AKAD MUDHARABAH (Resume)

Aslm

A.     DEFENISI  MUDHARABAH
      Secara etimologi, kata mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
     Dalam literatur lain (fiqh sunnah), mudharabah bisa disebut juga dengan qiradh yang berasal dari kata qardh yang berarti qathu (potongan) karena pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dalam rangka memperoleh keuntungan (laba).
     Secara terminologi, merujuk Fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahibul al maal, bank) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam literatur lain, Mudharabah adalah Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan/diusahakan. Laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.
      Dalam literatur lain, (Fiqh Muamalah : Nasroen Haroen) akad mudharabah adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.

B.    DASAR HUKUM MUDHARABAH
1.      Al-Qur’an :
a)     QS. Al-Muzammil [73] : 20 :
“… dan sebagian mereka berjalan di muka bumi mencari karunia Allah…”.
b)     QS. An-Nisa’ [4]: 29 :
 “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
c)       QS. Al-Ma’idah [5]: 1:
 “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…."

d)      QS. Al-Baqarah [2]: 283:
 “…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
2.      Hadits Nabi SAW :
a)     Hadits Nabi riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas :
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,beliau membenarkannya.”
b)     Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib :
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’”
c)      Hadits Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf :
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
d)      Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri
 “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain”
3.      Ijma :
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
4.      Qiyas :
 Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
5.      Kaidah fiqh :
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

C.    RUKUN MUDHARABAH
1.      Pihak yang ber-akad : Pemilik dana (shahibul Maal) & Pengusaha (mudharib)
2.      Pekerjaan/proyek/kegiatan usaha (‘Amal)
3.      Modal (Ra’sul Maal)
4.      Keuntungan
5.      Ijab Qabul (Sighat)
      Sedangkan, menurut Ulama Hanafiyah, rukun mudharabah itu hanya satu, yaitu ijab (dari shahibul maal) dan kabul persetujuan (dari mudharib). Ulama hanafiyah menyatakan jika shahibul maal dan mudharib telah melafalkan ijab dan qabul maka akad mudharabah itu telah memenuhi rukunnya dan sah. Adapun rukun lainnya sebagaimana dinyatakan Jumhur Ulama, bagi Ulama Hanafiyah ke semua itu masuk sebagai syarat mudharabah.

D.    SYARAT MUDHARABAH
1.      Syarat Pihak yang ber-akad : Cakap bertindak hukum
2.   Syarat Pekerjaan (‘Amal) : seluruh pekerjaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
3.      Syarat Modal (Ra’sul Maal) :
a)     Dimiliki penuh oleh shahibul maal
b)     Harus berupa uang tunai, emas, perak atau yang bernilai (aset), bukan piutang dan bukan aset yang susah dijual.
c)  Harus dibayarkan seluruhnya kepada mudharib. Jika ada sebagian modal yang masih berada pada shahibul maal, maka menurut Ulama Syafiiyah, Hanafiyah dan Malikiyah akad mudharabahnya tidak sah. Sedangkan, menurut Ulama Hanabilah akad mudharabahnya tidak batal selama tidak mengganggu kelancaran usaha.
4.      Syarat Keuntungan :
a)     Keuntungan diperuntukkan bagi kedua pihak yang berakad
b)     Pembagian keuntungan harus jelas (dalam bentuk nisbah)
c)      Keuntungan diambil dari laba usaha
d)     Shahibul maal menanggung semua kerugian. Menurut Ulama Hanafiyah jika pemilik modal mensyaratkan kerugian ditanggung bersama maka syarat seperti itu batal dan kerugian tetap ditanggung oleh shahibul maal.
e)     Bilamana kerugian terjadi secara nyata dan dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari kelalaian mudharib maka shahibul maal lepas dari tanggungjawab ganti rugi, pihak mudharib-lah yang akan bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
5.      Syarat Sighat :
a)     Harus jelas dan disebutkan secara  spesifik dengan pihak yang berakad
b)  Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi pekerjaan, modal dan pembagian keuntungan
c)  Tidak mengandung klausul yang bersifat  menggantungkan keabsahan transaksi pada  hal / kejadian yang akan datang.

E.     PEMBAGIAN MUDHARABAH
1.      Ditinjau dari segi sah-nya akad :
a)    Mudharabah Shahihah, yaitu akad mudharabah yang sah (terpenuhinya segala rukun dan syarat mudharabah.
b)     Mudharabah Fasidah, yaitu akad mudharabah yang rusak karena tidak terpenuhinya rukun dan atau syarat sahnya akad mudharabah.
      Bilamana mudharabah yang dilakukan masuk kepada golongan fasidah, menurut Ulama Hanafiyah, Syafai’iyah dan Hanabilah mudharib (pekerja) hanya berhak menerima upah sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pekerja (pedagang) di daerah itu, sedangkan keuntungan seluruhnya menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja (mudharib) tetap seperti dalam mudharabah shahihah artinya ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.
2.      Ditinjau dari segi transaksi (cakupan kerja) :
a)  Mudharabah Muthlaqah, yaitu mudharabah yang dilakukan dengan memberikan kewenangan pengelolaan modal sepenuhnya kepada mudharib. Artinya, shahibul maal tidak membatasi cara, tempat, dll pengelolaan modal yang dilakukan oleh mudharib. Mudharib bebas mengelola modal untuk usaha halal apapun selama dianggap dapat mendatangkan keuntungan.
b)     Mudharabah Muqayyadah, yaitu mudharabah yang dilakukan dengan memberikan batasan kewenangan pengelolaan modal kepada mudharib. Artinya, shahibul maal membatasi cara, tempat, dll pengelolaan modal untuk usaha yang dilakukan oleh mudharib. Dalam hal ini, mudharib harus mematuhi seluruh syarat dan batasan yang dikemungkakan oleh shahibul maal, misalnya mudharib harus berdagang barang-barang tertentu, di daerah tertentu dan lain sebagainya.

F.     SIFAT AKAD MUDHARABAH
      Imam Malik berpendapat bahwa jika dalam akad mudharabah (pekerjaan) kegiatan perdagangan telah mulai dilakukan oleh mudharib, maka akad tersebut mengikat kedua belah pihak dan akad tersebut tidak dapat dibatalkan sepihak oleh masing-masing pihak yang berakad. Beliau berpendapat bahwa jika akad (dalam konteks) tersebut dibatalkan oleh salah satu pihak, maka pembatalan tersebut akan membawa mudharat kepada salah satu pihak lain, sedangkan memudharatkan orang lain tidak dibolehkan dalam syara’.
      Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa akad mudharabah tidak bersifat mengikat sekalipun pekerjaan telah dimulai. Alasannya adalah bahwa mudharib (dalam konteks tersebut) telah melakukan tindakan hukum terhadap modal orang lain (shahibul maal) dengan se-izinnya. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu, seperti halnya akad titipan. Namun, jika akad itu dibatalkan secara sepihak maka pihak lain harus terlebih dahulu diberitahukan bahwa ia berencana untuk membatalkan akad mudharabah pada saat pekerjaan telah dimulai.

G.    BERAKHIRNYA AKAD MUDHARABAH
      Para ulama menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila :
1.    Masing-masing pihak menyatakan akad batal, atau mudharib dilarang untuk bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau shahibul maal menarik modalnya.
2.  Salah seorang yang berakad meninggal dunia. Jika shahibul maal yang wafat maka menurut Jumhur Ulama akad mudharabah itu batal, karena akad mudharabah sama dengan akad wakalah yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan. Selain itu, Jumhur Ulama berpendapat bahwa akad mudharabah tidak bisa diwariskan. Akan tetapi, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika salah seorang yang berakad meninggal dunia, akadnya tidak batal, tetap dilanjutkan oleh ahli warisnya, karena menurut mereka akad mudharabah boleh diwariskan.
3.      Salah seorang yang berakad kehilangan kecakapan bertindak hukum, misalnya gila.
4.      Modal habis di tangan shahibul maal sebelum dikelola oleh mudharib.
5.   Menurut Imam Abu Hanifah, jika shahibul maal murtad, maka akad mudharabahnya batal. 

H.    CATATAN  LAINNYA TERKAIT AKAD MUDHARABAH
1.    Dalam mudharabah bahwa modal yang ada di mudharib berstatus amanah, sehingga mudharib layaknya berperan sebagai wakil dari shahibul maal.
2.  Dalam mudharabah muthlaqah, sekali pun mudharib bebas mengelola modal untuk usaha yang dianggap bisa mendatangkan keuntungan, namun mudharib tidak diperbolehkan meng-utangkan modal tersebut kepada pihak lain (pihak ketiga). Mudharib juga tidak bolehkan me-mudharabah-kan kepada pihak lain, kecuali atas se-izin shahibul maal dan dalam konteks tertentu misalnya di industri perbankan syariah; bank syariah dapat me-mudharabah-kan dana dari nasabah simpanan (dengan akad mudharabah) kepada nasabah pembiayaan (atas dasar/prinsip mudharabah) mengingat hal tersebut sudah diketahui kedua belah pihak pada saat penandatanganan perjanjian pembukaan rekening simpanan.
3.    Dalam hal upah bagi mudharib apakah boleh diambil dari modal shahibul maal, maka terdapat perbedaan di antara ulama fiqih. Menurut Imam Syafi’i bahwa pekerja tidak boleh mengambil biaya hidupnya dari modal shahibul maal sekalipun dalam hal bepergian untuk keperluan dagang, kecuali atas se-izin shahibul maal. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ulama Zaidiyah, jika pekerja memerlukan dana transport dan atau akomodasi dalam rangka bepergian untuk perdagangan maka ia boleh mengambil biaya dimaksud dari modal. Menurut Ulama Hanabilah, pekerja boleh saja mengambil biaya hidupnya dari modal itu selama ia mengelola modal itu, apakah untuk biaya bepergian atau tidak.
4.   Dibolehkan menyediakan sejumlah aset (capital) dalam rangka menjamin keseriusan mudharib untuk bekerjasama.

REFERENSI :

Accounting and Auditing Organization For Islamic Financial Institutions. Shari’a Standard No. (13) Mudaraba page 229 to 244
Haroen, Nasroen. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Utama.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqhus Sunnah. (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir, Sofwan Abbas & Amir Hamzah), Jil. 3 . Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
(buku) ttn, The Mejelle, Chapter VII is about Mudarebe and contains three sections, page 233 to 237
(paper) Usmani, Maulana Taqi. Mudharabah. An online publication by accountnacy.com.pk page 1 to 5
(journal) Hassan, Zubair. Profit Sharing Ratios In Mudaraba Contract. International Journal of Banking and Finance; Vol.7.

Wallahu 'alam bis showab
Waslm.

Comments

Post a Comment