EKONOMI ISLAM : PERAN NEGARA DALAM PEMERATAAN PENDAPATAN


Penumpukan harta adalah penyebab utama ketidakmeraatan pendapatan yang dialami hampir oleh semua negara. Ketidakmerataan pendapatan tersebut dapat mengarah pada terciptanya kemiskinan dan pengangguran. Sebagai solusi dari masalah tersebut berbagai macam instrumen dirumuskan oleh para ekonom. Dalam sistem ekonomi kovensional, pajak (misalnya : PBB, PPh dan Cukai ) adalah instrumen yang digunakan untuk mengatasi masalah ketidakmerataan pendapatan. Adapun hasilnya akan dipergunakan negara untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya, untuk membangun jalan raya.
    Sejalan dengan maksud tersebut, di dalam sistem ekonomi islam dikenal dengan adanya ZIS zakat, infak dan Shodaqoh sebagai instrumen bagi pemerataan pendapatan. Islam juga mengikutsertakan negara dalam tanggung jawab mendapatkan zakat, infak dan shodaqoh dan mendistribusikannya. Hal ini sangat jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Misalnya, orang yang berhak mengambil zakat adalah penguasa atau pemerintah yang sah menurut syari’ah melalui orang yang disebut al-Qur’an sebagai “al-‘Amilina ‘alaiha” (‘amil zakat), yaitu mereka yang mengurusi urusan zakat, memungut, menjaga, menyalurkan, dan menghitungnya.
      Zakat adalah suatu kewajiban finansial yang diambil dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang fakir, tentunya kadar yang harus dikeluarkan sudah jelas. Infak dan shodaqoh adalah finansial yang dikeluarkan seseorang menurut kemampuannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala :
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “yang lebih dari keperluan” (al-Baqarah:219).

     Dalam hal infak dan Shadaqoh, mungkin pemerintah menyerahkannya kepada hati nurani umat islam dan keimanan mereka. Boleh jadi pemerintah ikut campur dengan mengeluarkan perintah dan pengumuman tanpa mengharuskan. Boleh jadi juga menambahkan pada hal tersebut dengan pengharusan dan sanksi bagi setiap orang yang teledor atau melanggar.
      Masyarakat muslim adalah sebuah masyarakat yang saling senasib sepenanggungan dan saling mengasihi. Tidak membiarkan seorang miskin kelaparan sementara ia mampu untuk memberinya makan sebagaimana ia memberikan pakaian, pengobatan, dan memenuhi setiap kebutuhannya. Setiap mu’min secara moral agama memiliki dua kewajiban terhadap orang miskin.
ü      Pertama : memberinya makan dan mengurusnya jika ia mampu melakukannya.
ü      Kedua : menganjurkan orang lain untuk memberinya makan.
      Maka dari itu, wajib bagi penguasa--yaitu negara-- memaksa orang-orang kaya ( baca : hidup berkecukupan ) yang ingin lari dari kewajiban zakat atau bahkan infaq dan shodaqoh. Sebab, pasti kiranya hasil yang didapat dari pengumpulan ZIS tadi adalah guna mencukupi orang-orang yang lemah dan membutuhkan. Sehingga natinya akan terwujud pemerataan pendapatan yang akan berujung pada berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran. 
      Sekali lagi ditegaskan, ini merupakan kewajiban negara dan konsekwensi tanggungjawabnya terhadap rakyatnya.


Comments