HUKUM MENJAMINKAN BARANG YANG DIPEROLEH SECARA KREDIT
oleh : Ust. Irawan
Pengantar
1) Pengertian Tasharuf;
2) Hukum Asal Perbuatan;
3) Kaitan Jual Beli Kredit dengan Gadai; dan
4) Hukum Islam Tentang Menjaminkan Barang Yang Dibeli Secara
Tangguh/Kredit Kepada Penjual.
5) Menjawab Argumentasi Kelompok Yang
Melarang Menjaminkan Barang Yang Diperoleh secara Kredit.
1) Pengertian Tasharuf
والتصرف بالمعنى الفقهي هو كل ما يصدر عن شخص بإرادته،
ويرتب الشرع عليه نتائج حقوقية
Tasharuf
menurut pengertian fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari seseorang
(mukallaf) dengan kehendaknya, dan syara’ telah menetapkan atasnya hasil-hasil
berupa hak-hak tertentu (nataaij hakikiyah) (Lihat: Aminah Al-fadhil dalam
Makalah Al-Aqd dari (http://www.madariss.fr/Islam/1ere/Nprog/c10.htm))
Tasharuf dapat disebut juga sebagai tindakan hukum mukalaf atas
sesuatu . Tasharuf dapat berupa ucapan (tasharuf qaulii) seperti aqad, sumpah;
dan perbuatan (tasharuf fi’lii) seperti sholat, zakat dan sebagainya. Dengan
kata lain, Islam tidak mengenal tindakan yang bebas (hurriyah tasharuf), karena
tasharuf merupakan bagian dari perbuatan seorang hamba dan setiap perbuatan
wajib selalu terikat dengan hukum syara’. Karenanya, Allah memerintahkan setiap
Muslim agar dalam menjalankan semua aktivitasnya senantiasa sejalan dengan
hukum syariah. Bahkan Allah menafikan keimanan mereka yang tidak terikat dengan
syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw.
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِىٓ أَنفُسِہِمۡ حَرَجً۬ا
مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمً۬ا (٦٥)
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS an-Nisa’ [4]: 65)
Ayat ini mengisyaratkan peniadaan keimanan
atas mereka yang tidak terikat syariah. Hal ini juga dipertegas oleh
Rasulullah saw dengan sabdanya:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman seseorang di antara
kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR Abu
Hatim dalam Shahih-nya).
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berkata, “Jika
keimanan itu tidak akan diraih hingga seorang hamba tunduk dan berserah kepada
Rasulullah saw., menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang beliau bawa,
menjadikan Rasulullah dan jihad didahulukan mengalahkan cintanya kepada diri,
harta dan keluarganya, maka bagaimana terkait dengan ketundukan dan kepatuhan
seorang hamba kepada Allah SWT?” (Lihat: Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kitab
Maj’mû’ al-Fatâwa, X/287).
Oleh
karena itu, jika seorang Muslim hendak melakukan perbuatan apapun, ia wajib
terikat dengan hukum Allah terkait dengan perbuatan tersebut. Jika seorang
Muslim hendak mengambil atau memberikan sesuatu apapun, ia pun wajib terikat
dengan hukum Allah terkait dengan sesuatu tersebut. Dengan
kata lain, seorang Muslim tidak boleh melakukan perbuatan atau memanfaatkan
sesuatu apapun di luar ketentuan hukum, yakni harus selalu terikat dengan
syariah. (Lihat: Syeikh An-Nabhani, Kitab Muqaddimah ad-Dustûr,
hlm. 84).
2) Hukum Asal Perbuatan
Hukum syariah adalah seruan dari Pembuat
hukum (khithâb Asy-Syâri’) yang berkaitan dengan perbuatan (af’âl) manusia.
Seruan itu datang untuk menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan
perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu (asyyâ’). Ketika seruan itu datang untuk
sesuatu, maka itu disebabkan bahwa sesuatu itu berhubungan erat dengan
perbuatan manusia. Dengan demikian,
hukum asal seruan ditujukan untuk perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu. Dalam
hal ini sama saja, ada seruan yang datang untuk perbuatan (af’âl) tanpa
menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya sama sekali, seperti firman Allah SWT:
( كُلُوا وَاشْرَبُوا)
“Makan dan minumlah.” (QS al-Baqarah [2]:
60).
Ada juga seruan yang datang untuk sesuatu
(asyyâ’) tanpa menyebutkan perbuatan (af’âl)-nya sama sekali, seperti firman
Allah SWT:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan atas kalian bangkai, darah dan
daging babi.” (QS al-Baqarah [2]: 60).
Hukum haram pada ketiga benda ini tidak
lain adalah terkait dengan perbuatan manusia yang berhubungan dengan benda itu
seperti memakannya, menjualnya, membelinya dan perbuatan manusia lainnya yang
berhubungan dengan benda-benda itu.
Ada juga seruan yang datang untuk perbuatan
(af’âl) dengan menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya, seperti firman Allah SWT:
لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا
“Agar kalian dapat memakan darinya daging yang segar (ikan).”
(QS an-Nahl [16]: 14).
Seruan pada ayat-ayat di atas, semuanya ditujukan untuk
perbuatan manusia. Mengingat seruan dari Pembuat hukum (khithâb Asy-Syâri’) itu
tidak lain adalah terkait dengan perbuatan manusia, maka di sinilah ditetapkan
sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal perbuatan manusia, yaitu:
الأَ
صْلُ فِي الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ
“Hukum asal setiap perbuat
manusia itu terikat dengan hukum syariah.”
Artinya, hukum asal semua
perbuatan manusia itu adalah memiliki hukum syariah yang wajib dicari dari
dalil-dalil syariah sebelum melakukan perbuatan. Sebab, tujuan dari melakukan
perbuatan itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Adapun
diterimanya ibadah itu harus memenuhi dua syarat: ikhlas karena Allah dan
kesesuaiannya dengan hukum syariah (Lihat: Syeikh Al-Badrani, KItab Îqâd
al-Fikri Qirâ’ah fi Kitab al-Fikr al-Islâmi, hlm. 221 dan Syeikh Fauzi
Sanqarth, Kitab Taqarub Illah, Bab Ihsanul Amal). Dengan
kata lain, Islam tidak mengenal tindakan yang bebas (hurriyah tasharuf), karena
tasharuf merupakan bagian dari perbuatan seorang hamba dan setiap perbuatan
wajib selalu terikat dengan hukum syara’, maka kaidah yang sesuai terkait
dengan masalah tasharuf adalah:
الأَ
صْلُ فِي التصرف التَّقَيُّدُ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ
“Hukum asal setiap tasharuf adalah terikat dengan hukum
syariah.”
Dalam konteks jual beli secara tangguh/kredit, maka syara’ telah
membolehkan penjual untuk meminta jaminan (gadai) kepada pembeli karena
hutangnya. Atas dasar hutang tersebut, penjual dapat meminta pembeli untuk
menjadikan barang yang dibeli secara tangguh/kredit atau barang (asset) lainnya
sebagai jaminan. Hal ini yang dipraktekkan oleh sebagian besar Lembaga Keuangan
Syariah di Dunia. Bahkan praktek ini sudah sesuai dengan penunjukan akad
(muqtadha al-aqd) seperti yang akan dibahas pada pembahasan berikut:
3) Kaitan Jual Beli Secara Kredit dengan Gadai
Al-Bay’[u]
(jual) secara bahasa berarti pertukaran (mubâdalah); lawan katanya adalah
asy-syarâ’ (beli). Al-Bay’[u] adalah kata jadian (mashdar) dari kata kerja
bâ’a, yaitu menukar barang dengan barang (mubâdalah mâl bi mâl). Dengan
ungkapan lain, dalam sebagian literatur, ia berarti mempertemukan atau menukar
sesuatu dengan sesuatu yang lain (muqâbalah syay’[in] bi syay[in]) atau memberi
ganti dan mengambil barang yang telah diberi ganti (daf’u iwadh wa akhdu ma
‘uwwidha ‘anhu).
Salah satu dari kata ini dapat digunakan
untuk menyebut lainnya. Akan tetapi, jika disebut al-bay’[u] maka segera
terlintas dalam benak menurut kebiasaan (‘urf) bahwa yang dimaksud adalah
menawarkan barang dagangan (bâdzil as-sil’ah). (Lihat; Mawsû’ah al-Fiqhiyah,
disusun oleh Ulama Kuwait, Bab, “Ta’rîf al-Bay’”).
Tatkala
jual beli dilakukan secara tunai, maka hak milik (al-milkiyah) telah berpindah
dari penjual kepada pembeli. Namun terkait dengan jual beli
yang dilakukan secara tangguh (muajjal) atau mencicil (taqsith), sebagian ulama
menyatakan bahwa kepemilikan pembeli atas barang tersebut belum sempurna
(ghairu al-milkiyah at-tamah) dan penjual-pun diperbolehkan meminta jaminan
kepada pembeli atas hutangnya. Hal ini seperti yang dicontohkan
Rasul SAW, seperti hadis yang diriwayatkan dari ibunda Aisyah ra.:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، ” أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا
مِنْ حَدِيدٍ ” .
Dari aisyah ra., sesungguhnya Nabi SAW
membeli makanan dari seorang Yahudi secara tangguh, dan ia (nabi SAW)
menggadaikan baju besinya kepada pedagang yahudi tsb (HR Bukhari No. Kitab
Al-hajj/No. 1937)
Dalam riwayat lain:
عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : ” اشْتَرَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا
بِنَسِيئَةٍ ، فَأَعْطَاهُ دِرْعًا لَهُ رَهْنًا ” .
Dari Aisyah ra., sesungguhnya Rasul SAW
membeli makanan dari seorang Yahudi secara tangguh, lalu ia memberikan baju
besinya kepada pedagang yahudi tersebut sebagai jaminan. (HR.
Muslim Kitab Al-Musaqat/No. 3015)
Pendapat Syeikh As-Sanadi:
( اشترى من يهودي . . . إلخ ) يدل على جواز
البيع إلى الأجل وعلى جواز الرهن وعلى جواز المعاملة مع ….
“Hadis ini menunjukkan kebolehan melakukan jual beli secara
tangguh, gadai, muamalah dengan orang kafir … ” (Lihat: Kitab Sunan Ibn Majah Bisyarhi As-Sanadii, Kitab
Ar-Ruhun, No. 2436)
Pendapat Iman Nawawi:
وفيه
جواز الرهن ، وجواز رهن آلة الحرب عند أهل الذمة ، وجواز الرهن في الحضر ، وبه قال
الشافعي ومالك وأبو حنيفة وأحمد والعلماء كافة إلا مجاهدا وداود فقالا : لا يجوز
إلا في السفر تعلقا بقوله تعالى : وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان
مقبوضة واحتج الجمهور بهذا الحديث
”Hadis ini menunjukkan kebolehan gadai dan gadai alat perang
dari orang ahlu dzimmah. Dan kebolehan melakukan gadai dalam keadaan tidak
bepergian (al-hadhir). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Malik, Abu
Hanifah, Ahmad, dan seluruh ulama kecuali Mujahid dan Dawud Adh-Dhahiri, mereka
berpendapat bahwa tidak boleh melakukan gadai kecuali pada saat safar
(bepergian) ketika menafsirkan firman Allah SWT :” Jika kalian dalam keadaan
safar dan tidak mendapatkan seorang penulis maka ambillah jaminan”. Adapaun
mayoritas ulama berdalil dengan hadis ini (tentang kebolehan gadai baik saat
safar atau tidak)”. (Lihat: Syarh Shahih Muslim Li Nawawi, Kitab Musaqat – Bab
Ar-Rahn wa Jawazuhu fi Hadhir Kaa As-Safar)
فإذا
اشترط بيع الرهن عند حلول الاجل جاز هذا الشرط وكان من حق المرتهن أن يبيعه – فقه السنة (3/137)
”Jika penjual menetapkan syarat untuk menjual barang jaminan
(gadai) ketika jatuh tempo (dimana pembeli tidak bisa membayar hutangnya), maka
syarat seperti ini diperbolehkan, dan merupakan hak murtahin (penerima barang
gadai) untuk menjual barang jaminan (gadai)”. (lihat: Syeikh Sayyid Sabiq,
Kitab Fiqh Sunnah, Jilid 3/hal. 137)
Oleh karena itu, dibutuhkan kajian yang membahas hukum syara’
terkait menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit kepada penjual, sebagai
berikut:
4) Hukum Islam terkait
Menggadaikan/Menjaminkan Barang yang Dibeli secara Tangguh/Kredit kepada Penjual
Hukum Gadai Dalam Perspektif Islam:
Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:
|
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَقْبُوْضَةٌ …
|
“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak
memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang …”.
|
Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim
dari ‘Aisyah r.a., ia berkata:
|
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى
طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ
حَدِيْدٍ.
|
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang
dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”
|
Hadits Nabi riwayat al-Syafi’i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
|
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ
غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ.
|
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.”
|
Hadits Nabi riwayat
Jama’ah, kecuali Muslim dan al-Nasa’i, Nabi s.a.w. bersabda:
|
اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا،
وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَعَلَى
الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ.
|
“Tunggangan (kendaraan)
yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak
yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya
perawatan dan pemeliharaan.”
|
Nash-nash syara’ diatas merupakan
dalil tentang disyariatkannya aktifitas gadai. Para
ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, 1985,
V: 181). Substansi dari gadai adalah untuk menjamin hutang, seperti yang
dijelaskan oleh Imam Ibn Arafah:
الرهن : ما
قبض توثقا به في دين
”Rahn adalah Sesuatu yang dipegang untuk menjamin hutang”.
(Lihat: Ibn Arafah Ad-Dusuqii, Hasyiyah
Ad-Dusuqi Alaa Syarhil Kabir, Dar Ihya’ Kutub Al-Arabiyah, Cetakan Ke-4)
Maka munculnya akad rahn (gadai) terkait dengan hutang –
piutang, seperti dalam kasus ketika Rasul SAW membeli barang secara
tangguh/kredit kepada seorang yahudi (dalam suatu riyawat orang yahudi itu
bernama Abu Syahm) di kota madinah, maka Rasul SAW menggadaikan baju besinya
sebagai jaminan atas hutangnya. Transaksi jual beli secara tangguh/kredit
menyebabkan munculnya hutang – piutang. Atas
dasar ini, seorang penjual dapat meminta kepada pembeli memberikan jaminan atas
hutangnya. Sebaliknya pembeli dapat memberikan barang yang lain atau barang
yang diperoleh secara tangguh/kredit untuk menjamin hutangnya kepada penjual.
Untuk memperkuat pendapat yang menegaskan
kebolehan menjadikan barang yang dibeli secara jredit sebagai jaminan, maka
perlu disimak pendapat para ulama klasik dan kontemporer terkait dengan hal
ini, termasuk pendapat dari sejumlah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Dewan
Pengawas Syariah di beberapa negara di timur tengah, sebagai berikut:
Pendapat Ulama Madzhab Maliki:
وأصل
مذهب مالك في هذا أنه يجوز أن يؤخذ الرهن في جميع الأثمان الواقعة في جميع
البيوعات إلا الصرف ورأس المال في السلم المتعلق بالذمة، وذلك لأن الصرف من شرطه
التقابض.
Pokok
Madzhab Imam Malik dalam masalah obyek gadai (rahn) adalah diperbolehkan
mengambil gadai pada seluruh jenis harga dalam beragam transaksi jual – beli
kecuali transaksi sharf (pertukaran mata uang) dan pokok harta dari transaksi
salam yang terkait dengan tanggungan, karena syarat dalam transaksi sharf
adalah adanya serah terima (taqabudh) pada majlis akad (spot transaction).
(Kitab Bidayatul Mujtahid – Ibn Rusyd, Jilid 2/hal. 221)
Pendapat Madzhab Hambali:
مذهب
الحنابلة: جاء في كشاف القناع 3/189 ” : 190 – من الشروط الصحيحة (
شرط من مصلحة العقد ) أي: مصلحة تعود على المشترط ( كاشتراط صفة في الثمن ,
كتأجيله أو ) تأجيل (بعضه) إلى وقت معلوم ( أو ) اشتراط ( رهن معين ) بالثمن , أو
بعضه ( ولو ) كان الراهن المبيع ) فيصح اشتراط رهن المبيع على ثمنه، فلو قال: بعتك
هذا على أن ترهننيه على ثمنه , فقال : اشتريت ورهنتك، صح الشراء والرهن
Madzhab
Hambali: termasuk syarat-syarat sah (syarat dari maslahat akad) yaitu maslahat
yang kembali kepada apa yang dipersyaratkan, (seperti syarat sifat pada harga,
seperti harga yang diakhirkan) mengakhirkan (sebagiannya) hingga waktu
tertentu (atau) menetapkan syarat (menjaminkan (gadai) sesuatu) atas harganya,
atau sebagian (walau) jika pemilik barang (rahin) menjaminkan barang yang dibeli
secara kredit), maka sah penetapan syarat untuk menjaminkan (gadai) barang yang
dibeli secara kredit atas harganya, jika penjual berkata: saya jual barang ini
supaya anda menjaminkan barang tersebut atas harganya, kemudian pembeli
menjawab: saya beli dan saya jaminkan (gadai) barang ini kepada anda, maka sah
jual beli dan gadainya. (Lihat: Kitab Kasyaf Al-Qana’ jilid 3/hal. 189 – 190)
Pendapat Al-Alamah Ibn Al-Qayyim :
يجوز
رهن المبيع قبل قبضة على ثمنه في أصح الوجهين، كما يصح رهنه قبل القبض بدين آخر
غير ثمنه ومن غير البائع، بل رهنه على ثمنه أولى، فإنّه يملك حبسه على الثمن بدون
الرهن، فلأن يصح حبسه على الثمن رهناً أولى وأحرى -إغاثة اللهفان 2/53
Ibn Qayyim berkata: boleh menggadaikan
barang yang dijual (kepada penjual) atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh)
sebelum diserahterimakan menurut pendapat yang paling shahih dari 2 pendapat
yang ada, sebagaimana boleh menggadaikan barang sebelum diserah-terimakan atas
hutang lain yang bukan termasuk harganya dan kepada selain penjual barang.
Bahkan menjaminkan barang (kepada penjual) atas harganya (atas pembayaran
secara mencicil/tangguh) lebih utama, karena penjual memiliki hak menahan
barang atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh) tanpa harus
digadai. Maka diperbolehkan (penjual) menahan barang atas harganya adalah lebih
utama dan lebih baik. (Lihat: Syeikhul Islam Ibnul Qayyim Al-jauziyah, Kitab
Ighasatul Lahfan Jilid 2/hal. 53)
وهكذا في المبيع يشترط على
المشتري رهنه على ثمنه حتى يسلمه إليه، ولا محذور في ذلك أصلاً، ولا معنىً، ولا مأخذاً
قوياً يمنع صحة هذا الشرط والرهن، وقد اتفقوا أنه لو شرط عليه رهن عين أخرى على
الثمن جاز ، فما الذي يمنع جواز رهن المبيع على ثمنه ؟ .لا فرق بين أن يقبضه أو لا
يقبضه على أصح القولين، وقد نص الإمام أحمد على جواز اشتراط رهن المبيع على ثمنه،
وهو الصواب ومقتضى قواعد الشرع وأصوله…وهو مذهب مالك وأبي حنيفة، وأحد قولي
الشافعي، وبعض أصحاب الإمام أحمد، وهو الصحيح ( إعلام الموقعين 4/33).
Al-Alamah Ibnul Qayyim
berkata: Demikian terkait dengan barang yang dijual (al-mabi’) ketika penjual
menetapkan syarat kepada pembeli untuk menggadaikan (menjaminkan) barang atas
harganya (yang dibeli secara tangguh/kredit) hingga ia (pembeli) menyerahkan
(membayar) harganya. Dan hukum asalnya, hal tersebut tidak berdosa. Tidak ada
suatu pengertian, argumentasi yang kuat untuk menolak keabsahan syarat dan
gadai ini. Dan para ulama telah bersepakat jika penjual menetapkan syarat
kepada pembeli untuk menggadaikan barang lain untuk menjamin harga barang (yang
dibeli secara tangguh/kredit) adalah boleh. Apa yang menghalangi kebolehan
menjaminkan barang atas harganya (yang dibeli secara tangguh/kredit) ? Tidak ada perbedaan antara ia
(penjual) menguasai (al-qabdh) barang atau tidak, menurut pendapat yang paling
shahih dari 2 pendapat yang ada. Imam Ahmad menyatakan tentang kebolehan syarat
menjaminkan barang atas harganya (yang dibeli secara tangguh/kredit). Pendapat
ini adalah pendapat yang benar (shawab) dan sesuai dengan maksud kaidah dan
pokok hukum syara’.
Hal ini merupakan pendapat madzhab Imam Malik, Abu Hanifah,
salah satu dari 2 pendapat Imam Asy-Syafi’I dan sebagian sahabat Imam Ahmad.
Pendapat ini adalah pendapat yang absah (shahih) (Lihat: Syeikhul Islam Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah, Kitab I’lamul Muwaqi’in, Jilid 4/hal. 33)
Pendapat Imam Buhuti Al-Hambali:
فيصح اشتراط رهن المبيع على ثمنه، فلو
قال: بعتك هذا على أن ترهننيه على ثمنه، فقال:اشتريت ورهنتك صح الشراء والرهن - كشاف
القناع 3 / 189.
Diperbolehkan syarat menjaminkan barang yang dijual atas
harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh). Jika ia (penjual) berkata:
aku menjual kepadamu barang ini, agar kamu menggadaikan barang ini atas
harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh), lalu ia (pembeli)
menjawab: aku membeli (barang ini) dan aku menggadaikannya kepadamu, maka hukum
jual – beli dan gadai ini adalah sah (shahih). (KItab Kasyaf Al-Qana’ Ann
Matanil Iqna’, jilid 3/hal. 189, Penerbit Darul Fikr , Tahun Terbit 1982)
Pendapat Imam Ibn Qudamah:
ولو
لم يشترطا رهنا في البيع, فتطوع المشترى برهن وقبضه البائع كان حكمه حكم الرهن
المشروط في البيع, ولا ينفك شيء منه حتى يقضى جميع الدين ولا يملك الراهن
انتزاعه ولا التصرف فيه, إلا بإذن المرتهن إلا أنه إذا رده بعيب أو غيره لم يملك
فسخ البيع. – المغني - كتاب الرهن 86 من 391
Dan Jika keduanya (penjual dan pembeli) tidak menetapkan syarat
jaminan (gadai) dalam jual-beli, kemudian pembeli secara sukarela (tathawu’)
memberikan jaminan (gadai) dan pembeli menahan (al-qabdh) barang tersebut, maka
hukumnya adalah hukum gadai yang bersyarat dalam jual beli, dan akad berlaku
terus (tidak dapat dibatalkan) hingga ia (pembeli) melunasi seluruh hutangnya.
Penerima barang gadai (ar-rahin) tidak memiliki hak untuk mencabut barang
tersebut (mengusainya) dan melakukan tasharuf (perbuatan hukum) atasnya,
kecuali dengan izin dari pemberi barang gadai (al-murtahin).Adapengecualian
tatkala pembeli mengembalikan barang karena adanya cacat (aib) atau sebab
lainnya, maka ia (pembeli) tidak memiliki hak untuk membatalkan (al-faskh) jual
beli tersebut. (lihat: Ibn Qudamah, Kitab Al-Mughni – Kitab Ar-Rahn hal. 391)
Pendapat Syeikh DR. Hishamudin Afanah (Guru Besar
Fakultas Ilmu Fiqh & Ushul di Kota Al-Quds – Palestina):
بيع المرابحة للآمر بالشراء إذا وقع على
سلعة بعد دخولها في ملك المأمور وهو البنك، وحصول القبض المطلوب شرعاً، هو بيع
جائز طالما كانت تقع على المأمور مسؤولية التلف قبل التسليم، وتبعة الرد بالعيب
الخفي ونحوه من موجبات الرد بعد التسليم، وتوافرت شروط البيع وانتفت موانعه كما
جاء في القرار الصادر عن المجمع الفقهي التابع لمنظمة المؤتمر الإسلامي.
ويجوز للبنك الإسلامي أن يشترط رهن السلعة المبيعة- السيارة مثلاً – ضماناً لسداد
ثمنها، وهذا على الراجح من أقوال الفقهاء، وهو مذهب أبي حنيفة ومالك وأحد قولي
الشافعي والصحيح من مذهب أحمد. واختاره شيخ الإسلام ابن تيمية وتلميذه العلامة ابن
القيم والعلامة العثيمين وغيرهم، وقد أخذ به مجمع الفقه الإسلامي.
Jual beli murabahah dengan
pesanan (murabaha lil Amr bi Asy-Syira’), jika terjadi pada barang setelah
menjadi milik bank, dan telah diterima atau dikuasai (al-qabdhu) seperti yang
dikehendaki oleh syariah, adalah jual – beli yang mubah selama berjalan sesuai
dengan yang diperintahkan, seperti terkait tanggung jawab kerusakan sebelum
diserah terimakan, mengembalikan barang karena ada cacat yang tersembunyi, dan
hal lian yang mengahruskan pengembalian barang setelah diserah terimakan. Serta
telah terpenuhi rukun dan syarat dalam jual beli, tidak ada penghalang
(mawani’) seperti keputusan yang dikeluarkan oleh Majma Fiqhi. Maka diperbolehkan
bagi bank syariah untuk menetapkan syarat gadai atas barang yang dijual secara
kredit (contoh: mobil) sebagai jaminan atas pembayaran harganya. Ini merupakan
pendapat yang kuat (rajih) dari pendapat para fuqaha’, dan ini merupakan
pendapat Madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan salah satu dari 2 pendapat Imam
Syafi’I dan pendapat yang shahih menurut Imam Ahmad. Syeikhul Islam Ibn
Taimiyah dan muridnya Al-Alamah Ibnul Qayyim dan Al-Alamah Ibn Utsaimin dan
ulama lainnya, bahkan Majma’ Fiqh Al-Islamy-pun memilih pendapat ini.(Lihat:http://www.onislam.net/arabic/ask-the-scholar/8281/124368-2010-09-22-03-56-59.html)
Pendapat Syeikh Shalih Fauzan:
وقال
صاحب الملخص الفقهي : ويجوز رهن المبيع على ثمنه ,لآن ثمنه دين في الذمة
والمبيع ملك للمشتري فجاز رهنه به ,فإذا اشترى داراً أو سيارة مثلاً بثمن مؤجل
أوحالٍ ولم يقبض فله رهنه حتى يسدد
Penulis kitab Al-Mulakhash Al-Fiqhi berkata: boleh menjaminkan
barang yang dijual (al-mabi’) atas harganya (atas pembayaran secara
mencicil/tangguh). Karena harga barang tersebut adalah hutang yang menjadi
tanggung jawab pembeli. Barang adalah milik pembeli, maka boleh bagi pembeli
utuk menjaminkan barang (yang diperoleh secara tangguh/kredit) kepada penjual.
Jika ia membeli rumah atau mobil secara tangguh/kredit dan ia belum menerima
barangnya, maka ia dapat menjaminkan (gadai) barang tersebut hingga ia
melunasinya (hutang-hutang) (Lihat: Syeikh Shalih Fauzan, Kitab Al-Mulakhash
Al-Fiqhii)
Pendapat Syeikh Su’ud
As-Safarii:
فضيلة
الشيخ سعود السفري هذه المسألة :فكان جوابه :يجوز أن يكون الرهن عين المبيع أذا
رضي الراهن وعلى ذلك أذا لم يستوفي ماعليه من دين بعد حلول الأجل فعلى المرتهن أن
يبع الرهن ويأخذ ماعليه من حق ويرد الزيادة للراهن دون أخذ أي زيادة مهما اختلف
الثمن ….
Boleh menjaminkan (gadai) barang yang
dibeli secara kredit jika pemilik barang rela (ridha). Namun jika pembeli tidak
dapat membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, maka penerima barang gadai
(murtahin) dapat menjual barang gadai (ar-rahn) dan mengambil haknya dan
mengembalikan kelebihan harga penjualan kepada pemilik barang tanpa mengambil
kelebihan apapun tatkala ada perbedaan harga.
Pendapat Majma Al-Fiqh Al-Islamii:
وقد
جاء قرار مجمع الفقه الإسلامي على وفق المعتمد من مذهب الحنابلة، وذلك في القرار
رقم: (133) (7/14)، ونصه: “لا يحق للبائع الاحتفاظ بملكية المبيع بعد البيع، ولكن
يجوز للبائع أن يشترط على المشتري رهن البيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط
المؤجلة”.
Terdapat keputusan dari Lembaga Majma
Al-Fiqh Al-Islamii sesuai dengan pendapat yang terpilih (mu’tamad) dalam
madzhab hambali. Hal tersebut dalam keputusan No. 133 (14/7): “penjual tidak
berhak menahan kepemilikan barang yang telah dijual, tetapi penjual boleh
menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjaminkan barang miliknya untuk
menjamin hak penjual dalam pemenuhan cicilan harga yang ditangguhkan”.
(lihat:
وفي قرار المجمع رقم: 53/2/6: يجوز للبائع أن يشترط على
المشتري رهن المبيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط المؤجلة)
Pendapat situs islamweb.com:
وأما
رهن المبيع في ثمنه فالراجح جوازه .جاء في قرار مجمع الفقه الإسلامي ما يلي: لا
يحق للبائع الاحتفاظ بملكية المبيع بعد البيع، ولكن يجوز للبائع أن يشترط على
المشتري رهن المبيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط المؤجلة
Dan terkait menggadaikan barang yang dijual atas harganya (atas
pembayaran secara tangguh/mencicil), maka pendapat yang kuat (rajih)
membolehkan hal tersebut. Seperti keputusan dari Lembaga Majma Al-Fiqh
Al-Islamii sebagai berikut: “penjual tidak berhak menahan kepemilikan barang
yang telah dijual, tetapi penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk
menjaminkan barang miliknya untuk menjamin hak penjual dalam pemenuhan
cicilan harga yang ditangguhkan”.
Pendapat Haiah Kibaril Ulama – Kerajaan Arab Saudi:
وأجازت
هيئة كبار العلماء السعودية في دورتها الثانية والخمسين أن يبيع الشيء ويرهنه على
ثمنه ويحتاط لنفسه بالاحتفاظ بوثيقة العقد ونحو ذلك
Haiah Kibaril Ulama – Kerajaan Saudi Arabia
dalam pertemuannya ke – 52 memperbolehkan aktifitas menjual suatu barang dan
menjaminkan (gadai) barang tersebut atas harganya (atas transaksi jual beli
secara tangguh/kredit), dan menjaga kepentingannya dengan melakukan tindakan
pencegahan untuk menjaga kontrak, dan hal yang serupa dengan itu.
Fatwa dari Dewan Fatwa dan
Pengawas Shariah – Dubai Islamic Bank:
[ هل يجوز للمصرف الإسلامي إدخال السلعة
المبيعة بالمرابحة كضمان ؟
الجواب:
العقد شريعة المتعاقدين فإذا اشترط البائع أن يحبس المبيع حتى أداء جميع الثمن فهو
شرط يقتضيه العقد وإنما يحبس البائع المبيع إذا كان الثمن حالاً أما إذا كان
مؤجلاً فلا يجوز الحبس لأنه رضي بتأخير الثمن، لكن يجوز له أن يرهن المبيع رهنا
ائتمانياً أي رسمياً - يُنص عليه في العقد حتى يستوفي الثمن ضماناً لحق البنك،
لأن الرهن الائتماني لا يمنع المالك من التصرف في ملكه ] عن الإنترنت.
Apakah boleh bagi Bank Islam menjadikan barang yang dijual dalam
akad murabahah (secara tangguh/kredit) sebagai jaminan ?
Jawab:
Akad yang mengikat kedua pihak (pembeli dan penjual), jika
penjual menetapkan syarat untuk menahan barang yang dijual (al-mabi’) hingga
pembeli melunasi seluruh hutangnya. Hal ini adalah syarat yang ditunjukkan oleh
akad (muqtada al-aqd). Penjual boleh menahan barang, hingga pembayaran
dilakukan secara tunai (lump sum). Adapun jika jual beli dilakukan secara
tangguh/kredit, maka tidak boleh penjual menahan fisik barang karena ia telah rela
dengan pembayaran dilakukan secara tangguh/kredit. Tapi pembeli boleh
menjaminkan dokumen kepemilikan barang (rahnan i’timaniyah/rahnan rasmiyan)
–klausul ini disebutkan dalam akad hingga pembeli melunasi seluruh hutangnya
sebagai jaminan atas hak bank. Karena menjaminkan dokumen kepemilikan barang
tidak menghalangi pembeli untuk melakukan tasharuf (perbuatan hukum) atas
barang tersebut (Dewan Fatwa dan Pengawas Syariah – Dubai Islamic Bank)
Pendapat Standards of the
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI):
[ ينبغي أن تطلب المؤسسة من العميل ضمانات
مشروعة في عقد بيع المرابحة للآمر بالشراء. ومن ذلك حصول المؤسسة على كفالة طرف
ثالث، أو رهن الوديعة الاستثمارية للعميل أو رهن أي مال منقول أو عقار، أو رهن
سلعة محل العقد رهنا ائتمانياً رسمياً دون حيازة، أو مع الحيازة للسلعة وفك الرهن
تدريجياً حسب نسبة السداد.] (المعايير الشرعية ص 115)
Hendaknya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) meminta jaminan yang
dipersyaratkan pada akad murabahah dengan cara pesanan (murabahah lil amr bi asy-syira’).
Sehingga LKS memperoleh jaminan (kafalah) dari pihak ketiga, atau jaminan
(gadai) cash collateral nasabah (bias berupa tabungan atau deposito nasabah),
atau jaminan dari harta bergerak atau tidak bergerak (aktiva tetap), atau yang
dijaminkan (digadaikan) adalah barang yang menjadi obyek akad (sil’ah mahal
al-aqd) baik pengikatan jaminan dengan menguasai barang tersebut (ar-rahn
I’timaniyah rasmiyan hiyazah) atau mengusai dokumen kepemilikan barang (ar-rahn
I’timaniyah rasmiyan duna hiyazah). Dan pelepasan atas jaminan (gadai)
dilakukan secara bertahap sesuai prosentase pembayaran hutang. (Lihat Ma’ayir
Asy-Syar’iyah Standar Organisasi Akuntansi dan Auditing untuk Lembaga Keuangan
Islam, hal. 115)
Pedoman Akad Murabahah Yang
Dikeluarkan Oleh Dewan Syariah – Islamic Bank of Saudi Arabia :
[ للبنك أن يطلب من العميل ضمانات مشروعة في
عقد بيع المرابحة للآمر بالشراء. ومن ذلك: كفالة طرف ثالث، أو رهن أي منقول أو
عقار للعميل، ولو كان المرهون مبلغاً في حساب جار أو استثماري له، أو كان المرهون
هو السلعة محل العقد سواءٌ كان الرهن حيازياً، أو رسمياً دون حيازة. وينبغي فك
الرهن تدريجياً حسب نسبة السداد.] موقع بنك البلاد على الإنترنت.
Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah berupa jaminan
yang dipersyaratkan pada akad murabahah dengan cara pesanan (murabahah lil amr
bi asy-syira’). Baik berupa jaminan (kafalah) dari pihak ketiga, atau
jaminan (gadai) cash collateral nasabah (bias berupa tabungan atau deposito
nasabah), atau jaminan dari harta bergerak atau tidak bergerak (aktiva tetap),
atau barang yang dijaminkan (mortgaged) adalah barang yang menjadi obyek akad
(sil’ah mahal al-aqd) baik pengikatan jaminan dengan menguasai barang tersebut
(ar-rahn hiyaziyan) atau mengusai dokumen kepemilikan barang (ar-rahn
rasmiyan). Dan pelepasan atas jaminan (gadai) dilakukan secara bertahap sesuai
prosentase pembayaran hutang. (Lihat: Dhawabith Aqd Al-Murabahah Ash-Shadirah
Ann Al-Haiah Asy-Syar’iyah Lil Bank Al-Balad Al-Islamii As-Su’udii)
5) Menjawab
Argumentasi Kelompok Yang Melarang Menjaminkan Barang Yang Diperoleh secara
Kredit
Syeikh Shalih Fauzan memaparkan sejumlah
alasan untuk menjawab argumentasi kelompok yang menolak dan mengharamkan
aktifitas menjaminkan (gadai) barang yang diperoleh secara tangguh/kredit,
sebagai berikut:
1- Argumen pertama:
menjaminkan barang yang diperoleh secara
kredit adalah menjaminkan barang sebelum dimiliki.
Jawaban:
Hal ini tidak mempengaruhi hukum, karena
telah disepakati kedua pihak dalam akad. Mereka (penjual & pembeli) dapat
memasukkan klausul dalam akad yang membawa maslahat. Walhasil, tidak ada
larangan pada hal ini menurut syara’ dan kebiasan (urf).
* Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
اَلصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perdamaian (musyawarah mufakat) boleh
dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
2- Argumen kedua:
Menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit, menyebabkan
penjual tidak memperoleh harga barang, karena penyerahan barang yang dijual
adalah sarana untuk mendapatkan harga barang.
Jawaban:
Hal ini
merupakan istilah dan ijtihad mereka, dan bukan merupakan hukum syara’ itu
sendiri. Lalu apa penghalang dari menyerahkan harga barang (uang) sebelum
penyerahan barang yang dimaksud ? * Padahal sebagian ulama
membolehkan akad rahn sebelum ada serah terima, seperti pernyataan beberapa
ulama berikut:
Pendapat Ibnul Qayyim:
يجوز
رهن المبيع قبل قبضة على ثمنه في أصح الوجهين، كما يصح رهنه قبل القبض بدين آخر
غير ثمنه ومن غير البائع (إغاثة اللهفان 2/53)
“boleh
menggadaikan barang yang dijual (kepada penjual) atas harganya (atas pembayaran
secara mencicil/tangguh) sebelum diserahterimakan menurut pendapat yang paling
shahih dari 2 pendapat yang ada, sebagaimana boleh menggadaikan barang sebelum
diserah-terimakan atas hutang lain yang bukan termasuk harganya dan kepada
selain penjual barang. (Lihat: Syeikhul Islam Ibnul Qayyim Al-jauziyah, Kitab
Ighasatul Lahfan Jilid 2/hal. 53)
Pendapat Ibnul Haajib:
يصح
الرهن قبل القبض ولا يتم إلا به) (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير , باب في الرهن
Absah akad gadai (rahn) sebelum
serah terima barang, dan tidak sempurna akan rahn kecuali dengannya. (Lihat: Ibn Arafah Ad-Dusuqii, Hasyiyah
Ad-Dusuqi Alaa Syarhil Kabir, Dar Ihya’ Kutub Al-Arabiyah, Cetakan Ke-4)
3- Argumen ketiga:
Menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit berarti pembeli
telah menyerahkan harga dari barang, sedangkan pembeli memiliki pilihan
(khiyar) untuk menyerahkan bagian manapun dari barang yang telah dibeli atau barang
lainnya.
Jawaban:
Tetapi Syara’ tidak memberikan perhatian khusus atas hal ini,
maka tidak terlarang untuk melakukannya. * Hal ini sesuai dengan kaidah:
الأَصْلُ
فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى
تَحْرِيْمِهَا.
(إعلام الموقعين عن رب العالمين 3/107- 112 ;
مجموع فتاوى شيخ الإسلام 29/17-18; الأم 3/3)
“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
4- Argumen Keempat:
Menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit menghalangi
pembeli untuk melakukan tasharuf atas barang tersebut.
Jawaban:
Menjaminkan barang yang
diperoleh secara tangguh/kredit tidak menghalangi pembeli untuk melakukan tindakan
hukum (tasharuf) atas barang tersebut. *Karena
pada prakteknya yang dilakukan adalah rahn iqary/rasmi, dimana yang digadaikan
berupa dokumen kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan
dipergunakan oleh pemberi gadai (ar-rahin). (lihat: http://www.alfawzan.ws/AlFawzan/Libr…26&SectionID=1)
Walhasil, dapat disimpulkan
menjaminkan barang yang dibeli secara kredit kepada penjual adalah boleh.
Bahkan hal ini sesuai dan selaras dengan kaidah dan pokok hukum syara’.
Sehingga, tidak mengherankan kalau sebagian besar ulama memandang kebolehan
menjaminkan barang yang dibeli secara kredit kepada penjual adalah pendapat
yang paling kuat (rajih). Wallahu a’lam bi shawab.
* Tambahan keterangan dari
penulis.
Comments
Post a Comment