TA'ALLUQ & MULTI AKAD, TIDAK HARAM ?

TA'ALLUQ & MULTI AKAD TIDAK HARAM? 
oleh : Ust. Irawan


A. Pendahuluan
Seiring dengan berjalannya waktu, kegiatan transaksi ekonomi berkembang pesat, sehingga bermunculan beragam model transaksi yang tidak dikenal pada masa lalu tapi berkembang dimasa kini. Salah satu diantaranya adalah penggunaan dua akad atau lebih menjadi satu transaksi, yang dalam fiqih kontemporer disebut al-’uqud al-murakkabah (hybrid contract/multiakad). Multi akad (hybrid contract) adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya satu transaksi yang terdiri dari akad jual-beli dan ijarah, akad jual beli dan hibah dan seterusnya, sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Vide: Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).
Ada sebagian ulama kontemporer yang menilai konsep multi akad bertentangan dengan syariah, karena terdapat nash yang melarang penggabungan beberapa akad dalam satu transaksi, seperti hadis Ibnu Mas’ud ra., ia berkata:
 «نهى رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة واحدة»
Artinya: ”Nabi SAW melarang dua shafqah dalam satu shafqah” (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398).
Hadis ini juga dijadikan dasar untuk melarang konsep ta’aluq, yaitu satu akad yang pelaksanaannya tergantung dengan akad yang lain, seperti orang yang berkata: “saya menjual rumah ini, dengan syarat anda menikahkan anak perempuan anda dengan saya”. Atau “saya menjual rumah ini, dengan syarat anda menjual kuda anda kepada saya”. Kedua model akad ini adalah batil, karena akad jual beli rumah tergantung dengan akad yang lain yaitu akad nikah.
Berdasarkan argumentasi diatas, maka sebagian ulama kontemporer melarang semua model dan bentuk transaksi muamalah yang terindikasi ada ’unsur’ multi akad dan ta’aluq. Maka untuk mendapat pemahaman yang tepat atas masalah ini, dibutuhkan kajian untuk memperoleh pemahaman yang sahih terkait dengan larangan Nabi SAW atas 2 shafqah dalam 1 shafqah dan larangan 2 baiah dalam 1 baiah.

B. PENDAPAT PARA ULAMA TERKAIT MAKNA BAIATAINI FI BAIATIN
Secara umum para ulama’ sepakat atas larangan baiataini fi baiatin, tetapi mereka masih berbeda pendapat dalam menafsirkankan sebab dilarangnya model transaksi seperti dalam hadis tersebut. Syeikh Nazih Hamad mengemukakan 8 pendapat terkait dengan makna baiataini fi baiatin, sebagai berikut:
1) Pendapat Pertama:
No
PENJUAL
PEMBELI
1
Saya jual baju ini sepuluh dirham kontan atau duapuluh dirham kredit
Ya, saya terima
*  tanpa ada penjelasan harga yang disepakati
Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ishaq, Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya dan ulama lainnya.
Alasan dilarangnya model jual beli ini:
§  Menurut Imam syafi’I dan Abu Hanifah adalah karena ketidakjelasan harga.
§  Menurut Imam Malik adalah saddu dzari’ah yang dapat menyebabkan riba.
§  Menurut Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author karena tidak jelasnya harga, dan dalam kitab As-Sailu Al-Jarror karena hal itu tidak melepas akad yang akan terjadi (luzum), serta dari ketidaktetapan akad jual beli dan keragu-raguan diantara dua arah.
§  Tetapi Imam Ibn Qoyyim menolak penafsiran seperti ini dan menyebutnya dengan pendapat yang lemah, karena dalam  penafsiran ini tidak ada riba dan tidak ada dua jual beli dalam 1 jual beli. Dan ini pada hakikatnya adalah khiyar (pent- hak opsi) terhadap dua harga yang diinginkan.
2) Pendapat Kedua:
No
PENJUAL
PEMBELI
2
Juallah peralatan kamu satu dinar atau seharga 1 kambing seperti ini (dijelaskan sifat-sifatnya)sampai akhir bulan ini.
Ya, saya terima
*Keduanya (pent- yaitu penjual dan pembeli) saling berpisah, sehingga menyebabkan terjadi akad jual beli dengan salah satu harga yang tidak jelas.
Alasan dilarangnya model jual beli ini:
§  Menurut Qodhi Ibn Arobi adalah karena terdapat gharar (pent- ketidakjelasan) dalam akad jual beli ini, dimana penjual tidak mengetahui harga penjualan yang terjadi.

3) Pendapat Ketiga:
No
PENJUAL
PEMBELI
3
Saya jual kebunku seharga sekian, dengan syarat kamu menjual rumah kamu seharga sekian juga
Ya, saya terima
*Jika terjadi penjualan kebun milik penjual, maka juga terjadi penjualan kebun milik pembeli.

Alasan dilarangnya model jual beli ini:
§  Menurut Imam Tirmidzi adalah karena keduanya (penjual dan pembeli) saling berpisah dengan harga yang tidak diketahui, karena masing-masing penjual dan pembeli tidak mengetahui atas harga yang terjadi dalam akad.
§  Menurut Imam Asy-Saukani adalah karena adanya ta’liq (dikaitkan) dengan syarat pada masa datang.
§  Menurut Imam Al-Khattabi, dengan contoh: “saya jual budak laki-laki ini senilai 20 dinar, dengan syarat kamu menjual budak perempuanmu senilai 10 dinar”, hukumnya adalah fasad (rusak), karena kekurangan harganya masih tidak diketahui.
§  Para ulama’ madzhab Maliki dan Ibn Taimiyah tidak menerima penafsiran seperti ini dari segi keharamannya.
§  Menurut Imam Malik’ dengan contoh: “saya menjual budak laki-lakiku ditambah 10 dinar, dengan syarat anda menjual  budakmu senilai 20 dinar”, hukumnya adalah boleh, karena disana ada penjualan budak dengan budak ditambah dengan uang senilai 10 dinar.
§  Menurut Ibn Taimiyah, dengan contoh: “saya jual bajuku senilai 100, dengan syarat anda menjual bajumu senilai 100 juga”, maka jika yang diinginkan masing-masing penjualan bajunya, maka terjadi akad jual beli itu. Hal ini sama dengan nikah syighar yaitu pernikahan yang didasarkan pada janji atau kesepakatan penukaran dengan menjadikan 2 orang perempuan sebagai mahar masing-masing, contohnya seperti: “Saya nikahkan anda dengan dengan anak atau saudara perempuan saya, dengan syarat anda menikahkan saya dengan anak/saudara perempuan anda. Hal ini dilarang dalam Islam sesuai dengan hadis Nabi SAW:”Tidak ada nikah syighar dalam Islam,” (Shahih, HR Ibnu Majah [1885] dan Ibnu Hibban [4154])).
4) Pendapat Keempat:
No
PENJUAL
PEMBELI
4
Saya jual barang ini seribu dan delapan ribu
Ya, saya terima
* Salah satu penjualan menjadi luzum (wajib)

Alasan dilarangnya model jual beli ini:
§  Menurut madzhab Malik, jual beli seperti ini tidak diperbolehkan, dalam rangka saddu dzari’ah (pent- menutup jalan yang dapat menghantarkan kepada perkara yang diharamkan) yaitu perkaray yang menyebabkan riba.

5) Pendapat Kelima:
No
PENJUAL
PEMBELI
5
Saya jual barang ini senilai 100 secara tangguh/kredit dengan jangka waktu satu tahun, dengan syarat saya akan membelinya dari kamu senilai 80 secara kontan.
Ya, saya terima
§  Menurut Syeikhul Islam Ibn Qoyyim Al-jauziyah contoh inilah yang maksud dari hadis baiataini fi baiatin dan bukan penafsiran yang lain, karena pendapat ini diperkuat dengan hadis lainnya yaitu:
 نهى عن بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ و عن سلف و بيع
Artinya: “Nabi SAW melarang 2 baiah dalam 1 baiah, dan melarang pinjaman dan jual beli”.
Lafadz hadis diatas, masing-masing kembali kepada riba. Pada dhahirnya seperti akad jual beli, namun pada hakikatnya adalah riba.
6) Pendapat Keenam:
No
PEMBELI
PENJUAL
6
Belikan saya alat-alat pertanian dibayar secara kontan! dan juallah alat-alat itu kepadaku senilai sekian secara kredit dengan jangka waktu satu tahun
Ya, saya terima
*  Transaksi jual beli, tapi tidak ada barangnya.

§  Menurut Qodhi Ibn Arobi, penafsiran seperti ini adalah tidak mungkin, kecuali ada persyaratan. Dan jika pembeli itu menyerahkan dan berjanji untuk dijual kembali, maka hal ini tidak murni haram, melainkan karena ada syubhat dan dalam rangka saddu dzari’ah.

7) Pendapat Ketujuh:
No
PENJUAL
PEMBELI
7
Saya jual ini kepadamu 10 dinar, dengan syarat kamu memberikan harganya (kurs/nilai tukar) menggunakan dirham.
Ya, saya terima

§  Contoh ini menurut mayoritas ulama’ fiqh seperti: Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam  Ahmad, Imam Ishaq, Imam Abu Tsaur termasuk dalam kategori baiataini fi baiatin.
§  Menurut Imam Malik, contoh seperti ini adalah boleh, karena bermaksud pada ucapannya yang terakhir dan ia tidak akan mengambil dinar (pent- harga) selamanya.

8) Pendapat Kedelapan:
No
PEMBELI
PENJUAL
8
Pembeli  memesan satu keranjang gandum selama satu bulan dan ketika jatuh temponya, pembeli memintanya senilai gandum, lalu pembeli berkata: ”juallah gandum kamu padaku dengan jangka waktu dua bulan lagi senilai dua keranjang”.
Ya, saya terima
* Karena penjualan yang kedua sudah termasuk penjualan yang pertama

§  Contoh ini dikemukakan oleh Ibn Ruslan dalam kitab Syarh Sunan
Menurut Syeikh Nazih Hamd dalam kitab Qodoya Fiqhiya Muasiroh fil Mal wa al-Iktisod ada dua pendapat yang paling unggul dibanding pendapat yang lain, yaitu:
1.      Pendapat Pertama (yaitu bai’ al-mubham)
2.      Pendapat Kelima (yaitu bai’ al-ienah)
Walhasil, untuk mendapatkan penafsiran yang paling tepat dan paling sesuai terkait konteks larangan 2 baiah dalam 1 baiah dan larangan 2 shafqah dalam 1 shafqah seperti dalam hadis diatas, maka diperlukan kajian secara mendalam atas makna bahasa dari  lafadz ‘baiah’ dan ‘shafqah’, serta penjelasan para ulama ahli hadis dan ahli fiqh dari generasi Salaf Ash-Shalih, karena mereka adalah generasi terbaik dalam memahami nash-nash syara,’ disebabkan kedekatan mereka dengan masa nubuwah dan keluasan ilmu yang mereka miliki. (Vide: Kitab Qodhoya Al-Iqtisod Al-Muasiroh, Syeikh Nazih Hammad)

C. KAJIAN DAN NILAI HADIS DARI ASPEK SANAD:
HADIS PERTAMA:
«نهى رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة واحدة».
Artinya: “Rasul SAW melarang 2 shafqah dalam 1 shafqah”.

1- KAJIAN HADIS DARI ASPEK SANAD
Takhrij Hadis:
1) Imam Ahmad meriwayatkan Hadis dengan lafadz seperti ini dalam Kitab Musnadnya (398/1) dari sahabat Ibn Mas’ud ra.
Imam Ahmad juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibn Mas’ud ra. (393/1), ia berkata:
«لا تصلح سفقتان في سفقة، وأنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: «لعن الله آكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه».
“Tidak layak 2 shafqah dalam 1 shafqah”, dan Rasul SAW bersabda: “Allah melaknat pemakan riba, yang menjadi wakil, saksi dan penulisnya”.

2) Ibn Hibban meriwayatkan hadis ini (no. 1111, 1112) dari jalan Sufyan dan Syu’bah.
3) Al-Hafidz Ibn Humam Ash-Shan’anii meriwayatkan dalam kitab Mushanafnya secara mauquf dari Ibn Mas’ud ra. Hadis no. 14.633 dan lafadznya:
 «لا تصلح الصفقتان في الصفقة، أن يقول: هو بالنسيئة بكذا وكذا وبالنقد بكذا وكذا».
Artinya: “Tidak layak 2 shafqah dalam 1 shafqah, seperti seorang yang berkata: barang ini secara tangguh/kredit dengan harga sekian dan jika tunai dengan harga sekian”.
Hadis no. 14636 dan lafadznya dari Ibn Mas’ud ra., ia berkata:
«الصفقتان في الصفقة ربا».
Artinya: “2 shafqah dalam 1 shafqah adalah riba”.

Hadis no. 14637 dan lafadznya dari Ibn Mas’ud ra., ia berkata:
«لا تحل الصفقتان في الصفقة».
Artinya: “Tidak halal 2 shafqah dalam 1 shafqah”.

4) Imam baihaqi meriwayatkan dalam kitab Sunan Al-Kubra (343/1) dengan sanadnya dari Abdullah ibn Amru ibn Al-Ash, bahwa Rasul SAW bersabda:
 «نهى عن بيع وسلف، وعن بيعتين في صفقة واحدة، وعن بيع ما ليس عندك»
Artinya: “Ia melarang jual beli dan salaf (hutang), dan dari 2 baiah dalam 1 shafqah, dan menjual sesuatu yang tidak dimiliki”.

5) Imam Ibn Abi Syaibah meriwayatkan secara mauquf dari sahabat Ibn Mas’ud ra. dengan lafadz :
«صفقتان في صفقة ربا»
Artinya: “2 shafqah dalam 1 shafqah adalah riba” (vide: Mushanaf 2/192/8)

Dengan Lafadz :
«الصفقة في الصفقتين ربا»
Artinya: “1 shafqah dalam 2 shafqah adalah riba (vide: Mushanaf 199/6; Mushanaf Abdurrazaq 138/8 dan 139)

6)  Imam Ibn Nashr meriwayatkan dengan lafadz yang serupa dalam kitab As-Sunnah (Vide: Ibn Nashr, Kitab As-Sunnah hal. 54)

2- NILAI HADIS DARI ASPEK SANAD:
Hadis Nabi SAW:
«نهى رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة واحدة».
Artinya: “Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dua shafqah dalam satu shafqah”.
Hadis ini marfu’ (pent- mata rantai sanadnya bersambung hingga Nabi SAW). Imam Al-Haitsami berkata dalam Majma Zawa’id & Manba’ Al-Fawaid bahwa hadis ini diriwayatkan dari Imam Al-Bazar, Ahmad, Thabrani dalam Al-Awsath dan lafadznya :
 «لا تحل صفقتان في صفقة»
Artinya: ”Tidak halal dua penjualan dalam satu penjualan”.

Ath-Thabrani juga meriwayatkan dalam kitab Al-Kabir dengan lafadz:
 «الصفقة بالصفقتين ربا»
Artinya: ”Satu jual-beli dalam dua jual – beli adalah riba”. Dan hadis ini dinilai mauquf (mata rantai perawinya hanya sampai kepada Sahabat ra.)

Al-Bazar juga meriwayatkan dengan tambahan lafadz:
 «وأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلّم بإسباغ الوضوء. ورجال أحمد ثقات»
Artinya: “Rasul SAW memerintahkan kami untuk menyempurnakan wudhu’ “. Para perawi Imam Ahmad adalah para perawi yang terpercaya (tsiqat).
(Vide: Kitab Majma’ Az-Zawa’id dan Manba’ Al-fawaid, jilid 4/hal 84 – 86)

Syeikh Albani memberi komentar atas hadis ini:
 «رواية أحمد المرفوعة، في سندها شريك بن عبد الله القاضي، وهو سيِّء الحفظ، فلا يحتج به، مع مخالفته لسفيان وشعبة في رفعه»
Artinya: “hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah hadis marfu’, tapi dalam sanadnya ada perawi bernama Syuraik Ibn Abdillah Al-Qadhi, dimana ia buruk hafalannya (sayyi’ul hifdzi), maka hadisnya tidak digunakan sebagai hujah, karena riwayatnya bertentangan dengan riwayat Sufyan dan Syu’bah dalam menilai hadis ini marfu’ “. (Vide: Kitab Irwa’ul Ghalil, jilid 5/ hal. 149)
Berkata Al-Hafidz Ibn Hajar tentang Syuraik Ibn Abdillah Al-Qadhi:
 «صدوق يخطىء، من الخامسة، مات في حدود الأربعين ومائة»، وذكر بأنَّ «البخاري ومسلمًا وأبا داود، والنسائي وابن ماجه، والترمذي في الشمائل قد أخرجوا أحاديثه»
Artinya: “Jujur tapi adakalanya salah (shuduq yukhti’), termasuk generasi perawi kelima, meninggal pada penghujung tahun 140 H. Tetapi Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasai, Ibn Majah dan At-Tirmidzi dalam kitab syamail telah meriwayatkan hadits dari Syuraik. (Vide: Kitab Taqrib At-Tahdzib, Penerbit Darul Ma’rifah Beirut – Lebanon, Jilid 1/ hal. 351)
Walhasil, hadis ini secara sanad dinilai sebagai hadis marfu’ karena mata rantai sanadnya bersambung hingga Nabi SAW, tapi riwayat dengan lafadz ini ada cacatnya yaitu keberadaan perawi berna Syuraik Ibn Abdillah Al-Qadhi Al-Mishrii, atau dengan ungkapan lain hadis ini terindakasi termasuk hadis dhaif. Tetapi hadis ini memiliki beberapa hadis pendukung (syawahid) dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ibn Umar, Ibn Amru ra., hingga hadis ini naik menjadi hadis hasan li ghairihi dan layak dijadikan hujjah. Para ulama memberi catatan bahwa hadis dhaif yang naik ‘statusnya’ menjadi hasan lighairi, karena di dukung hadis lainnya adalah bukan dalil utama untuk berhujah dan berargumentasi dalam masalah hukum yang terkait dengan halal – haram.
Terkait dengan riwayat mauquf (pent- mata rantai perawi berakhir pada para sahabat) dari Ibn Mas’ud ra., maka syeikh Albani menilai riwayat mauquf tersebut sahih, dengan penjelasan:
 «أخرجه عبد الرزَّاق في المصنف، وابن أبـي شيبة، وابن حبان، والطبراني وسنده صحيح، وفي سماع عبد الرحمن من أبيه خلاف، وقد أثبته جماعة، والمثبت مقدم على النافي ».
 Artinya: “Imam Abdurrazaq telah meriwayatkan hadis ini dalam kitab Mushanafnya, demikian pula Ibn Abi Syaibah, Ibn Hibban, Ath-Thabranii dengan sanad yang sahih. Terkait dengan riwayat yang didengar oleh Abdurrahman dari ayahnya terdapat khilaf. Sebagian ulama hadis (jama’ah) menetapkan kesahihan riwayat ini, maka berlaku kaidah:
 المثبت مقدم على النافي
Artinya:“penetapan hadis sahih didahulukan atas yang menafikannya”.

Adapun riwayat Imam Ahmad dengan lafadz:
«لا تصلح الصفقتان في الصفقة».
Artinya: “Tidak layak 2 shafqah dalam 1 shafqah,”.

Dan riwayat dari Imam Ibn Hibban dengan lafadz:
 «لا تحل الصفقتان في الصفقة». وأنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: «لعن الله آكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه»
Artinya: “Tidak halal 2 shafqah dalam 1 shafqah”. dan Rasul SAW bersabda: “Allah melaknat pemakan riba, yang menjadi wakil, saksi dan penulisnya”. Merupakan riwayat yang sahih.
 Imam Ibn Nashr menambahkan dalam kitab As-Sunnah dengan lafadz:
 «أن يقول الرجل: إنْ كان بنقد فبكذا وكذا، وإن كان إلى أجل فبكذا وكذا».
Artinya: “seperti seorang yang berkata: jika tunai dengan harga sekian, dan jika tangguh/kredit dengan harga sekian”.
Ini adalah riwayat Imam Ahmad dan ia menjadikannya sebagai ucapan Samak, dimana perawinya adalah Abdurrahman Ibn Abdillah.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Nashr dan Abdurrazaq dalam kitab Mushanafnya adalah sahih sanadnya dari Syuraih, ia berkata: “maka ia menyebut riwayat tersebut dari ucapannya dengan lafadz semisal hadis terjemah dengan satu huruf”. Saya berpendapat (pent- syeikh albani):
 «وسماك هو ابن حرب، وهو تابعي معروف، قال: «أدركت بثمانين صحابيًّا»، وهو صدوق، غير أنَّ روايته عن عكرمة خاصة مضطربة، وقد تغيَّر بأخرة. مات سنة 23هـ. وروى له البخاري ومسلم وغيرهما ».
Artinya: “Samak adalah Ibn Harb, dia seorang tabi’in yang dikenal (ma’ruf), ia pernah berkata (saya pernah bertemu dengan 80 sahabat) (Vide: Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Maktabah Al-Ma’arif – Riyadh, 420/5). Imam Bukhari dan Muslim, serta Ulama Hadis lainnya juga meriwayatkan hadis dari Samak. (Vide: Taqrib At-Tahdzib 1/332)

D. PENGERTIAN SHAFQAH:
Shafqah (الصفقة) secara bahasa berasal dari kata Ash-Shafaq (الصفق), yaitu pukulan yang dapat didengar suaranya. Dari kata ini dibentuk kata At-Tasfiiq (التصفيق).
Ada yang berkata: Shafaqa bi yadaihi wa tashaafaquu (صفق بيديه، وتصافقوا), maksudnya: saling berjual – beli (تبايعوا).
Ada yang berkata: Shafaqa yadahu bil ba’iah wal ba’I wa a’laa yadihi shafqan, maksudnya: memukul dengan tangannya kepada tangan orang lain (ضرب بيده على يده) dan hal ini dilakukan pada saat wajidnya jual-beli.
Ada juga yang berkata: Rabihtu Shafqataka (ربحت صفقتك), maksudnya: telah mendapat untung jual – beli anda (shafqataka).
Ada juga yang berkata: jual dan beli anda, dan shafqah yang menguntungkan atau merugikan (بيعك وشراؤك ــ وصفقة رابحة، أو خاسرة وهكذا).
(Lihat: Kitab Lisanul Arab – Ibn Mandzur dan Qamus Al-Muhith – Bab Kata Shafaqa)


Para Ulama ahli bahasa memberikan penjelasan terkait dengan makna yang sesuai atas lafadz shafqah (صَفْقَةٌ ), sebagai berikut:
 1)        Umar Ibn Khatab ra.:
 وَعَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ حِينَ وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ إنَّ النَّاسَ قَائِلُونَ غَدًا مَاذَا قَالَ وَإِنَّ الْبَيْعَ صَفْقَةٌ أَوْ خِيَارٌ وَالْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
Artinya: “Dari Umar bin Khatab ra.: ia berkata tatkala meletakkan kakinya pada pelana unta (الْغَرْزِ), apa yang akan dikatakan oleh orang-orang besok ? (pent- mereka akan mengikuti penjelasan umar), maka umar berkata: “jual beli (الْبَيْعَ) adalah shafqah (صَفْقَةٌ ) atau pilihan (خِيَارٌ) dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat”. (Vide: Kitab Thalabah Ath-Thalabah, jilid 3/hal. 267, situs http://www.al-islam.com, maktabah Syamilah, nomer halaman berbeda dengan edisi cetak)
2)        Imam Al-Azharii:
 إنما قيل للبيعة صفقةٌ لضرب اليد على اليد عند عقد البيع
Artinya:“adapun terkait (للبيعة) adalah shafqah (صفقةٌ): karena menepuk/memukulkan tangan dengan tangan pada saat akad jual beli (لضرب اليدعلى اليد عند عقد البيع)”. (Vide: Tahdzib Al-Lughah, Jilid 3/hal. 158, Imam Al-Azhari,http://www.alwarraq.com, Maktabah Syamilah, nomer halaman berbeda dengan edisi cetak)
 3)  Imam Zamakhsyarii:
وهذه صفقة مباركة وهي ضرب اليد على اليد في البيع والبيعة
Artinya: ”Dan ini adalah shafqah yang diberkahi, yaitu menepukkan tangan dengan tangan dalam jual beli dan bai’at (pent- pengangkatan khalifah dalam Islam)”. (Vide: Asas Al-Balaghah, Imam Zamakhsyarii, Jilid 1/hal. 262, Maktabah Syamilah, http://www.alwarraq.com, nomer halaman berbeda dengan edisi cetak)
4)  Imam Ash-Shahib Ibn Ibad:
Ada juga yang berpendapat bahwa pengertian (وصَفَقَه بيَدِه صَفْقَةً): ia memukulnya dengan sekali pukulan (ضَرَبَه ضَرْبَةً).
Shafqah dalam jual beli (البَيْع): menepuk/memukulkan tangan dengan tangan (ضَرْبُ اليَدِ على اليَدِ). (Vide:  Al-Muhith Fi Al-Lughah, Ash-Shahib Ibn Ibad,  Jilid 1/hal. 445, http://www.alwarraq.com, nomer halaman berbeda dengan edisi cetak)
5)   Ibn Mandzur:
Dikatakan pada jual – beli dengan Ash-Shafqah, karena mereka (orang arab) dahulu kala ketika berjual – beli saling bersalaman/menepukkan tangan (وإنما قيل للبيعة: الصفقة، لأنهم كانوا إذا تبايعوا تصافقوا بالأيدي).
(Vide: Kitab Lisanul Arab, Penerbit Darul Ma’arif, Jilid 4/Hal. 2464)
Dari sini, menurut penjelasan para ulama ahli bahasa makna yang dimaksud dengan shafqah adalah jual-beli (al-bai’ah) (أنَّ المراد بالصفقة هي البيعة).
Kemudian berkembang (cara ini) pada jual – beli dan perdagangan secara mutlak, seperti yang ditunjukkan pada hadis Abu Hurairah:
 «ألهاهم الصفق بالأسواق»، أي: ألهاهم التبايع
Artinya: Mereka berjual – beli dengan saling menepuk di pasar-pasar. (HR. Bukhari dalam Kitab Shahihnya, dengan Fathul Barii, jilid 4/ hal. 321).
 أنَّ المراد بالصفقتين في صفقة واحدة:أي بيعتين في بيعة واحدة
Walhasil, dapat disimpulkan pengertian dua shafqah dalam satu shafqah adalah dua jual beli dalam satu jual beli. Kata Shafqah (الصفقة), safqah (السفقة), dan al-ba’iah (البيعة) adalah satu pengertian (mutaradif).
Selanjutnya akan dipaparkan penjelasan dari sejumlah para Ulama Salaf Ash-Shalih terkait dengan pemahaman yang tepat atas hadis ini, sebagai berikut:
1) Abdullah Ibn Mas’ud:
Abdur Razaq meriwayatkan dalam kitab Mushanafnya dari Abu Hurairah ra.:
 «لا تصلح الصفقتان في الصفقة: أن يقول: هو بالنسيئة بكذا وكذا، وبالنقد بكذا وكذا»
Artinya: ”Tidak boleh dua jual beli dalam satu jual beli”, maksudnya tatkala seorang berkata: harga barang ini secara tangguh/kredit adalah sekian, dan secara tunai adalah sekian (pent- terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu harga tunai atau kredit)”. (Mushanaf Abdurrazaq (138/8), hadis no 14.633, 14.639, 14.632, 14.636, 14.637)
Abdurrazaq meriwayatkan dalam kitab Mushanafnya dari Ibn Mas’ud, ia berkata:
«الصفقتان في الصفقة ربا». قال سفيان: يقول: إن باعه بيعًا فقال: أبيعك هذا بعشرة دنانير، تعطني بها صرف دراهمك.
Artinya: “2 jual beli dalam 1 jual beli adalah riba”. Sufyan berkata: “JIka seorang menjual barang, lalu berkata: Saya jual barang ini kepada anda 10 dinar, maka anda memberi kepada saya sebagai penggantinya dengan beberapa uang dirham anda”.
2) Sufyan Ats-Tsauri:
Abdur Razaq meriwayatkan dalam kitab Mushanafnya dari Sufyan Ats-TSauri, ia berkata:
 قال الثوري: إذا قلت: أبيعك بالنقد إلى كذا، وبالنسيئة بكذا وكذا، فذهب به المشتري، فهو بالخيار في البيعين ما لم يكن وقع بيع على أحدهما، فإن وقع البيع هكذا فهذا مكروه، وهو بيعتان في بيعة، وهو مردود، وهو الذي ينهى عنه، فإن وجدت متاعك بعينه أخذته، وإن كان قد استهلك فلك أوكس الثمنين وأبعد الأجلين.
Artinya: “Jika anda berkata: saya menjual kepada anda secara tunai dengan harga sekian, dan jika secara tangguh/kredit dengan harga sekian, lalu pembeli pergi, maka ia memiliki hak opsi (khiyar) antara dua (harga) jual beli ketika terjadi jual – beli pada salah satu dari keduanya. Ketika terjadi jual – beli dengan cara seperti ini (pent- terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu harga tunai atau kredit), maka jual beli ini hukumnya makruh (dibenci), karena termasuk dua jual beli dalam satu jual beli. Dan jual beli seperti ini tertolak (mardud) karena jual beli seperti ini dilarang. Jika anda mendapatkan barang anda, maka anda boleh mengambilnya. Jika barang tersebut telah musnah, maka bagi anda harga yang paling sedikit (pent- dari 2 pilihan harga) dan paling lama jatuh temponya (pent- dari 2 pilihan jangka waktu).
 وروى عبد الرزاق: قال الثوري في رجل سلف رجلاً مئة دينار في شيء، فلما ذهب ليزن له الدنانير، قال: أعطني بها دراهم أو عرضًا، قال: هو مكروه، لأنه بيعتان في بيعة.
Artinya: “Abdurrazaq meriwayatkan, Ats-Tsauri berkata tentang seorang yang meminjamkan 100 dinar untuk sesuatu kepada orang lain, ketika dia pergi untuk menimbangnya dengan beberapa dinar, maka dia (pent- orang yang memberi pinjaman) berkata:  berikan kepada saya beberapa dirham atau barang lain sebagai penggantinya (pent- pengganti hutang yang diberikan), Maka Ats-tsauri berkata: jual beli ini dibenci (makruh), karena ia adalah 2 jual beli dalam 1 jual beli”. (Vide: Mushanaf Abdurrazaq (138/8), hadis no 14.633, 14.639, 14.632, 14.636, 14.637)

3)  Masruq:
 Abdur Razaq meriwayatkan dalam kitab Mushanafnya:
 عن مسروق في رجل قال: أبيعك هذا البز بكذا وكذا دينارًا، تعطني الدينار من عشرة دراهم، قال مسروق: قال عبد الله: لا تحل الصفقتان في الصفقة.
Artinya: “dari Masruq kepada seorang, ia berkata: Saya menjual al-buz (pent- baju yang terbuat dari katun) kepada anda dengan sekian dinar, lalu anda memberikan kepada saya sebanyak 1 dinar yang terdiri dari 10 dirham. Marsuq berkata, Abdullah berkata : tidak halal 2 jual beli dalam 1 jual beli”. (Vide: Mushanaf Abdurrazaq (138/8), hadis no 14.633, 14.639, 14.632, 14.636, 14.637)

4) Samak:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Samak dari Abdurrahman Ibn Abdillah Ibn Mas’ud dari ayahnya, ia berkata:
«نهى صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة». قال سماك: هو الرجل يبيع البيع فيقول هو بنسأ بكذا، وهو بنقد بكذا وكذا»
Artinya: “Nabi SAW melarang dua jual – beli dalam satu jual – beli”. Samak berkata: yakni seorang yang menjual barang, lalu berkata: barang ini harganya sekian secara tunai dan harganya sekian secara tunai (pent- terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu harga tunai atau kredit)”. (Musnad Imam Ahmad (1/ 393, 398))
Ini merupakan penafsiran dari Ibn Nashr dalam kitab As-Sunnah (hal. 54), Abdurrazaq meriwayatkan dalam kitab Al-Mushanaf dengan sanad yang sahih. (Vide: Mushanaf Abdurrazaq (138/8), hadis no. 14.629)
  
5) Abdul Wahab Ibn Atha’:
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sannad dari abdul wahab ibn atha’ dari muhammad ibn amru dan dari abi salamah, dari abi hurairah ra. ia berkata:
 «أنَّ النبـي صلى الله عليه وسلّم نهى عن بيعتين في بيعة».
وفي رواية يحيـى قال عبد الوهَّاب: يعني يقول: هو لك بنقد بعشرة، وبنسيئة بعشرين».
Artinya: “Nabi SAW melarang dua jual – beli dalam satu jual – beli. Dalam riwayat yahya, Abdul Wahab berkata: yakni barang ini untuk anda secara tunai senilai 10 dan secara tangguh/kredit senilai 20 (pent- terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu harga tunai atau kredit)”. (Vide: Sunan Al-Kubra Lil Baihaqi (5/343))
6) Abi Sulaiman:
Syeikh berkata: Saya membaca dalam kitab Abi Sulaiman dalam menafsirkan hadis ini:
 كـأنـه أسلـف دينـارًا فـي قفيـز بر إلى شهـر، فلمـا حـلَّ الأجل وطـالبه بالبـر قال لـه: بعني القفيـز الذي لـك بقفيـزين إلى شهـرين، فهـذا بيع ثان، قد دخل على البيع الأول فصار بيعتين في بيعة فيردان إلى أوكسهما، وهو الأصل، فإن تبايعا البيع الثاني قبل أن يتناقضا البيع الأول كانا مربين.
 Artinya: “Seperti orang yang memberi hutang senilai 1 dinar berupa 1 qafiz (12 sha’) gandum dengan jangka waktu sebulan. Ketika jatuh tempo, dan ia meminta ganti dengan gandum. Ia (pent- peminjam belum mampu membayar hutangnya) berkata kepada penjual: “Juallah kepada saya 1 qafiz (12 sha’) gandum milikmu dengan nilai 2 qafiz gandum dengan jangka waktu 2 bulan”, maka ini adalah jual beli kedua. Dimana jual beli kedua masuk pada jual beli pertama, sehingga terjadilah 2 jual beli dalam 1 jual beli, maka hendaknya (pent- menurut konteks hadis) ia (pent- pembeli) mengambil harga yang paling rendah (pent- harga pokok yaitu 1 qafidz gandum). JIka keduanya (pent- pembeli & penjual) melakukan jual beli yang kedua sebelum menyelesaikan jual beli pertama, maka keduanya telah melakukan riba.” (Vide: Sunan Al-Kubra Lil Baihaqi (5/343))
7) Abu Ubaid:
Abu Ubaid rahimahullah berkata:
 «ومعنى «صفقتان في صفقة»: أن يقول الرجل للرجل: أبيعك هذا نقدًا بكذا، ونسيئة بكذا، ويفترقان عليه.
Artinya: “pengertian dua jual beli dalam satu jual beli seperti seorang yang berkata kepada orang lain: saya menjual barang ini kepada anda secara tunai dengan harga sekian, dan secara tangguh/kredit dengan harga sekian, dan kemudian keduanya berpisah (pent- terjadi akad jual beli, tanpa memilih salah satu dari 2 harga tunai atau kredit). (Vide: Nashbu Ar-Rayah (4/20))
Abu Ubaid rahimahullah berkata:
 في حديث عبد الله [ رحمه الله -  ] صفقتان في صفقة ربا  [ قال -  ] معناه أن يقول الرجل للرجل: / أبيعك هذا الثوب بالنقد بكذا وبالتأخير بكذا، ثم يفترقان على هذا الشرط  [ ومنه حديث النبي صلى الله عليه وسلم: إنه نهى عن بيعتين في بيعة: فإذا فارقه على أحد الشرطين بعينه فليس ببيعتين في بيعة ].
Artinya: “Abu Ubaid berkata: terkait hadis Abdullah tentang larangan 2 shafqah dalam 1 shafqah adalah riba, ia berkata: pengertian larangan 2 shafqah dalam 1 shafqah, seperti seorang berkata: seorang kepada orang lain: saya jual kepada anda baju ini secara tunai senilai sekian, dan secara tangguh senilai sekian, kemudian keduanya berpisah atas syarat ini (pent- tidak memilih salah satu harga).
Terkait dengan hal ini, terdapat hadis Nabi SAW yang melarang 2 baiah dalam 1 baiah. Namun ketika pembeli berpisah dengan pembeli dengan memilih salah satu dari syaratm maka tidak termasuk larangan 2 baiah dalam 1 baiah. (Vide: Gharib Al-Hadis Li Ibn Salam, jilid 4/hal. 110, Maktabah Syamilah, nomer halaman sesuai dengan edisi cetak)
Abu Ubaid rahimahullah berkata:
 وفي هذا  الحديث من الفقه أنه لم ير بأسا أن يكون للبيع سعران: أحدهما بالتأخير والآخر بالنقد  – إذا فارقه على أحدهما فأما إذا فارقه عليهما جميعا فهو الذي قال عبد الله: صفقتان في صفقة ربا، ومنه الحديث المرفوع أنه نهى عن بيعتين في بيعة.
Artinya: ”Kandungan fiqh dalam hadis ini, ia (abu ubaid) berpendapat boleh jual beli dengan 2 harga : harga tangguh dan harga tunai. Jika pembeli berpisah dengan penjual dengan memilih salah satu harga. Adapun jika pembeli berpisah dengan penjual dengan 2 harga, hal ini seperti ucapan Abdullah ra.: 2 shafqah dalam 1 shafqah adalah riba. Tedapat hadis marfu’ yang melarang 2 baiah dalam 1 baiah”. (Vide: Gharib Al-Hadis Li Ibn Salam, jilid 4/hal. 243, Maktabah Syamilah, No Halaman sesuai dengan edisi cetak)
8)  Ibn Sirin:
Abdur Razaq meriwayatkan dalam kitab Mushanafnya dari Ayub dengan sanad yang sahih, dari Ibn Sirin:
 أنه كان يكره أن يقول: أبيعك بعشرة دنانير نقدًا، أو بخمسة عشر إلى أجل، وما كره ذلك إلاَّ لأنه نهى عنه.
Artinya: “Ia tidak menyukai seorang yang berkata: Saya menjual barang ini kepada anda dengan 10 dinar secara tunai, atau 15 dinar secara tangguh/kredit (pent- terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu harga tunai atau kredit). Ibn Sirin membenci transaksi seperti ini karena transaksi ini dilarang”. (Vide: Mushanaf Abdurrazaq (8/137), hadis no. 14.629)
9)  Thawus:
Abdurrazaq meriwayatkan dari Thawus dengan sanad yang sahih, ia berkata:
 إذا قال: هو بكذا وكذا إلى كذا وكذا، وبكذا وكذا إلى كذا وكذا، فوقع البيع على هذا فهو بأقل الثمنين إلى أبعد الأجلين[40].
Artinya: “Jika ada orang berkata: harga barang ini (pent- misal harga tunai) sekian hingga jangka waktu sekian, dan harganya (pent- misal harga kredit) sekian hingga jangka waktu sekian. Kemudian terjadi akad jual beli, maka hendaknya ia mengambil harga yang paling rendah dan jangka waktu yang paling panjang”. (Vide: Mushanaf Abdurrazaq (8/137), hadis no 14631, 14.626)
Abdurrazaq dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab Mushanafnya dari jalan Laits, dari Thawus secara ringkas, selain ucapan «فوقع البيع» kemudian Laits menambahkan lafadz:
«فباعه على أحدهما قبل أن يفارقه، فلا بأس به»
Artinya: “Kemudian ia menjual dengan memilih salah satu dari 2 harga (pent- harga tunai dan harga kredit) sebelum ia berpisah, maka hal ini tidak mengapa (laa ba’tsa bihi). (Vide: Mushanaf Ibn ABi Syaibah (6/120))
Tapi Syeikh Albani memberi komentar: tambahan ini tidak sahih dari Thawus, karena Laits (yaitu Ibn Abi Sulaim) sering bercampur hafalannya (كان اختلط). (Vide: Silsilah Al-Ahadis Ash-Shahihah (5/420))
10)  Al-Auzaii :
 Al-Khatabi menyebutkan dalam kitab Ma’alim As-Sunan, ia bertanya kepada Al-Auzaii:
 «فإن ذهب بالسلعة على ذينك الشرطين؟ فقال: هي بأقل الثمنين إلى أبعد الأجلين».
Artinya: “Jika ada orang pergi membawa barang dagangan (sil’ah) dengan memberi 2 syarat (pent- misal harga tunai sekian dengan jangka waktu sekian atau harga kredit sekian dengan jangka waktu sekian) ?, lalu Al-Auzai menjawab: hendaknya ia mengambil barang dengan harga yang paling rendah dan jangka waktu yang paling lama”. (Vide: Ma’alim As-Sunan (5/99))
11)  Imam An-Nasaa’i:
Imam Nasa’I menjelaskan hadis ini dalam bab baitain fi bai’atin, yakni seorang yang berkata:
«أبيعك هذه السلعة بمئة درهم نقدًا، وبمائتي درهم نسيئة».
 Artinya: ”saya jual barang ini kepada anda senilai 100 dirham secara tunai, dan 200 dirham secara kredit (pent- terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu harga tunai atau kredit).” (Vide: Sunan An-Nasa’I (7/295)) (bersambung)

E. PENGERTIAN 2 BAIAH DALAM 1 BAIAH
HADIS KEDUA:
«نهى رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن بيعتين في بيعة»:           
Artinya: Rasul SAW melarang 2 bai’ah dalam 1 baiah”
Hadis ini diriwayatkan oleh 3 orang sahabat yaitu Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar Ibn Khatab, dan Abdullah ibn Amr Ibn Ash.
1) Hadis Abu Hurairah ra.:
«نهى رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن بيعتين في بيعة»
 Artinya: “Rasul SAW melarang 2 bai’ah dalam 1 baiah”.
Imam Tirmidzi menilai hadis ini: Hadis Hasan Sahih (Vide: Sunan At-Tirmidzi dengan Tuhfah Al-Ahwadzi (4/427-429)). Dan dengan lafadz : «من باع…».
Imam Al-Hakim menilai hadis ini sahih menurut syarat Imam Muslim «صحيح على شرط مسلم»  dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi (Vide: Al-Mustadrak Ala Shahihain (2/45))
Imam Ibn Hazm menilai hadis ini juga sahih (Vide: Al-Muhala Li Ibn Hazm (9/16)), Abdul Haq dalam kitab Ahkamnya (Vide: Al-Ahkam Lil Hafidz Abdul Haq (1/155), seperti dala Irwa’ Al-Ghalil (5/150)) dan Al-Baghawi (Vide: Syarh As-Sunah (8/142)). Tetapi Syeikh Albani berkata dalam Kitab Sahih Al-Jami’ Ash-Shagir: hadis sahih (no. 6943), dalam kitab Al-Irwa’: hadis ini hasan saja, karena Muhammad Ibn Amru ada sedikit kritik (kalam yasir) terkait hafalannya. Imam Bukhari meriwayatkan hadisnya sebagai hadis pendamping (maqrun), dan Imam Muslim meriwayatkan hadisnya sebagai hadis pendukung (mutaba’ah). (Vide: Irwa’ Al-Ghalil (5/150))
Hafidz Ibn Hajar berkata tentang Muhammad Ibn Amru Al-Yafi’ii:
«صدوق، له أوهام من التاسعة، ثم أشار إلى أنه روى له مسلم والنسائي»
Artinya: “terpercaya (shuduq), kadang salah sangka dalam meriwatkan hadis (lahu awham), termasuk generasi perawi hadis kesembilan. Beliau memberi isyarat bahwa Imam Muslim dan An-Nasa’I meriwayatkan hadis darinya. (Vide: Taqrib At-Tahdzib (2/196))
Imam Adz-Dzahabi berkata:
«ذكره ابن حبان في ثقاته. وقال ابن أبـي حاتم: سألت أبـي، وأبا زُرعة عنه، فقال: هو شيخ لابن وهب، قلت: قد روى له مسلم، وما علمت أحدًا ضعَّفه»
Artinya: “Ibn Hibban menyebutkan Muhammad Ibn Amru dalam kitab Ats-Tsiqat (pent- kumpulan biografi perawi hadis yang terpercaya). Ibn Abi Hatim berkata: Saya bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang Muhammad Ibn Amru, lalu dia berkata: dia (pent- Muhammad Ibn Amru) adalah guru dari Ibn Wahab. Saya berkata: Imam Muslim meriwayatkan hadis darinya, dan saya tidak mengetahui seorang-pun (pent- ada ulama ahli hadis) yang menilainya lemah”. (Vide: Mizan Al-I’tidal Lil Hafidz Adz-Dzahabi, Darul Ma’rifah – Beirut, 3/474-475))

2) Hadis Abdullah Ibn Umar ra.:
Al-Hafidz Al-Haitsami berkata:
«ورجال أحمد رجال الصحيح»
Artinya: “para perawi Imam Ahmad adalah perawi hadis sahih”. (Vide: Majma’ Az-Zawaid (4/85))
Syeikh Albani berkomentar tentang hadis ini:
 «لكنه منقطع، فقد قال البوصيري في «الزوائد»: (هذا الإِسناد رجاله ثقات غير أنه منقطع. وقال أحمد بن حنبل: لم يسمع يونس بن عبيد عن نافع شيئًا وإنما سمع من ابن نافع عن أبيه)، وقال ابن معين، وأبو حاتم: (لم يسمع من نافع شيئًا) ».
Artinya: “tapi hadis ini munqati’ (pent- setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain). Berkata Al-Bushoyrii dalam Al-Zawaid: para perawi dalam sanad ini adalah terpercaya, tapi sanadnya munqathi’. Imam Ahmad ibn Hambal berkata: “Yunus Ibn Ubaid tidak mendengar hadis dari Nafi’, tapi mendengar hadis dari Ibn Nafi’ dari ayahnya”. Ibn Ma’in dan Abu Hatim berkata: “Yunus Ibn Ubaid tidak mendengar hadis dari Nafi’.
Syeikh Albani berkomentar:
 «نافع أولاده ثلاثة: عمر، وعبد الله، وأبو عمر، كما في «التهذيب»، وعمر ثقة من رجال الشيخين، والثاني ضعيف، والثالث لم أعرفه، فإن كان الذي روى عنه الأول فالسند صحيح، وإلاَّ فلا»
Artinya: “Nafi’ memiliki 3 orang anak yaitu Umar, Abdullah dan Abu Umar seperti dalam kitab At-Tahdzib, Umar (pent- anak pertama nafi’) adalah perawi terpercaya (tsiqah) termasuk para perawi hadis Imam Bukhari dan Muslim, anak kedua adalah perawi lemah (dhaif) dan anak ketiga: saya tidak mengetahui dirinya (pent- syeikh albani tidak mendapat biografi tentang anak ketiga Nafi’). Jika Yunus Ibn Ubaid meriwayatkan  hadis dari putra pertama Nafi’ (pent- yaitu  umar ibn nafi’), maka sanad hadis ini adalah sahih. (Vide: Irwa’ Al-Ghalil (5/150-151))
3) Hadis Ibn Amru Ibn Al-Ash:
Ibn Khuzaimah telah meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab sahihnya, sehingga hadis ini dinilai sebagai hadis sahih. (Vide: Irwa’ Al-Ghalil (5/151))
Kesimpulan:
Hadis ini adalah hadis sahih atau hasan, serta dapat digunakan hujjah dalam masalah hukum.


Pengertian jual beli:
مقابلة المال بمال عن تراض
Artinya: ” mempertemukan atau menukar harta dengan harta lain, disertai kerelaan (pent- kedua belah pihakm baik penjual dan pembeli)”.
Huruf ta’ (التاء) dalam lafadz (البيعة) menunjukkan kata tunggal (للوحدة) maksudnya larangan atas dua jual beli dalam 1 jual beli (2 shafqah atas 1 shafqah).
Mayoritas ulama menafsirkan hadis tentang larangan 2 baiah dalam 1 baiah dengan penafsiran yang sama atas hadis tentang larangan 2 shafqah dalam 1 shafqah.
Berikut penafsiran para ulama Salaf Ash-Shalih tentang pengertian larangan 2 baiah dalam 1 baiah, sebagai berikut:
1) Imam Nasa’i:
Tatkala menjelaskan bab baitain fi baiah, ia berkata:
«وهو أن يقول: أبيعك هذه السلعة بمائة درهم نقدًا وبمائتي درهم نسيئة».
Artinya: “Saya menjual barang ini kepada anda senilai 100 dirham secara tunai dan senilai 200 dirham secara tangguh/kredit. (Vide: Sunan An-Nasai (7/225))
2) Imam Malik:
Dalam bab an-nahyu an baitain fi baiah:
 «فذكر بلاغًا أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم نهى عن بيعتين في بيعة».
Artinya: “lalu beliau menyebut secara tegas bahwa Rasul SAW melarang 2 baiah dalam 1 baiah”. (Vide: Muwatha’ Imam Malik (hal. 411-412))
 3) Kitab Al-Muwatha’:
 وحدثني عن مالك، أنه بلغه أنَّ رجلاً قال لرجل: ابتع لي هذا البعير بنقد، حتى ابتاعه منك إلى أجل، فسئل عن ذلك عبد الله بن عمرو: فكرهه ونهى عنه.
Artinya: “Telah bercerita kepadaku dari Malik, ia menyampaikan ada seorang yang berkata: beli dariku unta ini secara tunai, dengan syarat aku dapat membeli kembali unta itu secara tangguh. Lalu Abdullah Ibn Amru ditanya: maka ia menilainya makruh dan melarangnya”.
 وحدَّثني مالك، أنه بلغه أنَّ القاسم بن محمد سُئِل عن رجل اشترى سلعة بعشرة دنانير نقدًا، أو بخمسة عشر دينارًا إلى أجل، فكره ونهى عنه.
Artinya: “Telah bercerita kepadaku Imam Malik kepadaku, bahwa ia menyampaikan bahwa Al-Qasim Ibn Muhammad pernah ditanya tentang seorang yang membeli barang senilai 10 dinar secara tunai atau senilai 15 dinar secara tangguh, maka Al-Qasim menilai makruh dan melarang hal ini”. (vide: Muwatha’ Imam Malik (hal. 411-412))
 قال مالك في رجل قال لرجل: أشتري منك هذه العجوة خمسة عشر صاعًا، أو الصَّيْحانيّ ــ نوع من التمر ــ عشرة أصوع، أو الحنطة المحمولة خمسة عشر صاعًا، أو الشامية عشرة أصوع بدينار قد وجبت لي إحداهما: إنَّ ذلك مكروه لا يحل، وذلك أنه قد أوجب له عشرة أصوع صيْحانيًّا، فهو يدعها ويأخذ خمسة عشر صاعًا من العجوة، أو تجب عليه خمسة عشر صاعًا من الحنطة المحمولة، فيدعها ويأخذ عشرة أصوع من الشامية، فهذا أيضًا مكروه لا يحل، وهو أيضًا يشبه ما نهى عنه من بيعتين في بيعة، وهو أيضًا مما نهى عنه أن يباع من صنف واحد من الطعام، اثنان بواحد.
Artinya: “Imam Malik berkomentar tentang seorang yang berkata: saya akan membeli darimu kurma ajwah sebanyak 12 sha’ atau kurma shayhanii sebanyak 10 sha’ atau biji gandum al-mahmulah sebanyak 15 sha’ atau biji gandum shamiyah sebanyak 10 sha’ dengan 1 dinar, maka wajib bagiku salah satu dari 2 harga tersebut, ini adalah akad jual beli yang makruh dan tidak halal. Hal ini karena ia (pent- pembeli) telah mewajibkan untuk dirinya 10 sha’ kurma shayhanii, lalu ia meninggalkan dan mengambil (paket) sha’ kurma ajwah, atau wajib untuknya (paket) 15 sha’ biji gandum al-mahmulah, lalu ia meninggalkanya dan mengambil (paket) 10 sha’ biji gandum shamiyah. Jual beli seperti ini makruh dan tidak halal, karena menyerupai larangan atas 2 baiah dalam 1 baiah dan menyerupai larangan melakukan jual beli makanan yang sejenis yaitu 1 ditukar dengan 2 (pent- karena menyerupai riba fadhl, diman kurma dan gandum termasuk barang ribawi)”. (vide: Muwatha’ Imam Malik (hal. 411-412))
4) Imam Tirmidzi:
Sebagian ahli ilmu menafsirkan kalimat “2 baiah dalam 1 baiah” sebagai berikut:
 أن يقول: أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين، ولا يفارقه على أحد البيعتين، فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كان العقد على واحد منهما.
Artinya: “seperti orang yang berkata: saya menjual kepada anda baju ini secara tunai senilai 10 dan secara tangguh/kredit 20, dan tidak memilih salah satu dari 2 harga tersebut. Namun jika ia (pent- pembeli) meninggalkannya (pent- penjual) dengan memilih salah satu dari 2 harga (pent- harga tunai atau harga kredit), maka boleh dilaksanakan akad atas salah satu dari kedua harga tersebut”. (Vide: Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi (4/427-428))
5) Kitab Tuhfah Al-Ahwadzi terkait hal ini:
Dalam kitab Syarh As-Sunan setelah menyebut tafsir ini:
«هو فاسد عند أكثر أهل العلم؛ لأنه لا يدري أيهما جعل الثمن».
Artinya: “sebagian besar ahli ilmu menilai model jual beli seperti adalah fasad, karena tidak diketahui jual beli terjadi apakah dengan harga tunai atau harga kredit”.
Dalam Kitab An-Nail disebutkan:
«والعلَّة في تحريم بيعتين في بيعة عدم استقرار الثمن في صورة بيع الشيء الواحد بثمنين».
Artinya: “Sebab (illat) dari larangan 2 baiah dalam 1 baiah adalah tidak tetapnya harga pada kasus transaksi atas suatu barang dengan 2 harga (pent- ada harga tunai dan harga kredit)”.
Pengertian lafadz (jika ia (pent- pembeli) «فإذا فارقه…»  meninggalkannya (pent- penjual…),
 بأن قال البائع: أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين. فقال المشتري: اشتريته بنقد بعشرة ثم نقد عشرة دراهم. فقد صحَّ البيع.
وكذلك إذا قال المشتري: اشتريته بنسيئة بعشرين، وفارقه على واحد معين منهم.
Artinya: “seperti seorang penjual yang berkata: saya menjual baju ini kepada anda secara tunai senilai 10 dan secara kredit senilai 20, lalu pembeli berkata: saya membeli baju ini secara tunai senilai 10, kemudian ia membayar tunai 10 dirham, maka jual belinya absah.
Demikian juga, ketika pembeli berkata: saya membeli barang itu secara kredit senilai 20. Lalu ia (pent- pembeli) meninggalkannya (pent- penjual) dengan memilih salah satu harga”.
Ini merupakan penafsiran Imam Ahmad dalam riwayatnya dari Samak, lalu dalam kitab Al-Muntaqa dari Samak, dari Abdurrahman ibn abdillah ibn mas’ud, dari ayahnya, ia berkata:
 «نهى صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة: قال سماك: هو الرجل يبيع البيع فيقول هو بنسأ بكذا، وبنقد بكذا وكذا».
Artinya: “Nabi SAW melarang dua jual beli dalam 1 jual beli. Samak berkata: yakni seorang yang menjual barang lalu berkata harga barang ini secara kredit sekian dan secara tunai sekian (pent- terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu harga tunai atau kredit). (Vide: Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi (4/428))
6)  Imam Syaukani dalam Nailul Authar:
Barangsiapa menjual dengan 2 baiah dalam 1 baiah, maka Samak menafsirkan seperti dalam kitab Al-Mushanaf, yaitu pemilik kitab Al-Muntaqa dari Ahmad dari Samak:
 « وقد وافقه على مثل ذلك الشافعي فقال: بأن يقول بعتك بألف نقدًا أو ألفين إلى سنة، فخذ أيهما شئت أنت وشئت أنا».
Artinya: “Imam Syafi’I sepakat dengan penafsiran ini, lalu ia berkata: seperti seorang berkata saya menjual kepadamu senilai seribu secara tunai atau 2 ribu dengan jangka waktu 1 tahun, maka pilih salah satu dari 2 harga ini dimana saya dan anda sepakat atasnya.
Ibn Ar-Rif’ah menukil dari Al-Qadhi:
 أنَّ المسألة مفروضة على أنه قبل على الإِبهام، أما لو قال: قبلت بألف نقدًا أو بألفين بالنسيئة صحَّ ذلك.
Artinya: “bahwa yang menjadi masalah adalah pembeli sepakat dengan sesuatu yang tidak jelas (al-ibham), jika ia berkata (pent- pembeli): saya menerima harga barang senilai seribu secara tunai atau saya menerima harga barang senilai 2 ribu secara kredit, maka abash jual beli tersebut”. (Vide: Nailul Authar (6/286-287))
7)  Imam Asy-Syafi’i:
Pengertian dari larangan nabi SAW atas 2 baiah dalam 1 baiah, seperti orang yang berkata:
 « أَنْ يَقُولَ أَبِيعُك دَارِي هَذِهِ بِكَذَا عَلَى أَنْ تَبِيعَنِي غُلَامَك بِكَذَا . فَإِذَا وَجَبَ لِي غُلَامُك وَجَبَتْ لَك دَارِي , وَهَذَا تَفَارُقٌ عَنْ بَيْعٍ بِغَيْرِ ثَمَنٍ مَعْلُومٍ , وَلَا يَدْرِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مَا وَقَعَتْ عَلَيْهِ صَفْقَتُهُ ».
Artinya: “saya jual kepadamu rumahku senilai sekian dengan syarat anda menjual budakmu kepada saya senilai sekian, tatkala anda menjual budakmu kepada saya maka saya jual rumaku kepada anda. Ini berbeda dengan jual beli selain harga wajar, dimana penjual dan pembeli tidak mengetahui jual beli terjadi atas harga tunai atau harga kredit”. (Vide: Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi (4/427))
8)  Kitab Tuhfah Al-Ahwadzi terkait hal ini:
Ia (pent- Imam Asy-Syafi’i) berkata dalam kitab Al-Mirqah setelah menyebutkan tafsir ini:
 «هَذَا أَيْضًا فَاسِدٌ لِأَنَّهُ بَيْعٌ وَشَرْطٌ , وَلِأَنَّهُ يُودِي إِلَى جَهَالَةِ الثَّمَنِ لِأَنَّ الْوَفَاءَ بِبَيْعِ الْجَارِيَةِ لَا يَجِبُ . وَقَدْ جَعَلَهُ مِنْ الثَّمَنِ وَلَيْسَ لَهُ قِيمَةٌ فَهُوَ شَرْطٌ لَا يَلْزَمُ , وَإِذَا لَمْ يَلْزَمْ ذَلِكَ بَطَلَ بَعْضُ الثَّمَنِ فَيَصِيرُ مَا بَقِيَ مِنْ الْمَبِيعِ فِي مُقَابِلَةِ الثَّانِي مَجْهُولًا اِنْتَهَى ».
Artinya: “Model jual beli seperti ini adalah fasad karena ia adalah jual beli dan syarat, sehingga menyebabkan ketidajelasan harga (jahalah ats-tsaman). Janji untuk menjual budak perempuan (jariyah) adalah tidak wajib, tapi ia (pent- penjual) menjadikan syarat ini sebagai bagian dari harga, padahal syarat ini tidak bernilai (laisa lahu qimah) karena ia berupa syarat yang tidak mengikat. Ketika syarat tersebut tidak mengikat, maka batal sebagian dari harga, sehingga sebagian dari barang tersebut menjadi kompensasi (muqabalah) atas jual beli kedua yang tidak jelas (majhul)”.
Dalam kitab An-Nail disebutkan:
 «وَالْعِلَّةُ فِي تَحْرِيمِ هَذِهِ الصُّورَةِ التَّعْلِيقُ بِالشَّرْطِ الْمُسْتَقْبِلِ».
Artinya: “bahwa sebab (illat) diharamkannya model jual beli seperti ini karena mengaitkan akad jual beli dengan syarat yang akan terjadi dimasa datang (asy-syarth al-mustaqbal)”
Ketahuilah, terdapat penafsiran lain tentang 2 baiah dalam 1 baiah yaitu:
 «أَنْ يُسَلِّفَهُ دِينَارًا فِي قَفِيزِ حِنْطَةٍ إِلَى شَهْرٍ فَلَمَّا حَلَّ الْأَجَلُ وَطَالَبَهُ بِالْحِنْطَةِ قَالَ : بِعَنِّي الْقَفِيزَ الَّذِي لَك عَلَيَّ إِلَى شَهْرَيْنِ بِقَفِيزَيْنِ , فَصَارَ ذَلِكَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ ; لِأَنَّ الْبَيْعَ الثَّانِي قَدْ دَخَلَ عَلَى الْأَوَّلِ فَيُرَدُّ إِلَيْهِ أَوَكْسُهُمَا وَهُوَ الْأَوَّلُ».
Artinya: “Seperti orang yang memberi hutang senilai 1 dinar berupa 1 qafiz (12 sha’) biji gandum dengan jangka waktu sebulan. Ketika jatuh tempo, dan ia meminta ganti dengan gandum. Ia (pent- peminjam belum mampu membayar hutangnya) berkata kepada: Juallah kepada saya 1 qafiz (12 sha’) biji gandum milikmu dengan nilai 2 qafiz gandum dengan jangka waktu 2 bulan, maka ini adalah jual beli kedua. Dimana jual beli kedua masuk pada jual beli pertama, sehingga terjadilah 2 jual beli dalam 1 jual beli, maka hendaknya (pent- menurut konteks hadis) ia (pent- pembeli) mengambil harga yang paling rendah (pent- harga pokok yaitu 1 qafidz gandum).
Demikian penjelasan Ibn Ruslan dalam Syarh As-Sunan, dimana ia menafsirkan hadis Abu Hurairah tersebut dengan lafadz: “Nabi SAW melarang 2 baiah dalam 1 baiah” dengan 3 penafsiran seperti diatas, maka hafalkan ketiganya.
Ketahuilah, bahwa hadis Abu Hurairah ra. ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan lafadz:
«من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا».
Artinya: “Barangsiapa menjual dengan 2 baiah dalam 1 baiah, maka ia harus memilih  harga yang paling rendah atau riba”.
Asy-Syaukani menjelaskan maksud lafadz (أَوْكَسُهُمَا) yaitu harga yang paling rendah dari kedua harga (pent- harga tunai atau kredit) (أَنْقَصُهُمَا).
Imam Al-Khatabi berkata:
 لَا أَعْلَمُ أَحَدًا قَالَ بِظَاهِرِ الْحَدِيثِ وَصَحَّحَ الْبَيْعَ بِأَوْكَسِ الثَّمَنَيْنِ إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ , وَهُوَ مَذْهَبٌ فَاسِدٌ
Artinya: “saya tidak mengetahui seorang-pun berpendapat dengan dhahir hadis dan membolehkan jual beli dengan harga yang paling rendah kecuali yang diriwayatkan dari Al-Auzai dan ini adalah madzhab yang fasad. (Vide: Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi (4/427-428))
Kesimpulan:
(1)  Mayoritas ulama menafsirkan 2 shafqah dalam 1 shafqah dan 2 baiah dalam 1 baiah yaitu larangan menetapkan 2 harga (dimana harga tunai lebih rendah dari harga kredit) dan melaksanakan jual beli tanpa memilih salah satu dari kedua harga tersebut. Namun, jika penjual dan pembeli sepakat dengan salah satu harga (baik harga tunai atau harga kredit) maka jual beli seperti ini absah (يتفقان على أحدهما فلا بأس)
(2)  Imam Tirmidzi berkata: “Sebagian Ahli Ilmu menafsirkan baiatain fi baiatin:
 أن يقول: أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة، وبنسيئة بعشرين،  و لا يفارقه على أحد البيعين،  فإذا فارقه على أحدهما  فلا بأس إذا كانت العقدة على واحد منهما»
Artinya: “seperti seorang yang berkata: saya menjual kepada anda baju ini secara tunai senilai 10, dan secara tangguh/kredit senilai 20, lalu ia (penjual) meninggalnya (pembeli) (pent- sehingga terjadi akad jual beli), tanpa memilih salah satu dari 2 harga yang ditawarkan. Namun, ketika ia berpisah dengannya (pent- penjual dan pembeli sepakat) untuk memilih salah satu dari 2 harga (pent- baik harga tunai atau harga tangguh/kredit) maka hukumnya adalah boleh, karena akan jual beli terjadi atas salah satu dari 2 harga tersebut”. (Vide: Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi (4/427))

F.  Pendapat Yang Terpilih:
1)     Larangan Bai’ Mubham, yaitu larangan atas jual beli dengan 2 harga (yaitu harga tunai dan harga kredit), kemudian terjadi jual beli tanpa memilih salah satu dari 2 harga tersebut. Jual beli seperti adalah batal menurut kesepakatan para ulama.
Dasar penetapan penafsiran ini sebagai pendapat  yang terpilih, antara lain:
(1)   Pengertian baitain fi baiatin menurut sebagian besar ulama salaf ash-shalih, seperti seorang yang berkata:
أبيعك هذه السلعة نقداً بعشرة، ونسيئة بأحد عشر، ويعقدان العقد من غير تحديد لأحد الثمنين
Artinya: ”saya jual barang ini secara tunai senilai 10, dan secara kredit senilai 11. Terjadi 2 akad jual belia dalam 1 transaksi tanpa ada pembatasan salah satu dari 2 harga.
Ini merupakan pendapat sebagian besar ulama salaf (a) seperti: Ibn Mas’ud (b), ulama madzhab hanafi (c), ulama madzhab Maliki (d), Imam Syafi’i dalam salah satu riwayat dari 2 penafsiran (d), dimana Imam Nawawi menyebutnya sebagai pendapat Imam Syafi’i yang paling masyhur (e), riwayat dari Imam Ahmad (f), Ibn Hazm menyebut penafsiran ini ketika membahas pengertian baitain fi baiatin (g).
(2)   Pendapat sebagian besar Ulama Salaf Shalih dan tidak ada perbedaan terkait dengannya   (لا يختلف الناس فيه), dan generasi salaf shalih adalah generasi yang paling memahami makna bahasa dan pemahaman tentang nash syara’. (h)
(3)   Pendapat ini yang paling selaras dengan pengertian 2 baiah dalam 1 baiah, dimana ada jual beli dengan 2 harga (yaitu harga tunai dan harga kredit), lalu terjadi akad jual beli tanpa memilih salah satu dari harga tersebut. Hendaknya penjual dan pembeli memiilh harga yang paling rendah (أوكسهما) atau jatuh dalam riba, karena menjadikan uang dirham (jika tidak diberikan dengan harga tangguh) sebagai kompensasi atas penundaan pembayaran (مقابلَ الأجل) , sehingga transaksi ini hakikatnya adalah:
 بيع دراهم بدراهم نسيئة، فليس له إلا الأوكس أي ليس له إلا الثمن الأقل، وإلا فسيقع في الربا
Artinya: ”jual beli uang dirham dengan uang dirham secara tangguh/kredit, sehingga ia harus memilih harga yang paling rendah, jika tidak ia telah melakukan transaksi ribawi” (i)
Catatan:
(3) Mushanaf Ibn Abi Syaibah (6/119-121), Mushanaf Abdur Razaq (8/136-138), Tirmidzi dalam Tuhfah Ahwadzi (3/358), Sunan Al-Kubra lil Baihaqi (5/343), Syarh Sunan Lil Baighawi (8/143), Al-Istidzkar (20/179), Silsilah Ash-Shohihah (5/420-422), Imam Ahmad menukil dalam Kitab Musnadnya (6/325) dari Samak, Salah satu bab dalam kitab hadis – An-Nasa’I dan Ibn Hibban, Imam Abu Dawud.
(a) Mushanaf Ibn Abi Syaibah Bab (يشتري من الرجل المبيع فيقول إن كان بكذا)
(b) Al-Mabsuth (13/8), Hasyiyah Tabyin Al-Haqaiq (4/44)
(c) Al-Mudawanah (3/412), Al-Muntaqa Lil Bajii (5/390), At-Taj wal Iklil (6/228), dan Syarh Al-Khursyii (5/73)
(d) Mukhtashar Al-Muznii (5/341), Tahdzib Lil Baghawi (3/536), Tuhfah Al-Muhtaj (4/294)
(e) Al-Majmu’ (9/328), Imam Nawawi menyebut dalam 2 hal (dengan harga tunai atau harga tangguh/kredit atau 2 akad dalam 1 akad), maka jual beli tersebut batal menurut kesepakatan (ijma)
(f) Al-Furu’ (4/48) dan Al-Inshaf (11/232)
(g) Al-Muhalla (9/15)
(h) Al-Mudawanah (3/412), pendapat ini adalah pendapat yahya Ibn Sa’id, AL-Istidzkar (20/174)
(i) Iqamah Ad-Dalil (6/52)

2)  Larangan Bai’ Ienah, yaitu larangan mengumpulkan jual beli tunai dengan jual beli tangguh sebagai sarana untuk melakukan riba, seperti seorang yang menjual barang senilai 100 secara kredit, kemudian sebelum jatuh tempo penjual membeli kembali barang tersebut dengan harga 60 secara tunai. Para Ulama sepakat jual beli seperti ini adalah batal, karena menjadikan jual beli sebagai ’kedok’ untuk melakukan riba.
Dasar penetapan penafsiran ini sebagai pendapat  yang terpilih, antara lain:
(1)   Pengertian baitain fi baiatin adalah bai’ al-ienah (بيع العينة) yaitu:
أن يبيع الشيء نسيئة ثم يشتريه بأقل من الثمن الذي باعه به نقداً (عاجلاً)
Artinya: ”seorang yang menjual barang secara tangguh/kredit kemudian ia membeli barang tersebut dengan harga lebih rendah dari harga jual secara tunai”. Ini adalah pendapat dari Syeikhul Islam Ibn Taimiyah (Vide: Kitab Iqamah Ad-Dalil (6/52), Tahdzib As-Sunnan Li Ibn Al-Qayyim (9/247&295)) dan muridnya Ibnul Qayyim (Vide: A’lam Al-Muwaqi’in (3/134-135), Fatawa Al-Kubra (6/52-53), dan Tahdzib As-Sunnan (9/247))

2)   Hadits Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا
      Artinya: “Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba”. Pengertian ( أوكسهما)   adalah yang paling sedikit/rendah (أقلهما) (Vide: Aunul Ma’bud – Syarh Sunan Abi Dawud Jilid 7/hal. 452)
Hadis ini diriwayatkan oleh para ulama ahli hadis, antara lain: Imam Abu Dawud No. 3461, Jilid 2/hal. 296 (كتاب البيوع ،باب فيمن باع بيعتين في بيعة), tahqiq M. Muhyidn Abdul Hamid, Darul Fikr – Damaskus; Al-Hakim dalam Mustadrak Ala Shahihain No. 2292, Jilid 2/hal. 52, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Tahun 1990, Cetakan pertama; Al-Baihaqi No. 10.661, Jilid 5/Hal. 343 (كتاب البيوع ،باب النهي عن بيعتين في بيعة); Ibn Hibban bi Tartib Ibn Balban No. 4674, Jilid 11/hal. 347, (كتاب البيوع، باب البيع المنهي عنه), Muasasah Risalah, Beirut, Cetakan Kedua, 1993, dimana Syeikh Syu’aib Arnauth ketika memberikan komentar atas hadis, ia berkata: ”hadis ini sanadnya hasan” (اسناده حسن).  
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Yahya Ibn Zakariya (يحيى بن زكريا ) dari Muhamad Ibn Amru (محمد بن عمرو ) dengan tambahan lafadz (فله أوكسهما أو الربا ). Yahya Ibn Zakariya adalah perawi terpercaya dan terjaga hafalannya (ثقة متقناً). (vide: Kitab Taqrib At-Tahdzib (7598)(1054)) Syeikh Albani menilai hadis dengan tambahan lafadz ini hasan dalam Kitab Irwa’ Ghalil (5/150).  
Walhasil, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujah dan argumentasi. Hadis ini sesuai dengan pengertian bai’ ienah, seperti:
 أن يبيع شيئاً بمائة إلى أجل ثم يشتريه ممن اشتراه بثمانين نقداً فهنا بيعتان أوكسهما الثمن الحال ،  وأن اخذ بالأكثر أخذ الربا . وقد نزله الخطابي على بعض صور العينة
 Artinya: ”seorang yang menjual barang senilai 100 secara tangguh, kemudian penjual membeli barang tersebut dari pembeli senilai 80 secara tunai, maka terdapat 2 jual beli dimana harga yang diambil hendaknya harga yang paling rendah secara tunai, jika ia mengambil harga yang paling tinggi maka ia telah melakukan riba. Al-Khatabi telah menjelaskan beberapa bentuk dari ienah termasuk model jual beli diatas.”
(Vide: Kitab Syarh Bulugh Al-Maram Min Adilatil Ahkam, Imam Ibn Hajar Al-Asqalani, Tahqiq Syeikh Nurudin Itr, Hal. 622)
(3)   Syeikul Islam Ibnul qayyim Al-Jauziyah menjelaskan alasannya menilai lemah pendapat-pendapat diatas, karena yang terbaik adalah menafsirkan menafsirkan sabda Nabi SAW dengan sabdanya yang lain:
 «نظير هذا نهيه صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة، وعن بيعتين في بيعة.  فروى سماك عن عبد الرحمن بن عبد الله بن مسعود، عن أبيه قال: «نهى رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة».
«وفي السنن عن أبـي هريرة عن النبـي صلى الله عليه وسلّم: «من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما، أو الربا».
Artinya: “Perhatikan larangan Nabi SAW atas 2 shafqah dalam 1 shafqah, 2 baiah dalam 1 baiah. Samak telah meriwayatkan dari Abdurrahman ibn Abdullah Ibn Mas’ud, dari Ayahnya, ia berkata: Rasul SAW melarang 2 shafqah dalam 1 shafqah.
Dalam kitab sunan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa melakukan 2 baiah dalam 1 baiah maka ia harus mengambil harga yang paling rendah atau (terjatuh) dalam riba”.
Hadis larangan 2 jual beli dalam 1 jual beli telah ditafsirkan seperti seorang yang berkata:
«أبيعك بعشرة نقدًا، أو بعشرين نسيئة»
Artinya: “saya jual barang ini kepada anda senilai 10 secara tunai atau senilai 20 secara tangguh/kredit.
Pengertian tersebut jauh dari maksud hadis, jika ditinjau dari 2 sisi:
Pertama, tidak ada unsur riba dalam akad dalam penafsiran diatas.
Kedua, ini bukan termasuk 2 transaksi, tapi 1 transaksi dengan 2 harga, dimana ia (pent- pembeli) ragu-ragu untuk memilih dari 2 harga tersebut atau riba. Telah maklum, ketika ia (pembeli) mengambil harga lebih dalam akad ini maka hal itu tidak termasuk riba. Pengertian dari hadis ini tidak demikian.
Maka penafsiran yang tepat, seperti seorang yang berkata:
 «خذ هذه السلعة بعشرة نقدًا وآخذها منك بعشرين نسيئة»، وهي مسألة العينة بعينها، وهذا هو المعنى المطابق للحديث، فإنه إذا كان مقصوده الدراهم العاجلة بالاجلة فهو لا يستحق إلاَّ رأس ماله؛ وهو أوكس الثمنين، فإن أخذه أخذ أوكسهما، وإن أخذ الثمن الأكثر فقد أخذ الربا، فلا محيد له عن أوكس الثمنين أو الربا. ولا يحتمل الحديث غير هذا المعنى.
Artinya: “ambil barang ini senilai 10 secara tunai, saya akan mengambil kembali barang ini dari anda senilai 20 secara tangguh/kredit”, hakikat dari transaksi ini adalah ienah. Pengertian ini yang sesuai dengan hadis ini, karena tujuannya adalah mengambil untung dengan beberapa dirham secara tunai dari transaksi yang dilakukan secara tangguh, dimana ia tidak boleh melakukan hal itu kecuali mengambil barang itu dengan harga pokoknya yaitu harga yang paling rendah dari 2 harga yang ada. Jika ia mengambilnya, maka ia telah mengambil harga yang paling rendah, namun jika ia mengambil harga yang paling tinggi, maka ia telah melakukan riba. Tidak ada pilihan baginya kecuali mengambil harga yang paling rendah atau terjatuh dalam riba. Hadis ini tidak mengandung pengertian lain kecuali pengertian tentang larangan ienah.
Saya (pent- Ibnul Qayyim) hendak menjelaskan kepada anda pengertian hadis ini, maka perhatikan larangan Nabi SAW dalam hadis Ibn Umar ra., tentang larangan atas 2 jual beli dalam 1 jual beli dan larangan atas salaf (pent- akan pinjam-meminjam) dan jual beli (HR. Ahmad). Dan larangan Nabi SAW dalam hadis atas 2 syarat dalam jual beli dan larangan salaf (akad hutang) dalam jual beli, maka mengumpulkan salaf dan jual beli dengan 2 syarat dalam jual beli , dan 2 jual beli dalam 1 jual beli. Rahasianya, kedua model transaksi diatas menghantarkan dan menjadi perantara kepada riba. 
Adapun terkait dengan larangan 2 baiah dalam 1 baiah, maka Syeikh Ibnul Qayyim menjelaskan:
 أما البيعتان في بيعة: فظاهر، فإنه إذا باعه السلعة إلى شهر ثم اشتراها منه بما شرط له، كان قد باع بما شرطه له بعشرة نسيئة، ولهذا المعنى حرم الله ورسوله العينة.
Artinya: “Pengertian 2 baiah dalam 1 baiah, secara lahir seperti seorang yang menjual barang senilai sekian dengan jangka waktu 1 bulan, lalu ia (penjual) membeli barang tersebut dari pembeli dimana hal ini telah dipersyaratkan sebelumnya, dimana sebelumnya penjual telah menjual barang dengan syaratnya (pent- syarat dibeli kembali secara tunai dengan harga lebih rendah dari harga jual sebelumnya) kepada pembeli senilai 10 secara tangguh/kredit. Ini adalah makna yang diharamkan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Larangan Mengumpulkan Akad Salaf (Pinjam-Meminjam) Dengan Jual Beli:
 فلأنه إذا أقرضه مائة إلى سنة، ثم باعه ما يساوي خمسين بمائة: فقد جعل هذا البيع ذريعة إلى الزيادة في القرض الذي موجبه رد المثل، ولولا هذا البيع لما أقرضه ولولا عقد القرض لما اشترى ذلك.
فظهر سرّ قوله صلى الله عليه وسلّم: «لا يحلّ سلف وبيع، ولا شرطان في بيع»، وقول ابن عمر: «نهى عن بيعتين في بيعة وعن سلف وبيع»، واقتران إحدى الجملتين بالأخرى لما كانا سلما إلى الربا».
Artinya: “ketika seorang meminjamkan uang senilai 100 selama 1 tahun, kemudian ia menjual kepada peminjam suatu barang yang memiliki nilai 50% dari nilai pinjaman”, maka ia telah menjadikan jual beli ini sebagai sarana untuk mendapat keuntungan dari akad qardh yang mewajibkan peminjam hanya mengembalikan uang yang sama nilainya dengan uang yang dipinjamkan, dimana seandainya tidak ada jual beli tatkala ia meminjamkan uang dan seandainya tidak ada akad qardh tatkala ia membeli barang tersebut, (pent- maka transaksi tersebut diperbolehkan)”.
Ini adalah rahasia dari sabda Nabi SAW:  “tidak halal salaf dan jual beli, dan tidak halal 2 syarat dalam jual beli”. Adapun ucapan Umar ra.: ”Nabi SAW melarang 2 jual beli dalam 1 jual beli dan melarang dari salaf dan jual beli”, karena keduanya menghantarkan kepada riba”. ((Vide: Syarh Ibn Al-Qayyim Ala Sunan Abi Dawud dengan catatan Aunul Ma’bud (9/405-407))
(4)   Syeikhul Islam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah menambahkan dengan berkata: “Dan telah jauh dengan sangat jauh orang yang membawa (pengertian) hadits kepada penjualan dengan 100 secara kredit dan 50 secara kontan, tidak ada disini (pent- dalam jual beli secara tangguh/kredit) unsur riba, tidak pula jahalah (ketidak jelasan), gharar (ketidak pastian), qimar (spekulasi) dan tidak (pula) ada sesuatu dari unsur perusak akad. Sesungguhnya ia memberi pilihan antara dua harga yang ia inginkan dan tidaklah ini lebih jauh dari memberikan pilihan kepadanya setelah transaksi selama tiga hari antara mengambil dan membiarkannya”. Adapun Imam Ibnul Qayyim -dan ini juga beliau nukil dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiah- rahimahullah, maka beliau menganggap bahwa hadits Abu Hurairah ra. dari riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah pengertiannya hanyalah terbatas dalam bentuk Bai’ul ienah saja, tidak pada pengertian yang lainnya. (Vide : Kitab I’lamul Muwaqqi’in 3/150). (bersambung)


G- Hadis Ini Melarang Jual Beli Secara Kredit ?
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا
Artinya: “Barangsiapa melakukan 2 jual beli dalam 1 jual beli, maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan keharaman jual beli secara kredit (تقسيط) dengan adanya penambahan pada harga kredit diatas harga tunai. Dan padanya juga dua penjualan, secara kontan dan kredit pada satu transaksi, sehingga pada hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan yaitu mengambil yang paling sedikit berupa harga kontan atau melakukan riba dengan mengambil harga kredit. Demikianlah hadits ini telah ditafsirkan oleh sebahagian ulama salaf bahwa makna dua penjualan dalam satu transaksi adalah jika seseorang berkata : “Barang ini secara kredit dengan harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”. Hal ini dikuatkan oleh ucapan Ibnu Mus’ud :
الصَّفْقَةُ فِي الصَّفْقَتَيْنِ رِبًا
Artinya: “2 shafqah dalam 1 shafqah  adalah riba”. (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah 5/420 dan Al-Irwa` 5/148/1307)
Namun pendapat ini lemah karena beberapa alasan :
Pertama, Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda :
 مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا
Artinya: “Barangsiapa melakukan 2 jual beli dalam 1 jual beli, maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba”.
Hadits dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/307/20461, Abu Daud 3/274/3461, Ibnu Hibban 11/347-348/4974, Al-Hakim 2/45, Al-Baihaqy 5/343 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 34/389. Semuanya dari jalan Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ra.
Ada beberapa ulama yang mengkritik hadits Abu Hurairah diatas karena penambahan  lafazh diatas adalah hadis syadz (pent- hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oelh perawi terpercaya yang menyelisihi riwayat perawi yang lebih terpercaya), seperti penegasan penulis ‘Aunul Ma’bud (9/334) danSyaikh Muqbil bin Hadi Al-Madkhali dalam Ahadits Mu’allah Zhohiruha Ash-Sihhah (vide: Kitab Ahadits Mu’allah Zhohiruha Ash-Sihhah, Syeikh Muqbil Ibn Hadi, hal. 242/no. 369, Cet. Kedua). Argumentasinya adalah hadits diatas juga diriwayatkan oleh:
1)  Yahya bin Sa’id Al-Qoththon [riwayat Ahmad 2/432, 475, Ibnul Jarud no. 600, An-Nasa`i 7/295 dan dalam Al-Kubro 4/43/6228, Al-Baihaqy 5/343 dan Ibnu ‘Abdil Barr 24/389]
2) ‘Abdah bin Sulaiman [riwayat At-Tirmidzy 3/533/1231 dan Ibnu Hibban 11/347/4973]
3)  ‘Abdul Wahhab bin ‘Atho` [riwayat Al-Baihaqy 5/343 dan Abu Ya’la 10/507/6124]
4)  Yazid bin Harun [riwayat Ahmad 2/503 dan Al-Baghawy 8/142/2111]
5)  Isma’il bin Ja’far [disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]
6) ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy [riwayat Al-Khaththoby dalam Ma’alimus Sunan 5/97 dan disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]
7) Mu’adz bin Mu’adz Al-‘Anbary [disebutkan oleh Al-Baihaqy dalam Al-Kubro 5/343]
8) Muhammad bin ‘Abdullah Al-Anshory [riwayat Al-Khaththoby dalam Ma’alimus Sunan 5/97]
Semuanya meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ra., tapi dengan lafazh :
 نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ
 Artinya: “Rasulullah SAW melarang dari dua jual beli dalam 1 jual beli”.
Semua meriwayat tanpa ada tambahan (فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا), sehingga sebagian ulama menilai tambahan ini berbeda dan menyelisihi hadis yang diriwayatkan oleh perawi hadis yang lebih terpercaya atau beberapa perawi hadis yang terpercaya. Mayoritas ulama menilai hadis syadz adalah hadis lemah (hadis dhaif). Namun demikian, ada pula kelompok Ulama yang menilai hadis hasan atau sahih seperti dijelaskan dalam bagian tulisan ini. Walhasil, perbedaan penilaian para ulama hadis atas tambahan lafadz (فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا), telah melemahkan pendapat kelompok yang melarang jual beli secara tangguh/kredit dengan hadis ini.
Kedua, Pengertian yang dipilih mayoritas ulama atas hadis ini adalah ketika seorang penjual -misalnya- menetapkan harga barang yang berbeda-beda berdasarkan panjang waktu kredit, lalu datang seorang pembeli dan bersepakat dengan penjual untuk mengambil barang tersebut dengan suatu harga tertentu dan jangka waktu kredit yang telah ditetapkan maka tentunya yang ada hanya satu transaksi ; tidak ada akad transaksi sebelumnya dan tidak pula ada transaksi setelah penjual dan pembeli bersepakat diatas suatu harga.
Terkait dengan ini, Syeikh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah berkata: “Dan telah jauh dengan sangat jauh orang yang membawa (pengertian) hadits kepada penjualan dengan 100 secara kredit dan 50 secara kontan, tidak ada disini (dalam jual beli secara taqsith,-pent.) riba, tidak pula jahalah (ketidak jelasan), gharar (ketidak pastian), qimar (spekulasi) dan tidak (pula) ada sesuatu dari kerusakan. Sesungguhnya ia memberi pilihan antara dua harga yang ia inginkan dan tidaklah ini lebih jauh dari memberikan pilihan kepadanya setelah transaksi selama tiga hari antara mengambil dan membiarkannya”. Adapun Imam Ibnul Qayyim -dan ini juga beliau nukil dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiah- rahimahullah, maka beliau menganggap bahwa hadits Abu Hurairah ra. dari riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah pengertiannya hanyalah terbatas dalam bentuk Bai’ul ‘Inah (4) saja, tidak pada yang lainnya. (Vide : Kitab I’lamul Muwaqqi’in 3/150).
Imam Al-Khaththoby menambahkan bahwa makna yang paling pantas bagi hadits Abu Hurairah dari riwayat Yahya bin Zakariya bin Abi Za`idah adalah seperti orang yang memberi pinjaman senilai satu dinar (mata uang emas) berupa satu qofiz (takaran) burr (sejenis gandum) dalam jarak satu bulan. Kemudian setelah jatuh tempo, si peminjam yang belum mampu membayar berkata : “Juallah qofiz burr yang merupakan hakmu terhadapku dengan nilai dua qofiz sampai satu bulan lagi”. Maka ini adalah penjualan kedua yang telah masuk pada penjualan pertama sehingga jadinya dua penjualan dalam satu transaksi. Maka menurut konteks hadits keduanya harus kembali pada yang paling sedikit yaitu satu qofiz dan kapan transaksi dengan dua penjualan itu tetap berlangsung maka keduanya dianggap telah melakukan riba. (Vide: Kitab Ma’alim As-Sunan 5/97 dan keterangan Ibnul Atsir dalam An-Nihayah).
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah : “Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : “2 jual beli dalam satu jual beli adalah (seseorang) berkata : “Saya menjual kepadamu baju ini dengan kontan (senilai) sepuluh dan dengan berangsur (senilai) dua puluh” dan ia tidak berpisah (baca : tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya diatas salah satunya maka itu tidak apa-apa apabila akad berada diatas salah satu dari keduanya.
Imam Asy-Syafi’iy menambahkan bahwa: “Dan dari makna larangan Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang berkata: “Saya menjual rumahku kepadamu dengan (syarat) kamu menjual budakmu kepadaku dengan (harga) begini, kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu” dan ini berpisah (baca : bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya terjadi”.”.
Maka dari penjelasan Imam At-Tirmidzy diatas, dapat difahami penafsiran terpilih atas larangan dua jual beli dalam 1 jual beli adalah salah satu dari penafsiran berikut:
1.      Penjualan barang dengan harga kredit dan kontan kemudian penjual dan pembeli berpisah tanpa menentukan salah satu dari dua harga. Ini penafsiran yang paling banyak disebut.
2.      Penjualan barang dengan mengharuskan pembeli untuk menjual suatu barangnya kepada penjual dengan harga yang ia inginkan tanpa mengetahui berapa harga barang itu sebenarnya.
Penulis kitab Hukmu Bai’ut Taqsith fisy Syari’ati wal Qonun tatkala menguraikan Illat (sebab, alasan) pelarangan dua jual beli dalam satu jual beli dari penjelasan para Ahli hadits dan Ahli fiqh dari kalangan ulama empat madzhab dan selainnya, serta keterangan dari para shahabat, tabi’in dan sebagian ulama zaman ini, maka beliau menyimpulkan bahwa sebab (Illat) larangan 2 jual beli dalam 1 jual beli adalah tidaklah keluar dari sebab ketidak jelasan harga atau karena dapat mengantarkan kepada riba yang dilarang, dan ini merupakan pendapat ulama madzhab Maliki. Dan sebab (Illat) ini tidaklah terdapat pada jual beli secara tangguh/kredit, maka tidak mengherankan kalau mayoritas ulama berpendapat tentang jual beli secara tangguh/kredit.
 لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَهُ وَكَاتِبَهُ
Artinya : “Rasul SAW melaknat orang yang memakan riba,orang yang memberi makan dari hasil riba, orang yang menulis (dalam urusan riba) dan orang yang menjadi saksi transaksi dari ribawi” (HR. Imam Abu Dawud dari ‘Abdullah bin Mas’uud  رضي الله عنه)
Kedua: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ra., Rasulullah SAW bersabda :
 لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ
Artinya: “Tidaklah halal pinjaman bersamaan dengan jual beli dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”. (Syaikh Al-Albany menilai hadis ini hasan dalam Al-Irwa` no. 1305-1306)
Terkait dengan makna lafadz “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”  ditafsirkan oleh Al-Khaththoby, seperti perkataan seorang : “Saya jual pakaian ini ini secara kontan dengan satu dinar dan secara kredit dengan dua dinar”. Dari sini dapat difahami konteks hadis ini sebagai berikut:
1.      Al-Khatabi menekankan bahwa larangan ini terkait dengan transaksi yang terjadi tanpa menentukan salah satu dari dua harga (yaitu harga tunai dan harga kredit).
2.      Syeikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Tahdzib As-Sunan menafsirkan konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” bahwa itu pada jual beli dengan cara ‘Inah.
3.      Penafsiran yang paling sesuai dengan konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” adalah salah satu dari dua penafsiran diatas, namun tetap tidak ada kaitannya dengan jual beli secara kredit.
Pendapat Terpilih:
Dari uraian diatas nampak jelas kuatnya dalil-dalil pendapat pertama dan lemahnya dalil pendapat kedua, sehingga dapat dipilih pendapat yang membolehkan jual beli secara kredit. Pendapat ini juga dipilih oleh sebagian besar ulama:
 إنَّ الأئمَّة الأربعة وجمهور الفقهاء والمحدِّثين أجازوا البيع المؤجل بأكثر من سعر النقد بشرط أن يبت العاقدان بأنه بيع مؤجل بأجل معلوم، وبثمن متفق عليه عند العقد[94].
Artinya: “Para imam empat madzhab, mayoritas ahli fiqh dan ahli hadis membolehkan jual beli secara tangguh dengan harga lebih daripada harga tunai, dengan syarat para pihak menyebutkan bahwa jual beli tersebut adalah jual beli secara tangguh dengan  jangka waktu tertentu dan harga yang disepakati pada saat akad”. (Vide: Al-Mabsuth Lil  Sarkhasi (13/8), Hasyiyah Ibn Abidin (5/142), Asy-Syarh Al-Kabir Maa Hasyiyah Ad-Dusuqi (3/85), Mughni Al-Muhtaj Lil Syarbini (2/31), Al-Mughni Li Ibn Qudamah (4/177), Syeikh taqiyudin Al-Utsmani dalam Makalah أحكام بيع التقسيط yang disampaikan pada Majma Al-Fiqhi Al-Islami dalam Seminar Islam pada pertemuan di Jeddah – Saudi Arabia))
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (diikuti oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah) telah menukil kesepakatan para ulama tentang kebolehan jual beli dengan 2 harga, yaitu harga tunai dan kredit, dengan catatan transaksi harus dilakukan dengan memilih salah satu dari 2 harga tersebut. Seperti penjelasan Syeikhul Islam Ibn Taimiyah berikut:
 حيث سئل عن رجل اشترى فرسه بـ 180 درهمًا، فطلب منه آخر أن يبيعه بثلاثمائة درهم، فهل يحل ذلك؟ فأجاب: «الحمد لله، إن كان الذي يشتريه لينتفع به، أو يتجر به فلا بأس في بيعه إلى أجل».
Artinya: Ketika ditanya tentang seorang yang membeli kudanya senilai 180 dirham, lalu ada orang lain yang memintanya untuk menjual kuda tersebut kepadanya senilai 300 dirham, apakah boleh jual beli seperti itu ? Ibn Taimiyah menjawab: Segala puji bagi Allah SWT, jika ia membelinya untuk mendapat manfaat dari kuda tersebut atau untuk diperdagangkan kembali, maka hukumnya tidak mengapa untuk diperjual belikan secara tangguh/kredit”.
G- Hadis Ini Melarang Multi Akad (Hybrid Contract) ?
Terkait dengan penafsiran Imam Asy-Syafi’i atas hadis ini dengan penjelasan: “Dan dari makna larangan Nabi SAW dari 2 baiah dalam 1 baiah, seperti seorang berkata : “Saya menjual rumahku kepadamu dengan (syarat) kamu menjual budakmu kepadaku dengan (harga) begini, kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu” dan ini berpisah (baca : bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya terjadi”.”
Kritik atas penafsiran ini:
1) Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mayoritas ulama salaf yang menyarakan bahwa penafsiran yang sesuai untuk larangan larangan 2 baiah dalam 1 baiah adalah larangan bai mubham dan bai ienah.
2) Imam Syafi’i dalam riwayat yang lain menyatakan penafsiran yang tepat  larangan larangan 2 baiah dalam 1 baiah adalah larangan bai mubham. Imam nawawi menyatakan ini adalah pendapat Imam Syafi’i yang lebih masyhur.
3) Penafsiran ini tidak sesuai dengan konteks bahasa, karena secara bahasa yang dimaksud larangan 2 baiah dalam 1 baiah adalah larangan 2 jual beli atas 1 jual beli, dan bukan larangan penggabungan 2 akad dalam 1 akad.
4) Penafsiran Imam Syafi’i ini lebih terkait dengan jual beli yang disertai dengan syarat yang terjadi dimasa datang (al-bai’ bi syart al- mustaqbal), sementarahadis ini membahas larangan 2 jual beli dalam 1 jual beli bukan jual beli yang disertai dengan syarat yang terjadi dimasa datang.
5) Tidak semua syarat dalam jual beli menyebabkan akad jual beli menjadi batal, karena ada syarat terbagi menjadi 2 bagian:
Syarat Absah Jual Beli :
a)  Konsekuensi akad ( من مقتضي العقد) : seperti syarat penyerahan harga dan barang.
b) Maslahat akad ( من مصلحة العقد): seperti syarat jaminan untuk jual beli secara kredit, saksi dan hak opsi (khiyar).
c)  Manfat bagi para pihak (نفع علي العاقدين): syarat penyerahan barang setelah 1 bulan.
(Vide: Jadwal Al-Buyu’ – Silsilah Al-jadawil Al-Ilmiyah, Syeikh DR. Abdul Qadir Ja’far Ja’far)
Syarat Fasad Jual Beli: (hanya disebut sebagian sebagai contoh)
a)  Syarat Yang Merusak Asal Hukum Jual-Beli.
Contoh: seorang penjual binatang ternak mensyaratkan kepada pembelinya untuk tidak menjual kembali ternaknya atau tidak menjualnya kepada si fulan A, atau tidak menghadiahkan kepada si fulan B; atau penjualnya mensyaratkan kepada pembeli supaya dipinjami atau dijual kepadanya suatu barang. Ini berdasarkan sabda Nabi saw.: Tidak halal menyatukan pinjaman dengan penjualan, menyatukan dua syarat dalam satu akad jual-beli, dan menjual barang yang bukan milikmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daruqutni, dan al-Hakim).
b) Persyaratan batil yang akadnya dianggap sah, namun syarat tersebut dianggap batal.
Contoh: penjual mensyaratkan agar tidak dirugikan saat menjual kepada pembeli atau penjual mensyaratkan kepemilikan budak yang dijualnya kepadanya. Persyaratan dalam kedua contoh di atas dikategorikan batal, sedangkan jual-belinya dianggap sah. Ini berdasarkan sabda Rasul saw.: Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah (al-Quran) maka persyaratannnya batil, meskipun seratus syarat. (HR al-Bukhari, Ibn Hibban, Ibn Majah, ad-Daruqutni, an-Nasa’i).
c) Syarat yang menyebakan kelangsungan satu akad tergantung dengan akad lain (ta’liq), seperti jual beli dengan syarat pernikahan atau jual beli dengan syarat jika fulan merestui.
d) Syarat fasad yang merusak akad seperti: syarat qardh dengan jual beli.
e) Syarat fasad yang tidak merusak akad, seperti syarat untuk menghibahkan barang yang dijual atau syarat untuk tidak menjual kepada orang lain.
Walhasil, hukum penggabungan akad mengikuti kaidah umum terkait dengan akad dan syarat, seperti yang dijelaskan oleh Syeikhul Islam Ibn Taimiyah:
أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعُقُودِ وَالشُّرُوطِ الْجَوَازُ وَالصِّحَّةُ ، وَلَا يَحْرُمُ مِنْهَا وَيَبْطُلُ إِلَّا مَا دَلَّ الشَّرْعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ وَإِبْطَالِهِ ، نَصًّا أَوْ قِيَاسًا ، عِنْدَ مَنْ يَقُولُ بِهِ . وَأُصُولُ أحمد الْمَنْصُوصَةُ عَنْهُ : أَكْثَرُهَا يَجْرِي عَلَى هَذَا الْقَوْلِ . ومالك قَرِيبٌ مِنْهُ ، لَكِنَّ أحمد أَكْثَرُ تَصْحِيحًا لِلشُّرُوطِ . فَلَيْسَ فِي الْفُقَهَاءِ الْأَرْبَعَةِ أَكْثَرُ تَصْحِيحًا لِلشُّرُوطِ مِنْهُ . …. هذا القول هو الصحيح : بدلالة الكتاب والسنة ، والإجماع ، والاعتبار مع الاستصحاب ، وعدم الدليل المنافي .
Artinya: “Hukum Asal Akad dan Syarat adalah boleh dan absah, tidak diharamkan dan dibatalkan kecuali terdapat dalil syara’ yang mengharamkan dan membatalkannya, baik secara nash maupun qiyas. Menurut kelompok yang berpendapat seperti ini. Pokok madzhab Imam Ahmad dan pendapat-pendapatnya menyatakan hal itu, dimana sebagian besar berjalan diatas kaidah ini. Imam Malik punya pendapat yang dekat dengan ini. Tapi Imam Ahmad paling banyak menilai sahih berbagai syarat. Tidak ada ulama dari empat Imam Madzhab yang paling banyak menilai absah berbagai syarat kecuali Imam Ahmad. Ini adalah pendapat yang sahih berdasarkan penunjukan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Istishhab, dan tidak adanya dalil yang menafikan.”
(Vide: Qawa’id Al-Nuraniyah Al-Fiqhiyah, Syeikhul Islam Ibn Taimiyah, Jilid I/131, penerbit Dar Ibn Jauzi, tahun 1422 H)
 أن حديث المؤمنون على شروطهم ، عام يدل على إباحة الشروط ما لم يرد نص على تحريم شرط بعينه ، وأن كل شرط غير محرم فهو ملزم والله اعلم ، كما قال شيخ الإسلام ابن تيمية :  وأصول أحمد ونصوصه تقتضي جواز شرط  كل تصرف فيه مقصود صحيح ، وإن كان فيه منع من غيره . [ مجموع الفتاوى 29/169 ]
Artinya: “hadis bahwa orang mukmin harus mengikuti syarat yang dibuat, adalah dalil umum yang menunjukkan kebolehan syarat selama tidak ada dalil yang melarang syarat tersebut, dan semua syarat tidak diharamkan maka syarat tersebut mengikat. Seperti Syeikhul Islam yang berkata: pokok madzhab Imam Ahmad dan pendapat-pendapatnya menunjukkan kebolehan syarat dari semua bentuk tasharuf, didalamnya ada maksud yang sahih, walau padanya terdapat halangan dari lainnya”. (vide: Syeikhul Islam Ibn Taimiyah dalam Majmu Al-Fatawa jilid 29/hal. 169)
Karena penggabungan 2 akad atau lebih dalam 1 transaksi terkait dengan kaidah umum dalam  masalah akad, maka kaidah umum dari penggabungan 2 akad dalam 1 transaksi adalah:
 أن الأصل في العقود المركبة الجواز والصحة ولا يحرم منها ويبطل إلا ما دل الشرع على تحريمه وبطلانه  
Artinya: “Hukum Asal Multi Akad Adalah Boleh Dan Absah, Tidak Diharamkan Dan Dibatalkan Kecuali Terdapat Dalil Syara’ Yang Mengharamkan Dan Membatalkannya”.
Terkait dengan isu multi akad (hybrid contract), dalam prakteknya seringkali terjadi penggabungan dan kombinasi dari beberapa akad. Terkait dengan isu penggabungan akad (جمع بين االعقود), maka para ulama berbeda pendapat tentang statusnya. Ada kelompok ulama yang melarang, dan ada kelompok ulama yang membolehkan penggabungan akad dalam 1 transaksi. Adapun kelompok yang memperbolehkan penggabungan akad memiliki argumentasi, sebagai berikut:
1) Ulama Madzhab Maliki:
« المالكية: فسَّروا الصفقتين بالتفسير السابق الذي ذكرناه ورجحناه، وهو العقد الذي يكون مترددًا بين شيئين كثمنين، أو سلعتين في البيع، أو أجرتين، أو كدارين في الإِجازة، وذلك بشرط الإِلزام. فالعلة على ضوء ما ذكره المالكية هي: الغرر والجهالة الناشئة من التردُّد، أما اجتماع العقود في عقد واحد دون وجود هذا التردُّد فجائز من حيث المبدأ، فقد جاء في المدونة: «قلت: أرأيت إن اشتريت عبدًا من رجل بعشرة دنانير على أن أبيعه عبدي بعشرة دنانير؟ قال: قال مالك: ذلك جائز.. ولأنَّ هذا مقاصة، وإلاَّ لا يصلح إذا اشترطا إعطاء الدنانير كل للاخر ».
Artinya: “Para Ulama madzhab Maliki menafsirkan 2 shafqah dalam 1 shafqah dengan penafsiran sebelumnya yang telah kami sebutkan dan kami pilih, yaitu: akad yang terdapat keraguan/ketidakjelasan (taradud) antara 2 hal, seperti antara 2 harga, atau 2 barang dalam jual beli, atau 2 upah, atau 2 rumah dalam akad ijarah, dan disertai dengan akad yang mengikat (بشرط الإِلزام)”.
Sebab (illat) larangan ini menurut Ulama madzhab Maliki adalah gharar (ketidakjelasan), jahalah (ketidaktahuan) yang terjadi karena keraguan antara 2 perkara atau lebih (taradud). Jika berkumpul beberapa akad dalam 1 akad tanpa ada keraguan/ketidakjelasan (taradud) maka pada dasarnya diperbolehkan (فجائز من حيث المبدأ).
Dalam Kitab Al-Mudawanah: “Saya berkata: Apa pendapat anda ketika anda membeli seorang budak dari seorang senilai 10 dinar, dimana (pent- dengan syarat) saya menjual budakku kepadanya senilai 10 dinar ? Ia berkata: Malik berkata: hal ini diperbolehkan (ذلك جائز). Karena ini yang dimaksud dengan muqasah (مقاصة) (pent- muqasah: seperti set off dalam istilah akuntansi, yaitu mempertemukan antara hutang dan piutang sehingga hasilnya impas), dan dimana tidak layak kecuali para pihak saling memberi syarat untuk memberi uang dinar kepada pihak lainnya”.
 قلت: فلو بعته عبدي بعشرة دنانير على أن يبيعني عبده بعشرين دينارًا، قال: قال مالك: لا بأس بذلك، وإنما هو عبد بعبد، وزيادة عشرة دنانير».
Artinya: “Saya berkata: Jika saya menjual budakku kepadanya senilai 10 dinar dengan syarat ia menjual kepadaku budaknya senilai 20 dinar ?, ia berkata: Malik berkata : hal itu  diperbolehkan (لا بأس بذلك), karena budak ditukar dengan budak, dan disertai tambahan senilai 10 dinar.” (Vide: Al-Mudawanah (9/126-128))
 وقال ابن القاسم: «وكذلك لو قال: أبيعك ثوبـي هذا بعشرة دنانير على أن تعطيني حمارًا إلى أجل صفقة كذا وكذا فلا بأس به، إنما وقع الثوب بالحمار، والدنانير لغوًا فيما بينهما، كما قال أيضًا: إنَّ مالكًا يجيز اجتماع البيع والإِجارة في صفقة واحدة».
Artinya: “Berkata Ibn Al-Qasim: demikian ketika seorang berkata: Saya jual kepada anda bajuku senilai 10 dinar dengan syarat anda memberi (pent- menjual) kepada saya keledai secara tangguh/kredit senilai sekian, maka hal seperti ini diperbolehkan, karena baju ditukar dengan keledai. Uang dinar yang menjadi ‘perantara’ (لغوًا) antar keduanya, seperti seorang yang berkata: Sesungguhnya Imam Malik memperbolehkan berkumpulnya jual beli (البيع) dan sewa menyewa (الإِجارة) dalam satu transaksi (صفقة واحدة). (Vide: Al-Mudawanah (11/44))
2) Imam Asyhab:
 « وأجاز أشهب اجتماع البيع مع الشركة، والصرف، والجُعل، والنكاح، والمساقاة، والقراض، والإِجارة، والكراء ».
Artinya: “Imam Asyhab memperbolehkan berkumpulnya akad jual beli dengan syirkah, sharf, jualah, nikah, musaqah, qiradh, ijarah dan kira’ (pent- sewa menyewa lahan pertanian)”. (Vide: Al-Buhjah Syarh At-Tuhfah Li Ibn Abidin (2/9), dan Makalah Dr. Asy-Syadzili dalam اجتماع العقود في عقد في الفقه الإِسلامي, hal. 50, makalah ini disampaikan pada ندوة بيت التمويل الثالثة عام 1993م))
3)     Imam Al-Khatib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i:
« ولو جمع في صفقة مختلفَي الحكم كإجارة وبيع كأن يقول: أجرتك داري شهراً وبعتك ثوبي هذا بدينار، إو إجارة وسَلَم كأن يقول: أجرتك داري شهراً وبعتك صاع قمح في ذمتي سَلَماً بكذا صحّا في الأظهر، ويوزع المسمى على قيمتهما أي قيمة المؤجر من حيث الأجرة، وقيمة المبيع أو المسلَم فيه »
“seandainya terkumpul beberapa akad dalam 1 transaksi seperti sewa-menyewa (ijarah) dan jual beli (bai’) seperti seorang yang berkata: Saya sewakan kepada anda rumahku selama 1 bulan, dan saya jual pakaianku kepada anda senilai 1 dinar. Atau sewa-menyewa (ijarah) dan salam, seperti seorang yang berkata: saya sewakan rumahku kepada anda selama 1 bulan dan saya jual kepada anda 1 sha’ biji gandum dalam tanggunganku (في ذمتي) secara salam (pent- barang diserahkan kemudian sesuai kesepatan), maka hal ini abash menurut pendapat yang paling kuat  ( بكذا صحا في ألاظهر).  (vide: Mughni Muhtaj jilid 2/hal. 41)
 4) Penulis Kitab Syarh Al-Khursyii:
 « خلاف اجتماع الإجارة مع البيع في صفقة واحدة، فيجوز سواء كانت الإجارة في نفس المبيع كما لو باع له جلوداً على أن يخرزها البائع للمشتري نعالاً، أو كانت الإجارة في غير المبيع كما لو باع ثوباً بدراهم معلومة على أن ينسج له ثوباً آخر، وما أشبه ذلك على المشهور »
“Berbeda dengan berkumpulnya sewa – menyewa dengan jual beli dalam 1 transaksi, maka hal ini diperbolehkan walau akad sewa – menyewa (ijarah) atas barang yang dijual (al-mabi’), seperti seorang menjual kulit hewan dengan syarat penjual membuatkan sandal (an-na’al) dari kulit tersebut untuk pembeli, atau sewa-menyewa atas selain barang yang dijual (al-mabi’) seperti seorang yang menjual baju dengan nilai beberapa dirham dengan syarat ia dan yang seperti itu menurut pendapat yang masyhur”. (Vide: Kitab Syarh Al-Khursyii Ala Mukhtashar Khalil jilid 7/hal. 4, Adz-Dzakirah jilid 5/hal. 415, dan Mawahib Al-Jalil jilid 7/hal. 503)
5) Imam Ibn Qudamah:
 « وإذا جمع بين عقدين مختلفي القيمة بعوض واحد كالصرف وبيع ما يجوز التفرق فيه قيل القبض، والبيع، والنكاح، أو الإجارة نحو أن يقول: بعتك هذه الدار وأجرتك الأخرى بألف.. صح العقد فيهما، لأنهما عينان يجوز أخذ العوض عن كل واحدة منهما منفردة، فجاز أخذ العوض عنهما مجتمعين …” »
“Jika terkumpul dalam 2 akad beberapa harga dengan 1 kompensasi (iwadh) seperti sharf (jual beli mata uang) dan jual beli dan sesuatu yang dapat dipisahkan padanya (التفرق فيه), ada yang berpendapat termasuk akad jual beli, nikah, ijarah, seperti seorang yang berkata: saya menjual rumah ini kepada anda dan menyewakan kepada anda barang lain senilai (pent- untuk harga jual rumah dan sewa barang) seribu .. maka absah akad pada keduanya, karena kedua akad tersebut diperbolehkan mengambil kompensasi/fee (iwadh) atas setiap akad secara terpisah, sehingga diperbolehkan mengambil kompensasi/fee (iwadh) sekaligus atas kedua akad tersebut”. (Vide: Ibn Qudamah dalam Al-Mughnii Jilid 4/hal. 260 dan Muntahiya Al-Iradat jilid 2/hal. 21)
Walhasil, menurut para Ulama sebab (illat) larangan penggabungan akad adalah gharar (ketidakjelasan), jahalah (ketidaktahuan) yang terjadi karena keraguan antara 2 perkara atau lebih (taradud). Jika berkumpul beberapa akad dalam 1 akad tanpa ada keraguan/ketidakjelasan (taradud) maka pada dasarnya penggabungan beberapa akad diperbolehkan (فجائز من حيث المبدأ).
6)   Syeikh Muhyidin Ali Al-Qarahdaghi:
« إن جمهور الفقهاء (المالكية والشافعية في القول الراجح، والحنابلة) أجازوا الجمع بين الإجارة والبيع »
Syeikh Muhyidin Ali Al-Qarahdaghi menambahkan bahwa: “mayoritas ahli fiqh dari madzhab Maliki, Syafi’i menurut pendapat yang terpilih (القول الراجح), dan madzhab Hambali memperbolehkan untuk mengumpulkan jual beli dan sewa-menyewa (أجازوا الجمع بين الاجارة و البيع)”. (Vide: Syeikh Muhyidin Ali Al-Qarahdaghi  dalam makalah dengan judul:  التكييف الفقهي)
H. HUKUM  ATAS  JUAL BELI  TA’ALUQ
Ta’aluq secara bahasa:
علَّقَ - يعلِّق - تعليقًا ، فهو مُعلِّق ، )والمفعول مُعلَّق(
Berasal dari kata : allaqa – yualliqu – ta’liiqan fahuwa mualliq (isim maf’ul dari allaqa) yaitu menggantung, meletakkan, menegakkan, tidak menetapkan/memutuskan sesuatu, seperti ungkapan orang arab berikut:
علَّق القاضي الحُكْمَ ، لم يقطع به، لم يحسمْه
Hakim itu tidak memutus dan menetapkan hukum (,
علَّق العقوبةَ: أوقف تنفيذَها
Ia menggantungkan pelaksanaan hukuman,
علَّق إعلانًا على حائط: وضعه عليه
Ia meletakkan/menempelkan pengumuman pada dinding
علَّق بابًا على بيته: نصبه وركَّبه
Ia menegakkan dan menyusun pintu rumahnya.
(Vide: Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu’ashir, dalam http://www.almaany.com/home)
Secara Istilah, transaksi ta’aluq adalah
ما علّق وجوده على وجود أمرِ آخر ممكن الحدوث
Artinya: ”suatu akad yang pelaksanaannya tergantung pada akad lain yang mungkin terjadi”. Seperti seorang yang berkata
بعتك داري هذه بكذا ، إن باعني فلان داره ، فيقول الآخر قبلت
Artinya: ”saya jual rumah ini kepada anda, dengan syarat jika fulan menjual rumahnya kepada saya. Lalu pembeli berkata: saya terima akadnya”. (Vide: Syeikh Muhammad Hamzah dalam makalah البيوع المحرّمة بسبب الغرر).
Atau ”saya jual rumah saya kepada anda dengan syarat anda menikahkan putri anda kepada saya”. Pelaksanaan jual beli pertama tergantung dengan pelaksanaan jual beli kedua atau jual beli pertama tergantung dengan pelaksanaan akad nikah, sehingga pelaksanaan akad pertama tergantung dengan pelaksanaan akad kedua. Transaksi seperti ini lebih dikenal dengan istilah jual beli mua’alaq (البيع المعلّق). Sebagian ulama melarang model transaksi seperti ini  (Vide: Syeikh Taqiyudin An-Nabhani, Kitab Syakhsiyah Islamiyah, Jilid II/hal. 308-309, Cetakan kelima, Penerbit Darul Ummah). Pelarangan ini lebih karena ada unsur gharar (ketidakjelasan) dalam akad jual beli ta’aluq, ketika ditelaah dari aspek:
-      ada atau tidaknya akad ke 2 ( من حيث حصوله من عدمه)
-      waktu terjadinya akad ke 2 (من حيث وقت حصوله),
-      kerelaan para pihak pada saat akad ke 2 terealisasi (ومن حيث الرضا عند حصول المعلق عليه),
(Vide: Syeikh Muhammad Hamzah dalam makalah البيوع المحرّمة بسبب الغرر).
Para ulama melarang transaksi ta’aluq ini karena ada gharar dalam akad jual beli ta’aluq dan bukan karena ada 2 akad dalam 1 transaksi.
Secara etimologis, kata gharar berkisar pada risiko (khathar), ketidaktahuan (jahl), kekurangan (nuqsan) dan/atau sesuatu yang mudah rusak (ta`arrudh lil halakah).  Para ulama memberikan beberapa definisi tentang gharar sebagai berikut:
الغرر: هو المجهول العاقبة.
1- Ibn Taimiyyah berpendapat: “Gharar adalah konsekuensi yang tidak diketahui (the unknown consequences).” (Sumber: Majmu` al-Fatawa, vol. XXIX, hlm. 22.)
الغرر :بأنه مالا يعلم حصوله، أو لا تعرف حقيقته ومقداره.
2- Ibn Qayyim berpendapat: “Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui hasilnya, atau dikenal hakikat dan ukurannya”.
Gharar dalam jual beli adalah segala bentuk jual beli yang di dalamnya terkandung risiko (khathar), ketidaktahuan (jahl), kekurangan (nuqsan)dan/atau sesuatu yang mudah rusak (ta`arrudh lil halakah).
نهى رسول الله – r – عن بيع الغرر
Artinya: ”Rasul SAW melarang dari jual beli barang secara gharar” (HR. Muslim III: 1153 no: 1513, Tirmidzi II: 349. no: 1248, ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, Ibnu Majah II: 739 no: 2194 dan Nasa’i VII: 262 dari Abu Hurairah ra.).
Imam Nawawi menjelaskan “Adapun larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian banyak prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli, oleh karena itu, Imam Muslim menempatkan hadits gharar ini di bagian pertama dalam Kitabul Buyu’ yang dapat dimasukkan ke dalamnya berbagai permasalahan yang amat banyak tanpa batas, seperti, jual beli budak yang kabur, jual beli barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan, jual beli barang yang belum menjadi hak milik penuh si penjual, jual beli ikan di dalam kolam yang lebar, jual beli air susu yang masih berada di dalam tetek hewan, jual beli janin yang ada di dalam perut induknya, menjual sebagian dari seonggok makanan dalam keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa ditimbang), menjual satu pakaian di antara sekian banyak pakaian, menjual seekor kambing di antara sekian banyak kambing, dan yang semisal dengan itu semuanya. Dan, semua jual beli ini bathil, karena sifatnya gharar tanpa ada keperluan yang mendesak. Ketahuilah bahwa jual beli barang secara mulamasah, secara munabadzah, jual beli barang secara habalul habalah, jual beli barang dengan cara melemparkan batu kecil, dan larangan itu semua yang terkategori jual beli yang ditegaskan oleh nash-nash tertentu maka semua itu masuk ke dalam larangan jual beli barang secara gharar. Akan tetapi jual beli secara gharar ini disebutkan secara sendirian dan ada larangan secara khusus, karena praktik jual beli gharar ini termasuk praktik jual beli jahiliyah yang amat terkenal.” (Vide: Syarh Shahih Muslim – Imam Nawawi, jilid 10/hal. 156)*
Dengan demikian, transaksi ta’aluq yang dilarang adalah tatkala beberapa akad dalam satu transaksi atau produk keuangan saling dipersyaratkan, sehingga pelaksanaan satu transaksi tergantung pada pelaksanaan akad lainnya, dan bukan karena adanya 2 akad dalam 1 transaksi.
I-  Kesimpulan
Pengertian multi akad adalah satu transaksi yang terdiri dari beberapa akad, seperti produk keuangan syariah yang disebut dengan Ijarah Muntahiyah bi Tamlik (IMBT), dimana produk IMBT terdiri dari akad ijarah dan akad jual beli atau hibah. Proses produk IMBT diawali dengan akad Ijarah, kemudian setelah akad ijarah berakhir, dilanjutkan dengan akad jual beli atau hibah. Mayoritas Ulama Kontemporer memperbolehkan hal ini. (Vide: Syeikh Abdul Karim Abdul Jawad Ajam, المقاصد الشرعية من عقد الإجارة المنتهية بالتمليك كعقد مطبق في المصارف الإسلامية,Universitas Damaskus – Syria).
Multi akad tidak harus difahami sebagai penggabungan beberapa akad dalam satu transaksi, tapi lebih tepat beberapa akad yang menjadi ‘satu paket’ dalam produk keuangan syariah kontemporer. Pada prakteknya, ada produk keuangan syariah yang menggunakan multi akad (hybrid kontrak) yang merupakan kombinasi dari beberapa akad. Terkait dengan ini, selama tidak ada dalil yang melarang, maka hal ini boleh dilakukan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sebaliknya, tatkala beberapa akad yang ada dalam ’satu paket’ produk keuangan syariah yang saling terpisah, tidak dipersyaratkan satu dengan yang lain dan tidak ada unsur gharar, sehingga pelaksanaan akad pertama tidak tergantung dengan pelaksanaan akad kedua, seperti yang berlaku dalam akad Ijarah Muntahiyah bi Tamlik (IMBT), maka multi akad seperti ini adalah diperbolehkan. Akad IMBT terdiri dari akad ijarah dan akad jual beli/hibah, tatkala akad ijarah berakhir, lalu dilanjutkan dengan akad berikutnya yaitu akad jual beli atau akad hibah. Dalam IMBT, akad ijarah tidak tergantung dengan akad jual beli/hibah, dan sebaliknya. Walhasil, beberapa akad dalam satu ’paket produk keuangan syariah’ yang saling terpisah, tidak dipersyaratkan satu dengan yang lain dan tidak ada unsur gharar adalah diperbolehkan. Wallahu a’lam bi shawab.
 * Penjelasan lebih lanjut terkait gharar, dapat dilihat dalam tulisan kami: Gharar, Seperti Apa ?

Comments