TA’ALUQ
Ta’aluq secara bahasa:
علَّقَ - يعلِّق - تعليقًا ، فهو مُعلِّق ، (والمفعول مُعلَّق)
Berasal dari kata : allaqa – yualliqu – ta’liiqan fahuwa mualliq (isim maf’ul dari allaqa) yaitu menggantung, meletakkan, menegakkan, tidak menetapkan/memutuskan sesuatu, seperti ungkapan orang arab berikut:
علَّق القاضي الحُكْمَ ، لم يقطع به، لم يحسمْه
Hakim itu tidak memutus dan menetapkan hukum,
علَّق العقوبةَ: أوقف تنفيذَها
Ia menggantungkan pelaksanaan hukuman,
علَّق إعلانًا على حائط: وضعه عليه
Ia meletakkan/menempelkan pengumuman pada dinding
علَّق بابًا على بيته: نصبه وركَّبه
Ia menegakkan dan menyusun pintu rumahnya.
(Vide:Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu’ashir, dalamhttp://www.almaany.com/home)
Secara Istilah, transaksi ta’aluq adalah
ما علّق وجوده على وجود أمرِ آخر ممكن الحدوث
Artinya: ”suatu akad yang pelaksanaannya tergantung pada akad lain yang mungkin terjadi”. Seperti seorang yang berkata
بعتك داري هذه بكذا ، إن باعني فلان داره ، فيقول الآخر قبلت
Artinya: ”saya jual rumah ini kepada anda, dengan syarat jika fulan menjual rumahnya kepada saya. Lalu pembeli berkata: saya terima akadnya”. (Vide: Syeikh Muhammad Hamzah dalam makalah البيوع المحرّمة بسبب الغرر).
Atau ”saya jual rumah saya kepada anda dengan syarat anda menikahkan putri anda kepada saya”. Pelaksanaan jual beli pertama tergantung dengan pelaksanaan jual beli kedua atau jual beli pertama tergantung dengan pelaksanaan akad nikah, sehingga pelaksanaan akad pertama tergantung dengan pelaksanaan akad kedua. Transaksi seperti ini lebih dikenal dengan istilah jual beli mua’alaq (البيع المعلّق). Sebagian ulama melarang model transaksi seperti ini  (Vide: Syeikh Taqiyudin An-Nabhani, Kitab Syakhsiyah Islamiyah, Jilid II/hal. 308-309, Cetakan kelima, Penerbit Darul Ummah). Pelarangan ini lebih karena ada unsur gharar (ketidakjelasan) dalam akad jual beli ta’aluq, ketika ditelaah dari aspek:
-      ada atau tidaknya akad ke 2 ( من حيث حصوله من عدمه)
-      waktu terjadinya akad ke 2 (من حيث وقت حصوله),
-      kerelaan para pihak pada saat akad ke 2 terealisasi (ومن حيث الرضا عند حصول المعلق عليه),
(Vide: Syeikh Muhammad Hamzah dalam makalah البيوع المحرّمة بسبب الغرر).
Para ulama melarang transaksi ta’aluq ini karena ada gharar dalam akad jual beli ta’aluq dan bukan karena ada 2 akad dalam 1 transaksi.
Gharar dalam jual beli adalah segala bentuk jual beli yang di dalamnya terkandung risiko (khathar), ketidaktahuan (jahl), kekurangan (nuqsan)dan/atau sesuatu yang mudah rusak (ta`arrudh lil halakah).
نهى رسول الله – r – عن بيع الغرر
Artinya: ”Rasul SAW melarang dari jual beli barang secara gharar” (HR. Muslim III: 1153 no: 1513, Tirmidzi II: 349. no: 1248, ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, Ibnu Majah II: 739 no: 2194 dan Nasa’i VII: 262 dari Abu Hurairah ra.).
Dengan demikian, transaksi ta’aluq yang dilarang karena ada unsur gharar padanya. Gharar itu terjadi tatkala beberapa akad dalam satu transaksi atau produk keuangan saling dipersyaratkan, sehingga pelaksanaan satu transaksi tergantung pada pelaksanaan akad lainnya, dan bukan karena adanya 2 akad dalam 1 transaksi.


H. Gharar Dalam Rahn (Gadai)
Terkait gharar dalam Rahn (Gadai), sejumlah ulama berpendapat:
وجوز المالكية الغرر في الرهن. فقد نصوا على جواز رهن ما لا يحل بيعه في وقت الارتهان كالبعير الشارد ، والزرع والثمر الذي لم يبد صلاحه ، ولا يباع في أداء الدين إلا إذا بدا صلاحه ، وإن حل أجل الدين.
Artinya: “Para ulama madzhab Maliki memperbolehkan gharar dalam gadai. Mereka menyatakan tentang kebolehan gadai atas sesuatu yang tidak halal menjualnya pada saat akad gadai, seperti hewan yang hilang, atau buah yang belum masak, dimana buah tersebut tidak boleh dijual untuk melunasi hutang kecuali buah tersebut sudah matang dan (pembayaran hutang) telah jatuh tempo.
وقيد الدردير  الغرر الذي يجوز في الرهن بالغرر اليسيرة ومثل له بالبعير الشارد ، ونص على أنه إذا اشتد الغرر – كالجنين في البطن – فلا يجوز الرهن.
Artinya: “Syaikh al-Dardir membatasi gharar yang diperbolehkan dalam Gadai adalah gharar yang kecil (yasirah), dan beliau mencontohkan dengan (menggadaikan) unta yang hilang. Beliau menegaskan bahwa jika gharar menjadi dominan, seperti janin hewan dalam perut induknya, maka tidak diperbolehkan gadai pada kondisi tersebut.”  (Vide: Kitab al-Mausu`ah al-Fiqhiyyah; huruf Ghain: Bab Gharar.)
Terkait dengan isu gharar yang marak dibicarakan terjadi pada produk rahn (gadai) di institusi Perbankan Syariah, maka dapat diberikan beberapa catatan sebagai berikut:
1.      Salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh bank syariah namun tidak dimiliki bank konvensional adalah bank syariah dapat melakukan transaksi Gadai. Produk gadai diharapkan mampu memberikan kontribusi positif untuk meningkatkan market share perbankan syariah;
2.      Kebutuhan masyarakat terhadap investasi sekaligus lindung nilai (hedging) agar harta yang mereka upayakan tidak tergerus dan terjaga oleh inflasi;
3.      Untuk menghindari unsur ketidakpastian/ketidakjelasan (gharar, spekulatif), maka semua informasi yang terkait risiko dan biaya atas rahn (gadai) harus disampaikan secara jelas oleh Bank Syariah kepada nasabah, yang meliputi informasi tentang:
(1) Kemungkinan terjadinya fluktuasi harga emas;
(2) Biaya-biaya yang harus dikeluarkan nasabah untuk Gadai, seperti biaya administrasi dan biaya pemeliharaan;
(3) Penetapan tanggal lelang di Sertifikat Gadai Syariah (SGS).
(4) Semua ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak (bank syariah dan nasabah) tertuang secara jelas dalam akad dan difahami oleh nasabah
4. Secara prinsip produk rahn (gadai) di Perbankan Syariah telah menggunakan akad Rahn (Gadai), serta tetap mengacu pada Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
5.  Mekanisme Beli Gadai dapat dijalankan, apabila jangka waktu proses pemindahan fisik emas ke ban sudah ditetapakan (misal: 1 x 24 jam), dan nasabah telah membayar uang muka ke toko emas sebelumnya, sehingga itu dapat dianggap telah memenuhi aspek qabdh hukmi (serah terima secara prinsip) obyek marhun (barang gadai).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami berpendapat bahwa konsep rahn (gadai) di perbankan syariah pada prinsipnya dapat dijalankan dengan memperhatikan mekanisme untuk identifikasi penyebab gharar dan mitigasi secara maksimal atas hal tersebut, serta keterbukaan dan transparansi informasi seputar rahn (gadai) kepada nasabah. Wallahu a`lam bish-shawab.

Comments