KONSUMSI HALAL & TAYYIB


Prinsip halal dan tayyib dalam konteks ini adalah segala bentuk kebutuhan konsumsi baik yang benda berwujud maupun tidak berwujud.

Kebutuhan konsumsi yang halal berarti segala sesuatu yang tidak dilarang oleh syariat islam, misalnya mengkonsumsi darah, daging babi, daging bangkai (yang mati sendiri), daging hewan hasil sembelihan tanpa menyebut nama Allah, perjudian, dan lain sebagainya {QS. al-An´âm / 6: 145}.

Kebutuhan konsumsi tayyib dapat diartikan benda yang secara fisik terlihat kebaikannya dari aspek kesehatan, tidak kotor dan berbau busuk, serta kebutuhan yang tidak berwujud, namun dapat dirasakan manfaatnya, yang tidak layak seperti liburan dengan melakukan hal-hal yang melanggar norma kesopanan dan kesusilaan. Hal yang harus diingat adalah barang-barang (kebutuhan) yang haram, buruk, najis, tidak bernilai tidak dapat dianggap sebagai objek yang bernilai konsumsi dan tidak boleh dimanfaatkan dalam Islam.

Dalam Qur’an kata halal dan tayyib selalu disandingkan pada setiap penyebutan ayat mengenai konsumsi. Seperti firman Allah SWT;

Artinya : ‘Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.’                
{QS. al-Baqarah / 2:168}

Pada dasarnya kewajiban tersebut muncul untuk menyelamatkan seorang muslim dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang ditimbulkan dari kebutuhan konsumsi yang haram. Misalnya, binatang Babi, ia merupakan binatang yang telah diharamkan dagingnya oleh Allah SWT untuk dikonsumsi. Sebab, pada daging babi dikabarkan mengandung cacing pita ( Tainia ) jenisSolium bertaring yang dapat merusak dinding usus pada manusia dan juga bakteri yang tidak akan mati walaupun telah dipanaskan  100 0C. Namun demikian, terdapat suatu sebab pengharaman yang tidak dapat diketahui oleh manusia, hal itu hanya dapat diketahui oleh Allah SWT. Artinya, label keharaman suatu benda yang telah ditetapkan dalam Nash, tidak akan dapat dihilangkan walaupun sifat-sifat negatif dari benda tersebut telah dihilangkan. Walaupun cacing pita dan bakteri pada daging babi telah dihilangkan, tetap saja daging babi tersebut haram dagingnya untuk dikonsumsi.

Hal ini tentu saja tidak dapat diartikan bahwa islam adalah agama yang banyak larangan. Sebab, bukti kasih sayang Allah pada umat muslim adalah adanya rukhsah (dispensasi/kebolehan) mengkonsumsi barang haram ( babi, khamar,dan lain-lain ) dalam keadaan darurat. Dalam konteks ini, keadaan darurat yang telah disepakati oleh para ulama fiqh adalah keadaan darurat dalam hal makanandimana seseorang tersiksa karena lapar dan ia masih belum mendapati apa yang bisa dimakan kecuali makanan-makanan yang diharamkan dalam Islam. Atas dasar itu, ia diperbolehkan memakan makanan yang diharamkan itu sekedarnya untuk menutupi keadaan darurat dan memelihara diri dari kebinasahan. Seseorang yang tersesat di hutan dapat diperbolehkan memakan babi pada saat tidak terdapat sesuatu apapun yang dapat dimakan selain babi. Namun, rukhsah ini tentu saja kejadian yang bersifat temporal dan dalam kadar-kadar tertentu. Artinya, bilamana darurat itu hilang maka hukum memakan barang haram kembali ke asal, yaitu haram. Allah SWT berfirman : 

Artinya; “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)  melampaui batas, maka tidak ada dosa  baginya. Sesungguhya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” { QS. al-Baqarah/ 2 : 173 } 

Muhammad Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Vol 1) menyatakan bahwa makna terpaksa  dalam ayat 173 surat al-Baqarah ini berarti keadaan yang diduga dapat mengakibatkan kematian; sedang frase tidak menginginkan adalah tidak memakannya (makanan haram) padahal ada makanan halal yang dapat dimakan, tidak pula memakannya memenuhi keinginan seleranya. Sedangkan frasetidak melampaui batas adalah tidak memakannya (makanan haram) dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutupi rasa lapar dan memelihara jiwa manusia tersebut.

Eksistensi konsep rukhsah dalam kegiatan konsumsi Islam dapat diartikan bahwa hanya berlaku 2 aksioma pilihan konsumen pada barang haram dalam keadaan darurat, yaitu aksiomacompleteness dan transitivity. Aksioma lain yaitu continuity dan mutual exclusiveness tidak berlaku.  sebab ulama fiqh sepakat bahwa bilamana keadaan darurat itu hilang maka hukum mengkonsumsi barang haram akan berubah ke asal hukum, yaitu dari boleh menjadi haram. Artinya, kebolehan yang dimaksud hanya bersifat sementara atau temporal.

Wallahu a'lam

Comments