MENYIKAPI BISNIS DI ZONA ABU-ABU

Berbisnis merupakan suatu jalan ’halal’ yang dapat dilakukan seorang muslim untuk memperoleh rezeki guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Bisnis termasuk ibadah muamalah dalam Islam. Dalam urusan muamalahnya, Islam tidak membatasi manusia secara sempit, melainkan memberi kemudahan bagi hambanya. Ajaran Islam memberi peluang kepada manusia untuk melakukan inovasi khususnya dalam bidang muamalah (baca : bisnis) agar memudahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Para ulama dan fuqaha, dalam menetapkan hukum menyangkut masalah-masalah muamalah, selalu mendasarkan ketetapannya dengan suatu prinsip pokok bahwa ’segala sesuatu asalnya mubah (boleh)’. Suatu aktivitas muamalah akan menjadi haram dilakukan jika terdapat dasar nash yang mengharamkan aktifitas tersebut. Terdapat 2 (dua) kaidah yang merefleksikan kebebasan Islam dalam hal bisnis, yaitu :

“Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”  { Kaidah Fiqhiyyah }

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang hala atau menghalalkan yang haram...” { HR. Tirmidzi dari Amr bin Auf }

Jika dicermati secara mendalam, maka sebenarnya arena haram dalam Islam justru sangat sempit sedangkan arena halal justru lebih luas. Hal tersebut disebabkan karena nash-nash yang sahih dan tegas dalam hal yang haram jumlahnya sangat minim. Sedangkan, sesuatu yang tidak ada keterangan halal atau haramnya dalam teks-teks nash Islam, bisa dikembalikan pada hukum asalnya yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dibolehkan oleh Allah SWT. Adapun dari nash tersebut adalah sebagai berikut :

“ Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)  melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”     { QS. Al-Baqarah : 173 }

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan…” { QS. Al-Maidah : 3 }

“ Dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya beliau pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda pada tahun penaklukkan Makkah sewaktu beliau berada di Makkah itu : Sesungguhnya Allah dan Rasul-nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan berhala. Lalu beliau ditanya : Ya Rasulullah , Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena sesungguhnya lemak bangkai itu dipergunakan orang untuk ( mengelem mengecat, mengolesi ) perahu dan meminyaki kulit dan orang – orang mempergunakannya sebagai pelita ( bahan bakar lampu ). Beliau menjawab : Tidak boleh  Ia Haram. Lalu pada waktu itu beliau juga bersabda : Mudah-mudahan Allah mengutuk orang-orang yahudi, karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak bangkai itu, lalu mereka mencairkannya ( meleburnya ) kemudian mereka menjualnya dan memakan harganya. { HR Muttafaqun ‘Alaih )

Berangkat dari paragraf di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa berbisnis itu boleh (mubah / ibaahah) sepanjang di dalam prosesnya tidak mengandung hal – hal yang dilarang oleh syariah.

Dalam prakteknya, terdapat kendala umum yang sering dihadapi oleh pebisnis. Kendala tersebut adalah tidak semua pelaku bisnis dapat mengetahui dan memastikan aspek halal dan haram dalam berbisnis, terutama yang berkaitan dengan objek bisnis dan tata cara bisnis. Ini disebabkan ke aspek tersebut tidak secara tegas dinyatakan pelarangannya dalam teks dari nash yang ada dalam ajaran Islam. Hal inilah yang penulis sebut Berbisnis di Zona Abu-Abu.

Terdapat 2 cara dalam menyikapi hal ini bisnis di Zona Abu-Abu :

4.3.1  Sikap 1 ; Tetap berpedoman pada ketentuan nash agama, baik yang bersumber langsung dari teks-teks Qur’an dan Hadits atau ketetapan dari organisasi ulama resmi pemerintah, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini dilakukan, mengingat tidak semua hal yang berada dalam zona abu-abu (secara syariah) boleh dikerjakan, terutama bagi seorang pebisnis yang telah menemukan informasi pelarangan syariah atas hal tersebut. Misalnya, dalam Islam judi itu adalah kegiatan yang dilarang, lantas bagaimana dengan berbisnis Kuis SMS Berhadiah ?  Menurut salah satu pendapat Ulama bahwa jika hadiah dari bisnis ini bersumber dari dana peserta ( tarif Rp 500 s/d 2000 per-sms), maka illat hukumnya akan sama dengan judi, yaitu ada pihak yang dirugikan. Menurut DR. Yusuf Qardhawi (Halal dan Haram, 2002) bahwa judi ‘... permainan yang tidak luput dari untung-rugi yang dialami oleh si pemain” 
      
      Untuk mengetahui hal-hal tersebut, seseorang yang  baru akan memulai bisnis, seyogyanya mencari informasi tentang aturan-aturan syariah di bidang bisnis yang ditetapkan oleh lembaga agama yang resmi di wilayah setempat seperti Majelis Ulama Indonesia. Di samping itu, saat ini banyak toko-toko buku Islam yang menjual berbagai macam buku tentang ketentuan halal dan haram, baik menyangkut objek bisnis maupun yang lainnya. 

4.3.1    Sikap 2 : Melihat peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah setempat. Hal ini dilakukan pada saat seorang pebisnis tidak menemukan informasi ketentuan halal dan haram. Misalnya, bisnis menjual senjata. Secara umum, tidak terdapat nash yang melarang hal tersebut, kecuali pada masa Daulah Usmani, dengan pertimbangan bahwa bisnis senjata merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat. 

Bilamana pebisnis hanya melihat dari aspek nash ini, maka bisnis persenjataan di Indonesia dan bahkan di dunia akan merosot. Alhasil, boleh jadi aparat yang bertugas menjaga keamanan di negeri ini tidak akan dilengkapi oleh senjata. Dalam konteks menjaga keamanan dan pertahanan, justru kebutuhan akan senjata menjadi sangat urgent. Hal ini juga akan berdampak pada pentingnya ketersediaan produksi senjata api yang disediakan oleh para pebisnis.

Oleh sebab itu, bagi seseorang yang  baru akan memulai bisnis di bidang senjata, maka seyogyanya mencari informasi tentang aturan-aturan yang telah diterbitkan pemerintah terkait batasan dan ketentuan produksi dan pemasaran senjata api. Saat ini di Indonesia, salah satu perusahaan penyedia senjata api yang memiliki izin resmi dari pemerintah adalah PT. PINDAD yang berdomisili di wilayah Bandung.

Berikut terdapat kalimat yang banyak mengandung hikmah terkait cara menyikapi bisnis di zona abu-abu  : 

Secara konseptual pemimpin terbagi menjadi 2 (dua) yaitu : Ulama & Umara. Ulama di Indonesia adalah (salahsatunya) terwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan, Umara di Indonesia terwakili oleh Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Oleh sebab itu, setiap ketentuan yang diterbitkan oleh kedua institusi tersebut menjadi suatu kewajiban untuk dipatuhi dan diikuti oleh pelaku bisnis di Indonesia.’       

Wallahu a'lam

Comments