BACK TO GOLD CURENCY SYSTEM; Toward Justice for International Free Trade Among ASEAN Members



Pada krisis ekonomi 1997, negara-negara berkembang terutama kawasan Asia Tenggara dihadapakan pada permasalahan ketidakstabilan nilai mata uang sehingga mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi berupa inflasi. Harga-harga barang naik sedangkan daya beli masyarakat rendah. Hal ini mengakibatkan volume kriminalitas meningkat. Penjarahan, perampokan, sampai kepada pengrusakan yang mengatasnamakan SARA terjadi sebagai dampak dari krisis ekonomi tersebut. Beberapa tahun kemudian, beberapa negara yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam, Filiphina mulai bangkit dari krisis.

Pertanyaan-nya dari mana krisis tersebut bermula?

Seringkali permasalahan tertuju pada ketidakbecusan negara berkembang dalam mengurus banyak hal. Mulai produktivitas yang rendah, treknologi yang tidak memadai, permasalahan keamanan negara yang tidak stabil dan mismanajeman yang ditandai dengan mewabahnya budaya korupsi pada tataran birokrat sehingga mereka tidak bisa menggoptimalkan alokasi dan sumber daya untuk membangun perekonomian bangsanya.

Anggapan–angagapan tersebut tidak selamanya benar. Menurut Lutfhi Hamidi, Kendati pun produktifitas negara berkembang tinggi hal tersebut tidak bisa menjadikan mereka memiliki posisi tawar yang lebih tinggi terhadap negara Adidaya AS. Desain moneter yang berbasis fiat money merupakan sistem yang sangat menguntungkan bagi negara adidaya, sebab mereka dapat melempar/menyebarkan inflasi mereka ke negara-negara berkembang dengan hanya mencetak dolar. Seigniorage yang diciptakan dari fiat money, fractional reserve requirement dan interest pada sistem moneter, telah membawa negara-negara berkembang yang memiliki ketergantungan pada negara adidaya menuju pada instabilitas dan kehancuran ekonomi.

Lantas, bagaimakah solusinya?

Tidak lain negara berkembang harus mulai sadar dan segera mengimplementasikan sistem moneter berbasis emas. Sejarah telah membuktikan bahwa emas dapat menjelma menjadi mata uang yang sangat stabil dibandingkan mata uang kertas fiat money manapun. Pada tahun 1800 harga emas per satu troy ons setara dengan 19,39 $ sementara pada tahun 2004, satu troy emas senilai 455,757. Berarti dalam dua abad kedepan, emas terapresiasi sebesar 2.250 % terhadap dolar. Saat ini, dolar AS ter-devaluasi terhadap emas sebesar +19% pertahun dan emas mengalami apresiasi terhadap dolar + 12% per-tahun.

Dapatkah desain moneter berbasis emas di kawasan Asia Tenggara diimplementasikan?

Bisa, melalui perdagangan lintas negara kawasan ASEAN. Faktor yang melatar belakangi berdirinya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967 adalah akumulasi krisis perdamaian yang terjadi dikawasan Asia Tenggra sehingga mengakibatkan muncul semangat untuk membuka hubungan dan menjalin kerja sama di antara negara-negara Asia Tenggara. Belakangan, kerja sama ASEAN di perluas ke bidang ekonomi dengan mendeklarasikan 3 tujuan pembentukan ASEAN yang salah satunya adalah percepatan pertumbuhan ekonomi anggotanya. Maka, dari itu kita sering mendengar AFTA ( ASEAN Free Trade Area ) dan pembentukan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang merupakan visi ASEAN tahun 2020.

Perdagangan antar negara anggota ASEAN merupakan sektor vital yang harus dijadikan fokus dalam mengimplemantasikan Gold Curency system. Melalui aktifitas perdagangan inilah masyarakat kawasan Asia Tenggara bisa mereoalkoasuikan komoditi yang dihasilkannya ketempat lain dengan marjin keuntungan yang diinginkan. Untuk menjamin keadilan dalam transaksi maka para pemimpin ASEAN harus melegitimasikan emas sebagai standar ukuran pembayaran. Emas dinilai lebih adil disebabkan memiliki kesamaan nilai baik intristik maupun ekstrinstik. Dengan adanya ketentuan standarisasi emas, negara-negara kawasan Asia Tenggara akan memiliki ketahanan ekonomi yang lebih kuat dan suistainable. Pembentukan MEA tidak akan memiliki posisi tawar apapun terhadap negara adidaya dan tidak akan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi negara berkembang bila tidak dicanangkan penggunaan Gold Curency System pada perdagangan antar anggota ASEAN.

Lantas dimanakah peran mahasiswa (S1, S2, S3) kawasan Asia Tenggara dalam menyongsong implementasi Gold curency System?

Jawabannya adalah pada pembentukan wacana. Belajar dari pengalaman Eropa menuju EURO, proses tersebut membutuhkan waktu sekitar 20 tahun yang terbagi ke dalam 3 fase; penyamaan persepsi (wacana), pembentukan lembaga moneter dan peluncuran Euro. Fase pertama merupakan tahap tersulit dan terlama. Pada fase pertama inilah, mahasiswa sebagai agent of change diharapkan mempunyai peran sebagai media untuk proses penyamaan persepsi/ wacana terhadap implementasi Gold Curency System di antara negara-negara anggota ASEAN. Hasil dari proses ini, bisa dijadikan kontribusi untuk otoritas moneter disetiap negara dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang terkait dengan implemtasi sistem yang berkeadilan ini.

Selain itu, mahasiwa kawasan Asia Tenggara juga harus memberikan informasi yang bersifat menyadarkan awarness dan edukatif bagi masyarakat negara-nya sehingga akan memunculkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan emas (dinar) dalam transaksi ekonominya. Sebab salah satu faktor yang menjadi pemicu penerapannya Gold Curency System adalah tingginya tingkat kepercayaan masyarakat mata uang emas yang ditunjukkan melalui banyaknya pengguna mata uang berbasis emas.

Disamping melakukan tugas pengabdian akademik kepada masyarakat mahasiswa juga dapat mulai mencoba untuk meng-investaskan pendapatan yang dimiliki pada dinar- atau emas yang saat ini sudah banyak disediakan oleh lembaga lembaga bisnis cth : gerai dinar, e-wakala antam, pegadaian syariah dll.

Akhirnya, sebagai langkah awal kita harus dapat mempelajari meneliti secara mendalam terhadap beberapa pertanyaan ini :
bagaimana penerapannya gold curency system dimasyarakat?
apakah dengan penerapan sistem emas, perdagangan luar negeri lebih stabil?
apakah sistem ini memberikan insentif ekonomi yang lebih luas bagi seluruh negara (ASEAN) ?

Pertanyaan-pertanyaan ini, merupakan langkah awal untuk dapat menselaraskan persepsi negara-negara kawasan Asia tenggara dalam melihat Gold Curency System.



Comments