ANALISIS FATWA DSN-MUI TENTANG DEPOSITO DITINJAU DARI ASPEK USHUL FIQH

Irham Fachreza Anas
Central Studies of Islamic Economics (CESIE)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah :
Pada makalah ini, penulis hanya akan memfokuskan pembahasan seputar metodologi istinbat hukum yang diterapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) untuk menghasilkan fatwa tentang deposito, yang meliputi proses perumusan, sistematika penulisan fatwa dan kekuatan dalil yang digunakan.
2. Perumusan Masalah
a. Bagaimana proses perumusan dari fatwa tentang deposito tersebut?
b. Dalil-dalil apa saja yang digunakan oleh DSN-MUI dalam membuat fatwa tentang deposito?
c. Bagaimana kekuatan hukum dari fatwa tersebut
d. Apa pola ijtihad dari DSN-MUI dalam mengeluarkan fatwa?

BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Teori Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah. Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :

Artinya: "Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."

B. Metode Penetapan Hukum Islam
1. Sumber Hukum Islam
Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.
Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut. Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika istinbat hukum
Terhadap dalil hukum, ada sebutan lain di kalangan ulama ushul seperti istilah masadir al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri atau yang diartikan sumber hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil atau yang diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri dan adillat al syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukum syara.
Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur.
Sunnah adalah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah, termasuk segala sesuatu yang disetujui oleh Beliau. Hadits sendiri berarti segala hikayat atau pembicaraan yang digunakan dalam meriwayatkan segala sesuatu tindak tanduk Rasulullah, sehingga sunnah dapat berarti sebuah contoh perbuatan atau hukum yang diambil dari adanya suatu hadits. Berkaitan dengan Shariah, hanya sunnah yang berkaitan dengan hukum sajalah yang dikategorikan sebagai suatu sumber hukum Islam, sehingga sunnah yang tidak langsung berkaitan seperti bagaimana teknik pertanian, strategi peperangan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah sumber hukum Islam atau hukum pidana Islam.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan berarti berupaya di atasnya. Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.

2. Pola Ijtihad Penetapan Hukum
Terdapat tiga pola ijtihad yang dapat dirujuk yaitu polabayani (kajian semantik), pola Qiyasi (pola ta’lili) yaitu penentuan illat dan pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasarkan nash umum) Ke dalam pola pertama dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik): kapan sesuatu lafal diartikan secara majaz; bagaimana memilih salah satu dari lafal musytarak (ambiguitas), mana ayat yang umum, yang diterangkan (’am, mubayyan, lex generalis) dan mana pula yang khusus, yang menerangkan (khas,mubayyin, lex specialis), mana ayat yang qat’I (yang artinya tidak dapat berubah) dan mana pula yang zani, kapan sesuatu perintah dianggap untuk wajib dan kapan pula untuk sunat, kapan larangan itu untuk haram dan kapan pula untuk makruh dan seterusnya.
Ke dalam pola kedua dimasukkan semua penalaran yang menjadikan ’illat (keadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Disini dibahas cara-cara menemukan ’illat, penggunan ’illat di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan ’illat baru (sebagai pengganti yang lama). khusus sebagai rujukan. Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip (umum), yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahtan tertentu. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan (kebutuhan esensial; kebutuhan sekunder dan kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini dideduksikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Di dalam praktik, biasanya pola ta’lili digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat argumen, tapi mungkin juga untuk mengalihkannya kepada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna. Pola isti slahi sesuai dengan keadaannya, baru digunakan bila tidak ada dalil khusus hanya berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya ketiga pola ijtihad bayani, ta’lili atau istislahi tersebut dalam kaitan dengan maslahat sebagai tujuan tasyri’ merupakan pola dalam rangka memahami tujuan penetapan hukum Islam, yaitu kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, terutama dalam bidang mu’amalah. Dalam kaitan ini penggunaan ketiga pola ijtihad di atas dapat diterapkan secara bersamaan, yaitu
memahami nas, menelusuri ’illat nash dan memikirkan secara mendalam tentang kemaslahatan yang merupakan tujuan penetapan hukum Islam.
Dalam hubungan dengan rekayasa sosiaal karena kemajuan teknologi sekarang, ketiga pola di atas dapat digunakan. Persoalan utama pengembangan dan perubahan ini tidak terletak pada perangkat lunak (pola penalaran) dan tidak juga pada perangkat keras (Al- Qur’an dan Sunah), tetapi lebih banyak terletak pada kualitas operator (mujtahid) dan keberaniannya bereskperimen. Dengan bahasa Arab dan sampai tingkat tertentu ilmu modern (misalnya antropologi dan sosiologi untuk hukum kekeluargaan). Sedangkan eksperimen dapat dicontohkan dengan pertanyaan yang menggunggat kemapanan atau upaya mendekati ayat dan hadis dengan kaidah lain (baru) yang sebelumnya tidak digunakan.

C. Seputar Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid. Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia.

Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi) Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah.
Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara. Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial.
Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Kaedah dan Prinsip Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan isi fatwa. Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim ke MUI Propinsi.
Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.

D. Deposito pada Perbankan
Deposito merupakan salah satu produk perbankan yang terkait dengan dana pihak ketiga. Secara umum deposito didefenisikan menjadi simpanan dana berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.
Bila ditinjau dari aspek investasi, masyarakat lebih cenderung memilih produk deposito untuk menginvestasikan dana mereka. Sebab, keuntungan yang akan didapat dari produk ini lebih tinggi dari produk simpanan lainnya yang ditawarkan lembaga perbankan, seperti tabungan dan giro.

BAB III
ANALISIS FATWA DSN-MUI TENTANG DEPOSITO
DITINJAU DARI ASPEK USHUL FIQH

A. Metode Penetapan Fatwa
Secara garis besar fatwa DSN-MUI tentang Deposito dibuat dengan mengunakan sistematika sebagaimana di bawah ini :

PERTIMBANGAN > PEDOMAN DALIL > MUSYAWARAH > KEPUTUSAN

Berikut penjelasan tiap-tiap bagian dari proses :
1. Pertimbangan
i. Bahwa keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam bidang investasi, pada masa kini, memerlukan jasa perbankan; dan salah satu produk perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah deposito, yaitu simpanan dana berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank
ii. Bahwa kegiatan deposito tidak semuanya dapat dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah)
iii. Bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah syar’iyah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan deposito pada bank syari’ah.

2. Landasan Dalil
Secara garis besar fatwa DSN-MUI tentang Deposito dibuat dengan mengunakan landasan dalil sebagaimana berikut ini :
i. Al-Quran; Dalil Qur’an yang digunakan berjumlah 4 (empat) surat dengan rincian sebagai berikut :
QS. al-Nisa’ [4]: 29

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.

QS. al-Baqarah [2]: 283
..فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ..

“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.


QS. al-Ma’idah [5] : 1:

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.

QS. al-Baqarah [2]: 198

… لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ…
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu..”


ii. Hadits ; Terdapat 3 Hadits yang menjadi dasar dari fatwa Deposito. Berikut rinciannya :
Hadits Nabi riwayat Thabrani:

كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).

“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجه عن صهيب)

“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:


اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

iii. Ijma ; Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
iv. Qiyas : Produk Deposito dengan akad Mudharabah sebagaimana fatwa DSN MUI di-qiyas-kan kepada transaksi musaqah.
v. Kaidah Fiqhiyyah :
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

3. Musyawarah
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000. Pendapat ini lahir dari proses musyawrah antar peserta anggota /ulama dalam pembahasan mengenai produk deposito perbankan syariah.

4. Keputusan
i. Pertama : Deposito ada dua jenis:
Deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu Deposito yang berdasarkan perhitungan bunga.
Deposito yang dibenarkan, yaitu Deposito yang berdasarkan prinsip Mudharabah.
ii. Kedua : Ketentuan Umum Deposito berdasarkan Mudharabah:
iii. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
iv. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
v. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
vi. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
vii. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
viii. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

5. Analisis atas Proses Perumusan Fatwa
i. Pertama
Menimbang bahwa kegiatan deposito tidak semua dapat dibenarkan oleh hukum Islam, oleh karena itu dalam rangka memberikan pedoman dalam pelaksanaan deposito yaitu simpanan berjangka yang penarikanya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan Bank.
DSN hanya membenarkan deposito yang berdasarkan prinsip mudarabah. Fatwa ini ditetapkan oleh DSN dalam rangka merespon keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan dan dalam bidang investasi
ii. Kedua
Terdapat 1 kekurangan yang cukup mendasar pada fatwa DSN-MUI tentang Deposito yaitu pada bagian penutup. Dalam fatwa tersebut tidak terdapat bagian penutup yang berfungsi sebagai penjelasan mengenai peluang terjadinya koreksi atas fatwa bilamana terjadi perubahan-perubahan fitur deposito dikemudian hari.
Ketiadaan bab penutup ini menyebabkan terjadinya 2 hal ; (a) DSN-MUI tidak dapat memprediksikan konflik/perselisihan antara nasabah dan bank dengan tidak menberi solusi penyelesaian masalah (b) fatwa deposito tersebut telah dibuat seakan-akan bersifat final, tidak ada kesalahan, dan tidak akan bisa diubah.
Persepsi tersebut lazim timbul mengingat tidak adanya penjelasan ,mengenai klausul jika terjadi perubahan.
Merujuk pada fatwa lain yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional no : 14/SN-MUI/IX/2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, seharusnya dalam Fatwa Deposito DSN-MUI juga mencantumkan 2 klausul dibawah ini :
Pertama, Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyele-saiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah/Pengadilan Agama/dll setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Kedua, Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

B. Kekuatan Hukum dari Fatwa
Dalam kajian ushul fiqh, lazimnya kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks fatwa DSN-MUI ini, pendapat itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).


C. Pola Ijtihad DSN-MUI dalam Menetapkan Fatwa tentang Deposito
Dalil-dalil yang dikemukakan tentang deposito meliputi kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis serta alasan menurut akal pikiran. Dalil akal pikiran dalam fatwa ini disampaikan oleh para ulama yang memandang perlu adanya kerjasama pihak yang minus dana tetapi mempunyai kemampuan untuk memperniagakan.
Dikaji dari segi metodologi, (pertama) fatwa tentang deposito ini menggunakan metode ijma’ pada peristiwa sejumlah sahabat menyerahkan kepada mudarib harta anak yatim sebagai mudarabah, sedangkan terhadap kesepakatan tersebut tidak ada seorang pun yang mengingkari mereka. Adapun qiyas dipergunakan untuk membadingkan atau menganologika transaksi mudarabah dengan transaksi musaqoh. (Kedua) fatwa tentang deposito menggunakan dalil dari kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, dalil akal pikiran disampaikan oleh para ulama dan metode qiyas serta ijma ulama sebagai bahan pertimbangan penetapan deposito yang diperbolehkan DSN.
Pola ijtihad yang dipergunakan DSN dalam menetapkan fatwa deposito tersebut adalah pola qiyasi (ta’lili) dan pola istislahi. Pola ijtihad qiyasi digunakan pada saat menganalogikan transaksi mudarabah dengan transaksi musaqoh. Dalam hal ini sahibul mal (mudarabah dianalogikan dengan pemilik kebun/ladang dalam musaqoh dan pengelola (mudarib) dianalogikan dengan si penggarap kebun/ladang). Adapun pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasarkan nash umum) digunakan pada saat fatwa tersebut merespon kepentingan masyarakat dalam kegiatan perbankan yang berbasis syari’ah dan berlandaskan pada dalil diantaranya : QS. An-Nisa : 29, QS. Al-Baqarah : 283 dan 198 dan QS. Al-Maidah :1.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini :
1. Secara garis besar fatwa DSN-MUI tentang Deposito dibuat dengan mengunakan sistematika sebagaimana di bawah ini :

PERTIMBANGAN > PEDOMAN DALIL > MUSYAWARAH > KEPUTUSAN

Dalam fatwa tersebut tidak terdapat bagian penutup yang berfungsi sebagai penjelasan mengenai peluang terjadinya koreksi atas fatwa bilamana terjadi perubahan-perubahan fitur deposito dikemudian hari. Ketiadaan bab penutup ini menyebabkan terjadinya 2 hal ; (a) DSN-MUI tidak dapat memprediksikan konflik/perselisihan antara nasabah dan bank dengan tidak memberi solusi penyelesaian masalah (b) fatwa deposito tersebut telah dibuat seakan-akan bersifat final, tidak ada kesalahan, dan tidak akan bisa diubah.
2. Terdapat beberapa dalil yang digunakan dalam perumusan fatwa tentang Deposito oleh DSN-MUI dengan rincian sebagai berikut :
No Jenis Dalil Jumlah
1 Al-Quran 4
2 Hadits 3
3 Ijma’ 1
4 Qiyas 1
5 Kaidah Fiqih 1

3. Dalam kajian ushul fiqh, lazimnya kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks fatwa DSN-MUI ini, pendapat itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).
4. Pola ijtihad yang dipergunakan DSN dalam menetapkan fatwa deposito tersebut adalah pola qiyasi (ta’lili) dan pola istislahi. Pola ijtihad qiyasi digunakan pada saat menganalogikan transaksi mudarabah dengan transaksi musaqoh. Dalam hal ini sahibul mal (mudarabah dianalogikan dengan pemilik kebun/ladang dalam musaqoh dan pengelola (mudarib) dianalogikan dengan si penggarap kebun/ladang). Adapun pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasarkan nash umum) digunakan pada saat fatwa tersebut merespon kepentingan masyarakat dalam kegiatan perbankan yang berbasis syari’ah dan berlandaskan pada dalil diantaranya : QS. An-Nisa : 29, QS. Al-Baqarah : 283 dan 198 dan QS. Al-Maidah :1.

DAFTAR PUSTAKA

Agustianto. Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia. http ://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2010/04/03/fatwa-ekonomi-syari’ah-di-Indonesia
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2003
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. 1997. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. cet. Ke-8.
Salam, Syamsir dan Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian Sosial. 2006. Jakarta : UIN Jakarta Press.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih ; Jilid 2. UIN
Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor : 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito
Yulianti, Rahmani Timorita. Pola Ijtihad Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI tentang Produk Perbankan Syari’ah. Jurnal Ekonomi Islam (La Riba) Vol. 1. 2007

Wallahu a'lam 

Comments

  1. Salaam...

    jelasi tentang tabungan dgn akad mudharabah dong...

    ditunggu y K..trimakasii ^^


    _hany_

    ReplyDelete

Post a Comment