HUKUM BERHAJI DENGAN HUTANG
oleh : Ust. Irawan
Pengertian Haji
Haji (Bahasa Arab: حج, Hajj)
adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah
bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia
yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan
beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada
suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. [1]
Secara lughawi,
haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1]Menurut
etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd,
yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju
ke Baitullahdan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan
amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu
dalam definisi diatas, selain Ka’bah dan Mas’a(tempat sa’i), juga Arafah,
Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan
haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa’i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabitdi
Mina, dan lain-lain. [2] Kemudian
Sayyid Sabiq menegaskan bahwa makna haji adalah :
هو
قصد مكة، لان عبادة الطواف، والسعي والوقوف بعرفة، وسائر المناسك، استجابة لامر
الله، وابتغاء مرضاته.
وهو
أحد أركان الخمسة، وفرض من الفرائض التي علمت من الدين بالضرورة. فلو أنكر وجوبه منكر كفر وارتد عن الاسلام.
“Bermaksud mengunjungi kotaMekkah, karena ibadah thawaf, sa’I,
wuquf di arafah, seluruh manasik adalah dalam rangka menjawab perintah Allah,
dan mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang kelima,
kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Jika ada
yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari
Islam.” [3]
Ibadah haji merupakan salah
satu wujud totalitas pengabdian seorang makhluqkepada
sang Khaliq. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ
أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى
لِلْعَالَمِينَ (96)
فِيهِ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)
“Sesungguhnya rumah yang
mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.” (QS. Ali Imran (3): 96-97)
Haji merupakan amal yang
paling utama, seperti riwayat dari Abu HurairahRadhiallahu ‘Anhu:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ
أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ditanya: “Amal apakah yang paling
utama?” Beliau
menjawab: “Iman kepada Allah dan
RasulNya.” Ditanya
lagi: “lalu apa?” Beliau
menjawab: “Jihad fisabilillah.” Ditanya lagi: “lalu
apa?”Beliau menjawab: “Haji
Mabrur.” [4]
Bekal Haji
Pergi haji adalah perjuangan yang cukup panjang. Maka, dibutuhkan
perbekalan yang mecukupi, khususnya perbekalan yang bisa memudahkan baginya
mencapai derajat haji yang mabrur. Telah menjadi kesepakatan ulama bahwa syarat
diwajibkannya haji apabila adanya kemampuan, seperti firman Allah :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
وَمَنْ كَفَرَ
فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya : “Dan diantara kewajiban manusia
adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang
mampu” (Surat
Ali-Imran : 97)
Di antara makna istitha’ah (kemampuan) bagi orang yang hendak
pergi haji adalah kemampuan dalam hal harta; baik harta sebagai biaya
keberangkatan dan keperluan pada saat haji, juga untuk keluarga yang
ditinggal. Tidak dibenarkan seseorang pergi haji, tetapi meninggalkan
keluarganya dalam keadaan kelaparan dan melarat. Hingga dikemudian hari menjadi
beban hidup baginya dan keluarganya.
Bagi yang belum ada kemampuan maka gugurlah kewajibannya. Sebab
Allah Ta’ala tidak membebani kepada hamba-Nya tidak memiliki kemampuan. Oleh
karena itu tidak boleh seseorang memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang
Allah Ta’ala tidak memaksakan hamba-Nya untuk melakukannya.
Paraulama berselisih pendapat mengenai batas kemampuan
seseorang. Dalam hal ini ada beberapa pendapat :
1- Para fuqoha Hanafiyah mengatakan
kemampuan mencakup bekal dan kendaraan dengan syarat melebihi dua hajat
asasinya sepeerti hutang, tempat tinggal, dan pakaian, begitu juga harus
melebihi nafkah untuk orang yang ditinggalkannya, begitu juga haji tidak wajib
bagi orang yang menderita penyakit sepeerti lumpuh dll.
2- Parafuqoha malikiyah mengatakan
kemampuan adalah kemungkinan untuk sampai ke Makkah dan tempat-tempat ibadah
haji dengan berjalan kaki atau menaiki kendaraan, dengan syarat tidak mengalami
kesulitan.
3- Parafuqoha hanabilah kemampuan adalah
bekal dan kendaraan yang layak, dengan syarat melebihi yang diperlukannya
seperti buku-buku, tempat tinggal, pembantu, nafkahnya, dan nafkah keluarganya.
4-
Parafuqoha Syafiiyyah mengatakan kemampuan adalah bekal dan kendaraan dengan
syarat melebihi hutang meskipun hutangnya belum habis waktu. Begitu juga nafkah
orang yang ditinggalkan sampai dia kembali, juga tempat tinggal yang layak, dan
alat-alat profesinya dan jalan yang aman. [5]
Para Ulama terbagi menjadi 2 kelompok,
tentang keabsahan haji menggunakan harta hutang. Kami akan menyampaikan
pendapat dan pemikiran dari tiap-tiap kelompok, serta analisa kritis atas
pendapat-pendapat tersebut :
A. Kelompok yang Melarang Hají dengan Hutang :
1. DR Nashr Farid Washil :
ولكن
الدكتور نصر فريد واصل المفتي السابق
لمصر رفض تلك الفتوي ، واعتبرها مخالفة للنص القرآني {حج البيت لمن استطاع إليه سبيلا}، وأشار إلى أن الحج فريضة عينية علي كل مسلم ومسلمة مرة
واحدة في العمر متي
تحققت جميع شروطها التي منها الاستطاعة المالية أو البدنية
وأكد
الدكتور واصل
أن الإسلام حث علي أداء هذا الركن متي توفرت الاستطاعة والتي عرفها الفقهاء أن يكون المسلم مستطيعا ببدنه واجدا من المال ما يبلغه الحج فضلا علي
نفقته ونفقة من يعول
ومن هنا فلا حاجة لمن يحج بنظام التقسيط في أن يغالي في الحج الذي سقط عنه بموجب حكم إلهي يتلزم الاستطاعة ، مشيراً إلى أن الحاج يمكن أن يتوفي
قبل سداد الدين
الذي عليه ولهذا لا يجوز الحج بالتقسيط.
Tapi DR. Nashr Farid Washil
(Mantan Mufti Negara Mesir) menolak fatwa yang memperbolehkan Haji dengan
hutang, dan menganggapnya bertentangan dengan teks Al-Qur’an : mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran : 97).
“Ayat ini memberi isyarat bahwa ibadah haji adalah kewajiban
pribadi (faridhoh ainiyah) bagi setiap muslim dan muslimat sekali seumur hidup,
tatkala sudah terpenuhi semua syarat wajibnya ibadah haji, diantaranya
kemampuan harta dan fisik. DR Nashr Farid Washil menegaskan bahwa Islam
menganjurkan untuk melaksanakan salah satu rukun Islam tatkala terpenuhi
kemampuan (istithiyah) seperti yang telah didefiniskan para ahli fiqh dimana
seorang muslim dianggap mampu secara fisik dan memiliki biaya yang
menghantarkan pergi haji, baik biaya untuk dirinya dan biaya untuk orang yang
menjadi tanggung jawabnya, Dari sini tidak perlu seseorang pergi haji dengan
cara berhutang dengan cara mencicil sehingga ia bersikap berlebihan dalam
berhaji, padahal kewajiban ilahi haji telah gugur baginya karena kewajiban ini
mengharuskan adanya kemampuan. Ia memberi isyarat seseorang dapat memenuhi
syarat mampu sebelum ia tuntas membayar hutangnya, maka ia tidak boleh pergi
haji dengan cara hutang yang dicicil.” [6]
فضيلة
الشيخ الدكتور نصر فريد واصل :يقول الله تعالى: (وللهِ علَى الناسِ حِجُّ البيتِ مَنِ استطاعَ إليهِ
سَبيلاً) (آل عمران: 97) من هذه الآية يَتَّضِحُ أن مِن شروط وُجوب الحجِّ الاستطاعة، وهي تشمل الاستطاعة البدنية والاستطاعة المالية، فمن ملَك زادًا وراحلة وتوافرت فيه باقي شُروط وُجوب الحج وَجَبَ عليه أن
يَحجَّ لتحقيق
الاستطاعة، ومَن لم يَجد زادًا ولا راحلةً فلا حجَّ عليه.
Syeikh DR Nashr Farid Washil
menyatakan bahwa Allah SWT telah berfirman :“mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah “ (Ali Imran – 97).
Ayat ini menjelaskan bahwa
syarat wajib haji adalah kemampuan (istitha’ah), dan ini mencakup kemampuan
fisik (istitha’ah al-badaniyah) dan kemampuan harta (istitha’ah maliyah).
Barangsiapa memiliki kelebihan bekal (zad), atau kendaraan (rahilah) serta
terpenuhi syarat wajib haji lainnya, maka wajib baginya untuk ‘bersiap-siap’
melaksanakan ibadah haji untuk mewujudkan kemampuan (istitha’ah). Jika
dia tidak mendapatkan bekal atau kendaraan, maka tidak wajib haji
baginya. [7]
Kritik :
Maka argumentasi ulama yang melarang haji dengan hutang tidak
relevan, karena kemampuan (istitha’ah) adalah syarat wajib untuk pergi
haji, bukan syarat sah ibadah haji. Maka ibadah haji seseorang dengan hutang
adalah tetap sah, asalkan seluruh rukun dan syarat dalam ibadah haji sudah
sempurna dilaksanakan. Hukum asal bagi seseorang yang tidak punya kemampuan
harta dan fisik adalah tidak wajib untuk melaksanakan haji. Tapi tidak ada nash
yang melarang untuk mendapatkan kemampuan harta (istitha’ah maliyah), baik
dengan cara berhutang atau cara lainnya yang halal, sehingga dia mampu untuk segera
melaksanakan ibadah haji. Seperti pernyataan Syeikh Khalid Ar-Rifa’I :
ولا
يجب عليه أن يستدين ليؤدِّي الحجَّ؛ بل الأوْلَى له ألا يستدين، ولكن لو فعل وحجَّ
بالاستدانة – بالتَّقسيط – صحَّ حجُّه – إن شاء الله – .
Syeikh Khalid Ar-RIfa’I
menyatakan bahwa : “ Tidak wajib baginya untuk berhutang guna pergi haji, yang
lebih utama dia tidak berhutang. Tapi jika ia melakukannya dan berhaji dengan
hutang (dengan cara mencicil) maka tetap sah hajinya –insya Allah - .[8]
علي
الجانب المقابل وجدنا عدد من الفقهاء يؤيدون فتوى تقسيط الحج وحجتهم في ذلك انه يجب علي الفور وأباح
المالكيةالاستدانة لأداء الفريضة طالما توافرت وسائل السداد وكانت مضمونه حتى لو كانت جزءا من الراتب الشهري.
Sebaliknya, kami mendapatkan
sejumlah ahli fiqh menegaskan fatwa yang membolehkan fatwa haji dengan
berhutang yang dicicil, dan argumentasi mereka tentang hal itu bahwa haji
diwajibkan untuk segera dilaksanakan (ala al-faur) dan para
Ulama Maliki membolehkan berhutang untuk melaksanakan kewajiban selama terpenuhi
sarana untuk membayar hutang tersebut. Dan hutang itu tetap
menjadi tanggungannya walaupun ia merupakan (diambil) bagian gaji bulanannya. [9]
2. Syeikh Ibn Utsaimin :
وقد
سُئل الشيخ ابن عُثَيْمين – رحمه الله – في هذا الأمر؛ فأجاب: “الذي أراه أنه لا
يفعل؛ لأنَّ الإنسان لا يجب عليه الحجُّ إذا كان عليه دَيْنٌ، فكيف إذا استدان
ليحجَّ؟! فلا أرى أن يستدين للحجِّ؛ لأنَّ الحجَّ في هذه الحال ليس واجبًا عليه،
ولذا ينبغي له أن يَقْبَل رخصة الله وسعة رحمته، ولا يكلِّف نفسه دَيْنًا لا يدري
هل يقضيه أو لا؟ ربما يموت ولا يقضيه، ويبقى في ذمَّته”؛ (مجموع فتاوى الشيخ ابن
عُثَيْمين)، والله أعلم.
“Menurut pengetahuan saya,
hendaknya ia tidak melakukan hal itu, sebab seseorang tidak wajib menunaikan
ibadah haji jika ia sedang menanggung hutang. Lalu bagaimana halnya dengan
berhutang untuk menunaikan ibadah haji?! Maka saya berpandangan, jangan
berhutang untuk menunaikan ibadah haji, karena ibadah haji dalam kondisi
seperti itu hukumnya tidak wajib atasnya, seharusnya ia menerima rukhshah
(keringanan) dari Allah SWT dan keluasan rahmat-Nya dan tidak membebani diri
dengan berhutang, dimana tidak diketahui apakah ia mampu melunasinya atau tidak
? bahkan barangkali ia akan mati dan tidak mampu menunaikan hutangnya.
Sementara hutang tersebut tetap menjadi tanggung jawabnya. Wallahu A’lam” [10]
Kritik :
Namun ada ulama kerajaan saudi lain yang menegaskan haji dengan
harta pinjaman adalah diperbolehkan dan hajinya sah, seperti fatwa yang
dikeluarkan oleh Syeikh Abdullah bin Baz :
“Telah bertanya seseorang : ketika datang bulan Dzulhijjah saya
ingin ziyarah ke baitullah, akan tetapi gaji saya baru akan keluar sepekan
lagi, sedangkan saya tidak memiliki uang kecuali kebutuhan sampai sebulan,
tetapi teman-teman dikantor memaksa saya untuk ikut dimana kita tidak bisa
menjamin hidup sampai kapan. Maka salah seorang dari mereka meminjamkan uang
kepada saya untuk keperluan haji.
Lalu saya (Ibn Baz) berkata:
“sesungguhnya hutang tidak menjadikan haji sah. Maka dia berkata : apabila
pemilik hutang mengizinkan orang yang berhutang maka hajinya tetap sah, dan
saya memberimu modal dengan kerelaan dan izin saya, dan sayapun pergi haji dan
setelah kembali pada bulan yang sama saya mengembalikan uangnya ? Maka beliau menjawab : Isyaallah, haji anda sudah sah, dan hutang
anda untuk haji tidak mempengaruhi keabsahan haji anda “ [11].
3. Kelompok yang melarang
ibadah haji dengan berhutang berargumentasi bahwa berhutang atau mengambil
kredit untuk haji merupakan tanda ketidakmampuannya. Ini menunjukkan sebenarnya
dia belum wajib haji. Dalil mereka adalah hadits Imam Al
Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammelarang
orang pergi haji dengan cara berhutang. Dari Abdullah bin Abi AufaRadhiallahu ‘Anhu,
ia berkata :
سألته
عن الرجل لم يحج ، أيستقرض للحج ؟ قال : « لا »
“Aku bertanya
kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia boleh
berhutang saja untuk pergi haji?” Beliau bersabda: “Tidak.” [12]
Imam Asy Syafi’i memberi komentar
hadits ini sebagai berikut :
ومن
لم يكن في ماله سعة يحج بها من غير أن يستقرض فهو لا يجد السبيل
“Barangsiapa yang tidak
memiliki kelapangan harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak
wajib untuk menunaikannya.” [13]
Kritik :
Walau demikian, otentitas
(keshahihan) hadis ini dikritik oleh ulama hadis lain, seperti kritik Syeikh
Albani sebagai berikut :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ اَبِي اَوْفَى صَاحِبِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ( سألتُ رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن الرجل لم يحج،أيستقرض للحج
؟ قال : لا ) ،) قال
الألباني في السلسلة الضعيفة - 6142 : لا
أصل له مرفوعاً .أورده هكذا سيد سابق في فقه السنة ( 1/ 639 ) وقال : رواه
البيهقي (
!
Dari Abdullah Ibn Abi AUfa,
ia berkata : Saya bertanya kepada Rasul SAW tentang seorang pria yang tidak
pergi haji, apakah dia boleh berhutang agar dapat pergi haji ? Nabi SAW
menjawab : Tidak Boleh. (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan Imam
Asy-Syafi’I dalam Kitab Al-Umm). Syeikh Albani (dalam Silsilah Hadits Dhaifah –
No. 6142) memberi catatan atas hadis ini : Hadis ini asalnya tidak ada yang
marfu’ (mata rantai perawinya tidak bersambung kepada Rasul SAW). [14] Seperti yang dijelaskan oleh Sayid
Sabiq dalam Fiqh Sunah (1/639), ia berkata : Hadis riwayat Al-Baihaqi). [15]
Artinya hadis ini ada kemungkinan terputus pada salah satu
perawinya (munqathi’), sehingga dapat dikategorikan sebagai hadis yang lemah
(dhoif). Dan hadis dhoif tidak dapat digunakan sebagai hujjah atau dalil untuk
melarang hutang untuk pergi haji.
Namun, demikian para ulama
tetap menilai haji dengan hutang adalah sah, sebab status tidak
wajib haji karena dia
belum punya kemampuan (istitha’ah),
bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu bukan
menunjukkan larangannya. Yang penting, tatkala dia
berhutang atau mengambil dana kredit untuk ibadah haji, maka dia harus dalam
kondisi mampu melunasi hutang atau kredit tersebut pada masa selanjutnya.
B. Kelompok Yang Membolehkan
pergi haji dengan hutang sebagai berikut :
1. Fatwa Lajnah Daimah dan
Fatwa Syeikh Bin Baz :
يجوز للإنسان أن يقترض ليتمكن من الحج ، إذا كان واثقاً من
قدرته على الوفاء ، كما لو كان موظفاً وله راتب ، ويعلم أن راتبه يكفيه لقضاء
الدين ، أو كان صاحب تجارة ونحو ذلك .
Diperbolehkan bagi seseorang
berhutang untuk melaksanakan ibadah haji, jika ia yakin/percaya dengan
kemampuan finasialnya untuk membayarnya, seperti seorang pegawai yang punya
fixed income (monthly salary) dan ia mengetahui dengan gaji/salary yang
diperoleh dapat digunakan untuk membayar hutang, atau jika ia seorang pedagang
dan semisalnya. [16]
2. Penulis Kitab Mawahib Al-Jalil :
قال
في “مواهب الجليل” (2/531) : ” وفي
منسك ابن جماعة الكبير : ” وإن اقترض للحج مالا حلالا في ذمته وله وفاء به ورضي
المقرض فلا بأس به ” انتهى . وبهذا أفتت اللجنة الدائمة ، والشيخ ابن باز رحمه الله )انظر : ” فتاوى اللجنة الدائمة ” (11/41) ، ” فتاوى الشيخ ابن باز ”
(16/393((
Dalam kitab Mawahib Al-Jalil
(jilid 2/hal. 531) : dalam kitab Mansak – Karya Ibn Jama’ah Al-Kabir : JIka
berhutang untuk melaksanakan ibadah haji dengan harta yang halal yang menjadi
tanggungannya, dan ia membayar hutangnya, dan pemberi hutang rela (ridha)
dengannya, maka hal itu tidak mengapa. [17]
3. Syeikh Ibn Baz :
لا
حرج في ذلك، إذا سمح له المسئول بذلك ولا حرج في الاقتراض إذا كان يستطيع الوفاء،
والله ولي التوفيق.
Tidak ada masalah, jika orang
yang diberi tanggung jawab (pemberi hutang) memberi kelongaran (ijin) untuk
pergi haji. Tidak ada masalah berhutang untuk pergi haji, jika yang
bersangkutan mampu untuk membayarnya. Dan Allah Sang Pemberi Taufiq.[18]
4. Ustadz Abdul Fatah Idris :
الأستاذ
الدكتور عبد الفتاح إدريس أستاذ الفقه المقارن بجامعة الأزهر الذي أفتى بأن الحج بالتقسيط مباح شرعًا؛ لأن ذهاب الشخص للحج بهذا المال
لم يرد فيه نهي،
ولأنه سيقوم بتسديد هذا المال، وهذا وفقًا لمذهب من يرى أن الاستطاعة بالمالوالنفس
تتحقق حتى ولو كان هذا المال مقترضًا من الغير، وهو مذهب الشافعية والظاهرية، مؤكداً أن الحج الذي يتم بهذا المال صحيح ومجزئ لصاحبه عن
حجة الإسلام
Ustadz Abdul Fatah Idris –
Profesor Perbandingan Fiqh (Ustadz Fiqh Muqaran) di Universitas Al-Azhar,
beliau menyampaikan fatwa bahwa haji dengan hutang adalah mubah. Karena tidak ada dalil yang melarang perginya seseorang
untuk menunaikan ibadah haji dengan harta hutang. Hal ini sesuai dengan madzhab
yang berbendapat bahwa kemampuan (istitha’ah) dengan harta atau jiwa dapat
terwujud walau harta tersebut berasal dari hutang atau lainnya. Ini adalah
pendapat madzhab syafi’I dan madzhab dhohiri, yang menguatkan bahwa haji yang
sempurna dengan menggunakan dana yang berasal dari hutang adalah sah (shohih)
dan orang yang melakukannya akan mendapat pahala dari hajinya. [19]
5. DR Ali Hasbullah
ويقول
د. علي حسب الله استاذ الشريعة
الاسلامية في فتواه حول مشروعية الحج بالتقسيط : أن قضاء الديون مقدم عليالحج فعن
أبي هريرة رضي الله عنه ان رجلا قال: يارسول الله، علي حجة الاسلام وعلي دّيْن؟ فقال ‘اقض دينك‘
DR Ali Hasbullah – Profesor
Syariah Islam dalam fatwanya tentang disyariatkannya ibadah haji dengan hutang
yang dicicil : Sesungguhnya membayar hutang harus didahulukan dari ibadah haji,
dari Abu Hurairah ra., seorang pria berkata : Wahai Rasullullah, mana yang
harus didahulukan haji atau membayar hutang ? nabi SAW menjawab : bayar dahulu
hutangmu”. [20]
6. Markaz Fatwa :
وحول حكم الحج بالتقسيط أكد مركز الفتوى أن المطلوب من مريد الحج أن يحج
بمال حلال
وخال من الشبهة حتى يكون حجه مبرورا وذنبه مغفورا، وفي الحديث : إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا. رواه مسلم، فإذا تقرر هذا فإن حكم الحج بالتقسيط ينبني على سلامة المال من المحذور الشرعي، فإن سلم من ذلك
فيجوز أن
يستعمل في نفقات الحج وغيرها، والمحذور الشرعي في التقسيط هو اشتماله على فائدة ربوية أو غرامة تأخير، فغرامة التأخير هذه ربا محرم.
Seputar hukum ibadah haji
dengan hutang yang dicicil, Markaz Fatwa menekankan bahwa hal yang dituntut
dari mereka yang hendak melaksanakan ibadah haji adalah berhaji dengan harta
yang halal dan bebas dari harta syubhat, hingga hajinya menjadi haji yang
mabrur dan dosanya diampuni, seperti dalam sebuah hadis : “Sesungguhnya Allah
Dzat Yang Baik dan Ia tidak akan menerima kecuali sesuatu yang baik (thoyib)”
(HR Muslim). Dengan demikian hal paling penting yang harus diperhatikan terkait
dengan hukum melaksanakan ibadah haji dengan cara hutang yang dicicil adalah
hartanya terbebas dari hal-hal yang dilarang agama (salamah al-mal min
al-mahdzur). Jika harta yang akan digunakan untuk ibadah haji terbebas dari
sesuatu yang dilarang agama, maka diperbolehkan digunakan untuk biaya ibadah
haji dan hal lainnya. Hal yang dilarang dari hutang
yang dicicil adalah adanya riba atau denda tambahan karena mengakhirkan
pembayaran (riba atas hutang). Maka denda tambahan karena mengakhirkan
pembayaran adalah riba yang diharamkan. [21]
7. DR Ali Jumuah :
وعقب إطلاق الدكتور على جمعة لفتوى شرعية اداء الحج والعمرة بالتقسيط أوضح
أن ملكية
نفقة الحج أو العمرة هي شرط وجوب لا شرط صحة بمعني أن عدم ملكية الشخص لها في وقت الحج لا يعني عدم صحة الحج بل يعني عدم وجوبه عليه
، حيث إنه
إذا لم يحج حين إذن فلا إثم عليه أما إذا أحرم بالحج فقد لزمه إتمامه وحجته صحيحة وتسقط عنه حجة الفريضة وكذلك الحال في العمرة وعلي ذلك
يجوز الحج
بالتقسيط وكذلك العمرة .
Setelah pernyataan DR Ali
Jumuah tentang Fatwa melaksanakan haji dan umrah dengan cara mencicil, ia
menjelaskan bahwa memiliki biaya/nafaqah untuk melaksanakan haji dan umrah
adalah syarat wajib haji bukan syarat sah haji, maknanya seseorang yang tidak
memiliki biaya/nafaqah untuk biaya haji pada saat ibadah haji bukan berarti
ibadah haji yang bersangkutan tidak sah tapi menunjukkan ibadah haji itu tidak
wajib baginya. JIka dia tidak pergi haji ketika diberi izin, maka ia tidak
berdosa. Namun jika ia memakai pakaian ihram untuk berhaji, maka ia tetap wajib
menyempurnakan manasik hajinya dan hajinya tetap sah dan gugur baginya
kewajiban haji. Hal ini berlaku juga bagi
ibadah umrah. Dengan demikian diperbolehkan melaksanakan ibadah haji dengan
cara hutang yang dicicil dan berlaku juga untuk ibadah umrah. [22]
وجدنا عدد من الفقهاء يؤيدون فتوى تقسيط الحج وحجتهم في
ذلك انه يجب علي الفور وأباح المالكية الاستدانة لأداء الفريضة طالما توافرت وسائل
السداد وكانت مضمونه حتى لو كانت جزءا من الراتب الشهري.
Kami mendapatkan sejumlah
ahli fiqh menegaskan fatwa yang membolehkan fatwa haji dengan berhutang yang
dicicil, dan argumentasi mereka tentang hal itu bahwa haji diwajibkan untuk
segera dilaksanakan (ala al-faur) dan para ulama maliki membolehkan berhutang
untuk melaksanakan kewajibam selama terpenuhi sarana untuk membayar hutang
tersebut. Dan sarana yang digunakan untuk membayar hutang diambil dari bagian
gaji bulanan. [23]
9. DR Hudzaifah Muhammad Al-Musayar :
قال
دكتور حذيفة محمد المسير الأستاذ في كليه أصول الدين : الحج يجب علي المسلم فورا لقول رسول الله صلي الله
عليهوسلم :” أيها الناس إن الله كتب عليكم الحج فحجوا “. وبالتالي إذا ملك المسلم الأسباب التي توصله إلي أداء الفريضة دون اثر علي من يتبعه
ويعولهم أصبح
الأداء واجبا من غير نظر لكونه بالتقسيط أم بغير ذلك طالما أن المال الذي يدفعه الشخص حلالا ومن كسب مشروع .
DR. Hudzaifah Muhammad
Al-Musayar – Profesor di Kuliyah ushuludin : Ibadah Haji wajib bagi setiap
muslim untuk segera dilaksanakan, berdasarkan sabda Rasul SAW : Wahai manusia
telah diwajibkan bagi kalian ibadah haji, maka beribadah hajilah “. Berikutnya
jika seorang muslim memiliki sebab-sebab yang menghantarkannya untuk
melaksanakan ibadah haji tanpa memberatkan orang yang mengikuti dan menjadi
tanggung jawabnya, maka jadilah menunaikan sebagai kewajiban tanpa melihat
apakah dana haji berasal dari hutang dengan mencicil atau lainnya selama harta
yang digunakan berasal dari hal yang halal dan usaha yang di syariatkan. [24]
10. Syeikh Athiyah Shaqar :
لا
يجب عليه الاقتراض لذلك؛ لأن الاقتراض للحج منهي عنه بدليل الحديث الذي رواه
البيهقي عن عبد الله
بن أبي أوفى قال: سألت رسول الله- عن الرجل لم يحج، هل يستقرض للحج؟
فقال:
“لا”، والنهي الذي تضمنه النفي قيل للتحريم وقيل: للكراهة. لكن يجوز له أن يقترض ويحج إذا اطمأن إلى أنه سيرد القرض دون تأثير
كبير على دخله وعلى أسرته.
Syeikh Athiyah Shaqar
menyatakan : tidak wajib berhutang untuk pergi haji, karena berhutang untuk
haji dilarang oleh hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari
Abdullah Ibn Aufa, iaberkata : Saya bertanya kepada RAsul SAW tentang seraong
pria yang tidak pergi haji, apakah dia boleh berhutang untuk pergi haji, Nabi
SAW menjawab : tidak boleh (laa). Larangan yang terkandung dalam hadis ini, ada
yang menafsirkan sebagai nafi li tahrim ( larangan yang bersifat haram)
dan ada juga yang berpendapat : nafi lil karahah (larangan yang bersifat
makruh). Tapi diperbolehkan berhutang kemudian pergi haji, jika dia yakin dapat
membayar hutang tersebut tanpa membebani diri dan keluarganya. [25]
11. DR Abdullah Faqih :
وإن
أراد الحج -مع ذلك- لزمه إعلام الدائنين واستئذانهم، فإن لم يفعل صح حجه مع إثمه
في تأخير سداد دينه.
وإن كان ما عنده من المال يفي بقضاء الدين ونفقة الحج فالحج واجب عليه، وسداد الدين واجب كذلك.
هذا في الديون الحالة، أما الديون المؤجلة التي لم يحن وقتها فقضاؤها ليس واجباً قبل ذلك، ولا حرج في الحج مع وجودها، ويجوز للإنسان أن يقترض ليحج، ويرجى له الإعانة من الله تعالى
وإن كان ما عنده من المال يفي بقضاء الدين ونفقة الحج فالحج واجب عليه، وسداد الدين واجب كذلك.
هذا في الديون الحالة، أما الديون المؤجلة التي لم يحن وقتها فقضاؤها ليس واجباً قبل ذلك، ولا حرج في الحج مع وجودها، ويجوز للإنسان أن يقترض ليحج، ويرجى له الإعانة من الله تعالى
DR. Abdullah Faqih menyatakan
bahwa seseorang yang hendak beribadah haji, berkewajiban untuk memberitahu dan
meminta izin dari orang-orang yang memberinya hutang. Jika ia tidak
melakukannya, maka ibadah hajinya tetap sah walau ia berdosa karena
mengakhirkan pembayaran hutang.
Namun jika ia memiliki uang
untuk membayar hutang dan biaya haji maka ibadah haji menjadi wajib baginya dan
membayar hutang juga wajib baginya. Ini untuk hutang yang segera
dibayar/kontan, namun jika hutang yang ditangguhkan pembayarannya serta belum
jatuh temponya, maka membayar hutang bukan merupakan kewajiban sebelum itu
(pergi haji). Dan tidak berdosa (laa haraj) beribadah haji dengan adanya
hutang. Boleh bagi seseorang untuk berhutang guna menunaikan ibadah haji dan
semoga Allah SWT menolongnya. [26]
Haji dengan Uang Haram
Yang perlu diperhatikan pula
dalam ibadah haji adalah bekal finansial seperti apa yang harus dipersiapkan?
Yakni harta yang halal dan berasal dari usaha yang baik, serta bukan dari usaha
yang haram. Karena ibadah haji adalah salah satu rukun Islam. Ibadah yang mulia
dan syiar Islam yang agung. Sangat tidak pantas ibadah semulia ini dimodalkan
dengan harta yang haram dan kotor, tidak sepatutnya upaya mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala dengan uang haram. Apalagi orang tersebut mengetahui
keharaman hartanya. Ini merupakan sikaptalbisul
haq bil bathil (mencampur
antara yang haq dan batil), yang sangat dicela oleh Allah SWT dan merupakan
salah satu sifat Bani Israel, sebagaimana yang Allah SWT gambarkan dalam Al
Quran.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ
الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil
dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al
Baqarah (2): 42)
Sedangkan, dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ
طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Wahai manusia, sesungguhnya
Allah itu baik, tidak akan menerima kecuali yang baik-baik.” [27]
Secara fiqih, walau pun ada ulama
yang berpendapat hajinya tetap sah selama manasiknya benar dan sempurna, namun
mereka tetap mengatakan bahwa haji dengan uang haram adalah berdosa. Maka, apa
yang bisa diharapkan dari haji seperti ini? Berharap mendapatkan haji mabrur,
ternyata menuai dosa. Namun, pendapat yang benar adalah hajinya tidak sah,
sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
ويجزئ
الحج وإن كان المال حراما ويأثم عند الاكثر من العلماء. وقال الامام أحمد: لايجزئ،
وهو الاصح لما جاء في الحديث الصحيح: ” إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا “.
“Haji tetap sah walau dengan
uang haram, namun pelakunya berdosa menurut mayoritas ulama. Imam Ahmad
berkata: hajinya tidak sah. Dan inilah pendapat yang paling benar sesuai hadits
shahih: Sesungguhnya Allah baik, tidaklah menerima kecuali yang baik.” [28]
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah berkata:
ومعنى
الحديث أنه تعالى منزه عن العيوب فلا يقبل ولا ينبغي أن يتقرب إليه إلا بما يناسبه
في هذا المعنى. وهو خيار أموالكم الحلال كما قال تعالى: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ
حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ}
“Makna
hadits ini adalah bahwa Allah Ta’ala suci dari segala aib, maka tidaklah
diterima dan tidak sepatutnya mendekatkan diri kepadaNya kecuali dengan apa-apa
yang sesuai dengan makna ini. Yakni dengan sebaik-baik hartamu yang halal,
sebagaimana firmanNya: “Kamu selamanya belum mencapai kebaikan sampai kamu
menginfakan apa-apa yang kamu cintai ..” [29]
Di tanah suci, di depan
Ka’bah, atau di Raudhah dia berdoa, padahal dengan uang
haramlah yang membuatnya berada si sana .
Bagaimana mungkin doanya didengar dan dijawab oleh Allah SWT ?
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
‘Anhu, dia berkata:
ذَكَرَ
الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ
يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ
حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menyebutkan,
seorang laki-laki yang panjang perjalanannya, berambut kusut, berdebu, dan
menengadahkan tangannya ke langit: “Ya Rabb .. Ya Rabb .., tetapi suka makan
yang haram, minum yang haram, pakaiannya juga haram, dan
dikenyangkan dengan yang haram. Maka, bagaimana doanya bisa dikabulkan?” [30]
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan, yang dimaksud dengan,“panjang perjalanannya” adalah:
يطيل
السفر في وجوه الطاعات: الحج وجهاد وغير ذلك من وجوه البر ومع هذا فلا يستجاب له
لكون مطعمه ومشربه وملبسه حراماً
“Panjang perjalannya dalam
rangka ketaatan, seperti haji, jihad,
dan lainnya yang termasuk perjalanan kebaikan, namun demikian doanya tidak dikabulkan
karena makanan, minuman, dan pakaiannya yang haram.” [31]
Kesimpulan
Jika seseorang merasa mampu melunasi hutangnya dengan cara mengangsur
dan dia memiliki sumber pendapatan tetap (fixed income)/barang senilai
hutangnya, maka boleh malaksanakan haji dengan dana pinjaman/hutang, namun
apabila hal itu menambah kesulitan baginya, maka sebaiknya jangan dipaksakan
berhaji dengan menggunakan hutang.
Walhasil berhaji dengan hutang adalah boleh (jaiz/mubah) dengan
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
- Dalam pengurusan haji, Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) boleh mengambil fee (ujrah) dengan menggunakan akad ijarah.
- Bila dibutuhkan, LKS diperbolehkan memberi
dana talangan berupa qard (hutang), dengan catatan tidak boleh mengambil
tambahan apapun darinya.
- Jasa pengurusan haji
tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian dana talangan haji.
- Dianjurkan hutang dana talangan haji sudah dilunasi sebelum nasabah
tersebut melaksanakan ibadah haji.
- Besar fee (ujrah) yang
diambil LKS tidak boleh didasarkan pada besarnya dana talangan yang diberikan.
Adapun
yang berkaitan dengan pinjaman dari bank konvesional yang menggunakan bunga,
maka haram hukumnya kita mengambilnya. Karena termasuk syarat haji bahwa harta
yang digunakan untuk keperluan haji harus berasal dari hal yang halal, karena
Allah SWT adalah Dzat yang Baik dan tidak akan menerima kecuali dari
yang hal baik (harta halal). Sebagaimana ketetapanMajma Buhuts Islamiyah yang dipimpin Syeikh Muhammad Sayid Thanthawii
:
وجاء
في قرار صادر عن المجمع: ” الاقتراض من البنك لأداء فريضة الحج عمل غير مشروع، وخاصة أن البنك يأخذ منه
زيادة) فائدة
ربوية) وهذا محرم قطعا، فالحاج مطلوب منه شرعا أن يسدد ديونه قبل الذهاب إلى الحج“.
Sebagaimana
ketetapan Majma Buhuts Islamiyah:
Berhutang dari bank (konvensional) untuk melaksanakan ibadah haji adalah
perbuatan yang tidak disyariatkan, terlebih lagi jika ia mengambil hutang dari
bank yang mengambil tambahan/bunga, maka ia diharamkan secara pasti. Yang
dituntut dari orang yang pergi haji adalah segera membayar hutangnya sebelum
berangkat. [32]
Wallahu A’lam bi Shawab
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Haji)
[2] Sundarmi Burkan Saleh, Pedoman
haji, umrah, dan ziarah, Senayan Abadi Publishing,Jakarta :2003)
[3] Fiqhus
Sunnah, jilid 1/ hal. 625
[4] HR.
Bukhari No. 26, 1447 dan HR. Muslim
No. 83
[5]
http://www.mapksolo.com/index.php?option=com_content&view=article&id=268:haji-dengan-biaya-pinjaman-&catid=87:ibadah-dan-muammalah&Itemid=291
[10] Fatawa Nur ‘ala
Darb : Ibnu Utsaimin, jilid 1/hal. 277
[11] Fatwa Lajnah Daimah : no 11837
[12] HR. Asy Syafi’i, Min
Kitabil Manasik, Juz. 1, Hal. 472, No. 460. Al Baihaqi,Ma’rifatus Sunan wal Atsar,
Juz. 7, Hal. 363, No. 2788. Syamilah
[13] HR. Imam Asy Syafi’i, Al
Umm, Juz. 1, Hal. 127. Maktabah Syamilah
[15] http://www.ahlalhdeeth.com/~ahl/vb/showthread.php?t=210084,http://www.ahlalhdeeth.com/%7Eahl/vb/showthread.php?t=210084
[27] HR. Muslim, Kitab Az Zakah Bab Qabul Ash Shadaqah
min Al Kasbi Ath Thayyibi wat Tarbiyatiha, No. 1015. At Tirmidzi, Kitab
Tafsir Al Quran ‘an Rasulillah Bab Min Suratil Baqarah, No. 4074,
katanya: hasan gharib. Al
Baihaqi,Syu’abul Iman, No.
5497
[28] Syaikh
Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah,
Juz. 1, Hal. 640. Al Maktabah Asy-Syamilah
[29] Syaikh
Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah
Al Ahwadzi,
Juz. 8, Hal. 333, No. 4074. Al Maktabah As Salafiyah
[30] HR. Muslim
[31] Imam
Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarh
Al Arba’in An Nawawiyah,
Hal. 60. Hadits No. 10. Muasasah Ar Rayyan
Comments
Post a Comment