PENDAHULUAN TESIS : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK GADAI EMAS iB



Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda sebagaimana terdapat dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional berupaya memobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Karakteristik utama yang membedakan perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah pada sistem distribusi keuntungan. Perbankan syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil sehingga dapat memberikan alternatif sistem keuangan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank. Bisnis Perbankan Syariah juga menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika dan  mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi. Selain, menggunakan sistem bagihasil perbankan syariah juga menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Oleh sebab itu, dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, beretika dan saling menguntungkan, perbankan syariah menjadi pilihan sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Sejak mulai dikembangkannya perbankan syariah di Indonesia, dalam kurun waktu 17 tahun total aset industri perbankan syariah telah meningkat signifikan dari  Rp 20 triliun di tahun 2005, menjadi Rp 101 triliun pada Maret tahun 2011. Pada Bulan Juni 2010 tercatat total market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional adalah sebesar 2,7 %.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Angka-angka pertumbuhan yang impresif tersebut tidak hanya berhenti di atas kertas sebagai perputaran uang di sektor finansial. Perbankan syariah membuktikan dirinya sebagai sistem perbankan yang mendorong sektor riil, seperti diindikasikan oleh rasio pembiayaan terhadap penghimpunan dana (Financing to Deposit ratio, FDR) yang rata-rata hampir mencapai 100 % sampai dengan Maret 2011. Perbankan syariah juga semakin luas melayani masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah jaringan telah tersebar di sebanyak 1.867 kantor yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Layanan perbankan syariah juga didukung oleh lebih dari 6000 jaringan ATM Bersama dan 7000 jaringan ATM BCA (tahun 2008), untuk memberikan kemudahan transaksi keuangan dan perbankan. Kehadiran teknologi mobile banking, baik melalui phone banking (SMS dan telephone) maupun internet banking juga telah dimanfaatkan oleh perbankan syariah untuk menyajikan layanan yang reliable bagi gaya hidup masyarakat modern yangmobile.

Secara keseluruhan, profitabilitas perbankan syariah tercatat relatif cukup tinggi sebagaimana yang ditunjukkan oleh rata-rata pencapaian rasio Return on Equity (ROE) perbankan syariah yang mencapai 18,22 %  ( Maret 2011) & Return on Asset (ROA) yang mencapai 1,97% (Maret 2011). Semua gambaran di atas menunjukkan bahwa perbankan syariah di Indonesia merupakan industri keuangan yang berbasis sektor riil merupakan sektor usaha yang cukup menjanjikan bagi para investor, pengusaha dan masyarakat.

Inovasi produk merupakan salah satu aspek yang turut memicu perkembangan perbankan syariah hingga bisa mencapai posisi asset sebesar Rp 101 triliun di Maret 2011. Inovasi produk telah memberikan kekuatan pada perbankan syariah untuk menuju pada suatu bisnis perbankan yang kreatif sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar.[1]

Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut serta pengembangan bisnis perbankan syariah di Indonesia, para praktisi bank syariah telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan produk-produk baru atau bahkan melakukan adaptasi terhadap produk-produk lama (konvensional). Proses adaptasi tersebut dilakukan, mengingat ; i) fungsinya masih relevan dan dan diperlukan, nama produk lama tetap dipertahankan dengan diberi label khusus untuk membedakannya dari produk konvensional; [2] diberi kata ”iB” (baca : ai – bi). Penggunaan frase iB merupakan ketetapan dari Bank Indonesia dalam hal penamaan produk Perbankan Syariah.[3] ii) Inovasi produk pada industri keuangan tidak memiliki hak paten sehingga para praktisi secara bebas melakukan adaptasi terhadap suatu produk yang ada di perusahaan lain atau bahkan adaptasi produk yang sedangbooming, tentunya adaptasi yang dilakukan tidak akan akan mungkin seratus persen menyerupai produk yang mereka tiru.[4]

Melalui penciptaan produk baru maupun co-creatioan dari produk perbankan yang sudah ada menjadikan perbankan syariah mampu bersaing dengan perbankan konvensional yang notabene sudah puluhan tahun eksis di Indonesia.

Sejalan dengan upaya inovasi produk perbankan syariah, pada tahun 2008 Bank Indonesia telah meluncurkan Kodifikasi Produk Perbankan Syariah dengan mencantumkan sebanyak 14 produk dasar perbankan syariah lengkap dengan analisa risiko dari masing-masing produk. Selain itu Bank Indonesia juga menerbitkan Daftar Produk Perbankan Syariah yang berjumlah 29 jenis produk.[5] Beragam jenis produk tersebut sebagian besar merupakan adaptasi dari produk pada perbankan konvesional yang sudah ada. Namun, menurut penulis terdapat 1 (satu) produk perbankan syariah yang secara genuine merupakan produk yang lahir dan hanya bisa dipasarkan oleh Perbankan Syariah, nama produk itu adalah Gadai iB.

Gadai iB merupakan produk peminjaman uang tunai dengan memanfaatkan jaminan atas suatu aset. Hanya dalam hitungan menit para nasabah sudah bisa mendapatkan uang dengan cukup menyerahkan emas, berlian, peralatan elektronik, kendaraan, dan lain - lain yang dimilikinya. Gadai iB dapat dimanfaatkan oleh nasabah yang membutuhkan dana jangka pendek dan keperluan yang mendesak. Misalnya, menjelang tahun ajaran baru, hari raya, kebutuhan modal kerja jangka pendek dan lain sebagainya.

Namun, dalam konteks produk Gadai iB di perbankan syariah - secara umum yang berkembang- hanya aset berupa emas yang dapat dijadikan objek gadai. Emas tersebut bisa meliputi : perhiasan emas, koin emas, uang emas dan emas batangan/lantakan. Oleh sebab itu, produk Gadai iB ini lebih dikenal dengan call name Gadai Emas iB.

Gadai Emas iB di Bank Syariah secara umum menggunakan beberapa akad yaitu akad Qardh dalam rangka  Rahn dan akad Ijârah. Akad qardh dalam rangka rahn  adalah akad pemberian pinjaman dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar bank menjaga barang jaminan berupa emas yang diserahkan. Akad  ijârah digunakan untuk menarik ongkos sewa atas tempat penyimpanan jaminan emas di bank. Akad rahn sendiri dapat didefenisiskan sebagai perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan.[6] Khusus untuk akad Qardh dalam rangka Rahn, ada juga bank syariah yang memisahkan penggunaan kedua akad ini, sehingga akad Qardh dan akad Rahnberdiri sendiri.

Produk Gadai Emas memiliki landasan fatwa tersendiri yaitu Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Rahn Emas. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa Rahn Emas yang diterapkan paling tidak mengacu pada Fatwa DSN-MUI tentang Akad Rahn dan Ijaroh. Gadai Emas iB sampai saat menjadi salah satu produk andalan bank syariah. Setidaknya terdapat 3 selling point dari Gadai Emas iB yang tidak dimiliki oleh produk pembiayaan lainnya :
 i.  Nilai Non-Performing Financing (NPF) atau NPL dari pembiayaan berbasis gadai emas hampir 0 % (nol persen). Hal ini disebabkan karena jaminan emas mudah dijual di pasaran (likuid).
 ii.  Proses pelayanan produk Gadai Emas iB tergolong cepat. Mulai dari registrasi sampai kepada pencairan uang pinjaman membutuhkan waktu 10 s/d (paling lama) 30 menit.
 iii.  Gadai Emas iB memiliki nilai prestise tersendiri, sebab nasabah yang ingin menggadaikan emas cenderung tidak malu datang ke bank dibanding datang ke pegadaian.

Berikut data portofolio Gadai Emas iB yang dipasarkan oleh beberapa bank syariah di Indonesia ;
Tabel 3. Portofolio Gadai Emas iB  

Kreativitas perbankan syariah dalam hal membuat produk baru yang dibutuhkan pasar tidak hanya memicu perkembangan perbankan syariah secara signifikan. Di sisi lain, kreativitas tersebut justru mengundang perdebatan seputar keabsahan dan kesesuaian hukum dari produk-produk hasil inovasi para bankir syariah. Perdebatan umumnya muncul dari aspek ketidaksesuaian akad-akad syariah yang digunakan dan asumsi-asumsi yang menganggap bahwa rukun & syarat akad yang menjadi landasan hukum produk perbankan syariah telah dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi jalan belakang menuju Ribâ ( back door to interest) yang diharamkan dalam Islam. Allah SWT berfirman :


وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا…

“… Dan Allah telah menghalalkan jual-beli & mengharamkan Ribâ ...” {QS. Al-Bâqarah [2] : 275 }

 Perdebatan pertama adalah terdapat indikasi bahwa bank syariah membebankan tarif gadai melebihi dari riil cost yang dikeluarkan untuk operasional & pemasaran produk tersebut.. Dengan maksud lain, parameter tarif gadai sebenarnya bukan dilihat dari riil cost melainkan ada parameter lain yang dijadikan acuan – yang paling ekstrem adalah - mengikuti besaran bunga pinjaman perbankan konvensional. Biaya penyimpanan dan administrasi hanya sebatas syarat hukum yang dijadikan dasar pengenaan tarif. Alhasil, muncul opini yang menyatakan bahwa Gadai Emas iB adalah tidak ada bedanya dengan produk kredit pada perbankan konvensional yang berbasis aset & bunga ( kredit atas dasar aset pribadi /  self asset lending  ) bahkan relatif lebih mahal.

Merujuk pada Fatwa DSN MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas pada putusan nomor 3 dinyatakan :
 “ Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 (ongkos yang ditanggung penggadai) besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan”


Berdasarkan pada ketetapan di atas, artinya bilamana tarif gadai yang telah ditetapkan oleh bank syariah tidak termasuk dalam kategori pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan – atau bisa dikatakan rekayasa- maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa bank syariah telah melakukan usaha yang mendekati celah ribâ. Oleh sebab itu, agar hal tersebut tidak terjadi, para akademisi harus melakukan kajian secara mendalam mengenai indikator-indikator yang menjadi parameter penentuan besaran tarif gadai. Baik dari biaya tenaga kerja, biaya sewa tempat penyimpanan, biaya promosi produk, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, perdebatan kedua mengarah pada kombinasi akad yang digunakan untuk produk tersebut. Secara umum, seluruh bank syariah menggunakan 3 (tiga) akad dalam produk Gadai Emas iB, yaitu rahn, qardh & ijârah.

Kombinasi pertama adalah antara akad rahn, akad qardh dan akad ijarâh. Perdebatan yang muncul adalah dalam konteks penggabungan akad qardh dan akad ijarâh. Penggabungan kedua akad tersebut menyebabkan muncul opini di kalangan akademisi dan pemerhati ekonomi syariah, bahwa perbankan syariah telah melakukan kekeliruan karena telah menggabungkan akad yang berbentuk hutang-piutang - dalam hal ini akad qardh – dengan akad ijârah atas sewa tempat penyimpanan emas.  Kelompok yang mengkritisi, berargumen bahwa dalam produk Gadai Emas iB dengan kombinasi akad tersebut bisa menjerumuskan bank syariah pada ribâ. Kombinasi akad qardh &ijârah menyebabkan terkaitnya jumlah pinjaman dengan besaran tarif gadai yang dikenakan kepada nasabah. Dalam hal ini bank syariah secara tidak langsung telah mengambil tambahan keuntungan dari perjanjian utang-piutang ( baca akad qardh) walaupun keuntungan tersebut diperoleh dari akad sewa yang secara hukum boleh digunakan. Artinya, bank syariah sama saja telah mengambil ribâ. Sebagaimana terdapat dalam khazanah kaidah fiqhiyyah , yaitu : 

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“ Setiap pinjaman (utang-piutang) yang mendatangkan tambahan atasnya maka (tambahan ) itulah ribâ”

 Kombinasi kedua adalah antara akad rahn dan ijarâh. Akad rahn pada prinsipnya adalah hutang dengan jaminan yang termasuk dalam akad bersifat tabarru’[7], sedangkan akad ijârah secara bahasa sama seperti jual beli (baca : ba’i manfaah al-ayn), dalam hal ini telah terjadi transfer kepemilikan hak pakai[8]. Penggabungan antara akad jual beli dan hutang-piutang dilarang berdasarkan hadits Rasullullah SAW :

ﻋﻦ ﺍﺑﯽ ﻫﺮﻴﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺑﯽ ﺺ ﻡ ﺍﻨﻪ ﻨﻬﻰ ﻋﻦ ﺑﻴﻊ ﻮ ﺴﻟﻒ

"Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman".
 { HR. Ahmad}

 Argumentasi lain tentang kombinasi akad adalah bank syariah telah melakukan kekeliruan karena menjadikan akad qardh sebagai sebagai salah satu landasan akad dalam produk Gadai Emas iB. Faktanya dalam fatwa DSN-MUI nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, tidak ada ketetapan dari DSN-MUI yang mengindikasikan penggunaan akad selain akad ijârah dan akadrahn dalam konteks Gadai Emas iB.   

Lantas bagaimana sebenarnya cara yang baik untuk menilai suatu produk perbankan syariah apakah telah sesuai hukum Islam atau pun tidak, apakah terjerumus ke dalam ribâ  ataupun tidak ? 
      Menurut Hasanudin, - Sekretaris DSN-MUI / 2010 – dalam makalah berjudul Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia :  Konsep dan Ketentuan (Dhawâbith) dalam Perspektif Fiqh, salah satu parameter untuk menilai suatu produk apakah telah memenuhi prinsip syariah atau tidak adalah dengan memperhatikan akad-akad dan berbagai ketentuannya yang digunakan dalam produk tersebut. [12] Kemudian untuk setiap multi akad (baca : kombinasi akad) yang mengantarkan pada yang haram, seperti ribâ , hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. [13]
      Selain itu, jurnal berjudul ‘Shariah Parameters reconsidered’ dinyatakan bahwa setidaknya terdapat 3 aspek tambahan selain akad yang harus juga dianalisa dalam menetukan keabsahan produk keuangan syariah, yaitu aspek hukum positif,aspek keuangan dan aspek Maqâsid syar’iyyah.[14].
      Islam tidak membatasi manusia secara sempit dalam urusan muamalahnya. Islam adalah agama yang memberi kemudahan bagi hambanya. Ajaran Islam memberi peluang kepada manusia untuk melakukan inovasi khususnya dalam bidang muamalah agar memudahkan dalam kehidupan sehari-hari.
      Dalam hal perdebatan mengenai multi akad, bahwa tidak semua penggabungan antara akad bersifat tabarru’ dan akad bersifat tijârah dilarang sebagaimana yang terjadi dalam Produk Gadai Emas iB yang menggabungkan akad qardh dan akad ijârah dan atau akad rahn dan akad ijârah. Dengan menghilangkan faktor-faktor yang dapat menjerumuskan pada praktik ribâ, gharar dan hal lain yang dilarang syariah, maka kombinasi akad tersebut dapat dibolehkan.[15]



[1] Zamir Iqbal & Abbas Mirakhor. 2007. An Introductioan Islamic Finance ; Theory and Practice. Singapore : John wiley & Sons (Asia) Pte Ltd. hal 203
[2] Hasanudin. (2009, Mei 28). Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Ciputat. hal 1
[3] Peraturan Bank Indonesia nomor 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah serta Surat Edaran Bank Indonesia nomor 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2010 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
[4] Mirakhor. 2007.An Introduction... hal 203
[5] Bank Indonesia. 2007. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah. Jakarta : Bank Indonesia.
[6] Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. PT. Utama Grafiti. hal 76
[7] Wahbah Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi wa adillatuhu. Damaskus : Dâr Fikr al-Mu’asir. Juz 6 hal 4208
[8] Abdullah ‘Alwi Haji Hasan. 1997. Sales and Contract in Early Islamic Commercial Law. New Delhi : Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan. Hal 155, lihat juga i) Kâmil Mûsa. 1998. Ahkâmu al-mu’âmalat. Beirut : Ar-Resalah Publisher. hal 296 ; ii) Wahbah Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh  al-islâmi wa adillatuhu. Damaskus : Dâr Fikr al-Mu’asir. Juz 5 hal 3837 pada bahsan bentuk-bentuk ijârah ;ijârah ‘alâ manâfi’i, iii Wahbah Al-Zuhaili. 2002. Al-fiqh al-mu’âmalat al-mâliyah al-mu’âshiroh. Damaskus : Dâr Fikr al-Mu’asir. hal 72
[9] Hasanudin. (2009, Mei 27).Multi Akad … hal 1
[10] Ibid. hal 22
[11] Hasanudin. (2009, Mei 27).Multi Akad … hal 24

[12] Hasanudin. (2009, Mei 27).Multi Akad … hal 1
[13] Ibid. hal 22
[14] Saiful Azhar Rosly. 2010. Shariah Parameters Reconsidered. International Journal of Islamic & Middle Eastern Finance & Management, Vol. 3 No 2 Emerald Group Publishing Limited. hal. 132-133.
[15] Hasanudin. (2009, Mei 27).Multi Akad … hal 24


Wallahu a'lam.

Comments