EKONOMI ISLAM : PRINSIP EKONOMI ISLAM

Prinsip sistem ekonomi Islam ada 2 (dua), yaitu: Pertama, Prinsip umum, yaitu Aqidah Islamiyah yang menjadi landasan pemikiran (al-qa’idah fikriyah) bagi segala pemikiran Islam, seperti sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Aqidah Islamiyah di sini dipahami bukan sekedar sebagai Aqidah Ruhiyah (aqidah spiritual), yakni aqidah yang menjadi landasan aktivitas-aktivitas spiritual murni seperti ibadah, namun juga sebagai Aqidah Siyasiyah (aqidah politis), yakni aqidah yang menjadi landasan untuk mengelola segala aspek kehidupan manusia tanpa kecuali termasuk ekonomi.

Kedua, prinsip khusus (cabang), yaitu sejumlah kaidah umum dan mendasar dalam Syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam, yang secara khusus menjadi landasan bangunan sistem ekonomi Islam. Prinsip khusus ini terdiri dari tiga asas (pilar), yaitu: (1) kepemilikan (al-milkiyah) sesuai syariah, (2) pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fi al-milkiyah) sesuai syariah, dan (3) distribusi kekayaan kepada masyarakat (tauzi’ al-tsarwah baina al-nas), melalui mekanisme syariah.

Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus terikat dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga kegiatan ekonomi) wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah syariah, Al-Ashlu fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm al-syar’i (Prinsip dasar mengenai perbuatan manusia, adalah wajib terikat dengan syariah Islam).

Prinsip sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras dengan prinsip sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme. Aqidah Islamiyah sebagai prinsip umum ekonomi Islam menerangkan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek ekonomi (lihat Qs. al-Mâ’idah [5]: 3; Qs. an-Nahl [16]: 89)

Prinsip Islam ini berbeda dengan prinsip sistem ekonomi kapitalisme, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).1) Paham sekularisme lahir sebagai jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di satu sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan harus ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada pandangan para filosof dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi Gereja. Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak keberadaan agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Agama hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh agama.

Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu siapa yang membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri, bukan Tuhan, karena Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja). Lalu agar manusia bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka manusia harus diberi kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu; kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah al-tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan inilah, lahir sistem ekonomi kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas pula, bahwa prinsip sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme.

Sekularisme ini pula yang mendasari prinsip cabang kapitalisme lainnya, yaitu prinsip yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan (barang dan jasa) kepada masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkutpautkan dengan agama.

Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi, maka dalam masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul adanya kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram menurut agama, misalnya babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam, yang memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT (idzn Asy-Syâri’) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika Allah mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan (yaitu mengharamkan sesuatu) berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi dan minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim.

Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat batasan tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya (kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik. Maka seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran.

Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya (kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun berupa pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah, shina’ah (industri), dan sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena telah diharamkan oleh syariah.

Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi secara informasional, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga, upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini terbukti gagal, baik dalam skala nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar.

Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit. Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.

Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk) Mekanisme ini, misalnya ketentuan syariah yang: (1) membolehkan manusia bekerja di sektor pertanian, industri, dan perdagangan; (2) memberikan kesempatan berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi, seperti dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya; dan (3) memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.

Sedang mekanisme non-ekonomi, adalah mekanisme yang berlangsung tidak melalui aktivitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui aktivitas non-produktif. Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah, zakat, dan lain-lain) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan adanya sebab alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non-alamiah, misalnya penyimpangan mekanisme ekonomi (seperti penimbunan).

Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, dan memperkecil jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Mekanisme ini dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara individu dan negara.

Mekanisme non-ekonomi ada yang bersifat positif (ijabiyah) yaitu berupa perintah atau anjuran syariah, seperti: (1) pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan, (2) pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik, (3) pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan, dan (4) pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain.

Ada pula yang mekanisme yang bersifat negatif (salbiyah) yaitu berupa larangan atau cegahan syariah, misalnya (1) larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya; (2) larangan peredaran kekayaan di satu pihak atau daerah tertentu; (3) larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar; (4) larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya atau pejabat.

Wallahu a'lam

Comments